Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
(Model Pembelajaran Kontektual 2)
(Model Pembelajaran Kontektual 2)
Karakteristik pembelajaran Kontekstual
Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan
model CTL diantaranya:
1. Pembelajaran dengan model CTL merupakan proses pengaktifan
pengetahuan yang sudah ada. Artinya apa yang yang akan dipelajari tidak
terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari.
2. Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka
memperoleh dan menambah pengetahuan baru.
3. Pemahaman pengetahuan artinya pengetahuan yang diperoleh bukan
untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini.
4. Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut, artinya
pengetahuan dan pangalaman yang diperoleh harus diaplikasikan dalam kehidupan
siswa
5. Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan.
CTL, sebagai suatu model pembelajaran dalam implementasinya tentu saja
memerlukan desain/perencanaan pembelajaran yang mencerminkan konsep dan prinsip
CTL. Disain pembelajaran pada intinya merupakan suatu rancangan pembelajaran
yang dibuat oleh guru untuk memudahkan dan meningkatkan proses dan hasil
pembelajaran.
Bagi setiap guru membuat disain pembelajaran bukan merupakan suatu hal
yang baru, karena kita sudah terbiasa membuat persiapan mengajar, apakah yang
disebut Satuan Pelajaran (Satpel), Rencana Pembelajaran (Renpel), Persiapan
Harian atau dalam bentuk nama yang lainnya. Secara substansial semuanya
memiliki kesamaan, yaitu merupakan rancangan pembelajaran yang dikembangkan
oleh guru sebagai bentuk penjabaran kurikulum tertulis (ideal) ke dalam bentuk nyata (actual) yaitu sebagai pedoman umum dan sekaligus
sebagai alat kontrol bagi guru untuk melaksanakan proses belajar mengajar di
kelas maupun di luar kelas.
Secara lebih terurai diungkapkan oleh Reigeluth, bahwa fungsi dan
peran Disain Pembelajaran antara lain:
1) Instructional design prescribes methods a part of Instructional
Development
2) Instructional design prescribes procedure for Instructional
Implementation
3) Instructional design
prescibes procedure for Instructional management
4) Instructional design identifies and remedies weaknesses
as a part of Instructional Evaluation
Berdasarkan uraian singkat konsep disain di atas, maka desain
pembelajaran memiliki sifat keluwesan (fleksibel), tidak kaku dalam satu model
tertentu saja. Format disain bisa dikembangkan dalam bentuk yang bervariasi
tergantung pada tujuan dan model pembelajaran bagaimana yang akan dilaksanakan
oleh guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Dari hasil inovasi, kini
ditemukan berbagai jenis model pembelajaran seperti model terpadu, model cooperative learning, model pembelajaran quantum teaching & learning, dan Contextual Teaching and Learning (CTL). Tentu saja setiap model tersebut di
samping memiliki unsur kesamaan, juga ada beberapa perbedaan tertentu. Hal ini
karena setiap model memiliki karakteristik khas tertentu, yang tentu saja
berimplikasi pada adanya perbedaan tertentu pula dalam membuat
disain/skenarionya disesuaikan dengan model yang akan diterapkan. CTL sebagai
suatu model pembelajaran memiliki 7 asas. Asas-asas ini melandasi pelaksanaan
proses pembelajaran dengan menggunakan model CTL. Sering kali dasar isi di
sebut juga komponen-komponen Komponen-komponen itu adalah: 1) Contruktivisme, 2) Inquiry,
3) Questioning, 4) Learning Community, 5) Modeling,
6) Reflection, dan 7) Authentic Assesment. Penjelasan dari setiap komponen tersebut akan dijelaskan setelah
ini. Sekarang tinggal bagaimana melaksanakan setiap komponen tersebut dalam
bentuk pembelajaran di kelas atau di luar kelas sehingga benar-benar
mencerminkan pelaksanakaan model CTL.
Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL, tentu
saja terlebih dahulu guru harus membuat disain/skenario pembelajarannya, sebagai
pedoman umum dan sekaligus sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya. Pada
intinya pengembangan setiap komponen CTL tersebut dalam pembelajaran dapat
dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1) Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar
lebih bermakna, apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi
sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus akan dimilikinya.
2) Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang diajarkan.
3) Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan
pertanyaanpertanyaan.
4) Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok
berdiskusi, tanya jawab dan lain sebagainya.
5) Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui
ilustrasi, model bahkan media yang sebenarnya.
6) Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan.
7) Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang
sebenarnya pada setiap siswa.
Pendekatan CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang memberikan fasilitas
kegiatan belajar siswa untuk mencari, mengolah dan menemukan pengalaman belajar
yang lebih bersifat konkret (terkait dengan kehidupan nyata) melalui
keterlibatan aktivitas siswa dalam mencoba, melakukan dan mengalami sendiri.
Dengan demikian pembelajaran tidak sekedar dilihat dari sisi produk, akan tetapi
yang terpenting adalah proses. Sekarang coba Anda perhatikan asas pembelajaran
kontekstual yang dapat dikembangkan yaitu:
a) Konstruktivisme (Contructivisme)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir
(filosofi) dalam pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia
sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap
untuk diambil dan diingat. Manusia harus membangun pengetahuan itu memberi
makna melalui pengalaman yang nyata. Batasan konstruktivisme di atas memberikan
penekanan bahwa konsep bukanlah tidak penting sebagai bagian integral dari pengalaman
belajar yang harus dimiliki oleh siswa, akan tetapi bagaimana dari setiap
konsep atau pengetahuan yang dimiliki siswa itu dapat memberikan pedoman nyata
terhadap siswa untuk diaktualisasikan dalam kondisi nyata. Oleh karena itu
dalam pendekatan CTL, strategi untuk membelajarkan siswa menghubungkan antara
setiap konsep dengan kenyataan merupakan unsur yang diutamakan dibandingkan
dengan penekanan terhadap seberapa banyak pengetahuan yang harus diingat oleh
siswa. Hasil penelitian ditemukan bahwa pemenuhan terhadap kemampuan penguasaan
teori berdampak positif untuk jangka pendek, tetapi tidak memberikan sumbangan
yang cukup baik dalam waktu jangka panjang. Pengetahuan teoritik yang bersifat
hapalan mudah lepas dari ingatan seseorang apabila tidak ditunjang dengan
pengalaman nyata. Implikasi bagi guru dalam mengembangkan tahap konstruktivisme
ini terutama dituntut kemampuan untuk membimbing siswa mendapatkan makna dari
setiap konsep yang dipelajarinya. Pembelajaran akan dirasakan memiliki makna
apabila secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan pengalaman
sehari-hari yang dialami oleh para siswa itu sendiri. Oleh karena itu setiap
guru harus memiliki bekal wawasan yang cukup luas, sehingga dengan wawasannya
itu ia selalu dengan mudah memberikan ilustrasi, menggunakan sumber belajar dan
media pembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk aktif mencari dan
melakukan serta menemukan sendiri kaitan antara konsep yang dipelajari dengan pengalamannya.
Dengan cara itu pengalaman belajar siswa akan memfasilitasi kemampuan siswa
untuk melakukan transformasi terhadap pemecahan masalah lain yang memiliki
sifat keterkaitan, meskipun terjadi pada ruang dan waktu yang berbeda.
b) Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan kegiatan inti dari
pendekatan CTL, melalui upaya menemukan akan memberikan penegasan bahwa
pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan
bukan merupakan hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi merupakan
hasil menemukan sendiri. Kegiatan pembelajaran yang mengarah pada upaya menemukan,
telah lama diperkenalkan pula dalam pendekatan pembelajaran inquiry and discovery (mencari dan menemukan). Tentu saja unsur
menemukan dari kedua pendekatan (CTL dan inquiry and discovery) secara prinsip tidak banyak perbedaan,
intinya sama yaitu model atau sistem pembelajaran yang membantu siswa baik
secara individu maupun kelompok belajar untuk menemukan sendiri sesuai dengan
pengalaman masing-masing. Dilihat dari segi kepuasan secara emosional, sesuatu
hasil menemukan sendiri akan memiliki nilai kepuasan lebih tinggi dibandingkan
dengan hasil pemberian. Beranjak dari logika yang cukup sederhana itu tampaknya
akan memiliki hubungan yang erat pula bila dikaitkan dengan pendekatan
pembelajaran. Di mana hasil pembelajaran merupakan hasil dan kreativitas siswa
sendiri, akan bersifat lebih tahan lama diingat oleh siswa bila dibandingkan
dengan sepenuhnya merupakan pemberian dari guru. Untuk menumbuhkan kebiasaan
siswa secara kreatif agar bisa menemukan pengalaman belajarnya sendiri,
berimplikasi pada strategi yang dikembangkan oleh guru. Suasana demokratis
dalam pembelajaran dapat diciptakan dengan memberi kesempatan yang luas kepada
siswa untuk melakukan observasi, mendorong keberanian untuk bertanya,
mengajukan dugaan, mencari dan mengolah data serta kebiasaan untuk membuat
kesimpulan sendiri dari apa yang telah dipelajarinya merupakan persyaratan
utama yang harus dikembangkan oleh guru. Tentunya dengan pembelajaran yang
demokratis akan tercipta pembelajaran yang memberikan pengaruh yang lebih baik
kepada siswa. Sebaliknya suasana pembelajaran yang mencekam dengan otoritas pembelajaran
sepenuhnya ada di tangan guru, akan mengakibatkan tumpulnya daya kreativitas
siswa, karena siswa akan dihinggapi perasaan ragu-ragu, takut salah, takut
dicemoohkan dan ketakutan-ketakutan lain yang mengakibatkan tidak berkembangnya
imajinasi sebagai modal kreativitas siswa, dan kondisi semacam ini harus
dihindari dalam upaya mengembangkan tahap inquiry.
c) Bertanya (Questioning)
Unsur lain yang menjadi karakteristik
utama CTL adalah adalah kemampuan dan kebiasaan untuk bertanya. Pengetahuan
yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Oleh karena itu bertanya
merupakan strategi utama dalam pendekatan CTL. Penerapan unsur bertanya dalam pendekatan
CTL harus difasilitasi oleh guru, kebiasaan siswa untuk bertanya atau kemampuan
guru dalam menggunakan pertanyaan yang baik akan mendorong pada peningkatan
kualitas dan produktivitas pembelajaran. Seperti pada tahapan sebelumnya,
berkembangnya kemampuan dan keinginan untuk bertanya, sangat dipengaruhi oleh
suasana pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Dalam implementasi CTL,
pertanyaan yang diajukan oleh guru atau siswa harus dijadikan alat atau
pendekatan untuk menggali informasi atau sumber belajar yang ada kaitannya
dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain tugas bagi guru adalah membimbing
siswa melalui pertanyaan yang diajukan untuk mencari dan menemukan kaitan
antara konsep yang dipelajari dalam kaitan dengan kehidupan nyata. Tentunya
keterampilan bertanya ini sudah menjadi hal yang penting yang dimiliki oleh
guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Masih ingatkah Anda tentang
delapan keterampilan mengajar? Pastinya masih ingat dimana diantara delapan
keterampilan mengajar tersebut terdapat keterampilan bertanya dasar dan
keterampilan bertanya lanjutan. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam
pembelajaran kontekstual itu proses tanya jawab merupakan hal yang sangat
diutamakan, tujuannya tentu saja untuk menggali pengalaman yang telah dimiliki
siswa serta menggali kemampuan siswa dalam mengemukakan pendapatnya. Melalui
penerapan bertanya, pembelajaran akan lebih hidup, akan mendorong proses dan
hasil pembelajaran yang lebih luas dan mendalam, dan akan banyak ditemukan
unsur-unsur lain yang terkait yang sebelumnya tidak terpikirkan baik oleh guru
maupun oleh siswa. Oleh karena itu cukup beralasan jika dengan pengembangan
bertanya produktivitas pembelajaran akan lebih tinggi, karena dengan bertanya,
maka: 1) dapat menggali informasi, baik adminiastrasi maupun akademik, 2)
mengecek pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon siswa, 4) mengetahui sejauh
mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang diketahui siswa, 6)
memfokuskan perhatian siswa, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari
siswa, dan 8) menyegarkan kembali pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
d) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Maksud dari masyarakat belajar adalah
membiasakan siswa untuk melakukan kerjasama dan memanfaatkan sumber belajar
dari teman-teman belajarnya. Seperti yang disarankan dalam learning community, bahwa hasil pembelajaran diperoleh darim
kerjasama dengan orang lain melalui berbagai pengalaman (sharing). Melalui sharing ini anak dibiasakan untuk saling memberi dan
menerima, sifat ketergantungan yang positif dalam learning community dikembangkan. Manusia diciptakan sebagai
mahluk individu sekaligus sebagai mahluk sosial. Hal ini berimplikasi pada ada
saatnya seseorang bekerja sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan, akan
tetapi disisi lain tidak bisa melepaskan diri ketergantungan dengan pihak lain.
Penerapan learning
community dalam pembelajaran
di kelas akan banyak bergantung pada model komunikasi pembelajaran yang
dikembangkan oleh guru. Di mana dituntut keterampilan dan profesionalisme guru
untuk mengembangkan komunikasi banyak arah (interaksi), yaitu model komunikasi
yang bukan hanya hubungan antara guru dengan siswa atau sebaliknya, akan tetapi
secara luas dibuka jalur hubungan komunikasi pembelajaran antara siswa dengan
siswa lainnya. Kebiasaan penerapan dan mengembangkan masyarakat belajar dalam pendekatan
CTL sangat dimungkinkan dan dibuka dengan luas memanfaatkan masyarakat belajar
lain di luar kelas. Setiap siswa semesetinya dibimbing dan diarahkan untuk
mengembangkan rasa ingin tahunya melalui pemanfaatan sumber belajar secara luas
yang tidak hanya disekat oleh masyarakat belajar di dalam kelas akan tetapi
sumber manusia lain di luar kelas (keluarga dan masyarakat). Ketika kita dan
siswa dibiasakan untuk memberikan pengalaman yang luas kepada orang lain, maka
saat itu pula kita atau siswa akan mendapatkan pengalaman yang lebih banyak
dari komunitas lain.
e) Pemodelan (Modeling)
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, rumitnya permasalahan hidup yang dihadapi, tuntutan siswa yang
semakin berkembang dan beraneka ragam, telah berdampak pada kemampuan guru yang
memiliki kemampuan lengkap, dan ini yang sulit dipenuhi. Oleh karena itu, maka
kini guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar bagi siswa, karena dengan
segala kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki oleh guru akan mengalami
hambatan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan siswa
yang cukup heterogen. Oleh karena itu tahap pembuatan model dapat dijadikan alternatif
untuk mengembangkan pembelajaran agar siswa bisa memenuhi harapan siswa secara
menyeluruh, dan membantu mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh para guru.
f) Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa
yang baru terjadi atau baru saja dipelajari. Dengan kata lain refleksi adalah
berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu, siswa
mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang
merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pada saat
refleksi, siswa diberi kesempatan untuk mencerna, menimbang, membandingkan,
menghayati, dan melakukan diskusi dengan dirinya sendiri (learning to be). Pengetahuan yang bermakna diperoleh
dari suatu proses yang bermakna pula, yaitu melalui penerimaan, pengolahan dan
pengendapan, untuk kemudian dapat dijadikan sandaran dalam menanggapi terhadap
gejala yang muncul kemudian. Melalui pendekatan CTL, pengalaman belajar bukan
hanya terjadi dan dimiliki ketika seorang siswa berada di dalam kelas, akan
tetapi jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana membawa pengalaman belajar
tersebut keluar dari kelas, yaitu pada saat ia dituntut untuk menanggapi dan
memecahkan permasalahan nyata yang dihadapi sehari-hari. Kemampuan untuk mengaplikasikan
pengetahuan, sikap dan keterampilan pada dunia nyata yang dihadapinya akan
mudak diaktualisasikan manakala pengalaman belajar itu telah terinternalisasi
dalam setiap jiwa siswa dan disinilah pentingnya menerapkan unsur refleksi pada
setiap kesempatan pembelajaran.
g) Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)
Tahap terakhir pendekatan CTL adalah
melakukan penilaian. Penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran
memiliki fungsi yang amat menentukan untuk mendapatkan informasi kualitas
proses dan hasil pembelajaran melalui penerapan CTL. Penilaian adalah proses
pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa memberikan gambaran atau
petunjuk terhadap pengalaman belajar siswa. Dengan terkumpulnya berbagai data
dan informasi yang lengkap sebagai perwujudan dari penerapan penilaian, maka akan
semakin akurat pula pemahaman guru terhadap proses dan hasil pengalaman belajar
setiap siswa. Guru dengan cermat akan mengetahui kemajuan, kemunduran dan kesulitan
siswa dalam belajar, dan dengan itu pula guru akan memiliki kemudahan untuk
melakukan upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan proses bimbingan belajar
dalam langkah selanjutnya. Mengingat gambaran tentang kemajuan belajar siswa
diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, maka penilaian tidak hanya
dilakukan diakhir program pembelajaran, akan tetapi secara integral dilakukan
selama proses program pembelajaran itu terjadi. Dengan cara tersebut, guru
secara nyata akan mengetahui tingkat kemampuan siswa yang sebenarnya. Proses
pembelajaran dengan menggunakan model CTL harus mempertimbangkan hal-hal
berikut:: 1) Kerja sama, 2) Saling menunjang, 3) Menyenangkan dan tidak
membosankan, 4) Belajar dengan bergairah, 5) Pembelajaran terintegrasi, 6)
Menggunakan berbagai sumber, 7) Siswa aktif, 8) Sharing dengan teman, 9) Siswa kritis, guru
kreatif, 10) Dinding kelas dan loronglorong penuh dengan hasil karya siswa
(peta-peta, gambar, artikel), 11) Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor,
tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dan
lain-lain. (Depdiknas, 2002:20) Dalam pembelajaran kontekstual, program
pembelajaran merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang oleh guru, yaitu
dalam bentuk skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama
siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran. Dalam program tersebut harus
tercermin penerapan dari ketujuh komponen CTL dengan jelas, sehingga setiap
guru memiliki persiapan yang utuh mengenai rencana yang akan dilaksanakan dalam
membimbing kegiatan belajar-mengajar di kelas. Secara umum, tidak ada perbedaan
mendasar antara format program pembelajaran konvensional seperti yang biasa
dilakukan oleh guru-guru selama ini. Adapun yang membedakannya, terletak pada
penekanannya, di mana pada model konvensional lebih menekankan pada deskripsi
tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sementara program
pembelajaran CTL lebih menekankan pada skenario pembelajarannya, yaitu kegiatan
tahap-demi tahap yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam upaya mencapai tujuan
pembelajaran yang diharapkan. Oleh karena itu program pembelajaran kontekstual
hendaknya:
1. Nyatakan kegiatan utama pembelajarannya,
yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara
kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar.
2. Rumuskan dengan jelas tujuan umum
pembelajarannya.
3. Uraikan secara terperinci media dan
sumber pembelajaran yang akan digunakan untuk mendukung kegiatan pembelajaran
yang diharapkan.
4. Rumuskan skenario tahap demi tahap
kegiatan yang harus dilakukan siswa dalam melakukan proses pembelajarannya.
5. Rumuskan dan lakukan sistem penilaian
dengan memfokuskan pada kemampuan sebenarnya yang dimiliki oleh siswa baik pada
saat berlangsungnya (proses) maupun setelah siswa tersebut selesai belajar.
No comments:
Post a Comment