Landasan Pembelajaran Tematik
(Model Pembelajaran Tematik 3)
Landasan Pembelajaran Tematik
Setiap pelaksanaan pembelajaran di sekolah dasar, seorang guru harus mempertimbangkan
banyak faktor. Secara filosofis, kemunculan pembelajaran tematik sangat
dipengaruhi oleh tiga aliran filsafat berikut: (1) progresivisme, (2) konstruktivisme,
dan (3) humanisme.
1. Aliran
progresivisme beranggapan bahwa proses pembelajaran pada umumnya perlu
sekali ditekankan pada: (a) pembentukan kreatifitas, (b) pemberian sejumlah
kegiatan, (c) suasana yang alamiah (natural), dan (d) memperhatikan pengalaman
siswa. Dengan kata lain proses pembelajaran itu bersifat mekanistis (Ellis,
1993). Aliran ini juga memandang bahwa dalam proses belajar, siswa sering
dihadapkan pada persoalan-persoalan yang harus mendapatkan pemecahan atau
bersifat “problem
solving”. Dalam memecahkan
masalah tersebut, siswa perlu memilih dan menyusun ulang pengetahuan dan
pengalaman belajar yang telah dimilikinya. Dalam hal demikian maka terjadi
proses berpikir yang terkait dengan “metakognisi”, yaitu proses menghubungkan
pengetahuan dan pengalaman belajar dengan pengetahuan lain untuk menghasilkan
sesuatu (J. Marzano et al, 1992). Terdapatnya kesalahan atau kekeliruan dalam
proses pemecahan masalah atau sesuatu yang dihasilkan adalah sesuatu yang
wajar, karena hal itu merupakan bagian dari proses belajar.
2. Pengalaman
langsung siswa (direct experiences) Aliran
konstruktivisme menekankan
bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi atau bentukan manusia. Manusia
mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan obyek, fenomena,
pengalaman dan lingkungannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan
itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang
sesuai. Bagi konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja
dari seorang guru kepada siswa, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing
siswa. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan
sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus.
3. Aliran humanisme melihat siswa dari segi: (a)
keunikan/kekhasannya, (b) potensinya, dan (c) motivasi yang dimilikinya. Siswa
selain memiliki kesamaan juga memiliki kekhasan. Implikasi dari hal tersebut
dalam kegiatan pembelajaran yaitu: (a) layanan pembelajaran selain bersifat klasikal,
juga bersifat individual, (b) pengakuan adanya siswa yang lambat (slow learner) dan siswa yang cepat, (c) penyikapan yang
unik terhadap siswa baik yang menyangkut faktor personal/individual maupun yang
menyangkut faktor lingkungan sosial/kemasyarakatan.
Berdasarkan landasan filosofi yang telah dijelaskan diawal kita dapat pahami
bahwa secara fitrah siswa memiliki bekal atau potensi yang sama dalam upaya
memahami sesuatu. Sehingga Implikasi wawasan tersebut dalam kegiatan pembelajaran
yaitu:
1) guru bukan merupakan satu-satunya sumber informasi,
2) siswa disikapi sebagai subjek belajar yang secara kreatif mampu
menemukan pemahamannya sendiri,
3) dalam proses pembelajaran, guru lebih banyak bertindak sebagai
model, teman pendamping, pemberi motivasi, penyedia bahan pembelajaran, dan aktor
yang juga bertindak sebagai siswa (pembelajar).
Sedangkan dilihat dari motivasi dan minat, siswa memiliki ciri
tersendiri. Implikasi dari pandangan tersebut dalam kegiatan pembelajaran
yaitu:
1) isi pembelajaran harus memiliki manfaat bagi siswa secara aktual,
2) dalam kegiatan belajarnya siswa harus menyadari penguasaan isi pembelajaran
itu bagi kehidupannya, dan
3) isi pembelajaran perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan, pengalaman,
dan pengetahuan siswa.
Selain landasan filosofis di atas, pembelajaran tematik juga dilandasi
oleh beberapa pandangan psikologis. Hal ini disebabkan bahwa poses pembelajaran
itu sendiri berkaitan dengan perilaku manusia, dalam hal ini yaitu siswa. Pandangan-pandangan
psikologis yang melandasai pembelajaran tematik dapat diuraikan sebagai
berikut.
1. Pada dasarnya masing-masing siswa membangun realitasnya sendiri.
Dengan kata lain, pengalaman langsung siswa adalah kunci dari pembelajaran yang
berarti bukan pengalaman orang lain (guru) yang ditransfer melalui berbagai bentuk
media.
2. Pikiran seseorang pada dasarnya mempunyai kemampuan untuk mencari pola
dan hubungan antara gagasan-gagasan yang ada. Pembelajaran tematik memungkinkan
siswa untuk menemukan pola dan hubungan tersebut dari berbagai disiplin ilmu.
3. Pada dasarnya siswa adalah seorang individu dengan berbagai
kemampuan yang dimilikinya dan mempunyai kesempatan untuk berkembang. Dengan demikian,
peran guru bukanlah satu-satunya pihak yang paling menentukan, tetapi lebih
banyak bertindak sebagai “tut wuri handayani”.
4. Keseluruhan perkembangan anak adalah terpadu dan anak melihat
dirinya dan sekitarnya secara utuh (holistik).
Landasan praktis juga diperlukan dalam pengembangan pembelajaran tematik,
karena pada dasarnya guru harus melaksanakan pembelajaran tematik secara
aplikatif di dalam kelas. Sehubungan dengan hal ini maka dalam pelaksanaannya
pembelajaran tematik juga dilandasi landasan praktis sebagai berikut:
1. Perkembangan ilmu pengetahuan begitu cepat sehingga terlalu banyak informasi
yang harus dimuat dalam kurikulum.
2. Hampir semua pelajaran di sekolah diberikan secara terpisah satu
sama lain, padahal seharusnya saling terkait.
3. Permasalahan yang muncul dalam pembelajaran sekarang ini cenderung lebih
bersifat lintas mata pelajaran (interdisipliner) sehingga diperlukan usaha
kolaboratif antara berbagai mata pelajaran untuk memecahkannya.
4. Kesenjangan yang terjadi antara teori dan praktik dapat dipersempit
dengan pembelajaran yang dirancang secara terpadu sehingga siswa akan mampu berpikir
teoritis dan pada saat yang sama mampu berpikir praktis.
No comments:
Post a Comment