Salah satu hal penting dalam desentralisasi di Indonesia
di tahun 1999 adalah desentralisasi fiskal. Secara teori, desentralisasi fiskal
adalah pemindahan kekuasaan untuk mengumpulkan dan mengelola sumber daya
finansial dan fiskal.1 Desentralisasi fiskal dapat
dijadikan sebagai indikator mengenai berjalannya kebijakan desentralisasi.
Sejarah telah mencatat bahwa pada akhir tahun 1970- an, Indonesia melakukan desentralisasi
di bidang kesehatan namun tidak disertai dengan desentralisasi fiskal.
Akibatnya tidak terjadi pemindahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah.
Bagian ini mengkaji apakah kebijakan desentralisasi fiskal berjalan, dan
berusaha memahami prospek pembangunan kesehatan dalam era desentralisasi.
Desentralisasi dan
kegagalan menutup kesenjangan fiskal
Salah satu hal menarik sebagai dampak desentralisasi
adalah perbedaan kemampuan fiskal yang semakin besar antar propinsi dan kabupaten/kota.
Dengan adanya dana bagi hasil maka ada propinsi dan kabupaten/kota yang
mendadak menjadi kaya dalam waktu sekejap. Beberapa daerah mempunyai APBD
sekitar 2 triliun rupiah dengan penduduk yang tidak mencapai 500.000 orang.
Namun yang menarik, di sektor kesehatan setelah beberapa
tahun kemudian terjadi situasi bahwa ada kekecewaan secara nasional terhadap
proses desentralisasi.
Kekecewaan ini dapat dipahami karena memang dana kesehatan
dari DAU dan APBD ternyata jumlahnya tidak cukup untuk membiayai pelayanan
kesehatan. Keadaan ini juga terjadi di daerah kaya yang sebenarnya harus
memberikan lebih banyak untuk pelayanan kesehatan. Sektor kesehatan kekurangan
dana, sehingga menyebabkan berbagai sistem menjadi terganggu dan kehilangan koordinasi
dibandingkan sebelum desentralisasi. Departemen Kesehatan melihat hal ini
sebagai suatu hal yang membahayakan kelangsungan sistem kesehatan. Dengan
itikad baik, maka dilakukan peningkatan pembiayaan dari pusat.
No comments:
Post a Comment