Makna merupakan unsur bahasa
yang sangat dipengaruhi oleh penggunaan bahasa
oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling mengerti dan terjadi komunikasi. Menurut Djajasudarma (1993: 5), makna adalah
pertautan yang ada di antara unsur-unsur
bahasa itu sendiri (terutama kata-kata), sedangkan menurut Palmer (1976:
30), makna hanya menyangkut unsur
intrabahasa. Sementara, Lyons (1977: 204) menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu
kata adalah memahami kajian kata tersebut
yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lain.
Dalam hal ini, menyangkut makna leksikal dari katakata itu sendiri yang cenderung terdapat di dalam
kamus, sebagai leksem (dalam Djajasudarma,1993). Pengertian makna di sini dapat dibedakan dari
kata asalnya dalam bahasa Inggris, sense
dan meaning yang keduanya berarti ‘makna’ di dalam istilah semantik. Kridalaksana (1993: 132-133) memberikan
beberapa pengertian mengenai istilah makna
(meaning, linguistic meaning, sense), yaitu (1) maksud pembicara;
(2) pengaruh satuan bahasa
dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia; (3) hubungan, dalam arti kesepadanan antara
bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara
ujaran dan semua hal yang ditunjuknya; (4) cara menggunakan
lambang-lambang bahasa.
Dari pengertian-pengertian tersebut, jelas bahwa makna
bahasa merupakan aspek terjadinya
komunikasi di antara para penutur bahasa. Seperti dijelaskan pada pengertian ketiga, makna merupakan penghubung antara
bahasa dengan alam di luar bahasa, atau antara
ujaran dengan semua hal yang ditunjuknya, sesuai dengan kesepakatan para pemakai bahasa sehingga dapat saling mengerti
dan terjadi komunikasi. Dengan demikian,
makna memiliki tiga tingkat keberadaan dalam satuan kebahasaan. Pertama, makna menjadi isi
dari suatu bentuk kebahasaan. Kedua, makna menjadi isi dari suatu kebahasaan. Dan ketiga,
makna menjadi isi komunikasi yang mampu
membuahkan informasi tertentu. Dari ketiga tingkatan makna tersebut dapat dijelaskan bahwa tingkat pertama dan kedua,
makna dilihat dari segi hubungannya dengan
penutur, sedangkan pada tingkat ketiga lebih ditekankan pada hubungan makna di dalam komunikasi.
Seperti yang digambarkan Samsuri (1994) dengan sebuah
garis hubungan ketiga tingkatan
keberadaan makna, yaitu:
makna ==========ungkapan=========
makna
Mempelajari makna pada hakikatnya berarti bagaimana
setiap pemakai bahasa dalam suatu
masyarakat bahasa dapat saling mengerti. Dalam hal ini, untuk menyusun sebuah kalimat yang dapat dimengerti,
sebagian pemakai bahasa dituntut agar mentaati
kaidah gramatikal, sebagian lagi tunduk pada kaidah pilihan kata menurut
sistem leksikal yang berlaku di dalam
suatu bahasa. Begitu juga makna sebuah kalimat sering tidak bergantung pada sistem gramatikal dan
leksikal saja, tetapi bergantung pada kaidah
wacana.
Makna
sebuah kalimat yang baik pilihan katanya dan susunan gramatikalnya sering tidak dapat dipahami tanpa
memperhatikan hubungannya dengan kalimat lain
dalam sebuah wacana. Menurut
teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang
dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Tanda linguistik atau tanda bahasa sendiri
terdiri dari dua komponen, yaitu komponen
signifian atau ‘yang mengartikan’ yang wujudnya berupa runtunan
bunyi, dan komponen signifie atau
‘yang diartikan’ yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian). Di sini, kalau
tanda-linguistik itu disamakan identitasnya dengan kata atau leksem, maka berarti makna adalah pengertian
atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata
atau leksem; kalau tanda-linguistik itu disamakan identitasnya dengan
morfem, maka berarti makna itu adalah
pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik yang disebut morfem dasar maupun morfem
afiks. Kridalaksana (1989), menyatakan setiap
tanda bahasa (yang disebutnya penanda) tentu mengacu pada sesuatu yang ditandai (yang disebut petanda).
Download Isi Lengkap dari Makalah Ini :
No comments:
Post a Comment