Karakteristik
Anak Taman Kanak-kanak
Karakteristik Anak Taman Kanak-kanak ----- Batasan
tentang masa anak cukup bervariasi. Dalam pandangan mutakhir yang lajim dianut
di negara maju, istilah anak usia dini (early childhood) adalah anak
yang berkisar antara usia 0 - 8 tahun. Bila dilihat dari jenjang pendidikan
yang berlaku di Indonesia, maka yang termasuk dalam kelompok anak usia dini
adalah anak usia SD kelas rendah (kelas 1-3), Taman Kanak-kanak (kindergarten),
kelompok bermain (play group) dan anak masa sebelumnya (masa bayi). Masa
Taman Kanak-kanak dalam hal ini dipandang sebagai masa anak usia 4 - 6 tahun.
Pandangan para ahli pendidikan tentang anak
cenderung berubah dari waktu ke waktu, dan berbeda satu sama lain sesuai dengan
landasan teori yang digunakannya. Ada yang memandang anak sebagai makhluk yang
sudah terbentuk oleh bawaannya, atau memandang anak sebagai makhluk yang
dibentuk oleh lingkungannya. Ada ahli lain yang menganggap anak Taman Kanak-kanak sebagai
miniatur orang dewasa, dan ada pula yang memandang anak sebagai individu yang
berbeda total dari orang dewasa.
Beberapa ahli dalam bidang pendidikan dan
psikologi memandang periode usia dini merupakan periode yang penting yang perlu
mendapat penanganan sedini mungkin karena memiliki . Maria Montessori (Elizabeth B. Hurlock,
1978 : 13) berpendapat bahwa usia 3 - 6 tahun merupakan periode sensitif atau
masa peka pada anak, yaitu suatu periode dimana suatu fungsi tertentu perlu
dirangsang, diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya. Misalnya masa
peka untuk berbicara pada periode ini tidak terpenuhi maka anak akan mengalami
kesukaran dalam berbahasa untuk periode selanjutnya.
Satu ilustrasi tentang kemampuan bicara anak
dapat diamati dalam contoh berikut ini. “Adi seorang anak berusia 3 tahun 1
bulan mengajak ibunya untuk bermain dengan mengucapkan “Ma, men bitinton yu!”.
Sebenarnya Adi mengajak ibunya untuk bermain batminton, tetapi Adi belum dapat
mengungkapkannya secara jelas.
Masa-masa sensitif anak pada usia ini mencakup
sensitif terhadap keteraturan lingkungan, mengeksplorasi lingkungan dengan
lidah dan tangan, sensitif untuk berjalan, sensitif terhadap obyek-obyek kecil
dan detail, serta terhadap aspek-aspek sosial kehidupan.
Ilustrasi lain yang menggambarkan bagaimana
anak mengeksplorasi lingkungan dapat disimak dalam contoh berikut ini. “Linda
seorang anak berusia 3,5 tahun sedang bersama ibunya di dapur. Saat itu ibunya
akan mengupas buah semangka dan buah melon. Diamatinya buah tersebut dan
disentuh serta dirabanya buah-buah tersebut. Setelah ibunya selesai mengupas,
Linda mencoba memakan buah tersebut”. Dari ilustrasi di atas, dapat diamati
bahwa Linda berusaha memahami bentuk buah-buahan tersebut dengan cara melihat
dan merabanya dan kemudian mencoba mengetahui rasa buah tersebut dengan
memakannya.
Pada periode ini selain anak perlu mendapatkan
rangsangan dalam mengembangkan kemampuannya, anak perlu mendapat pembinaan
karakter yang dapat dibangun melalui kegiatan dan pekerjaan. Jika pada periode
ini anak tidak didorong aktivitasnya, maka perkembangan kepribadiannya akan
mengalami hambatan. Misalnya anak diajak untuk membereskan mainannya sendiri.
Aktivitas ini akan menjadi suatu kebiasaan yang dapat membentuk sifat rajin dan
disiplin pada diri anak.
Erik H. Erikson (Helms & Turner, 1994 :
64) memandang periode usia 4-6 tahun sebagai fase sense of initiative.
Pada periode ini anak harus didorong untuk mengembangkan prakarsa, seperti
kesenangan untuk mengajukan pertanyaan dari apa yang dilihat, didengar dan
dirasakan. Jika anak tidak mendapat hambatan dari lingkungannya, maka anak akan
mampu mengembangkan prakarsa, dan daya kreatifnya, dan hal-hal yang produktif
dalam bidang yang disenanginya. Guru yang selalu menolong, memberi nasehat, dan
membantu mengerjakan sesuatu padahal anak dapat melakukannya sendiri, menurut
Erikson dapat membuat anak tidak mendapatkan kesempatan untuk berbuat kesalahan
atau belajar dari kesalahan itu. Pada fase ini terjamin tidaknya kesempatan
untuk berprakarsa (dengan adanya kepercayaan dan kemandirian yang
memungkinkannya untuk berprakarsa), akan menumbuhkan kemampuan untuk
berprakarsa. Sebaliknya kalau terlalu banyak dilarang dan ditegur, anak akan
diliputi perasaan serba salah dan berdosa (guilty).
Contoh yang dapat diamati dari kehidupan
sehari-hari anak, dimana anak mencoba untuk berprakarsa dapat disimak dalam
contoh berikut ini. “Anita seorang anak berusia 4 tahun pada dasarnya cukup
cerdas dan selalu ingin tahu tentang sesuatu. Ketika ia membuka lemari es, ia
melihat botol minumannya kosong. Anita segera membawa botol tersebut ke dapur
dan mencoba menuangkan air ke dalam botol namun airnya tumpah. Ibunya melihat
aktivitas anaknya dan memberi kesempatan untuk mencobanya. Anita tidak putus
asa dan mencoba lagi. Sekarang Anita menggunakan bantuan alat (corong) untuk
menuangkan air tersebut ke dalam botol, dan akhirnya berhasil”.
Dari peristiwa di atas dapat difahami bahwa
bila lingkungan mendukung proses berprakarsa, maka anak dapat melaksanakan dan
membuktikan prakarsanya dengan senang hati. Sebaliknya, bila lingkungan tidak
memberikan dukungan maka prakarsa itu tidak dapat terwujud dan cenderung
membuat anak tidak mau mencobanya lagi. Menurut Froebel (Roopnaire, J.L &
Johnson, J.E., 1993 : 56) masa anak merupakan suatu fase yang sangat penting
dan berharga, dan merupakan masa pembentukan dalam periode kehidupan manusia (a
noble and malleable phase of human life). Oleh karenanya masa anak sering
dipandang sebagai masa emas (golden age) bagi penyelenggaraan
pendidikan. Masa anak merupakan fase yang sangat fundamental bagi perkembangan
individu karena pada fase inilah terjadinya peluang yang sangat besar untuk
pembentukan dan pengembangan pribadi seseorang. Menurut Froebel, jika orang
dewasa mampu menyediakan suatu “taman” yang dirancang sesuai dengan potensi dan
bawaan anak, maka anak akan berkembang secara wajar.
Maria Montessori (Solehuddin, 1997 : 27)
seorang tokoh inovasi pendidikan di Eropa pada abad 20 memandang bahwa anak
merupakan suatu kutub tersendiri dari dunia kehidupan manusia. Kehidupan anak
dan orang dewasa dipandang sebagai dua kutub yang saling berpengaruh satu sama
lain. Kualitas pengalaman kehidupan anak akan mempengaruhi pola perilaku dan kehidupannya
di masa dewasa. Sebaliknya pola kehidupan dan perlakuan orang dewasa terhadap
anak akan mempengaruhi pola perkembangan yang dialami anak. Montessori
menganggap bahwa pendidikan adalah suatu upaya membantu perkembangan anak
secara menyeluruh dan bukan sekedar kegiatan mengajar. Menurutnya, spirit
kemanusiaan berkembang melalui interaksi dengan lingkungannya. Montessori juga
mengemukakan bahwa secara bawaan anak sudah memiliki suatu pola perkembangan
psikis. Pola perkembangan psikis ini merupakan embrio spiritual yang akan
mengarahkan perkembangan psikis anak. Pola perkembangan psikis ini tidak
teramati pada saat lahir, namun akan terungkap melalui proses perkembangan yang
dijalani anak. Selain dari itu, anak juga memiliki motif yang kuat ke arah
pembentukan diri (self-construction), dengan dorongan ini anak secara
spontan berupaya mengembangkan dan membentuk dirinya melalui pemahaman terhadap
lingkungannya.
Pengembangan pola perkembangan psikis perlu
dilakukan sejak kecil melalui pengalaman-pengalaman interaksional pendidikan.
Kondisi yang diperlukan untuk perkembangan ini adalah : pertama, adanya
interaksi yang terpadu antara anak dengan lingkungannya (baik benda maupun
orang), dan kedua, adanya kebebasan bagi anak.
Selain konsep pembentukan diri (self-construction),
menurut Montessori dalam perkembangan anak terdapat masa-masa sensitif, yaitu
suatu masa yang ditandai dengan begitu tertariknya anak terhadap suatu objek
atau karakteristik tertentu dan cenderung mengabaikan objek-objek yang lain.
Juga menurut Montessori, dalam jiwa anak terdapat jiwa penyerap (absorbent
mind) yaitu gejala psikis yang memungkinkan anak membangun pengetahuannya
dengan cara menyerap sesuatu dari lingkungannnya dan menggabungkan pengetahuan
yang diperolehnya secara langsung ke dalam kehidupan psikisnya.
Menurut pandangan konstruktivis yang dimotori
Jean Piaget dan Lev Vygotsky, anak bersifat aktif dan memiliki kemampuan untuk
membangun pengetahuannya. Secara mental anak mengkonstruksi pengetahuannya
melalui refleksi terhadap pengalamannya. Anak memperoleh pengetahuan bukan
dengan cara menerima secara pasif dari orang lain, melainkan dengan cara
membangunnya sendiri secara aktif melalui interaksi dengan lingkungannya. Anak
adalah makhluk belajar aktif yang dapat mengkreasi dan membangun
pengetahuannya.
Anak usia Taman Kanak-kanak adalah sosok
individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan yang sangat pesat dan
sangat fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Anak memiliki dunia dan
karakteristik tersendiri yang jauh berbeda dari dunia dan karakteristik orang
dewasa. Anak sangat aktif, dinamis, antusias dan hampir selalu ingin tahu
terhadap apa yang dilihat dan didengarnya, seolah-olah tak pernah berhenti
untuk belajar.
Kartini Kartono (1986 : 113) mengungkapkan
ciri khas atau karakteristik anak masa kanak-kanak sebagai berikut :
1.
Anak Taman Kanak-kanak Bersifat egosentris
naïf
Karakteristik anak masa kanak-kanak yang pertama yaitu egosentris naïf memandang dunia luar dari pandangannya sendiri,
sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannya sendiri, dibatasi oleh perasaan dan
pikirannya yang masih sempit. Anak sangat terpengaruh oleh akalnya yang masih
sederhana sehingga tidak mampu menyelami perasaan dan pikiran orang lain. Anak
belum memahami arti sebenarnya dari suatu peristiwa dan belum mampu menempatkan
diri ke dalam kehidupan atau pikiran orang lain. Anak sangat terikat pada
dirinya sendiri. Ia menganggap bahwa pribadinya adalah satu dan terpadu erat
dengan lingkungannya, ia belum mampu memisahkan dirinya dari lingkungannya.
Sikap
egosentris yang naif ini bersifat temporer atau sementara, dan senantiasa dialami
oleh setiap anak dalam proses perkembangannya.Anak belum dapat memahami bahwa
suatu peristiwa tertentu bagi orang lain mempunyai arti yang berbeda, yang lain
dengan pengertian anak tersebut.
Contoh
sikap egosentris pada anak dapat disimak dalam ilustrasi berikut: “Deni anak
berusia 3 tahun bermain bola dengan temannya yang seusia. Satu waktu mereka
berebut bola dan saling memukul, akhirnya temannya menangis. Hal ini terjadi
karena Deni tidak mau memberikan mainan tersebut pada temannya. Ibunya mencoba
menengahi sikap Deni dengan memberi mainan bola lainnya, dengan harapan mereka
bermain sendiri-sendiri. Tapi ternyata Deni malah menangis dan menginginkan dua
bola itu dimainkannya sendiri”.
Dari ilustrasi di atas, tampak bahwa anak
seusia Deni masih memandang segala sesuatu dari pikiran dan keinginan dirinya,
ia belum tahu bahwa orang lain memiliki pandangan dan keinginan yang berbeda,
yang ia tahu bahwa keinginannya harus terpenuhi.
2.
Anak Taman Kanak-kanak memiliki Relasi sosial yang
primitif
Karakteristik anak masa kanak-kanak yang kedua yaitu Relasi sosial yang
primitif, merupakan akibat dari sifat egosentris yang naif. Ciri ini ditandai
oleh kehidupan anak yang belum dapat memisahkan antara keadaan dirinya dengan
keadaan lingkungan sosial sekitarnya. Artinya anak belum dapat membedakan
antara kondisi dirinya dengan kondisi orang lain atau anak lain di luar
dirinya. Anak pada masa ini hanya memiliki minat terhadap benda-benda dan peristiwa
yang sesuai dengan daya fantasinya. Dengan kata lain anak membangun dunianya
dengan khayalan dan keinginannya sendiri.
Relasi sosial anak dengan lingkungannya masih
sangat longgar, hal ini disebabkan karena anak belum dapat menghayati kedudukan
diri sendiri dalam lingkungannya. Anak belum sadar dan mengerti adanya orang
lain dan benda lain di luar dirinya yang sifatnya berbeda dengan dia. Anak
berkeyakinan bahwa orang lain menghayati dan merasakan suatu peristiwa sama
halnya dengan penghayatannya sendiri.
Ilustrasi tentang relasi sosial anak nampak
dalam contoh berikut ini. “Ani belajar di taman kanak-kanak kelompok A. Setiap
hari Ani membawa bekal makanan. Satu waktu teman sebelah Ani menangis karena
tidak membawa bekal makanan, tapi Ani dengan enaknya memakan bekalnya dan tidak
mempedulikan bahwa teman di sampingnya tidak membawa bekal makanan. Guru
melihat kondisi itu, akhirnya mengajak anak-anak untuk mau membagi bekal
makanannya kepada teman yang tidak membawa bekal”.
Dari ilustrasi di atas dapat difahami bahwa
pada dasarnya anak belum memiliki pemahaman bahwa orang lain berbeda dengan
dirinya. Anak masih menganggap bahwa orang lain sama dengan dirinya. Pada masa
ini anak perlu diajari bagaimana memahami kondisi orang lain dan mau berbagi
dengan orang lain.
3.
Anak Taman Kanak-kanak memiliki Kesatuan jasmani dan
rohani yang hampir tidak terpisahkan.
Karakteristik anak masa kanak-kanak yang ketiga yaitu memiliki Kesatuan jasmani dan rohani yang hampir tidak terpisahkan. Dunia lahiriah dan
batiniah anak belum dapat dipisahkan, anak belum dapat membedakan keduanya. Isi
lahiriah dan batiniah masih merupakan kesatuan yang utuh. Penghayatan anak
terhadap sesuatu dikeluarkan atau diekspresikan secara bebas, spontan, dan
jujur baik dalam mimik, tingkah laku maupun bahasanya. Anak tidak dapat
berbohong atau bertingkah laku pura-pura, anak mengekspresikannya secara
terbuka.
Ilustrasi tentang kesatuan jasmani dan rohani
anak dapat disimak dalam contoh berikut ini. “Aulia seorang anak berusia 4
tahun sedang bermain dengan temannya, tiba-tiba temannya berbuat licik dan
Aulia menangis. Aulia menangis tidak hanya mengeluarkan air mata namun juga
mengeluarkan suara yang keras, dan anggota tubuhnya berguncang-guncang
digerakkan oleh suasana hati yang tidak menyenangkan”.
Ekspresi rasa kekesalan atau ketidaksenangan
anak seperti Aulia ditunjukkan tidak hanya dengan mengeluarkan air mata sebagai
tanda menangis, tapi anak seusia Aulia menunjukkannya dengan mengungkapkan
kata-kata tidak senang dengan nada yang keras dan menggerak-gerakkan anggota
tubuhnya yang lain. Ekspresi ini merupakan wujud masih bersatunya jasmani dan
rohani anak. Anak belum dapat menunjukkan ketidaksenangannya hanya dengan
menangis atau mengungkapkannya dengan kata-kata.
4.
Anak Taman Kanak-kanak memiliki Sikap hidup yang
fisiognomis.
Karakteristik anak masa kanak-kanak yang ketiga yaitu Anak
bersikap fisiognomis terhadap dunianya, artinya secara langsung anak memberikan
atribut/sifat lahiriah atau sifat konkrit, nyata terhadap apa yang dihayatinya.
Kondisi ini disebabkan karena pemahaman anak terhadap apa yang dihadapinya
masih bersifat menyatu (totaliter) antara jasmani dan rohani. Anak belum dapat
membedakan antara benda hidup dan benda mati. Segala sesuatu yang ada di
sekitarnya dianggap memiliki jiwa yang merupakan makhluk hidup yang memiliki
jasmani dan rohani sekaligus, seperti dirinya sendiri. Oleh karena itu anak
pada usia ini sering bercakap-cakap dengan binatang, boneka dan sebagainya. Ilustrasi
tentang sikap fisiognomis pada anak dapat disimak dalam contoh berikut ini.
“Ayu anak berusia 4,5 tahun sedang bermain boneka di teras rumahnya. Ia memegang-megang
badan dan kening boneka itu sambil berkata “Kamu kenapa, kok badannya panas.
Kamu sakit ya?”., saya kasih obat ya biar sembuh”. Contoh di atas menggambarkan
bahwa anak menganggap boneka mainannya merupakan benda hidup yang dapat sakit
seperti dirinya. Sikap Ayu seperti ini menunjukkan bahwa Ayu masih bersifat
fisiognomis.
No comments:
Post a Comment