Permasalahan
Perkembangan Anak Taman Kanak-kanak
Setiap anak memiliki
karakteristik perkembangan yang berbeda-beda. Pemahaman terhadap anak perlu
berangkat dari pemahaman pada setiap anak dengan berbagai karakteristiknya.
Selama proses perkembangan, tidak menutup kemungkinan anak menghadapi berbagai
masalah yang akan menghambat proses perkembangan berikutnya. Permasalahan yang
dihadapi anak dapat dilihat melalui tingkah laku anak pada saat mengikuti
proses pembelajaran di kelas atau pada saat anak bermain. Adapun permasalahan
perkembangan yang dihadapi anak Taman Kanak-kanak diantaranya yaitu :
1.
Fisik-motorik
Pertumbuhan fisik pada setiap anak tidak selalu
sama, ada beberapa anak yang mengalami pertumbuhan secara cepat, tetapi ada
pula yang mengalami keterlambatan. Pada masa kanak-kanak, pertumbuhan tinggi
badan dan berat badan relatif seimbang, tetapi secara bertahap tubuh anak akan
mengalami perubahan. Bilamana di masa bayi anak memiliki penampilan yang gemuk
maka secara perlahan-lahan tubuhnya berubah menjadi lebih langsing, sedangkan
kaki dan tangannya mulai memanjang. Ukuran kepalanya masih tetap besar jika
dibandingkan dengan tubuhnya, namun pada akhir masa kanak-kanak ukuran
kepalanya tidak lagi terlalu besar jika dibandingkan dengan tubuhnya. Selain
berubahnya berat dan tinggi badan, anak juga mengalami perubahan fisik secara
proporsional.
Pada masa kanak-kanak, anak mengalami perubahan
fisik menuju proporsi tubuh yang lebih serasi, walaupun tidak seluruh bagian
tubuh dapat mencapai proporsi kematangan dalam waktu yang bersamaan. Perubahan
proporsi tubuh mempunyai irama pertumbuhan sendiri, ada yang tumbuh cepat dan
ada pula yang lambat, namun semuanya akan mencapai taraf kematangan ukuran
tepat pada saatnya. Pola perubahan yang cenderung berbeda pada setiap anak
menyebabkan pertumbuhan fisik anak-anak tampak berbeda satu sama lain. Misalnya
ada beberapa anak yang memiliki kepala terlihat seperti lebih besar dari
badannya, sedangkan yang lain justru seolah-olah mempunyai kepala yang terlalu
kecil, ada tungkai kakinya yang panjang, tapi ada pula yang pendek. Perubahan
fisik dan perubahan proporsi tubuh anak yang terjadi pada masa pertumbuhan,
akan mempengaruhi bagaimana anak ini memandang dirinya dan bagaimana dia
memandang orang lain.
Hal ini akan tercermin dari pola penyesuaian diri
anak. Seorang anak misalnya, yang terlalu gemuk akan mulai menyadari bahwa dia
tidak dapat mengikuti permainan yang dilakukan oleh teman sebayanya, karena
setiap aturan permainan tidak dapat dipatuhinya atau karena secara fisik anak
selalu kalah dalam permainan. Di pihak lain, temantemannya akan menganggap anak
gemuk itu terlalu lamban dan tidak perlu diajak bermain lagi. Kondisi ini akan
menimbulkan perasaan tidak mampu dan tidak disenangi teman-temannya, sehingga
dapat mempengaruhi pembentukan konsep dirinya, pada akhirnya akan mempengaruhi
perkembangan kepribadian anak.
Pertumbuhan fisik yang dialami anak akan
mempengaruhi proses perkembangan motoriknya. Perkembangan motorik berarti
perkembangan pengendalian jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf
dan otot-otot yang terkoordinasi. Sebagian besar waktu anak dihabiskan dengan
bergerak dan kegiatan bergerak ini akan sangat menggunakan otot-otot yang ada
pada tubuhnya. Gerakan yang banyak menggunakan otot-otot kasar disebut motorik
kasar (gross motor) yang digunakan untuk melakukan aktivitas berlari,
memanjat, melompat atau melempar. Sementara gerak yang menggunakan otot-otot
halus yang disebut motorik halus (fine motor) cenderung hanya digunakan
untuk aktivitas menggambar, meronce, menggunting, menempel atau melipat. Berbagai
kemampuan yang dimiliki anak dalam menggunakan otot-otot fisiknya baik otot
halus maupun otot kasar dapat menimbulkan rasa percaya diri pada anak bahwa
anak mampu menguasai keterampilan-keterampilan motorik.
Keterampilan motorik yang berbeda memainkan peran
yang berbeda dalam penyesuaian sosial dan pribadi anak. karena keterampilan
motorik ini memiliki dua fungsi, pertama, membantu anak untuk memperoleh
kemandiriannya, dan kedua, untuk membantu mendapatkan penerimaan sosial.
Untuk mencapai kemandirian, anak harus mempu mempelajari dan menguasai keterampilan
motorik yang memungkinkan anak mampu melakukan segala sesuatu bagi dirinya
sendiri. Keterampilan ini meliputi keterampilan makan, memakai baju, mandi, dan
merawat diri sendiri. Untuk mendapatkan penerimaan sosial, anak dituntut untuk
mampu melakukan berbagai keterampilan seperti membantu pekerjaan rumah atau
pekerjaan sekolah, menguasai keterampilan-keterampilan sekolah seperti
menggambar, melukis, menari, meronce atau anak juga mampu melakukan ketermpilan
yang berkaitan dengan aktivitas bermain bola, memanjat atau melempar. Berbagai
keterampilan motorik di atas, selayaknya dikuasai anak pada masa kanak-kanak,
karena pada diri anak akan terbentuk rasa percaya diri, memiliki sifat mandiri
dan mendapatkan penerimaan dari teman-teman sebayanya. Sebaliknya bila anak
tidak mampu menguasai keterampilan motorik tersebut, anak cenderung akan merasa
putus asa, tidak percaya diri, merasa diri tidak bisa melakukan apa-apa yang pada
akhirnya dapat terbentuk penyesuaian sosial dan pribadi yang buruk.
2. Intelektual.
2.
Intelektual
merupakan salah satu aspek yang harus dikembangkan pada anak. Intelektual
sering kali disinonimkan dengan kognitif, karena proses intelektual banyak berhubungan
dengan berbagai konsep yang telah dimiliki anak dan berkenaan dengan bagaimana
anak menggunakan kemampuan berfikirnya dalam memecahkan suatu persoalan.
2.
Dalam kehidupannya mungkin saja anak akan dihadapkan kepada persoalanpersoalan yang
menuntut adanya pemecahan. Menyelesaikan suatu persoalan merupakan langkah yang
lebih kompleks pada diri anak taman kanak-kanak. Sebelum anak mampu
menyelesaikan persoalan, anak perlu memiliki kemampuan untuk mencari cara
penyelesaiannya. .
2. Anak taman kanak-kanak adalah anak yang
memiliki rasa ingin tahu yang besar. Seringkali anak melakukan upaya
mencoba-coba (trial and error) untuk menyelesaikan suatu persoalan.
Misalnya Lina anak berusia 5 tahun ingin mengambil mainan yang terletak di atas
lemari. Lina mencoba mengambil dengan tangannya, tapi tidak berhasil. Lina
mencoba lagi dengan mengacungkan tangan sambil melompatlompat, tapi juga tidak
berhasil. Lina kemudian mengambil kursi, mendekatkan kursi tersebut pada lemari
dan Lina naik ke atas kursi itu untuk mengambil mainannya, dan ternyata
berhasil. Dari contoh perilaku Lina ini, dapat difahami bahwa anak kadangkala
mencoba sesuatu untuk menyelesaikan persoalannya, Lina dalam kasus di atas
menggunakan kemampuan berfikirnya. .
2. Menurut Vygotsky, kemampuan kognitif anak
terbagi atas kemampuan memperhatikan, mengamati, mengingat dan berfikir
konvergen. Kemampuan memperhatikan pada anak diawali dengan keberfungsian panca
indera anak. Anak memperhatikan sesuatu obyek yang nyata dengan menggunakan
mata dan telinganya. Misalnya perhatian anak terfokus pada kucing yang ada di
halaman rumahnya. Anak melihat bagaimana bentuk dan gerak-gerik kucing dan
bagaimana bunyi suara kucing tersebut. Kemampuan mengamati lebih mendalam dari
kemampuan memperhatikan. Dalam mengembangkan kemampuan ini anak menggunakan
seluruh panca inderanya, dan obyeknya hadir dihadapan anak. Misal, seorang anak
ingin mengetahui tentang suatu makanan. Dengan panca inderanya anak
memperhatikan bentuk makanan, dicium (dibaui), dipegang/diraba dan mungkin
dimakannya. Dari proses memperhatikan dan mengamati terjadi banjir
informasi/pengetahuan pada diri anak. Informasi-informasi itu anak simpan dalam
otak/memorinya sebagai suatu pengetahuan yang dimiliki. .
2. Kemampuan mengingat pada anak merupakan suatu
aktivitas kognitif dimana anak menyadari bahwa pengetahuan itu berasal dari
kesan-kesan atau pengalaman yang diperoleh pada masa lampau. Dalam proses
mengingat, anak berhubungan dengan berbagai informasi/pengetahuan yang sudah
dimilikinya dan secara langsung anak tidak berhadapan dengan obyeknya. Misalnya
anak diminta untuk menyebutkan bagaimana bentuk dan rasanya buah pisang. Ketika
anak dihadapkan pada persoalan itu maka anak akan mencoba mengingat atau
mengeluarkan informasi/pengetahuan dalam memorinya tentang bentuk dan rasa buah
pisang. Bila sebelumnya anak tidak tahu atau tidak mendapatkan
informasi/pengetahuan tentang buah pisang maka anak tidak dapat menjawab
persoalan yang diberikan padanya. Sebaliknya bila anak sudah memiliki
informasi/pengetahuan tentang buah pisang, maka anak dapat menyelesaikan
persoalan. .
2. Kemampuan berfikir konvergen merupakan
kemampuan yang menggunakan informasi yang telah diperoleh dan disimpan untuk
menemukan satu jawaban yang benar. Pada saat berfikir anak dihadapkan pada
obyek-obyek yang diwakili dengan kesadaran, artinya tidak secara langsung
berhadapan dengan obyek secara fisik seperti sedang mengamati sesuatu ketika ia
melihat, meraba atau mendengar. Persoalan tentang bentuk dan rasa buah pisang
yang dikemukakan di atas akan dapat dijawab anak dengan benar bilamana anak
sudah memiliki informasi /pengetahuan tentang buah pisang secara benar pula.
Kemampuan berfikir konvergen lebih terarah untuk dapat menyelesaikan suatu
permasalahan dengan satu jawaban yang benar/tepat. .
2. Faktor kognitif mempunyai peranan penting
bagi keberhasilan anak dalam belajar, karena sebagian besar aktivitas dalam
belajar selalu berhubungan dengan masalah mengingat dan berfikir. Kedua hal ini
merupakan aktivitas kognitif yang perlu dikembangkan. .
2. Perkembangan struktur kognitif berlangsung
menurut urutan yang sama bagi semua anak. Setiap anak akan mengalami dan
melewati setiap tahapan itu, sekalipun kecepatan perkembangan dari
tahapan-tahapan tersebut dilewati secara relatif dan ditentukan oleh banyak
faktor seperti : kematangan psikis, struktur syaraf, dan lamanya pengalaman
yang dilewati pada setiap tahapan perkembangan. Mekanisme utama yang
memungkinkan anak maju dari satu tahap pemungsian kognitif ke tahap berikutnya
oleh Piaget disebut asimilasi, akomodasi dan ekuilibrium. Piaget sebagai tokoh
Psikologi Kognitif, memandang anak sebagai partisipan aktif di dalam proses
perkembangan. Piaget menyakini bahwa anak harus dipandang seperti seorang
ilmuwan yang sedang mencari jawaban dalam upaya melakukan eksperimen terhadap
dunia untuk melihat apa yang terjadi. Misalnya anak ingin tahu apa yang terjadi
bila anak mendorong piring keluar dari meja. Hasil dari eksperimen miniatur
anak menyebabkan anak menyusun “teori”. Piaget menyebutnya teori itu sebagai “skema”
(bila jamak disebut skemata) tentang bagaimana dunia fisik dan sosial
beroperasi. .
2. Anak membangun skema berdasarkan eksperimen
yang dilakukannya. Saat anak menemukan benda atau peristiwa baru, anak berupaya
untuk memahaminya berdasarkan skema yang telah dimilikinya. Piaget menyebut hal
itu sebagai proses asimilasi. .
2. Asimilasi merupakan proses dimana stimulus
baru dari lingkungan diintegrasikan pada skema yang telah ada. Proses ini dapat
diartikan sebagai suatu obyek atau ide baru ditafsirkan sehubungan dengan
gagasan atau teori yang telah diperoleh anak. Asimilasi tidak menghasilkan
perkembangan atau skemata, melainkan hanya menunjang pertumbuhan skemata. .
2. Ilustrasi tentang asimilasi pada anak dapat
disimak berikut ini. Kepada seorang anak diperlihatkan suatu benda yang
berbentuk persegi empat sama sisi. Setelah itu diperlihatkan persegi panjang.
Asimilasi terjadi apabila anak menjawab persegi panjang adalah persegi empat
sama sisi. Persegi panjang diasimilasikan oleh anak dengam persegi empat sama
sisi. Jawaban seperti ini terjadi karena bentuk persegi empat sama sisi sudah
dikenal anak lebih awal daripada persegi panjang. Menurut Piaget, jika skema
lama tidak tepat untuk mengakomodasi peristiwa baru, maka anak seperti layaknya
seorang ilmuwan yang baik akan memodifikasi skema dan memperluas teorinya
tentang dunia. Piaget menyebut proses revisi skema ini sebagai akomodasi.
(Piaget & Inhelder, 1969 dalam Rita L. Atkinson, tt : 145). Akomodasi
merupakan proses yang terjadi apabila berhadapan dengan stimulus baru. Anak
mencoba mengasimilasikan stimulus baru itu tetapi tidak dapat dilakukan karena
tidak ada skema yang cocok. Dalam keadaan seperti ini anak akan menciptakan
skema baru atau mengubah skema yang sudah ada sehingga cocok dengan stimulus
tersebut. Akomodasi dapat dikatakan sebagai proses pembentukan skema baru atau
perubahan skema yang telah ada, seperti contoh di atas dimana persegi empat
dilihat sebagaimana adanya persegi empat. .
2. Asimilasi dan akomodasi berlangsung terus
sepanjang hidup. Jika anak selalu mengasimilasi stimulus tanpa pernah
mengakomodasikan, ada kecenderungan ia memiliki skema yang sangat besar,
sehingga ia tidak mampu mendeteksi perbedaanperbedaan diantara stimulus yang
mirip. Sebaliknya jika anak selalu mengakomodasi stimulus dan tidak pernah
mengasimilasikannya, ada kecenderungan ia tidak pernah dapat mendeteksi
persamaan dari stimulus untuk membuat generalisasi. Oleh karenanya harus
terjadi keseimbangan antara proses asimilasi dan akomodasi yang disebut sebagai
equlibrium. .
2. Para ahli psikologi perkembangan mengakui
bahwa pertumbuhan itu berlangsung secara terus menerus dan mengikuti suatu
tahapan perkembangan. Piaget melukiskan urutan perkembangan kognitif ke dalam
empat tahap yang berbeda secara kualitatif yaitu : (1) tahap sensorimotorik,
(2) tahap praoperasional, (3) tahap operasional konkrit dan (4) tahap
operasional formal. Dari setiap tahapan itu urutannya tidak berubah-ubah. Semua
anak akan melalui ke empat tahapan tersebut dengan urutan yang sama. Hal ini
terjadi karena masing-masing tahapan berasal dari pencapaian tahap sebelumnya.
Tetapi sekalipun urutan kemunculan itu tidak berubahubah, tidak menutup
kemungkinan adanya percepatan untuk melewati tahap-tahap itu secara lebih dini
di satu sisi dan terhambat di sisi lainnya. .
2. a. Tahap
Sensorimotorik (lahir – 2 tahun) .
2.
Tahap pertama ini dikatakan tahap
sensorimotorik karena pada masa ini terjadi saling keterkaitan yang sangat erat
antara aktivitas motorik dengan persepsi pada bayi. Selama masa ini, bayi sibuk
menemukan hubungan antara tindakan mereka dengan konsekuensi dari tindakan
tersebut. Hal ini terjadi pada usia lahir sampai 2 tahun, mulai pada masa bayi
ketika ia menggunakan pengindraan dan aktivitas motorik dalam mengenal
lingkungannya. Pada masa ini biasanya keberadaan bayi masih terikat kepada
orang lain bahkan tidak berdaya, akan tetapi alat-alat inderanya sudah dapat
berfungsi. .
2. Tindakan bayi berawal dari respon refleks,
kemudian berkembang membentuk representasi mental. Anak dapat menirukan
tindakan masa lalu orang lain, dan merancang kesadaran baru untuk memecahkan
masalah dengan menggabungkan secara mental skema dan pengetahuan yang diperoleh
sebelumnya. Dalam periode singkat antara 18 bulan atau 2 tahun, anak telah
mengubah dirinya dari suatu organisme yang bergantung hampir sepenuhnya kepada
refleks dan perlengkapan heriditer lainnya menjadi pribadi yang cakap dalam
berfikir simbolik. Menurut Piaget, perkembangan kognitif selama stadium
sensorimotor, intelegensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik
sebagai reaksi stimulus sensorik. Dalam stadium ini yang penting adalah
tindakan-tindakan konkrit dan bukan tindakan-tindakan yang imaginer atau hanya
dibayangkan saja. Secara perlahan-lahan melalui pengulangan dan pengalaman
konsep, obyek permanen lama-lama terbentuk, anak mampu menemukan kembali obyek
yang disembunyikan. .
2. b. Tahap
Praoperasional (2 - 7 tahun) .
2.
Dikatakan praoperasional karena pada
tahap ini anak belum memahami pengertian operasional yaitu proses interaksi
suatu aktivitas mental, dimana prosesnya bisa kembali pada titik awal berfikir
secara logis. Manipulasi simbol merupakan karakteristik esensial dari tahapan
ini. .
2. Pemikiran pada tahap praoperasional terbatas
dalam beberapa hal penting. Menurut Piaget, pemikiran itu khas bersifat
egosentris, anak pada tahap ini sulit membayangkan bagaimana segala sesuatunya
tampak dari perspektif orang lain. Karakteristik lain dari cara berfikir
praoperasional yaitu sangat memusat (centralized). Bila anak
dikonfrontasi dengan situasi yang multi dimentional, maka ia akan memusatkan
perhatiannya hanya pada satu dimensi dan mengabaikan dimensi lainnya. Pada
akhirnya juga mengabaikan hubungannya antara dimensi-dimensi ini. Cara berfikir
seperti ini dicontohkan sebagai berikut : sebuah gelas tinggi ramping dan
sebuah gelas pendek dan lebar diisi dengan air yang sama banyaknya. Anak ditanya
apakah air dalam dua buah gelas tadi sama banyaknya? Anak pada tahap ini kebanyakan
menjawab bahwa ada lebih banyak air dalam gelas yang tinggi ramping tadi karena
gelas ini lebih tinggi dari yang satunya. Jadi anak belum melihat dua dimensi
secara serempak. .
2. Berfikir praoperasional juga tidak dapat
dibalik (irreversable). Anak belum mampu untuk meniadakan suatu tindakan
dengan melakukan tindakan tersebut sekali lagi secara mental dalam arah yang
sebaliknya. Dengan demikian bila situasi A beralih pada situasi B, maka anak
hanya memperhatikan situasi A, kemudian B. Ia tidak memperhatikan perpindahan
dari A ke B. .
2. c.
Tahap Operasional Konkrit (7 - 11 Tahun) .
2.
Tahap operasional konkrit dapat
digambarkan pada terjadinya perubahan positif ciri-ciri negatif tahap
preoprasional, seperti dalam cara berfikir egosentris pada tahap operasional
konkrit menjadi berkurang, ditandainya oleh desentrasi yang benar, artinya anak
mampu memperlihatkan lebih dari satu dimensi secara serempak dan juga untuk
menghubungkan dimensi-dimensi itu satu sama lain. Masalah konservasi pada tahap
ini sudah dikuasai dengan baik. .
2. Pada sebagian anak mungkin sudah dimiliki
kemampuan dalam hal penalaran, pemecahan masalah dan logika, namun pemikiran
mereka masih terbatas pada operasi konkrit. Pada tahap ini anak dapat
mengkonservasi kualitas serta dapat mengurutkan dan mengklasifikasikan obyek
secara nyata, tetapi mereka belum dapat bernalar mengenai abstraksi dan
proposisi hipotesis. Anak masih mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah
secara verbal yang sifatnya abstrak. Pemahaman terakhir ini baru dicapai pada
tahap operasional formal. .
2. d. Operasional
Formal ( 11 - 16 tahun) .
2.
Pada tahap operasional formal anak
tidak lagi terbatas pada apa yang dilihat atau didengar ataupun pada masalah
yang dekat, tetapi sudah dapat membayangkan masalah dalam fikiran dan
pengembangan hipotesis secara logis. Sebagai contoh, jika A < B dan B <
C, maka A < C. Logika seperti ini tidak dapat dilakukan oleh anak pada tahap
sebelumnya. .
2. Perkembangan lain pada tahap ini adalah
kemampuannya untuk berfikir secara sistematis, dapat memikirkan
kemungkinan-kemungkinan secara teratur atau sistematis untuk memecahkan
masalah. Pada tahap ini anak dapat memprediksi berbagai kemungkinan yang
terjadi atas suatu peristiwa. Misalnya ketika mengendarai sebuah mobil dan
tiba-tiba mobil mogok, maka anak akan menduga mungkin bensinnya habis, businya
atau platinanya rusak dan sebab lain yang memungkinkan memberikan dasar atas
pemikiran terjadinya mobil mogok. Perkembangan kognitif pada tahapan ini
mencapai tingkat perkembangan tertinggi dari tahapan yang dijelaskan Piaget. .
2. Perkembangan kognitif anak taman kanak-kanak
berada pada tahap praoperasional. Pada tahap ini ada sebagian anak yang
menguasai berbagai kemampuan secara baik tetapi ada pula sebagian anak yang
tidak mampu menguasainya. Ketidakmampuan anak tampak dari sikap anak yang sulit
mengerti, lambat dalam mengerjakan sesuatu, atau keliru dalam menyelesaikan
suatu persoalan. Kondisi ini mengakibatkan anak merasa tidak mampu, tidak
percaya diri, merasa diri berbeda dengan anak yang lain sehingga anak menarik
diri dari lingkungan, dan memandang dirinya tidak memiliki kemampuan apa-apa.
3. 3. Sosial
3. Perilaku sosial
merupakan aktivitas dalam berhubungan dengan orang lain, baik dengan teman
sebaya, guru, orang tua maupun saudara-saudaranya. Di dalam hubungan dengan
orang lain, terjadi peristiwa-peristiwa yang sangat bermakna dalam kehidupannya
yang dapat membantu pembentukan kepribadiannya. Sejak kecil anak telah belajar
cara berperilaku sosial sesuai dengan harapan orang-orang yang paling dekat
dengannya, yaitu dengan ibu, ayah, saudara, dan anggota keluarga yang lain. Apa
yang telah dipelajari anak dari lingkungan keluarganya turut mempengaruhi
pembentukan perilaku sosialnya. Perilaku yang ditunjukkan anak dapat berbeda
tergantung dengan siapa anak berhadapan. Johnson (1975 : 82) mengungkapkan
bahwa anak berperilaku dalam suatu kelompok berbeda dengan perilakunya dalam
kelompok lain. Perilaku anak dalam kelompok juga berbeda dengan pada waktu anak
sendirian.
3.
Menurut Johnson, kehadiran orang lain dapat menimbulkan reaksi yang berbeda pada
tiap-tiap anak. Perbedaan ini dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu:
persepsi anak yang menjadi anggota kelompok, lingkungan tempat terjadinya
interaksi dan pola kepemimpinan yang berlaku.
3.
Dini P. Daeng S (1996: 114) mengungkapkan bahwa ada delapan faktor yang berpengaruh
pada kemampuan bersosialisasi anak, yaitu :
3.
a) Adanya kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang di sekitarnya dari berbagai
usia dan latar belakang.
3.
b) Banyak dan bervariasinya pengalaman dalam bergaul dengan orang-orang di lingkungannya.
3.
c) Adanya minat dan motivasi untuk bergaul
3.
d) Banyaknya pengalaman yang menyenangkan yang diperoleh melalui pergaulan dan
aktivitas sosialnya.
3.
e) Adanya bimbingan dan pengajaran dari orang lain, yang biasanya menjadi “model”
bagi anak.
3.
f) Adanya bimbingan dan pengajaran yang secara sengaja diberikan oleh orang
yang dapat dijadikan “model” bergaul yang baik bagi anak.
3.
g) Adanya kemampuan berkomunikasi yang baik yang dimiliki anak.
3.
h) Adanya kemampuan berkomunikasi yang dapat membicarakan topik yang dapat dimengerti
dan menarik bagi orang lain yang menjadi lawan bicaranya.
3.
Menurut Elizabeth B. Hurlock (1978 : 228) untuk menjadi orang yang mampu bersosialisasi
memerlukan tiga proses. Masing-masing proses terpisah dan sangat berbeda satu
sama lain, tetapi saling berkaitan. Kegagalan dalam satu proses akan menurunkan
kadar sosialisasinya. Ketiga proses sosialisasi tersebut adalah :
3.
a) Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial.
3.
Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang perilaku
yang dapat diterima. Untuk dapat besosialisasi anak tidak hanya harus mengetahui
perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan perilakunya
dengan patokan yang dapat diterima.
3.
b) Memainkan peran sosial yang dapat diterima.
3.
Setiap kelompok sosial mempuyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama
oleh para anggotanya dan dituntut untuk dipatuhi. Sebagai contoh, ada peran
yang telah disetujui bersama bagi orang tua dan anak serta ada pula peran yang
telah disetujui bersama bagi guru dan murid. Anak dituntut untuk mampu memainkan
peran-peran sosial yang diterimanya.
3.
c) Perkembangan sikap sosial.
3.
Untuk bersosialisasi dengan baik anak-anak harus menyenangi orang dan kegiatan
sosial. Jika mereka dapat melakukannya, mereka akan berhasil dalam penyesuaian
sosial dan diterima sebagai anggota kelompok sosial tempat mereka bergaul.
3.
Sebagian dari bentuk perilaku sosial yang berkembang pada masa kanak-kanak awal,
merupakan perilaku yang terbentuk atas dasar landasan yang diletakkan pada masa
bayi. Sebagian lainnya merupakan bentuk perilaku sosial baru yang mempunyai
landasan baru. Banyak di antara landasan baru ini dibina oleh hubungan sosial
dengan teman sebaya di luar rumah dan hal-hal yang diamati anak dari tontonan televisi
atau buku komik.
3.
Pola perilaku dalam situasi sosial banyak yang nampak tidak sosial atau bahkan anti
sosial, tetapi masing-masing tetap penting bagi proses sosialisasi. Landasan
yang diletakkan pada masa kanak-kanak awal akan menentukan cara anak
menyesuaikan diri dengan orang lain.
3.
Pola perilaku sosial menurut Elizabeth. B. Hurlock (1978 : 239) terbagi atas dua
kelompok, yaitu pola perilaku sosial dan pola perilaku tidak sosial. Pola
perilaku yang termasuk dalam perilaku sosial adalah mampu bekerja sama, dapat
bersaing secara positif, mampu berbagi pada yang lain, memiliki hasrat terhadap
penerimaan sosial, simpati, empati, mampu bergantung secara positif pada orang
lain, bersikap ramah, tidak mementingkan diri sendiri, mampu meniru hal-hal
positif, dan memiliki perilaku kelekatan (attachment behavior) yang
baik. Sedangkan perilaku yang tidak sosial ditandai dengan negativisme, agresi,
pertengkaran, mengejek dan menggertak, sok berkuasa, egosentrisme, berprasangka
dan antagonisme jenis kelamin.
3.
Helms & Turner (1984 : 225) mengungkapkan bahwa pola perilaku sosial anak dapat
dilihat dari empat dimensi, yaitu : (1) anak dapat bekerjasama (cooperating)
dengan teman, (2) anak mampu menghargai (altruism) teman, baik dalam hal
menghargai milik, pendapat, hasil karya teman atau kondisi-kondisi yang ada
pada teman, (3) anak mampu berbagi (sharing) kepada teman. Apakah anak
mampu berbagi sesuatu yang dimilikinya kepada teman, mau mengalah pada teman
dan sebagainya, dan (4) anak mampu membantu (helping others) orang lain.
Hal ini tidak hanya ditunjukkan dalam hubungannya dengan teman sebaya tetapi
juga dengan orang dewasa lainnya.
3.
Pada semua tingkatan usia, orang dipengaruhi oleh kelompok sosial dengan siapa
mereka mempunyai hubungan tetap, dan merupakan tempat mereka mengidentifikasi
diri. Pengaruh ini paling kuat terjadi pada masa kanak-kanak dan sebagian masa
remaja akhir. Menurut Elizabeth. B. Hurlock (1978, 231), keluarga merupakan
agen sosialisasi yang paling penting. Ketika anak-anak memasuki sekolah, guru
mulai memasukkan pengaruh terhadap sosialisasi mereka, meskipun pengaruh teman
sebaya biasanya lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh guru dan orang tua. Hubungan
antara anak dengan teman sebaya merupakan bagian dari interaksi sosial yang
dilakukan anak dengan lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakatnya. Bonner
merumuskan interaksi sosial sebagai hubungan antara dua atau lebih individu di
mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki
kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Teman sebaya menurut Havighurst
(1978 : 45) dipandang sebagai suatu “kumpulan orang yang kurang lebih berusia
sama yang berpikir dan bertindak bersama-sama”.
3.
Pada usia sekolah, anak-anak mulai keluar dari lingkungan keluarga dan memasuki
dunia teman sebaya. Peristiwa ini merupakan perubahan situasi dari suasana
emosional yang aman yang dalam hal ini hubungan yang erat dengan ibu dan anggota
keluarga lainnya ke kehidupan dunia baru. Dalam dunia baru yang dimasuki anak,
ia harus pandai menempatkan diri di antara teman sebaya yang sedikit banyak akan
berlomba dalam menarik perhatian guru.
3.
Anak-anak perlu belajar memperoleh kepuasan yang lebih banyak dari kehidupan
sosial bersama teman sebayanya. Melalui kehidupan sosial kelompok sebaya anak
belajar memberi dan menerima., belajar berteman dan bekerja yang semuanya itu
dapat mengembangkan kepribadian sosial anak.
3.
Vygotsky (Berk, L.E., & Winsler, A., 1995) menekankan pentingnya konteks sosial
dalam proses belajar anak. Pengalaman interaksi sosial ini sangat berperan dalam
mengembangkan kemampuan berpikir anak. Vygotsky juga menjelaskan bahwa
bentuk-bentuk aktivitas mental yang tinggi diperoleh dari konteks sosial dan budaya
tempat anak berinteraksi dengan teman-temannya atau orang lain. Mengingat betapa
pentingnya peran konteks sosial ini, Vygotsky menyarankan untuk memahami perkembangan
anak, kita dituntut untuk memahami relasi-relasi sosial yang terjadi pada
lingkungan tempat anak itu bergaul.
3.
Proses pembelajaran dalam kelompok sebaya merupakan proses pembelajaran “kepribadian
sosial” yang sesungguhnya. Anak-anak belajar cara-cara mendekati orang asing,
malu-malu atau berani, menjauhkan diri atau bersahabat. Ia belajar bagaimana
memperlakukan teman-temannya, ia belajar apa yang disebut dengan bermain jujur.
3.
Pengalaman anak berinteraksi sosial dengan anak lain dan bahkan dengan orang dewasa
tidak saja memfasilitasi keterampilan anak dalam berkomunikasi dan sosialnya,
tetapi juga turut mengembangkan aspek-aspek perkembangan lainnya, seperti
perkembangan kognisi, emosi dan moralnya. Pergaulan sosial ini merupakan pengalaman
hidup yang kaya dan alami bagi anak sehingga dapat mendorong segenap aspek
perkembangan anak secara lebih terintegrasi dan menyeluruh. Melalui interaksi sosial,
anak dapat berlatih mengekspresikan emosinya dan menguji perilaku-perilaku moralnya
secara tepat. Begitu pula pengenalan anak terhadap pola pikir orang lain dapat
memperkaya pengalaman kognisinya.
3.
Dalam berinteraksi dengan teman sebaya, anak akan memilih anak lain yang usianya
hampir sama, dan di dalam berinteraksi dengan teman sebaya lainnya, anak dituntut
untuk dapat menerima teman sebayanya. Dalam penerimaan teman sebayanya anak
harus mampu menerima persamaan usia, menunjukkan minat terhadap permainan,
dapat menerima teman lain dari kelompok yang lain, dapat menerima jenis kelamin
lain, dapat menerima keadaan fisik anak yang lain, mandiri atau dapat lepas
dari orang tua atau orang dewasa lain, dan dapat menerima kelas sosial yang berbeda
3.
Tidak setiap anak mampu memiliki keterampilan sosial seperti yang diharapkan,
karena anak memiliki kemampuan dan pengaruh lingkungan yang berbeda-beda. Ada
sebagian anak yang menunjukkan sikap ingin menang sendiri, sok berkuasa, tidak
mau menunggu giliran bila sedang bermain bersama, selalu ingin diperhatikan
atau memilih-milih teman. Permasalahan seperti ini merupakan permasalahan
sosial yang harus diperbaiki, karena dapat mengakibatkan anak dikucilkan oleh
teman-temannya, terbentuk sikap egois yang tinggi, atau muncul rasa rendah diri
dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial.
4.
4.
Emosi
4.Emosi adalah keadaan
atau perasaan yang bergejolak pada diri individu yangdisadari dan diungkapkan
melalui wajah atau tindakan. Crow & Crow (E. UsmanEffendi, 1985)
mengungkapkan bahwa emosi adalah suatu keadaan yang bergejolakpada diri
individu yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dari
dalam)terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan
individu.Pada umumnya anak kecil lebih emosional daripada orang dewasa karena
padausia ini anak masih relatif muda dan belum dapat mengendalikan emosinya.
Pada usia2-4 tahun, karakteristik emosi anak muncul pada ledakan marahnya atau tempertantrums
(Elizatbeth. B. Hurlock, 1978). Untuk menampilkan rasa tidak senangnya,anak
melakukan tindakan yang berlebihan, misalnya menangis, menjerit-jerit,melemparkan
benda, berguling-guling, memukul ibunya atau aktivitas besar lainnya.Pada usia
ini anak tidak memperdulikan akibat dari perbuatannya, apakah merugikanorang
lain atau tidak, selain dari itu, pada usia ini anak lebih bersifat egosentris.Pada
usia 5-6 tahun, emosi anak mulai matang. Pada usia ini anak mulaimenyadari
akibat-akibat dari tampilan emosinya. Anak mulai memahami perasaanorang lain,
misalnya bagaimana perasaan orang lain bila disakiti, maka anak belajarmengendalikan
emosinya.
4.Ekspresi emosi pada
anak mudah berubah dengan cepat dari satu bentukekspresi ke bentuk ekspresi
emosi yang lain. Anak dalam keadaan gembira secaratiba-tiba dapat langsung
berubah menjadi marah karena ada sesuatu yang dirasakantidak menyenangkan,
sebaliknya apabila anak dalam keadaan marah, melalui bujukandengan sesuatu yang
menyenangkan bisa berubah menjadi riang.
4.Pola emosi pada anak
hampir sama dengan orang dewasa, namun berbeda darisisi rangsangan yang
membangkitkannya serta cara mengekspresikan emosi.Rangsangan yang sering
membangkitkan emosi anak adalah keinginan yang tidakterpenuhi, dengan cara
mengungkapkan ekspresi yang tidak terkendali. Sedangkanpada orang dewasa,
rangsangan dan cara emosi diekspresikan secara lebih terkendali.Pola emosi pada
anak dapat berbentuk rasa takut, marah, cemburu, sedih, gembira,kasih sayang
atau iri hati .
4.Ekspresi emosi yang
baik pada anak dapat menimbulkan penilaian sosial yangmenyenangkan, sedangkan
ekspresi emosi yang kurang baik seperti cemburu, marah,atau takut dapat
menimbulkan penilaian sosial yang tidak menyenangkan. Anak yangbersikap seperti
itu akan dijauhi teman, dinilai sebagai anak yang cengeng, pemarah,atau
julukan-julukan lain. Penilaian yang diperoleh anak dari lingkungannya dapatmembentuk
konsep diri negatif, dan pada akhirnya anak tidak dapat menyesuaikandiri dengan
lingkungannya.
4.5.
Bahasa
4.Bahasa merupakan salah
satu elemen yang terpenting dalam perkembanganberpikir. Hampir tidak mungkin
manusia berpikir tanpa menggunakan bahasa, danmelalui bahasa, pikiran manusia
dapat ditampilkan, bahasa pula yang dapatmembedakan manusia dari makhluk
lainnya.
4.Menurut Piaget,
berpikir itu mendahului bahasa dan lebih luas dari bahasa.Bahasa adalah salah
satu cara yang utama untuk mengekspresikan pikiran, dan dalamseluruh
perkembangan, pikiran selalu mendahului bahasa. Bahasa dapat membantuperkembangan
kognitif. Bahasa dapat mengarahkan perhatian anak pada benda-bendabaru atau
hubungan baru yang ada di lingkungan, mengenalkan anak pada pandanganpandanganyang
berbeda dan memberikan informasi pada anak. Bahasa adalah salahsatu dari
berbagai perangkat yang terdapat dalam sistem kognitif manusia. Piagetmenekankan
bahwa anak adalah makhluk yang aktif dan adaptif namun bersifategosentris yang
proses berpikirnya sangat berbeda dengan orang dewasa, makapengalaman belajar
disesuaikan dengan pemahaman mereka.
4.Menurut Miller bahasa
adalah suatu urutan kata-kata, bahasa dapat digunakanuntuk menyampaikan
informasi mengenai tempat yang berbeda atau waktu yangberbeda. Sedangkan
Vigotsky berpendapat bahwa perkembangan bahasa seiringdengan perkembangan
kognitif, malahan saling melengkapi, keduanya berkembangdalam satu lingkup
sosial. Vygotsky mengungkapkan bahwa bahasa, dalam bentukyang paling awalpun
mempunyai dasar sosial.
4.Sebagai alat
komunikasi, bahasa merupakan sarana yang sangat penting dalamkehidupan anak. Di
samping itu bahasa juga merupakan alat untuk menyatakanpikiran dan perasaan
kepada orang lain yang sekaligus berfungsi untuk memahamipikiran dan perasaan
orang lain. Selain dari itu, bahasa juga merupakan pintu gerbangilmu
pengetahuan, dengan berbahasa anak dapat berkomunikasi dengan sesama.Sejalan
dengan perkembangan kognisinya, anak pada usia ini sering kalimengajukan
pertanyaan-pertanyaan “mengapa begini mengapa begitu”, “ini apa ituapa”. Minat
anak usia ini sangat luas dan mereka selalu ingin mengetahui segalasesuatu yang
ada di dunia ini. Mereka sering bertanya apa saja untuk memuaskan rasaingin
tahunya, dan mereka juga tahu bahwa pertanyaan itu dapat mempertahankankonsepsinya
dengan orang dewasa. Misalnya pertanyaan : “Mengapa ada hujan”,“Mengapa pohon
ada daunnya”, “Kapan saya besar” dan sebagainya.Anak adalah makhluk peniru
(imitator), ia mencontoh orang lain di sepanjangkehidupannya. Tatkala masih
berusia anak-anak dorongan untuk meniru orang lain itubersifat amat kuat.
Kemampuan imitasi anak menjadi modal penting dalamperkembangan bahasanya. Anak
senang meniru bunyi-bunyi tertentu ataupun ucapanucapanorang-orang di
sekitarnya.
4.Bahasa anak mulai
menjadi bahasa orang dewasa setelah anak mencapai usia 3tahun. Pada saat itu ia
sudah mengetahui perbedaan antara saya, kamu dan kita. Padausia 4-6 tahun
kemampuan berbahasa anak akan berkembang sejalan dengan rasaingin tahu serta
sikap antusias yang tinggi, sehingga timbul pertanyaan-pertanyaandari anak
dengan kemampuan bahasanya. Kemampuan berbahasa juga akan terusberkembang
sejalan dengan intensitas anak pada teman sebayanya. Hal inimengimplikasikan
perlunya anak memiliki kesempatan yang luas dalam menentukansosialisasi dengan
teman-temannya. Dengan memperlihatkan suatu minat yangmeningkat terhadap
aspek-aspek fungsional bahasa tulis, ia senang mengenal katakatayang menarik
baginya dan mencoba menulis kata yang sering ditemukan. Anakjuga senang belajar
menulis namanya sendiri atau kata-kata yang berhubungan dengansesuatu yang
bermakna baginya.
4.Antara usia 4 dan 5
tahun, kalimat anak sudah terdiri dari empat sampai limakata. Mereka juga mampu
menggunakan kata depan seperti di bawah, di dalam, diatas dan di samping.
Mereka lebih banyak menggunakan kata kerja daripada katabenda.
4.Antara 5 dan 6 tahun,
kalimat anak sudah terdiri dari enam sampai delapan kata.Mereka juga sudah
dapat menjelaskan arti kata-kata yang sederhana, dan jugamengetahui lawan kata.
Mereka juga dapat menggunakan kata penghubung, katadepan dan kata sandang.
4.Pada masa akhir usia
taman kanak-kanak anak umumnya sudah mampuberkata-kata sederhana dan berbahasa
sederhana, cara bicara mereka telah lancar,dapat dimengerti dan cukup mengikuti
tata bahasa walaupun masih melakukankesalahan berbahasa.Berbicara berfungsi
sebagai alat komunikasi dengan orang lain. Bila anak telahmenguasai kata-kata,
kalimat dan tata bahasa, mereka juga akan dapat berkomunikasidengan baik dan
lebih efektif.
4.Kemampuan berbahasa
merupakan aspek penting yang perlu dikuasai anak, tapitidak semua anak mampu
menguasai kemampuan ini. Ketidakmampuan anakberkomunikasi secara baik karena
keterbatasan kemampuan menangkap pembicaraananak lain atau tidak mampu menjawab
dengan benar akan menghambatperkembangan anak. Selain dari itu, ada anak yang
masih belum mampumengucapkan huruf-huruf r, sy, s, atau lainnya membuat anak
sulit berkomunikasidengan anak lain.
4.Adanya hambatan dalam
perkembangan bahasa akan membuat anak merasatidak diterima oleh teman-temannya,
anak menjadi minder, tidak percaya diri dantidak memiliki keberanian untuk
berbuat. Kondisi ini dapat mempengaruhiperkembangan kepribadian anak di
kemudian hari.
1 comment:
Jumlah informasi di sini sangat menakjubkan, seperti Anda menulis buku tentang subjek tersebut. mobile legends bang bang!
Post a Comment