Abstract
INDONESIA:
Para investor menilai bahwa kondisi financial distress dan proporsi struktur modal mempunyai pengaruh terhadap terjadinya fluktuasi harga saham. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh financial distress terhadap harga saham, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui struktur modal.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dengan menggunakan sektor jasa yang listing di BEI periode 2009-2013 sebagai obyeknya. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Terdapat 23 perusahaan yang memenuhi kategori sebagai sampel. Metode yang digunakan untuk memprediksi financial distress adalah metode Altman Z-Score, sedangkan untuk menganalisis hipotesis menggunakan analisis path melalui pengujian SPSS dengan mempertimbangkan uji asumsi klasik.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa financial distress berpengaruh negatif terhadap harga saham. Financial distress disebabkan oleh terjadinya capital loss sehingga menurunkan kinerja keuangan yang berdampak pada penurunan harga saham. Sedangkan hasil analisis path menunjukkan bahwa struktur modal tidak dapat menjelaskan hubungan tidak langsung financial distress terhadap harga saham. Hal tersebut terjadi karena penggunaan proporsi struktur modal tidak menyebabkan risiko bisnis yang akan memunculkan financial distress sehingga tidak menyebabkan pergerakan harga saham. Dari prediksi Altman Z-Score menunjukkan bahwa dari 23 perusahaan 10 perusahaan (APOL, BIPP, BLTA, BTEL, FMII, HITS, IATA, LIMAS, RIMO, dan TKGA) dalam kondisi financial distress, sedangkan 5 perusahaan lainnya (BHIT, BKDP, BMSR, OKAS, dan ZBRA) masuk dalam zona abu-abu, dan 8 perusahaan lainnya (ASIA, BNBR, CENT, ELTY, LCGP, META, TRIL, dan TRUB) masuk dalam kategori aman.
ENGLISH:
All of investors value that financial distress conditions and the proportion of financial capital structure have effect to become fluctuation of stocks price. So, the aim of this research is to know the effects of financial distress to the stocks price as direct or indirect through financial capital structure.
This research uses descriptive quantitative approach by using sector of service that list in BEI year 2009 – 2013 as the object. The method to taking sampling that used is purposive sampling. There are 23 companies that have categories as sample. The method that used to predict financial distress is z-score Altman method. whereas, to analyst the hypothesis was used path analysis through SPSS TEST by consideration of test classic assumption.
Based on the result the research show that financial distress give negative impact to the stocks price. Financial distress caused by capital loss so decrease work of money that effect to the decrease stocks price. It is became cause of using financial structure proportion doesn’t cause business risk that will emerge financial Distress until it doesn’t moving stocks price. From Altman z-score prediction show from 23 companies any 10 of it (APOL, BIPP BLTA, BTEL, FMII, HITS, IATA, LIMAS, RIMO, and TKGA) include on financial distress category. Whereas, 5 companies (BHIT, BKDP BMSR, OKAS, and ZBRA) include on gray area. While, 8 companies (ASIA, BNBR, CENT, ELTY, LCGP, META, TRIL, and TRUB) include in save condition.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis global yang terjadi pada tahun 2008
membuat dampak yang begitu besar. Di mana Subprime Mortage yang terjadi di
Amerika Serikat memberikan efek negatif bagi Indonesia. Pertumbuhan
perekonomian Indonesia pada tahun 2008 sampai tahun 2013 masih dalam kondisi
terpuruk. Indikator melemahnya pertumbuhan dan meningkatnya ketidakstabilan
menunjukkan bahwa Indonesia masih di bawah sindrom krisis (Widodo, 2014). Hal
ini berimbas pada minat investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia
sehingga investasi dalam negeri mengalami penurunan. Berdasarkan data yang
dirilis oleh Badan Pusat Statistik bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
kuartal III-2013 tercatat sebesar 5,62%, melambat dibandingkan kuartal II-2013
yang tumbuh sebesar 5,83%. Faktor penyebab melambatnya pertumbuhan ekonomi
adalah pelemahan nilai tukar rupiah, kenaikan BI rate, serta tingginya inflasi.
Nilai tukar rupiah di bulan Juni 2013 berada di level IDR 9.929 per USD menjadi
IDR 11.977 per USD pada bulan Oktober 2013 berdampak terhadap perdagangan
Indonesia. Sementara itu, kenaikan BI rate dari 6% pada Juni 2013 menjadi 7,25%
pada September 2013 berpengaruh terhadap investasi biaya produksi. Selain itu,
daya beli masyarakat juga terpengaruh dengan tingginya kenaikan inflasi dari
5,90% pada Juni 2013 menjadi 8,37% pada Oktober 2013
(Http://www.Macroeconomicdashboard.com). Indonesia sebagai negara berkembang
sangat rentan dengan ketidakstabilan perekonomian. Hal tersebut dapat dilihat
dari pengaruh yang muncul terhadap 2 lingkungan ekonomi mikro maupun makro.
Jika ditinjau dari lapangan usaha, ada beberapa sektor yang merespon positif
terhadap ketidakstabilan tersebut sehingga mengalami pertumbuhan tertinggi pada
kuartal III tahun 2013. Sektor yang mampu merespon positif adalah sektor
pengangkutan dan komunikasi, real estate dan perusahaan bidang jasa, serta
konstruksi (Http://www.Macroeconomicdashboard.com). Pertumbuhan beberapa sektor
tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut: Sumber: BPS dan CEIC (2013) Gambar
1.1 Laju Pertumbuhan PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut
Lapangan Usaha, Tahun 2009 – 2013 (y-o-y, dalam %) Dari grafik di atas dapat
diketahui bahwa perusahaan yang bergerak di bidang jasa mempunyai pertumbuhan
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perusahaan bidang lain. Sebaliknya,
perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan dan galian mengalami
pertumbuhan yang rendah, bahkan mencapai titik minus. Gejala ini menunjukkan
bahwa ketidakstabilan ekonomi 3 menimbulkan kesenjangan pertumbuhan antar
bidang. Hal tersebut terjadi karena respon berbeda yang diberikan setiap bidang
usaha dalam menyikapi kondisi ekonomi. Jika ditinjau dari segi pengeluaran,
faktor utama penyebab melemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah
merosotnya laju investasi dalam negeri. Laju pertumbuhan investasi tertahan
oleh meningkatnya suku bunga dan melemahnya nilai tukar rupiah sehingga
menyebabkan para investor ragu menanamkan modalnya di Indonesia. Selain itu,
kenaikan suku bunga acuan serta kondisi perekonomian global yang masih
dibayangi ketidakpastian yang tinggi turut berdampak atas melemahnya pertumbuhan
investasi nasional. Laju pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada gambar
berikut: Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2013) Gambar 1.2 Transaksi Modal dan
Finansial, 2009 – 2013 Grafik di atas menunjukkan bahwa defisit transaksi
berjalan masih berlangsung pada kuartal III-2013. Hal ini dapat dilihat pada
kinerja neraca transaksi yang tumbuh tidak jauh berbeda dari kuartal
sebelumnya. Defisit transaksi berjalan menurun dari USD 9,9 miliar pada kuartal
II-2013 menjadi 4 USD 8,4 miliar pada kuartal III-2013. Menurunnya defisit
transaksi berjalan disebabkan oleh menurunnya defisit neraca perdagangan
barang, neraca perdagangan jasa, dan neraca pendapatan
(Http://www.Macroeconomicdashboard.com). Melihat beberapa fenomena di atas,
dapat disimpulkan bahwa kondisi ketidakstabilan perekonomian nasional belum
sepenuhnya dapat diselesaikan oleh pemerintah. Kondisi perekonomian nasional
sebagai faktor eksternal perusahaan mampu memicu munculnya kesulitan keuangan
yang mengarah kepada ancaman kebangkrutan (pailit). Indikasi kebangkrutan
sejumlah perusahaan membuat kepercayaan para investor berkurang sehingga
memungkinkan dijualnya saham yang dimiliki dan beralih ke investasi lain.
Selain dari faktor eksternal, faktor kebijakan internal mempunyai pengaruh
lebih banyak terhadap pertumbuhan perusahaan (Pambekti, 2014:4). Penggunaan
dana pihak ketiga secara besar-besaran akan menyebabkan beban bunga tinggi.
Tingginya tingkat likuiditas menunjukkan bahwa jumlah utang lebih besar
daripada jumlah aktiva perusahaan sehingga profitabilitas perusahaan menurun.
Profitabilitas yang kecil akan menghambat pertumbuhan perusahaan. Hal tersebut
berbanding lurus dengan kecilnya minat investasi oleh investor untuk memberikan
dananya. Struktur modal sebagai faktor internal perusahaan mempunyai pengaruh
langsung terhadap posisi finansial perusahaan yang pada akhirnya akan
mempengaruhi nilai perusahaan (Kesuma, 2012:39). Kesalahan dalam menentukan
struktur modal mempunyai dampak yang besar seperti penggunaan proporsi utang
yang besar menyebabkan beban tetap yang ditanggung perusahaan 5 semakin besar
pula. Hal itu juga berarti akan meningkatkan risiko finansial, yaitu risiko
saat perusahaan tidak dapat membayar beban bunga atau angsuran-angsuran
utangnya. Kerugian utama perusahaan yang mempunyai tingkat utang yang lebih
tinggi adalah peningkatan risiko financial distress, dan akhirnya dilikuidasi.
Financial distress merupakan tahapan penurunan kondisi keuangan suatu
perusahaan sebelum terjadinya kebangkrutan (Platt dan Platt, 2002). Apabila
perusahaan tidak segera menyikapi kondisi financial distress, maka perusahan
dalam ancaman kebangkrutan. Oleh karena itu, pengenalan awal gejala financial
distress menjadi sangat penting. Informasi lebih awal kondisi financial
distress pada perusahaan memberikan kesempatan bagi manajemen, pemilik,
investor, regulator, dan para stakeholders lainnya untuk melakukan upaya-upaya
yang relevan. Perusahaan dapat melakukan langkah awal pencegahan kondisi
financial distress dengan menerapkan model sistem peringatan dini (early warning
system). Keberhasilan perusahaan dalam mengelola struktur modal menjadi sebuah
acuan bagi investor maupun kreditor untuk melakukan investasi. Weston dan
Bringham (1997:150) mengungkapkan bahwa struktur modal yang optimal adalah
struktur modal yang mengoptimalkan keseimbangan antara risiko dan pengembalian
sehingga memaksimumkan harga saham. Sebaliknya, perusahaan yang gagal dalam
mengoptimalkan struktur modalnya mengakibatkan risiko ketidakstabilan harga
saham. Terjadinya capital loss menyebabkan terjadinya harga saham yang menjadi
indikasi dari kinerja perusahaan yang berjalan kurang baik. Jika investor
menilai kinerja suatu perusahaan buruk, maka akan berdampak pada rendahnya
harga yang ditawar investor terhadap harga saham perusahaan tersebut dan sebaliknya
(Juliani, 2009). Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya 6 fluktuasi harga
saham di mana perusahaan dianggap tidak mampu melunasi kewajibannya sehingga
BEI berhak memberikan sanksi penghentian sementara perdagangan saham (suspend)
(Fact Book IDX, 2012: 47). Otoritas
Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat
dalam lima tahun terakhir telah melakukan penghapusan saham kepada 23
perusahaan yang terdaftar di BEI. Dari ke-23 perusahaan yang delisting terdapat
14 perusahaan dari sektor jasa, 7 perusahaan dari sektor manufaktur, dan 2
perusahaan dari sektor pertambangan (http://www.Sahamok.com). Berikut ini
daftar perusahaan yang mengalami delisting: Tabel 1.1 Daftar Perusahaan
Delisting Tahun 2009-2013 No Kode Nama Tahun Delisting Sektor 1 JAKA Jaka Inti
Realtindo Tbk 2009 Jasa 2 APEX Apexindo Pratama Duta Tbk 2009 Pertambangan 3
SING Singer Indonesia Tbk 2009 Jasa 4 MACO Courts Indonesia Tbk 2009 Jasa 5
JASS Jasa Angkasa Semesta Tbk 2009 Manufaktur 6 PROD Sara Lee Body Care
Indonesia Tbk 2009 Jasa 7 TALF Tunas Alfin Tbk 2009 Manufaktur 8 BUKK Bukaka
Teknik Utama Tbk 2009 Jasa 9 SKBM Sekar Bumi Tbk 2009 Manufaktur 10 IATG
Infoasia Teknologi Global Tbk 2009 Jasa 11 PTRA New Century Development Tbk
2011 Jasa 12 AQUA Aqua Golden Mississippi Tbk 2011 Manufaktur 13 DYNA Dynaplast
Tbk 2011 Manufaktur 14 ANTA Anta Express Tour and Travel Service Tbk 2011 Jasa
15 ALFA Alfa Retailindo Tbk 2011 Jasa 16 INA Katarina Utama Tbk 2012 Jasa 17
SIIP Suryainti Permata Tbk 2012 Jasa 18 SIMM Surya Intrindo Makmur Tbk 2012
Manufaktur 19 CPDW PT Indo Setu Bara Resources Tbk 2013 Pertambangan 20 IDKM PT
Indosiar Karya Media Tbk 2013 Jasa 21 INCF PT Amstelco Indonesia Tbk 2013 Jasa
7 22 PAFI PT Panasia Filamen Inti Tbk 2013 Manufaktur 23 PWSI PT Panca
Wirasakti Tbk 2013 Jasa Sumber: Dari berbagai sumber yang telah diolah (2014)
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah perusahaan yang mengalami
delisting sebagian besar berasal dari perusahaan sektor jasa. Sub sektor yang
mengalami delisting terbanyak yaitu sub sektor perdagangan, sub sektor
keuangan, sub sektor pariwisata, sub sektor telekomunikasi, dan sub sektor
property & real estate. Terdapat banyak indikator yang mampu digunakan
sebagai alat ukur kinerja perusahaan. Salah satunya adalah laporan keuangan
sebagai alat analisis yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat kesehatan
perusahaan. Laporan keuangan mampu memberikan sebagian besar informasi yang
dibutuhkan oleh pihak investor. Selain itu, laporan keuangan dapat digunakan
perusahaan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan strategis
perusahaan (Almilia dan Kristijadi, 2003). Dengan melakukan analisis laporan
keuangan, perusahaan mampu mendapatkan informasi indikasi terhadap ancaman
financial distress (Almilia, 2006). Selain menggunakan analisis rasio keuangan
sebagai indikator gejala financial distress, terdapat beberapa metode
pengukuran prediksi kondisi financial distress sebuah perusahaan. Metode-metode
ini terus berkembang seiring dengan kebutuhan akan keakuratan pengukuran yang
mampu mencakup semua perusahaan tanpa melihat bidang usahanya. Prediksi yang
umum digunakan dalam mendeteksi fiancial distress seperti Altman, Springate,
Ohlson, Zmijewski, Grover dan lain sebagainya. 8 Penelitian tentang financial
distress dipelopori oleh Beaver pada tahun 1966, kemudian dikembangkan oleh
Altman pada tahun 1968. Metode yang dikembangkan Altman terus dilakukan karena
pada awalnya metode tersebut hanya dapat diterapkan pada perusahaan manufaktur
yang go public saja. Pengembangan metode berhasil dilakukan pada teori ketiga
Altman, yaitu dapat diterapkannya pada berbagai jenis bidang usaha perusahaan,
baik yang go public maupun yang tidak, dan cocok digunakan di negara berkembang
seperti Indonesia (Rudianto, 2009:257). Penelitian di Indonesia yang dilakukan
Wasono (2012) pada analisis pengaruh financial distress ratio model Altman
terhadap harga saham menunjukkan bahwa financial distress berpengaruh terhadap
harga saham sebesar 35%. Hasil tersebut berbanding terbalik dengan penelitian
Widyastuti (2006) pada analisis kinerja keuangan metode Altman dan pengaruhnya
terhadap harga saham yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan harga saham
secara signifikan pada perusahaan kategori sehat dan tidak sehat. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Mas’ud (2008) bahwa cost of financial distress
menjadi faktor penentu yang berpengaruh terhadap struktur modal dan struktur
modal berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan (harga saham). Akan
tetapi, penelitian yang dilakukan Kesuma (2012) menunjukkan bahwa struktur
modal tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Oleh karena itu,
peneliti menjadikan struktur modal sebagai variabel intervening karena diduga
terdapat keterkaitan langsung dan tidak langsung antara financial distress dan
harga saham melaui struktur modal. Hal tersebut berdasarkan pada penelitian 9
Mahapsari & Taman (2013) yang menjadikan struktur modal sebagai variabel
intervening. Penelitian ini menarik untuk dilakukan mengingat terdapat sebuah
studi kasus di mana perusahaan jasa pada tahun 2009-2013 mengalami pertumbuhan
tertinggi. Namun, pada rentang waktu antara tahun 2009-2013 perusahaan jasa
mengalami delisting terbanyak dibandingkan dengan sektor lainnya, yaitu sebesar
23 perusahaan. Hal tersebut bertentangan dengan teori yang dikemukakan oleh
Platt dan Platt (2002:1) yang mana perusahaan akan mengalami kondisi penurunan
keuangan. Sebaliknya, berdasarkan data yang ada perusahaan sektor jasa
mengalami delisting perusahaan terbanyak pada saat kondisi sektor ini sedang
mengalami pertumbuhan. Beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan hasil
yang tidak konsisten maka penelitian ini dilakukan untuk menguji kembali
prediksi financial distress dan pengaruhnya terhadap harga saham dengan
menggunakan metode Altman Z Score.
Selain itu, penelitian ini berbeda dengan
penelitian sebelumnya karena menggunakan variabel struktur modal sebagai
variabel mediasi. Dari kontradiksi hasil penelitian terdahulu, peneliti
termotivasi untuk melakukan penelitian model prediksi financial distress yang
lebih variatif dengan judul: Analisisis Prediksi Financial Distress Serta
Pengaruhnya Terhadap Harga Saham Dengan Struktur Modal Sebagai Variabel
Intervening (Studi Kasus Pada Perusahaan Jasa yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia Periode Tahun 2009- 2013).
1.2 Rumusan Masalah
Melihat dari beberapa penelitian terdahulu
yang tidak konsisten serta pandangan teori financial distress yang menghasilkan
perbedaan antara penelitian satu dengan yang lainnya pada data empiris dari
analisis laporan keuangan perusahaan yang mengalami financial distress, maka
penelitian ini merumuskan masalah yaitu:
1. Apakah Financial distress
berpengaruh secara langsung terhadap harga saham?
2. Apakah financial distress
berpengaruh secara tidak langsung terhadap harga saham melalui struktur modal?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan
perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui pengaruh secara
langsung financial distress terhadap perubahan harga saham.
2. Untuk mengetahui pengaruh financial
distress secara tidak langsung terhadap harga saham melalui struktur modal.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari
hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi perusahaan Sebagai bahan
masukan yang berguna dan saran-saran tentang analisis laporan keuangan serta
penilaian kinerja yang dipandang perlu dalam mencapai tujuan perusahaan secara
optimal.
2. Bagi peneliti Menambah pengetahuan dalam hal mendalami dalam
dunia bisnis khususnya penggabungan usaha berupa indikasi awal terjadinya
penurunan kinerja perusahaan sebelum terjadinya kebangkrutan.
3. Bagi Universitas Bahwa penelitian ini
diharapkan dapat dipergunakan dan dimanfaatkan oleh mahasiswa lainnya sebagai
bahan pertimbangan dalam mempelajari permasalahan yang sama.
4. Bagi Pembaca Penelitian ini diharapkan
dapat menjadi masukan atau referensi bagi para pembaca yang akan melakukan
penelitian lebih lanjut.
1.5 Batasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan
seluruh perusahaan jasa kecuali perusahaan subsektor keuangan (bank, asuransi,
agen pemberi kredit selain bank, dan sekuritas) karena sub sektor keuangan
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan perusahaan jasa lainnya, seperti
adanya lembaga khusus sebagai pengawas lembaga keuangan (OJK) (Wahyuningtyas,
2010). Dalam industri perbankan misalnya, net working capital nilainya tidak
terlalu besar karena kewajiban lancar yang besar. (Vebriligiawati, 2010).
Selain itu, Bank Indonesia sudah merumuskan Arsitektur Perbankan Indonesia
(API) untuk menciptakan infrastruktur yang kuat bagi industri perbankan
nasional. Sementara itu, metode yang digunakan dalam analisis prediksi
financial distress menggunakan metode Altman Z Score karena menpunyai kelebihan
yaitu dapat mengkombinasikan empat rasio keuangan yang paling dominan dalam
menentukan financial distress suatu perusahaan, sehingga bisa diketahui skor 12
secara keseluruhan untuk menilai kinerja keuangan persahaan (Salatin, darminto,
sudjana 2012). Model Z-Score sangat efektif untuk dapat memprediksi kebangkrutan
2 tahun sebelum terjadinya kebangkrutan yang sebenarnya dan untuk beberapa
kasus model ini dapat memprediksi kebangkrutan 4 atau 5 tahun sebelumnya
(Indriyati, 2010).
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Manajemen :Analisis prediksi financial distress serta pengaruhnya terhadap harga saham dengan struktur modal sebagai variabel intervining: Studi pada perusahaan jasa yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2013. Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment