Abstract
INDONESIA:
Kecemasan menghadapi masa depan yang dialami oleh narapidana disebabkan oleh kondisi masa datang yang belum jelas dan belum pasti, sehingga menimbulkan kekhawatiran dan kegelisahan apakah masa sulit tersebut akan terlewati dengan aman atau merupakan ancaman seperti yang dikhawatirkan. Tinggi rendahnya tingkat kecemasan menghadapi masa depan yang dialami narapidana berbeda-beda karena beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempunyai pengaruh pada tinggi rendahnya tingkat kecemasan menghadapi masa depan adalah konsep diri. konsep diri merupakan gambaran mental setiap individu yang terdiri atas pengetahuan tentang dirinya sendiri, pengharapan bagi diri sendiri dan penilaian tentang diri sendiri. Tujuan penelitain ini untuk mengetahui konsep diri narapidana, tingkat kecemasan narapidana menghadapi masa depan dan ada tidaknya hubungan konsep diri dengan kecemasan narapidana menghadapi masa di Lembaga Pemasyarakatan wanita Malang.
Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif korelasional dengan konsep diri sebagai variabel bebas dan kecemasan menghadapi masa depan sebagai variabel terikat. Instrumen pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara, dan skala psikologi yangg terdiri dari skala konsep diri dan skala kecemasan menghadapi masa depan yang disusun oleh peneliti dalam bentuk skala likert yang berjumlah 26 aitem berdasarkan aspek-aspek konsep diri Calhoun dan Acocella dan gejala kecemasan menghadapi masa depan yang berjumlah 26 aitem didasarkan pada teori Atkinson. Analisis data menggunakan analisis korelasi product moment untuk mengetahui hubungan konsep diri dengan kecemasan menghadapi masa depan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 97% atau 29 narapidana memiliki konsep diri positif, 3% atau 1 narapidana sedang dan 0% negatif. Kemudian terdapat 70% atau 21 narapidana memiliki kecemasan menghadapi masa depan kategori rendah, 27% atau 8 narapidana sedang dan 3% atau 1 narapidana tinggi. Berdasarkan hasil analisis data bahwa terdapat hubungan negatif antara konsep diri dengan kecemasan menghadapi masa depan dengan rxy = -.572 dengan p = .001, artinya semakin positif konsep diri narapidana maka akan semakin rendah tingkat kecemasan menghadapi masa depan, dan sebaliknya semakin negatif konsep diri narapidana maka semakin tinggi tingkat kecemasan menghadapi masa depan.
ENGLISH:
Anxiety about the future experienced by inmates due to a condition of unclear future or uncertain future, then arising fears and anxieties whether those hard times will be passed safely or it is a threat as originally feared. High or low levels of anxiety facing the future experienced by inmates vary due to several factors. One of the factors that have an influence on the high or low levels of anxiety for the future is the self-concept. Self-concept is a mental image of each individual consisting of their own knowledge, expectations for themselves and judgments about themselves. This research aims to understand about the self-concept of inmates, the degree of anxiety of inmates facing the future of and the existence of self- concept with anxiety of inmates facing the time in Woman Correctional Malang.
This study uses a correlation quantitative research with self-concept as independent variables and anxiety facing the future as the dependent variable. Data collection instrument using the method of observation, interviews, and psychological scales consists of self-concept and anxiety facing the future scale developed by researchers in the form of Likert scale, amounting to 26 items based on aspects of self-concept by Calhoun and Acocella and anxiety symptoms facing the future, amounting to 26 items based on the Atkinson theory. Data analysis uses product moment correlation to determine the relationship between self-concept and the anxiety to facing the future.
The research results showed that 97% or 29 inmates have a positive self-concept, 3% or 1 inmate was moderate and 0% inmates were negative. Then there is 70% or 21 inmates have anxiety facing the future in low category, 27% or 8 inmates were moderate and 1 inmate or 3% were higher category. Based on the results of data analysis that there is a negative relationship between self-concept and anxiety facing the future with rxy = -.572 with p = .001, means more positive self-concept of inmates resulting the lower levels of anxiety facing the future, and conversely the more negative self-concept of inmates, the higher the level of anxiety facing the future.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Tindak kejahatan
atau perilaku kriminal selalu menjadi bahan yang menarik serta tidak
habis-habisnya untuk dibahas dan diperbincangkan, masalah ini merupakan masalah
sensitif yang menyangkut masalah-masalah peraturan sosial, segi-segi moral,
etika dalam masyarakat dan aturan-aturan dalam agama. Tindak kejahatan oleh
banyak orang dianggap sebagai suatu kegiatan yang tergolong anti sosial,
menyimpang dari moral dan normanorma di dalam masyarakat serta melanggar
aturan-aturan dalam agama. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tindak
kejatahan dan tingkah laku kejahatan itu bisa dilakukan oleh siapa saja, baik
wanita maupun pria, anak-anak, remaja, bahkan usia dewasa.
Tindak kejahatan bisa dilakukan secara sadar yaitu dengan
difikirkan, direncanakan dan diarahkan pada satu maksud tertentu secara sadar
benar. Tapi dapat pula dilakukan dengan tidak sadar, misalnya karena terpaksa
untuk mempertahankan hidupnya (Kartono. 2003. 121) . Tindak kejahatan yang ada
di tengah masyarakat merupakan suatu permasalahan yang menuntut banyak
perhatian dari berbagai pihak, hal ini dikarenakan kejahatan tidak pernah
berhenti muncul di tengah-tengah masyarakat, meskipun telah ada hukum atau
peraturan yang disahkan pemerintah untuk menghentikan kejahatan tersebut.
Tindak kejahatan merupakan perilaku antisosial yang sangat merugikan orang
lain. Oleh karena itu, kejahatan harus memperoleh tentangan dengan keras dan
tegas dari negara dengan cara pemberian hukuman atau tindakan sesuai dengan
tindak kejahatan yang telah dilakukan. Pemberian hukuman yang paling berat di
Indonesia adalah hukuman penjara. Menurut Lamintang (dalam Priyatno. 2006. 72)
hukuman penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari
seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah
lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua
peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang
dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar
peraturan tersebut. Menurut Saherodji (dalam Novianto. 2008. 1) hukuman penjara
saat ini menganut falsafah pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama
Pemasyarakatan, dan istilah penjara telah diubah menjadi Lembaga
Pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan berfungsi sebagai wadah pembinaan untuk
melenyapkan sifat-sifat jahat melalui pendidikan pemasyarakatan. Hal ini
berarti kebijaksanaan dalam perlakuan terhadap narapidana yang bersifat
mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan sekaligus mengayomi para
narapidana dan memberi bekal hidup narapidana setelah narapidana kembali ke
masyarakat. Tujuan menjatuhkan pidana penjara adalah pemasyarakatan.
Pemasyarakatan bermaksud mengayomi narapidana. Dalam sistem pemasyarakatan maka
narapidana diayomi dengan memberikan pembinaan terhadap segala kekurangannya.
Situasi pemasyarakatan hendaknya mempunyai iklim yang identik dengan iklim
keluarga dimana ditemukan peace (kedamaian) dan security (keamanan). Adanya
peace, security ini merupakan pendorong yang kuat terhadap terbentuknya
eksplorasi (Widiyanti & Waskita. 1987. 67). Lembaga pemasyarakatan sebagai
wadah pembinaan bagi para narapidana bertujuan untuk mengembalikan fungsi
seorang narapidana agar dapat kembali hidup normal di tengah masyarakat setelah
menjalani masa hukumannya. Dalam kondisi seorang narapidana yang sedang
menjalani masa hukuman mempunyai kecenderungan mengalami depresi, dikarenakan
timbul perasaan cemas yang diakibatkan tidak mampunya individu menyesuaikan
diri selama berada di Lembaga Pemasyarakatan.
Ciri-ciri yang menonjol pada
narapidana yang mengalami gangguan kecemasan yaitu perasaan khawatir, takut,
gelisah bahkan kadang-kadang panik. Dan hal tersebut dialami oleh narapidana
bagaimana masa depannya nanti setelah menjalani hukuman di Lembaga
Pemasyarakatan. Seseorang bisa menjadi cemas bila dalam kehidupannya terancam
oleh sesuatu yang tidak jelas karena kecemasan dapat timbul pada banyak hal
yang berbeda-beda. Kecemasan menghadapi masa depan yang dialami oleh narapidana
disebabkan oleh kondisi masa datang yang belum jelas dan belum teramalkan,
sehingga bagaimanapun tetap menimbulkan kekhawatiran dan kegelisahan apakah
masa sulit tersebut akan terlewati dengan aman atau merupakan ancaman seperti yang
dikhawatirkan. Menghadapi masa depan tidak bisa berjalan dengan baik bila dalam
diri seorang individu ada rasa cemas untuk menghadapi masa depan. Di Indonesia
kecemasan pada narapidana banyak diteliti. Pristika (2010) telah meneliti
kecemasan narapidana dalam penyesuaian diri kembali ke masyarakat pada klien
balai Bispa kelas 1 Surabaya, dan diperoleh data mengalami kecemasan narapidana
dalam penyesuaian diri kembali ke masyarakat dalam tahap sedang. Hal ini
diperkuat oleh hasil penelitian Rahmawati (2004) menyatakan bahwa kecemasan
narapidana pasca hukuman pidana diperoleh data dalam tahap tinggi (dalam
Shofia. 2009. 3).
Kecemasan menghadapi masa
depan merupakan keadaan takut atau cemas pada saat membayangkan situasi nyata
pada masa depan. Individu yang mengalami kecemasan akan merasakan adanya
perubahan fisik dan psikologis. Atkinson (1983. 248) menyatakan kecemasan
biasanya ditandai dengan gejala fisik dan gejala psikologis. Termasuk dalam
gejala fisik yaitu kepala pusing, jantung berdetak lebih cepat dan tidur tidak
nyenyak. Sedangkan yang termasuk gejala psikologis yaitu hilangnaya rasa
percaya diri, bingung atau perasaan tidak menentu dan tidak dapat
berkonsentrasi dengan baik. Individu yang merasa cemas baik psikis maupun
biologis, dalam dirinya akan terjadi gangguan antisipasi atau harapan pada masa
yang akan datang. Keadaan ini ditandai dengan adanya rasa khawatir, gelisah dan
perasaan akan terjadi sesuatu hal yang tidak menyenangkan dan individu menjadi
tidak mampu menemukan penyelesaian terhadap masalahnya (Hurlock. 1997. 112).
Kecemasan dapat mengurangi dan bahkan dapat meniadakan potensi yang dimiliki
narapidana, karena kecemasan pada seorang penghuni Lembaga Pemasyarakatan yaitu
ada ancaman pada jiwa atau psikisnya seperti kehilangan arti kehidupan (merasa
bahwa masa depannya menjadi suram) dan merasa tidak berguna. Narapidana yang
tingkatan kecemasannya tinggi akan mengalami gangguan pada masa depannya.
Brickman (dalam Prakoso. 2008. 2) bahwa kecemasan tentang masa depan merupakan
kecenderungan individu yang tidak yakin bahwa dirinya akan mengalami hal
positif dibandingkan dengan hal yang negatif di masa depan. Pada umumnya
individu merasa cemas terhadap masa depan dan percaya bahwa masa yang akan
datang lebih buruk daripada masa sekarang. Narapidana dengan latar belakang
gender sangat berpengaruh terhadap kemampuan mereka mengelola kadar emosional
dalam berinteraksi. Berdasarkan pemaparan Chodorow (dalam Wiramihardja. 2007.
79) menunjukkan bahwa secara umum wanita lebih tinggi tingkat kecemasannya
dibandingkan pria. Tinggi rendahnya tingkat kecemasan menghadapi masa depan
yang dialami narapidana berbeda-beda karena adanya perbedaan individu.
Salah satu faktor yang mempunyai pengaruh pada tinggi rendahnya
tingkat kecemasan menghadapi masa depan adalah konsep diri (Gunarsa. 1989.
274). Calhoun dan Acocella (1990. 67) mendefinisikan bahwa konsep diri
merupakan gambaran mental setiap individu yang terdiri atas pengetahuan tentang
dirinya sendiri, pengharapan bagi diri sendiri dan penilaian tentang diri
sendiri. Individu yang memiliki konsep diri positif yaitu individu yang tahu
betul siapa dirinya sehingga dirinya dapat menerima segala kelebihan dan
kekurangan, evaluasi terhadap dirinya menjadi lebih positif serta mampu
merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas. Sedangkan individu yang
memiliki konsep diri negatif yaitu individu yang tidak tahu siapa dirinya dan
tidak mengetahui kekurangan dan kelebihannya, selalu merasa cemas, rendah diri
dalam pergaulan sosialnya, rasa ancaman terhadap diri, serta individu yang
memandang dirinya dengan sangat teratur dan stabil (Calhoun dan Acocella. 1990.
72) . Lebih lanjut, Calhoun dan Acocella (1995. 79) menyatakan bahwa konsep
diri berguna untuk melatih kontrol terhadap stressor, yang berperan penting dalam
keterbangkitan kecemasan. Individu yang percaya bahwa mereka mampu melakukan
control terhadap acaman tidak mampu mengalami keterbangkitan kecemasan yang
tinggi. Sebaliknya mereka yang percaya bahwa mereka tidak mengatur ancaman
mengalami keterbangkitan kecemasan yang tinggi. Pendapat yang sama dikemukakan
oleh Feist dan Feist (dalam Novianto. 2008. 39) bahwa ketika seseorang
mengalami ketakutan yang tinggi, kecemasan yang akut atau tingkat stress yang
tinggi, maka biasanya mereka mempunyai konsep diri yang rendah. Sementara
mereka yang memiliki konsep diri yang tinggi merasa mampu dan yakin terhadap
kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan menganggap ancaman sebagai suatu
tantangan yang tidak perlu dihindari. Dengan kata lain, semakin tinggi konsep
diri seorang narapidana, maka tingkat kemecasan menghadapi masa depan semakin
rendah, begitu pula sebaliknya. Ada banyak faktor yang mempengaruhi konsep
diri.
Calhoun dan Acocella (1995. 77) menyatakan faktor yang mempengaruhi
konsep diri antara lain; orang tua, teman sebaya dan masyarakat. Pola konsep
diri pada narapidana dapat terbentuk melalui proses belajar dalam interaksinya
dengan lingkungan di penjara, karena individu tidak lahir dari konsep diri.
Konsep diri terbentuk seiring dengan perkembangan konsep diri adalah interaksi
individu dengan orang lain yang memberikan pengaruh secara langsung maupun
tidak langsung. Islam juga menganjurkan kepada umatnya supaya setiap hari
berdiri di depan cermin yang besar untuk senantiasa dapat melihat keadaannya
sendiri, yaitu kekurangan dan kelebihannya sehingga manusia bisa menyadari dan
menerima keadaan diri yang sesungguhnya tanpa memikirkan keadaan diri orang
lain yang lebih sempurna (Nasution. 1988. 7). Mengenal diri sendiri sangat
penting bagi setiap manusia sebelum kita mengenal orang lain, karena dengan
menenal diri sendiri kita mampu menerima diri sendiri, dan juga dapat menerima
orang lain. Seperti yang dijelaskan oleh Erich Fromm (dalam Calhoun dan
Acocella. 1995. 74) bahwa cinta pada diri sendiri adalah prasyarat untuk dapat
mencintai orang lain. Hal ini merupakan salah satu ciri konsep diri yang
positif. Narapidana yang memiliki konsep diri yang baik atau positif maka akan
lebih siap bila menghadapi kehidupan di masyarakat setelah bebas, sedangkan
narapidana yang memiliki konsep diri yang buruk atau negatif pasti kurang siap
dalam menghadapi kehidupan di masyarakat setelah bebas, serta dapat berakibat
pada kecemasan dan kecenderungan depresi pada narapidana. Dari hasil wawancara
yang peneliti lakukan pada salah satu narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
wanita Malang, didapat data bahwa narapidana dalam kesahariannya pada saat
mengingat masa depannya sering mengalami kecemasan, yang dirasakan narapidana
ketika teringat masa depannya adalah perasaan malu kepada orang-orang
disekitarnya, Kepikiran bagaimana nanti kalau pulang takut diejek oleh
orang-orang ketika kembali kepada keluarga dan masyarakat karena orang biasanya
menilai narapidana negatif, rendah diri terhadap lingkungan sosialnya ketika
akan keluar dari penjara, bingung harus bagaimana atau melakukan apa, dan
mengalami kebingungan jika harus berinteraksi kembali dengan masyarakat serta
khawatir terhadap masa depannya berkaitan dengan statusnya sebagai narapidana
(Widy nama samaran. 8 November 2011).
Sedangkan dalam wawancara Subjek penelitian menunjukkan konsep diri
yang positif, hal ini ditunjukkan dengan keyakinan diri subjek bisa
mengembangkan diri secara optimal sesuai bakat dan kemampuannya, bahkan optimis
mampu menyesuaikan diri dalam berinteraksi dengan keluarga ataupun masyarakat,
dan yakin bisa menemukan solusi dalam setiap masalah yang muncul dalam
kehidupan sehari-harinya, selain itu subjek juga yakin mampu mengontrol emosi
ketika sedang teringat tentang masa depannya ataupun jika ada yang mengungkit
masa lalunya terkait dengan keberadaannya di lapas. Namun, dari hasil wawancara
yang telah dilakukan pada salah satu narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
wanita Malang menunjukkan hasil yang berbeda dengan teori, bahwa konsep diri
positif pada subjek penelitian tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan
di lapangan dalam kaitannya dengan kecemasan menghadapi masa depan. Subjek
penelitian menyatakan ketidak percayaan terhadap diri sendiri ketika akan
menghadapi masa depan. Dalam hal ini subjek penelitian merasa kesulitan untuk
berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitarnya, malu kepada keluarga dan
masyarakat dan mengalami kebingungan untuk melakukan sesuatu. Selanjutnya yang
juga dikemukakan dalam hasil wawancara, bahwa subjek penelitian tidak sepenuhnya
mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dan mengatasi kecemasan dalam
menghadapi kehidupan masa depannya. Kondisi ini menjadi hambatan bagi subjek
untuk pembentukan proses konsep diri yang positif, meskipun sebelumnya subjek
mempunyai keyakinan yang tinggi untuk mengembangkan kemampuaanya secara optimal
dalam hubungannya menghadapi masa depan. Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa
narapidana dengan konsep diri positif masih memiliki kecemasan menghadapi masa
depan yang tinggi. Kemampuan dan penyesuaian diri tidak secara otomatis
menurunkan kecemasannya untuk menghadapi masa depan.
Berdasarkan latar belakang yang telah diurakan diatas, maka
penelitian ini dimaksudkan untuk menguji teori Calhoun dan Acocella dan teori
Atkinson dan untuk mengetahui dengan jelas “hubungan konsep diri dengan
kecemasan narapidana menghadapi masa depan di Lembaga Pemasyarakatan wanita
Malang”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep diri narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan wanita Malang?
2. Bagaimana tingkat kecemasan narapidana menghadapi masa depan di
Lembaga Pemasyarakatan wanita Malang?
3. Adakah hubungan antara konsep diri dengan kecemasan narapidana
menghadapi masa depan di Lembaga Pemasyarakatan wanita Malang?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui konsep
diri narapidana di Lembaga Pemasyarakatan wanita Malang.
2. Untuk mengetahui tingkat kecemasan narapidana menghadapi masa
depan di Lembaga Pemasyarakatan wanita Malang.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara konsep diri dengan
kecemasan narapidana menghadapi masa depan di Lembaga Pemasyarakatan wanita
Malang.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam usaha
mengembangkan ilmu-ilmu psikologi, khususnya dalam proses pembinaan narapidana
di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang berkaitan dengan konsep diri dan kecemasan
menghadapi masa depan.
2. Secara Praktis
a. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan gambaran dan pemahaman baru bagi narapidana sejauh manakah
konsep diri dan kecemasan menghadapi masa depan yang mereka miliki, dan sebagai
masukan bagi narapidana untuk meningkatkan kualitas kepribadian berupa konsep
diri yang positif serta penyesuaian diri yang baik di masyarakat dan kesiapan
terjun kembali ke lingkungan masyarakat pasca keluar dari penjara.
b. Sebagai masukan dan dapat
memberikan konstribusi bagi pihak Lembaga Permasyarakatan dalam menyusun serta
peningkatan program pembinaan.
c. Sebagai masukan bagi
masyarakat untuk dapat lebih memahami agar tidak memberi stigma yang buruk
serta stigma negatif pada mantan narapidana karena secara tidak langsung stigma
buruk dan negatif dari masyarakat dapat berpengaruh pada pembentukan konsep
diri pada mantan narapidana sehingga dapat mengganggu proses adaptasi mantan
narapidana di kehidupan masyarakat.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Akutansi :Hubungan konsep diri dengan kecemasan narapidana menghadapi masa depan di lembaga pemasyarakatan wanita Malang. Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment