Abstract
INDONESIA:
Syukur adalah kecenderungan atau kehendak seseorang dalam menanggapi segala sesuatu yang diberikan Allah SWT baik yang berupa ujian/cobaan dan barokah/nikmat dengan tanggapan yang baik, baik secara lisan dengan mengucap hamdalah maupun perbuatan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan ranah psikologi positif khususnya subjective well being, dimana syukur termasuk di dalam salah satu komponennya. Subjective well being sendiri ialah suatu bentuk pengukuran kualitas hidup seseorang dalam memenuhi kepuasan hidupnya dan mengevaluasi kehidupannya dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Subjective wellbeing dapat dilihat dari 4 aspek : (a) Emosi positif, (b) Emosi Negatif, (c) Kepuasan Hidup, dan (d) Kepuasan domain. Oleh karena itu, manusia diharapkan mampu memaknai hidupnya secara positif dan tetap bersyukur terhadap segala hal yang mereka miliki saat ini sehingga mampu membawa mereka mencapai kepuasan subjektif yang diinginkan.
Dalam penelitian ini, yang ingin diketahui ialah (1) Tingkat syukur mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Maliki, (2) Tingkat Subjective Well Being mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Maliki, serta (3) Hubungan syukur dengan subjective well being. Sedangkan rancangan penelitian yang dipakai adalah kuantitatif. Subyek penelitian ialah mahasiswa fakultas Psikologi dengan rincian Semester I sebanyak 32 orang, Semester III 36 orang, Semester V
38 orang, dan Semester VII 36 orang. Dan metode pengumpulan datanya adalah angket, wawancara, dan dokumentasi dengan analisa data yang digunakan adalah korelasi Product Moment. Kemudian untuk uji validasi aitem tingkat syukur terdapat 20 aitem yang valid dan 5 aitem yang gugur, dengan nilai koefesien terendah adalah 0,262 dan nilai koefesien tertinggi adalah 0,510. Sedangkan untuk tingkat Subjective Well Being sebanyak 37 aitem yang valid dan 18 aitem yang gugur dari total aitem yaitu 55 aitem, dengan nilai koefisien terendah 0,278 dan nilai koefisien tertinggi 0,637.
38 orang, dan Semester VII 36 orang. Dan metode pengumpulan datanya adalah angket, wawancara, dan dokumentasi dengan analisa data yang digunakan adalah korelasi Product Moment. Kemudian untuk uji validasi aitem tingkat syukur terdapat 20 aitem yang valid dan 5 aitem yang gugur, dengan nilai koefesien terendah adalah 0,262 dan nilai koefesien tertinggi adalah 0,510. Sedangkan untuk tingkat Subjective Well Being sebanyak 37 aitem yang valid dan 18 aitem yang gugur dari total aitem yaitu 55 aitem, dengan nilai koefisien terendah 0,278 dan nilai koefisien tertinggi 0,637.
Berdasarkan perhitungan statistik (SPSS 16.0), maka sebesar 0,809 menunjukkan skala syukur dan skala Subjective Well Being sebesar 0,896. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) Tingkat syukur mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Maliki lebih banyak berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 85,3 % dan hanya 1 % pada kategori rendah, (b) Tingkat Subjective Well Being mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Maliki berada pada kategori sedang yaitu sebesar 73,23 %, dan pada kategori rendah sebesar 13,38 %, dan (c) Hasil analisis uji korelasi product momentnya sebesar 0,276 dengan p = 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat syukur dengan subjective well being karena p < 0,050 dapat dijelaskan dengan (rxy = 0,276; sig = 0,000 < 0,05).
ENGLISH:
Gratitude is the tendency of a person's will or in responding to everything that is given either in the form of Allah/test trials and barokah/good response with the favors, either orally or by giving hamdalah deed. It is very closely related to the realm of positive psychology in particular subjective well being, in which gratitude is included in one of its components. Subjective well being itself is a form of measuring a person's quality of life satisfaction in fulfilling his life and his life with the purpose to evaluate the reach the happiness of his life. Subjective wellbeing can be seen from 4 aspects: (a) positive emotions, Negative Emotions (b), (c) the life satisfaction, and (d) the satisfaction of domain. Therefore, the man expected to define her life positively and remain grateful to all the things that they currently have so that they are able to bring the subjective satisfaction reaches the desired.
In this research, who wants to know is (1) the level of gratitude students faculty Psychology UIN Maliki, (2) the level of Subjective Well Being of students of the Faculty of psychology of the UIN Maliki, as well as (3) the relationship of gratitude with subjective well being. While the research design used is quantitative. The subject of research is the student of Faculty of Psychology with the details of the first half as many as 32 people, Semester III 36, Semester V 38, and Semester VII 36 people. And its data collection method is angket, interviews and documentation with data analysis that is used is the Product Moment correlation. Then to test validation level of gratitude there are 20 aitem aitem valid and 5 the autumn, with aitem value koefesien the lowest 0,262 and the value of koefesien is the highest is 0,510. As for the level of Subjective Well Being as much as 37 aitem valid and 18 a fall out of a total aitem aitem i.e. 55 aitem, with the lowest coefficient 0,278 value and the value of the coefficient of highest 0.637.
Based on the calculation of statistics (SPSS 16.0), then shows the scale of gratitude and 0.809 scale of Subjective Well Being of 0,896. The results showed that (a) the level of gratitude of students of the Faculty of psychology of the UIN Maliki a lot more are on a high category. for 85,3% and only 1% in the low category, (b) the level of Subjective Well Being of students of the Faculty of psychology of the UIN Maliki is in a category is that of 73,23%, and in the low category of 13,38%, and (c) the results of the analysis of the correlation test of 0,276 with momentnya product p = 0.001. This shows that there is a significant relationship between the level of gratitude with subjective well being because p < 0,050 can be explained by (rxy = 0,276 sig = 0.000 < 0.05).
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Tujuan hidup manusia
pastilah kebahagiaan, akan tetapi cara mencapai kebahagian itulah yang membuat
seseorang harus menghalalkan segala cara agar dirinya sendiri bahagia. Perasaan
bahagia dan kesedihan dalam hidup manusia adalah hal yang wajar terjadi. Akan
tetapi jika mampu mengoptimalkan perasaan bahagia dan sedih itu ke arah yang
positif maka manusia pasti mampu berpikir positif terhadap semua masalah yang
dihadapinya. Kebahagiaan kerapkali dikaitkan dengan kondisi emosional dan
bagaimana individu merasakan dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Sejumlah
pakar memproposisikan bahwa kebahagiaan seharusnya bukan menjadi tujuan dalam
hidup tetapi seharusnya dijadikan sebagai produk kehidupan manusia. Allport
mengungkapkan bahwa kebahagiaan bukanlah tujuan, tetapi merupakan konsekuensi
yang mungkin terjadi akibat keterlibatan seseorang sepenuhnya dalam
kehidupannya.1 Kondisi kebahagiaan itu sendiri bukanlah kekuatan yang
memotivasi tetapi dampak dari termotivasinya aktivitas seseorang. Hal seperti
di atas inilah yang coba dilihat dalam psikologi positif, yang berupaya untuk
melihat sisi positif sosok manusia. Pemrakarsa psikologi positif, Seligman
melihat bahwa
ditengah ketidakberdayaannya, manusia selalu memiliki kesempatan
untuk melihat hidup secara lebih positif.2 Manusia dipandang sebagai makhluk
yang bisa bangkit dari segala ketidakberdayaan dan memaksimalkan potensi diri.
Psikologi positif melihat manusia sebagai sosok yang mampu menentukan cara
memandang kehidupan. Psikologi positif berpusat pada pemaknaan hidup, bagaimana
manusia memaknai segala hal yang terjadi dalam dirinya, dimana pemaknaan ini
bersifat sangat subyektif. Untuk itulah, pemaknaan hidup yang positif merupakan
hal yang sangat penting agar manusia, dengan berbagai latar belakangnya, dengan
berbagai subyektivitas yang dimilikinya, mampu meraih kebahagiaan atau disebut
subyektif well being (kesejahteraan subyektif). Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Ronald Inglehart, dkk.
Dapat diketahui bahwa 45
negara dari 52 negara yang disurvei dalam kurun waktu 1981-2007 sudah mampu
meningkatkan SWB sebesar 77% dengan kepuasan hidup 63% dan kebahagiaan 87%.
Kebahagiaan ditanggapi lebih positif dalam beberapa dekade terakhir daripada
kepuasan hidup. Salah satu alasannya adalah karena kepuasan hidup lebih peka
terhadap kondisi ekonomi dari kebahagiaan, dan di negara-negara eks-komunis
banyak pembebasan politik dan sosial pada beberapa tahun terakhir didampingi
oleh keruntuhan ekonomi, membawa kebahagiaan naik tetapi kepuasan hidup
menurun. Sampai kemakmuran ekonomi dipulihkan, orang-orang dari negara lain
mengalami kebahagiaan naik tetapi penurunan yang tajam dalam kepuasan hidup.
Subjective well being merupakan konsep yang luas, meliputi emosi
pengalaman menyenangkan, rendahnya tingkat mood negatif, dan kepuasan hidup
yang tinggi.4 Istilah subjective well-being didefinisikan sebagai evaluasi
kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi
penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan
penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan hidup. Seseorang dikatakan
memiliki subjective well-being yang tinggi jika mereka merasa puas dengan
kondisi hidup mereka, sering merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi
negatif..5 Subjective well being tersusun dari beberapa komponen utama,
termasuk kepuasan hidup secara umum, kepuasan terhadap ranah spesifik
kehidupan, adanya afek yang positif (mood dan emosi yang menyenangkan), dan
ketiadaan afek negatif (mood dan emosi yang tidak menyenangkan).6 Keempat
komponen utama itu, yaitu afek positif, afek negatif, kepuasan hidup dan
kepuasan domain, memiliki korelasi sedang satu sama lain, dan secara konseptual
berkaitan satu sama lain. Namun, tiap-tiap komponen menyediakan informasi unik
mengenai kualitas subjektif kehidupan seseorang. Afek positif dan afek negatif
termasuk ke dalam komponen afektif, sementara kepuasan hidup dan domain
kepuasan termasuk kedalam komponen kognitif.7 Sementara itu, penelitian lain
yang dilakukan secara sistematis menggambarkan hubungan variasi demografis
dengan subjective well being. Sejumlah penemuan replikasi
menghasilkan: (a) faktor demografis seperti usia, jenis kelamin,
dan pendapatan berhubungan dengan subjective well being; (b) efeknya biasanya
kecil; dan (c) banyak orang cukup bahagia, karena itu, factor demografis
cenderung membedakan antara orang yang cukup bahagia dan yang sangat bahagia.8
Menurut Seligman, salah satu upaya untuk meraih subjective well being adalah
dengan memiliki enam keutamaan hidup, yakni wisdom and knowledge, courage,
humanity, justice, temperance, dan transcendence. Dari enam keutamaan tersebut,
maka muncullah 24 karakter kekuatan (characters of strength) yang bisa dimiliki
oleh manusia untuk meraih keutamaan hidup, dimana salah satunya adalah
bersyukur (gratitude).9 Beberapa penelitian membuktikan gratitude seringkali
muncul sebagai karakter atau kekuatan yang dominan dan menonjol dibanding
kekuatan lainnya. Survey yang dilakukan oleh Gallup (1998) terhadap remaja dan
orang dewasa Amerika menunjukkan bahwa lebih dari 90% responden mengekspresikan
rasa syukur sehingga membantu mereka untuk merasa bahagia. Di Indonesia
sendiri, penelitian yang dilakukan oleh Lestari tentang profil karakter
kekuatan pada perawat di Rumah Sakit Cengkareng menunjukkan hasil serupa.
Bersyukur menjadi salah satu dari lima karakter yang paling menonjol dibanding
karakter kekuatan lainnya.10 Bersyukur didefinisikan sebagai rasa berterima
kasih dan bahagia sebagai respon penerimaan karunia, baik karunia tersebut
merupakan keuntungan yang terlihat dari orang lain atau pun momen kedamaian yang
ditimbulkan oleh keindahan alamiah.11 Secara singkat,
orang yang bersyukur adalah seseorang yang menerima sebuah karunia
dan sebuah penghargaan, dan mengenali nilai dari karunia tersebut. Orang yang
bersyukur mampu mengidentifikasikan diri mereka sebagai seorang yang sadar dan
berterima kasih atas anugerah Tuhan, pemberian orang lain, dan menyediakan
waktu untuk mengekspresikan rasa terima kasih mereka. Bersyukur bisa
diasumsikan sebagai keutamaan yang mengarahkan individu dalam meraih kehidupan
yang lebih baik. Penelitian yang dilakukan oleh Emmons & McCullough
menunjukkan bahwa kelompok yang diberikan treatment bersyukur memiliki skor
subjective wellbeing yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa bersyukur memberikan keuntungan
secara emosi dan interpersonal.12 Kebahagiaan dapat dirasakan oleh seseorang
yang sudah ikhlas menerima segala ujian dan cobaan dengan cara mensyukuri
problematika hidupnya. Rasa syukur seseorang tidak dapat dilihat dan dipikir
secara rasional seperti kasus Nabi Idris yang diberi ujian oleh Allah SWT.
Dimulai dengan diberi-Nya anak-anak yang banyak dan istri yang cantik. Nabi
Idris terus menerus bersyukur akan karunia yang begitu melimpah. Sampai suatu
hari, Allah SWT memberi cobaan yang tak terperi, yang secara dinalar tak
mungkin mampu dihadapi oleh manusia biasa, yaitu dipanggillah anak-anaknya satu
per satu menghadap Sang Rabb sampai tidak ada yang tersisa.
Lalu diberi penyakit oleh Allah SWT yang tak kunjung sembuh sampai
istrinya pun pergi meninggalkan dirinya sendirian, Beliau masih tetap bersyukur
akan cobaan tersebut. Sampai akhirnya Allah SWT memberinya wahyu berupa cara
menyembuhkan penyakit kulitnya.
Rasa syukur yang tiada habisnya dipanjatkan oleh Nabi Idris kepada
Allah dan akhirnya memberinya jawaban atas kesembuhan penyakit Beliau.
Peristiwa ini wajib kita tiru agar hidup kita dapat terus sejahtera kemudian
bahagia. Syukur atau dalam bahasa Inggris disebut gratitude berasal dari bahasa
latin, yaitu ”gratia”, yang berarti keanggunan atau keberterimakasihan. Arti
dari bahasa latin ini berarti melakukan sesuatu dengan kebaikan, kedermawanan,
kemurahan hati, dan keindahan memberi dan menerima. Bersyukur berasal dari
persepsi bahwa seseorang telah diuntungkan oleh tindakan orang lain. Bersyukur
muncul karena adanya penghargaan saat seseorang menerima karunia dan sebuah
apresiasi terhadap nilai dari karunia tersebut.13 Syukur adalah ungkapan
perasaan positif seseorang atas tindakan atau keadaan yang sedang dialaminya.
Para ilmuwan psikologi lebih senang menggunakan makna sebagai emosi/affect
dalam membahasakan syukur (gratitude). Para ahli, baik itu filsuf, agamawan,
sosiolog atau pun psikolog mengartikan syukur berdasarkan latar belakang
masing-masing yang pada intinya bahwa syukur sebagai sebuah emosi, mood, atau
sifat afektif yang akan melahirkan perasaan menyenangkan (pleasant),
kebahagiaan, dan kesejahteraan.14 Emmons & McCullough (2003) memaparkan
hasil penelitiannya, bahwa kelompok yang diberikan treatment rasa syukur
memiliki skor subjective wellbeing yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok lainnya. Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa dengan bersyukur,
seseorang akan mendapatkan keuntungan secara emosi dan interpersonal. Hal 13
Qoyyimah, Nur Rohmah H. 2010. Perbedaan Ting
Perbedaan antara makna subjective well being secara teoritis dan
factual di masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa Fakultas Psikologi, sangat
berbeda. Dimana seseorang merasa puas akan kehidupannya saat ini tetapi belum
mampu mensyukuri apa yang dimilikinya atau bahkan kebalikannya, padahal secara
teoritis, seseorang akan memiliki subjective well being yang tinggi jika telah
puas akan hidupnya, spesifik hidupnya (tercapainya tujuan hidup), serta mampu
mengelola afek positifnya dan mengurangi afek negatifnya. Perbedaan inilah yang
ingin diteliti oleh peneliti secara kontinuitas, dengan mengasumsikan bahwa
mahasiswa harusnya mampu bersyukur dan memiliki subjective well being tinggi
karena memiliki kemampuan secara financial (berasal dari orang tua sebagai uang
saku mereka), kemampuan berprestasi bagus, memiliki seseorang yang special saat
ini, dan tidak terkekang dengan masalah-masalah pelik lainnya kecuali tugas
mereka sebagai mahasiswa yaitu belajar dan mengerjakan tugas yang diberikan
oleh dosennya. Sehingga peneliti mengambil judul “Hubungan Tingkat Syukur
Terhadap Subjective Well Being Psikologi UIN MALIKI Malang”.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun
rumusan masalah yang ingin diungkap dalam penelitian ini, ialah:
1.
Berapa tingkat syukur mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Maliki? 2. Berapa
tingkat Subjective Well Being mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Maliki?
3.
Bagaimana hubungan syukur terhadap subjective well being pada mahasiswa
Fakultas Psikologi UIN Maliki?
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui tingkat syukur pada mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang.
2.
Mengetahui tingkat subjective wel being pada mahasiswa Fakultas Psikologi UIN
Maliki Malang.
3. Mengetahui hubungan syukur terhadap
subjective well being pada mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang
1.4
Manfaat
1.
Bagi Peneliti
a.
Sebagai aplikasi teori yang telah didapat dari bangku kuliah.
b.
Sebagai tugas akhir untuk syarat menempuh gelar sarjana (S-1) di lingkungan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
c.
Sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan mengenai hubungan syukur terhadap
subjective well being.
2. Bagi Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk meningkatkan
mutu dan kualitas mahasiswa dalam merealisasikan ilmu-ilmu psikologi serta
mampu mengatasi masalahmasalah yang terjadi pada ruang lingkup psikologi,
sehingga pada pelaksanaannya tidak bersifat teoritis saja melainkan bagaimana
pelaksanaannya di lapangan.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Akutansi : Hubungan tingkat syukur terhadap subjective wellbeing mahsiswa Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang". Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment