Abstract
INDONESIA:
Ketidakberdayaan orang tua dalam menghadapi kenyataan bahwa memiliki anak autis dalam pandangan Psikologi Positif juga memiliki kesempatan untuk dapat melihat hidup lebih positif dan merasakan hal-hal yang positif salah satunya adalah kebersyukuran. Kebersyukuran merupakan sebuah dimensi penting dalam hidup yang sifatnya universal, membahagiakan, dan membuat perasaan nyaman serta mampu memicu motivasi. Sementara kebermaknaan hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting dan memberi nilai khusus bagi seseorang yang jika terpenuhi, maka akan membuat individu merasa lebih bahagia, berharga dan memiliki tujuan yang mulia untuk dipenuhi. Masalah yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat kebersyukuran, tingkat kebermaknaan hidup, dan hubungan antara kebersyukuran dengan kebermaknaan hidup pada orang tua yang memiliki anak autis.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kebersyukuran, tingkat kebermaknaan hidup, dan hubungan antara kebersyukuran dengan kebermaknaan hidup pada orang tua yang memiliki anak autis. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara kebersyukuran dengan kebermaknaan hidup orang tua yang memiliki anak autis.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan dilakukan di Sekolah Autisme Laboratorium Universitas Negeri Malang dengan jumlah responden sebanyak 20 orang. Untuk mengukur variabel bebas yaitu kebersyukuran dan variabel terikat yaitu kebermaknaan hidup, peneliti menggunakan skala. Analisis yang digunakan adalah korelasi nonparametrik Spearman.
Berdasarkan hasil analisis data, menunjukkan bahwa 20 orang tua anak autis di Sekolah Autisme Laboratorium UM memiliki kebersyukuran pada taraf yang bervariasi, 20% menunjukkan kebersyukuran pada taraf tinggi, 60% pada taraf sedang dan 20% berada pada taraf rendah. Para orang tua juga memiliki kebermaknaan hidup pada taraf yang bervariasi, 15% menunjukkan kebermaknaan hidup pada taraf tinggi, 70% pada taraf sedang dan 15% berada pada taraf rendah. Sementara untuk korelasi ditemukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kebersyukuran dengan kebermaknaan hidup. Koefisien korelasinya menunjukkan 0,631 dan koefisien determinannya atau r2 = 0,40, yang artinya bahwa ada hubungan positif antara kebersyukuran dengan kebermaknaan hidup. Kebermaknaan hidup orang tua yang memiliki anak autis di Sekolah Autisme Laboratorium UM disumbang 40% dari kebersyukuran.
ENGLISH:
Powerlessness of the parents in the face of the fact that having an autistic child in view of the Positive Psychology also have the opportunity to see life more positively and feel the positive things that one is gratitude. Gratitude is an important dimension of life that are universal, happy, and create a feeling of comfort and able to trigger motivation. While the meaningfulness of life is something that is important and gives a special value for someone who if met, it will make people feel happier, valuable and has a noble goal to be met. Problems that will be revealed in this study is how the gratitude, the meaningfulness of life, and the relationship between the meaningfulness of life and gratitude to parents of children with autism.
This study aims to determine the level of gratitude, the level of meaningfulness of life, and the relationship between gratitude and meaningfulness of life at parents of children with autism. The hypothesis put forward is that there is a positive relationship between the gratitude and the meaningfulness of life parents of children with autism.
This study uses a quantitative approach and performed at the School of Autism Laboratory, State University of Malang with number of respondents as many as 20 people. To measure gratitude as independent variables and the meaningfulness of life as the dependent variable, researcher using a scale. The analysis used is the nonparametric Spearman correlation.
Based on the results of data analysis, showed that 20 parents of children with autism at the School of Autism Laboratory, State University of Malang has gratitude in varying degree, 20% showed a high degree gratitude on, the level was 60% and 20% are at low level. Parents also have the meaningfulness of life in varying degree, 15% showed a high level of meaningfulness in life, 70% in the standard medium and 15% are at low level. While for the correlation found that there was a significant positive relationship between gratitude and the meaningfulness of life. Correlation coefficient of 0.631 and the coefficient determinant shows or r2 = 0.40, which means that there is a positive relationship between gratitude and the meaningfulness of life. Meaningfulness of life of parents with autistic children in the School Laboratory of the UM Autism donated 40% of gratitude.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Dalam menjalani kehidupan ini,
tentunya seseorang pasti pernah mengalami beberapa masalah. Sesuatu dirasakan
atau dinilai sebagai suatu masalah ketika kenyataan tidak sesuai dengan
keinginan atau harapan. Akibatnya mereka menganggap kondisi tersebut sebagai
sesuatu yang sangat menyedihkan ataupun menyakitkan. Hal inilah yang coba
dilihat oleh psikologi positif, yang berusaha melihat sisi positif sosok
manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam Arbiyah, dkk (2008) melihat
bahwa ditengah ketidakberdayaannya, manusia selalu memiliki kesempatan untuk
melihat hidup secara lebih positif. Ia juga menambahkan bahwa sesungguhnya ada
jalan keluar dari keadaan yang menghimpit, dimana psikologi positif akan
membawa kita pada perasaanperasaan positif salah satunya adalah kebersyukuran.
Peterson & Seligman (2004), bersyukur adalah rasa berterima kasih dan
bahagia sebagai respon penerimaan karunia, baik karunia tersebut merupakan keuntungan
yang terlihat dari orang lain atau pun momen kedamaian yang ditimbulkan oleh
keindahan alamiah. Bersyukur bisa diasumsikan sebagai keutamaan yang
mengarahkan individu dalam meraih kehidupan yang lebih baik. 2 Orang yang
bersyukur adalah seseorang yang menerima sebuah karunia, penghargaan, dan
mengenali nilai dari karunia tersebut. Orang yang bersyukur mampu
mengidentifikasikan diri mereka sebagai seorang yang sadar dan berterima kasih
atas anugerah Tuhan, pemberian orang lain, dan menyediakan waktu untuk
mengekspresikan rasa terima kasih mereka. Oleh karena psikologi positif
terpusat pada pemaknaan hidup, bagaimana manusia memaknai segala hal yang
terjadi dalam dirinya, dimana pemaknaan ini bersifat sangat subyektif. Untuk
itulah, pemaknaan hidup yang positif merupakan hal yang sangat penting. Menurut
Frankl (2004), makna hidup adalah arti hidup bagi seseorang manusia. arti hidup
yang dimaksudkan adalah arti hidup bukan untuk dipertanyakan, tetapi untuk
direspon karena kita semua bertanggung jawab untuk suatu hidup. Respon yang
diberikan bukan dalam bentuk kata-kata akan tetapi dalam bentuk tindakan.
Frankl (2004) juga menyatakan bahwa kebermaknaan hidup yang bersifat personal,
dapat berubah seiring berjalannya waktu maupun perubahan situasi dalam kehidupan
seseorang. Setiap orang bisa memiliki makna hidup yang berbeda-beda setiap
waktunya bahkan setiap jam. Oleh karena itu, yang terpenting adalah makna
khusus dari hidup seseorang pada saat tertentu, seperti saat memiliki anak
autis. Autis merupakan suatu keadaan yang menyebabkan anak-anak hanya memiliki
perhatian terhadap dunianya sendiri (Muhammad, 2007). Ketidakmampuan ini
ditandai dengan gangguan dalam komunikasi, indrawi, 3 interaksi sosial, emosi,
dan pola bermain. Gangguan tersebut dapat terlihat ketika mereka di usia
kanak-kanak. Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III,
autis digolongkan dalam golongan gangguan perkembangan yang banyak terjadi di
masa kanak-kanak. Sehingga autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks
menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Autisme yang
juga merupakan gangguan perkembangan organik yang mempengaruhi kemampuan
anak-anak dalam berinteraksi dan menjalani kehidupannya. Berikut mengenai data
perkiraan jumlah anak autis pada tahun 1990-an hingga saat ini.
Tabel 1.1 Data Perkiraan Jumlah Anak
Autis TAHUN JUMLAH KETERANGAN 1990-an 10-20 per 10.000 anak Di Amerika Serikat
2000-an 1 per 150 anak Di Amerika Serkat 2002 1 dibanding 150 anak Di Indonesia
2004 475 ribu anak Di Indonesia, Menteri Kesehatan, 2008 dan Dr.Widodo, 2006
2006 1 dari 150-200 orang anak Di Indonesia, Menteri Kesehatan, 2008 dan
Dr.Widodo, 2006 2010 1 dari 150-200 orang anak Di Indonesia 2012 1 dari 110
anak satu dari 100 Di Amerika Serikat Centre for Disease Control and Prevention
Di Indonesia, Autism Care Indonesia 4 Berdasarkan data-data jumlah anak autis
tersebut, dapat dikatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah anak autis pada
setiap tahunnya. Peningkatan tersebut menyebabkan banyak orang tua yang khawatir
ancaman autis bakal menimpa anaknya. Mereka mulai panik ketika bayi mereka
tidak bereaksi keika dipanggil, sering menangis, tidak ada eye contact, tidak
tersenyum dan kadang terpukau dengan suatu benda (detikHealth, 2009). Orang tua
memunculkan beragam reaksi emosional ketika pertama kali mengetahui bahwa
anaknya memiliki gangguan autisme. Reaksi emosional orang tua berbeda satu sama
lain ketika mengetahui diagnosis autis bagi anak mereka. Safaria (2005)
menguraikan beberapa reaksi emosi yang sering dialami oleh para orang tua,
seperti shock, penyangkalan dan merasa tidak percaya, sedih, terlalu melindungi
atau kecemasan, menolak keadaan, perasaan tidak mampu dan malu, marah, perasaan
bersalah serta berdosa, dan ada pula yang merasa bahwa mereka perlu melangkah
setahap demi setahap serta menganggap bahwa perjuangan belum berakhir.
Meskipun reaksi awal bervariasi dan
kebanyakan adalah reaksi emosi yang negatif, tetapi hal tersebut dapat
dikatakan wajar. Pada umumnya orang tua yang memiliki anak autis akan mengalami
stres. Stres terjadi bukan hanya pada ibu tetapi juga pada ayah. Ibu cenderung
mengalami perasaan bersalah dan depresi atas ketidakmampuan anaknya dan ibu
lebih mudah terganggu secara emosional. Ibu merasa stres karena perilaku yang
ditampilkan oleh anaknya seperti tantrum, hiperaktif, kesulitan bicara,
perilaku yang tidak lazim, ketidakmampuan bersosialisasi dan berteman. Berbeda
dengan ayah yang juga mengalami stres akan tetapi tidak seberat ibu. Stres pada
ayah terjadi karena dampak stres yang dialami oleh ibu.
Hal ini dikarenakan peran ayah yang
tidak banyak terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari (Cohen & Volkmar
dalam Lubis, 2009). Dalam menerima kehadiran anak dengan gangguan autisme,
beragam hal terjadi pada diri orangtua. Orangtua biasanya stres, kecewa, patah
semangat, mencari pengobatan keman-mana, serba khawatir terhadap masa depan
anaknya dan lain-lain (Widihastuti, 2007). Hal ini diperjelas oleh pendapat
menurut Hopes dan Harris dalam Lubis (2009), bahwa orang tua dengan anak autis
akan mengalami stres yang lebih besar daripada orang tua dengan anak yang
mengalami keterbelakangan mental, ini karena hilangnya respon interpersonal
pada anak-anak autisme tersebut. Selain itu, tingkat keparahan dari
gejala-gejala autisme merupakan salah satu hal yang mempengaruhi stres orang
tua. Ada perasaan yang cukup berat untuk menerimanya dan juga penuh tantangan
untuk dimaknai secara positif, sebelum akhirnya sampai pada tahap memiliki
kebermaknaan dalam hidup mereka. Seligman (2002) mengatakan bahwa makna hidup
dapat tercapai dengan cara mengaitkan diri pada sesuatu yang lebih besar.
Semakin besar entitas tempat untuk menambatkan diri, maka semakin bermakna
suatu hidup. Menurut Bastaman (2007), makna hidup dianggap sangat penting dan
berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan
tujuan dalam kehidupan (the purpose in life).
Dan proses pencapaian kebermaknaan
hidup pada umumnya diawali dengan penderitaan (suffering) (Cynthia, 2007).
Beberapa penelitian mengenai kebersyukuran, membuktikan bahwa bersyukur sebagai
karakter atau kekuatan yang seringkali muncul, dominan dan menonjol dibanding
kekuatan lainnya. Survey oleh Gallup (1998) dalam Arbiyah, dkk (2008) terhadap
remaja dan orang dewasa Amerika menunjukkan bahwa lebih dari 90% responden
mengekspresikan rasa syukur sehingga membantu mereka untuk merasa bahagia. Di
Indonesia sendiri, penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2006) dalam Arbiyah,
dkk (2008) tentang profil karakter kekuatan pada perawat di Rumah Sakit
Cengkareng menunjukkan hasil serupa. Bersyukur menjadi salah satu dari lima
karakter yang paling menonjol dibanding karakter kekuatan lainnya. Penelitian
lain yang berkaitan dengan kebersyukuran maupun kebermaknaan hidup adalah
sebagai berikut. Tabel 1.2 Penelitian Kebersyukuran dan Kebermaknaan Hidup N o
Peneliti Judul Penelitian Hasil penelitian Persamaan Perbedaan 1 Nurul Arbiyah,
Fivi Nurwiant i Imelda, dan Ika Dian Oriza (2008) Jurnal: Hubungan Bersyukur
dan Subjective Well Being Pada Penduduk Miskin Ada hubungan positif yang
signifikan antara bersyukur dengan subjective well being pada Menggunakan
variabel bersyukur, pendekatan kuantitatif, dan studi korelasi atau hubungan
dua variabel Dikorelasikan dengan Subjective Well Being dan sampel pada penduduk
miskin penduduk miskin. Mayoritas partisipan memiliki tingkat bersyukur dan
subjective well being yang sedang dan cenderung melakukan bersyukur
transpersonal. Selain itu, ditemukan pula bahwa jenis kelamin berpengaruh
terhadap rasa syukur dan subjective well being, sementara tingkat pendidikan
berpengaruh terhadap rasa syukur. 2 Aminah Permata Ummu Hanifah (2009) Skripsi:
Kebermaknaa n Hidup Pada Orang Tua Dengan Anak Retardasi Mental Setiap subjek
dapat melakukan perubahan dari penghayatan hidup tidak bermakna menjadi
penghayatan hidup bermakna, namun pola kebermaknaa n hidupnya berbeda. Mengkaji
kebermaknaa n hidup pada orang tua yang memiliki anak berbeda dari harapan
Menggunakan subjek penelitian orang tua dengan anak retardasi mental dan
pendekatan kualitatif Alin Riwayati (2010) Skripsi: Hubungan Kebermaknaa n
Hidup Dengan Penerimaan Diri Pada Orang Tua Yang Memasuki Masa Lansia Terdapat
hubungan yang positif antara kebermaknaa n hidup dengan penerimaan diri. Dimana
semakin tinggi kebermaknaa n hidup yang dimiliki oleh lansia semakin tinggi
pula penerimaan dirinya Menggunakan variabel kebermaknaa n hidup, pendekatan
kuantitatif, dan studi korelasi atau hubungan dua variabel Dikorelasikan dengan
penerimaan diri dan sampel penelitiannya adalah orang tua yang memasuki masa
lansia Azizah Batubara (2011) Skripsi: Hubungan Antara Komitmen Religius Dengan
Kebermaknaa n Hidup Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang Komitmen
religius berhubungan 28% dengan kebermaknaa n hidup, semakin tinggi komitmen
religius maka semakin tinggi kebermaknaa n hidup. Menggunakan variabel
kebermaknaa hidup, pendekatan kuantitatif, dan studi korelasi atau hubungan dua
variabel Sampel penelitian pada Mahasiswa Psikologi UIN Maliki Malang dan di
korelasikan dengan komitmen religius 5 Dewi Rinane (2010) Skripsi: Pengaruh
Keyakinan Pada AyatAyat AlQur'an Terhadap Kebermaknaa n Hidup Pasien di Bengkel
Hati Darul Inabah Gresik Pengaruh keyakinan pada ayatayat AlQur’an terhadap
kebermaknaa n hidup adalah sebesar 26%. Menggunakan variabel kebermaknaa n
hidup dan pendekatan kuantitatif Sampel penelitian pada Pasien di Bengkel Hati
Darul Inabah Gresik, studi komparatif atau perbedaan. 9 Penelitian-penelitian
tersebut membuktikan bahwa kebermaknaan hidup masih layak dan sangat penting
untuk diteliti dengan pendekatan yang juga berbeda. Namun, untuk penelitian
kebermaknaan hidup yang dikorelasikan dengan kebersyukuran belum ditemui.
Sehingga bisa dikatakan bahwa penelitian ini baru dan peneliti merasa tertarik
untuk melihat, apakah ada korelasi antara kebersyukuran dengan kebermaknaan
hidup orang tua yang memiliki anak autis. Peneliti merancang penelitian ini
dengan judul “Hubungan Kebersyukuran dengan Kebermaknaan Hidup Orang Tua yang
Memiliki Anak Autis.”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat kebersyukuran orang tua yang memiliki anak
autis?
2. Bagaimana tingkat kebermaknaan hidup orang tua yang memiliki
anak autis?
3. Bagaimana hubungan antara kebersyukuran dengan kebermaknaan
hidup orang tua yang memiliki anak autis?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat kebersyukuran orang tua yang memiliki
anak autis.
2. Untuk mengetahui tingkat
kebermaknaan hidup orang tua yang memiliki anak autis.
3. Untuk mengetahui hubungan antara kebersyukuran dengan
kebermaknaan hidup orang tua yang memiliki anak autis.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini,
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi keilmuan baik dari aspek teoritis
maupun aspek praktis sebagai berikut:
1. Aspek teoritis,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru atau pengetahuan
mengenai teori psikologi khususnya kebersyukuran atau kebermaknaan hidup,
2.
Aspek praktis, penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sumber untuk modul atau
bahan bacaan tambahan bagi para orang tua yang memiliki anak autis, sehingga
dapat senantiasa meningkatkan kebersyukuran dan kebermaknaan hidupnya atau
bahkan bukan orang tua yang memiliki anak dengan autis sekalipun.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Manajemen :Hubungan kebersyukuran dengan kebermaknaan hidup orang tua yang memiliki anak autis. Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment