Abstract
INDONESIA:
Semenjak Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 diputuskan, semua daerah otonom di tingkat propinsi dan kabupaten/kota diberi wewenang untuk mengurusi dan mengatur wilayahnya sendiri. Hal ini disertai dengan pengurangan wewenang pemerintah pusat dalam beberapa aspek, termasuk aspek keuangan. Dengan demikian pemerintah daerah dituntut untuk mengoptimalkan Penerimaan Asli Daerah untuk membiayai operasionalnya. Beberapa laporan menunjukkan tingginya kegagalan otonomi daerah dikarenakan rendahnya PAD tidak sebanding dengan pengeluaran belanja pemerintah daerah. Tujuan dari penelitian ini untuk membuktikan apakah hal tersebut juga terjadi di Kabupaten Nganjuk berdasarkan pada data-data yang berhasil diungkap.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan tujuan untuk menggambarkan fokus penelitian secara sistematis yang meliputi kemampuan keuangan, kinerja keuangan, dan pencapaian keberhasilan otonomi daerah. Subyek penelitian adalah empat lembaga pemerintah daerah Kabupaten Nganjuk yang berhubungan dengan keuangan daerah dan otonomi daerah. Data dikumpulkan dengan cara observasi, dokumentasi, dan wawancara. Analisa data melalui empat tahap: reduksi data, penyajian data, konfirmasi narasumber, dan penarikan kesimpulan.
Dari hasil penelitian menunjukkan Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Nganjuk sangat kurang (<10%) dan menunjukkan Pola Hubungan Tingkat Kemampuan Daerah yang Instruktif, yang berarti kebijakan pemerintah yang diambil harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat. Meskipun demikian, indikator kinerja keuangan menunjukkan tren yang bagus, di mana PAD yang terserap melebihi target. Sedangkan untuk keberhasilan otonomi dilihat dari ukuran IPM, lebih banyak dipengaruhi bentuk struktur anggaran belanja daerah, di mana porsi belanja lebih banyak dianggarkan untuk bidang pendidikan dan kesehatan, sehingga nilai IPM, Angka Melek Huruf, dan Angka Harapan Hidup Kabupaten Nganjuk termasuk tinggi.
ENGLISH:
Since the deciding of Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, all of provinces and Kabupatens/Kotas had been authorized to manage and regulate its own territory, accompanied by a reduction of central government authority in some aspects, including financial aspects. Therefore, all of autonomous regions are required to optimize the District Own Resource Revenue/DORR (Penerimaan Asli Daerah/PAD) to payed the operational cost of regional government. Some reports was showed a high failure of regional autonomy caused by the low DORR value that’s not comparable with the expenditure of local government. The goal of this study is to proving whether this case probably happen in Kabupaten Nganjuk, based on the uncovered data.
This study is using descriptive qualitative approach to describe the research focus systematically includes indicator of financial capacity, financial performance, and achievements of regional autonomy. The research subjects are four regional government institutions of Kabupaten Nganjuk that related to regional finance and regional autonomy. The data was collected by observation, documentation, and interviews. And the analysis of data through four stages: data reduction, data presentation, sources confirm, and conclusion.
The results was showing that the Degree of Fiscal Decentralization of Kabupaten Nganjuk is very less (<10%) and the Regional Capability Level Relationship pattern shows an Instructive pattern. Its means all of Government's policy must be approved by the Central Government. Nevertheless, financial performance indicator to show a good trend, that DORR had absorbed over the target. Then, the successions of autonomy in the HDI scale, more influenced by structure form of regional budget, with the share of spending more budget on education and health aspects, which is comparable with the high value of HDI, Literacy Rate, and Life Expectancy.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Masalah Semenjak
diputuskannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah (Otoda), semua
wilayah daerah otonom di Indonesia baik itu propinsi maupun kabupaten dan kota
menjadi garda depan dalam pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu,
daerah juga diberi hak untuk mengurusi masalah rumah tangganya sendiri dan
melakukan pembangunan di berbagai sektor di wilayahnya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya. (Susantih dan Saftiana, 2008:2) Menurut Darumurti
dan Rauta (2000) dalam Susantih dan Saftiana (2008:2), pembentukan daerah pada
dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana pendidikan
politik di tingkat lokal. Untuk itu maka pembentukan daerah harus
mempertimbangkan berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah,
luas wilayah, kependudukan, dan pertimbangan dari aspek sosial politik, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan serta pertimbangan dan syarat lain yang
memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan
dibentuknya daerah dan diberikannya otonomi daerah. Salah satu ciri utama
daerah mampu dalam melaksanakan otonomi daerah menurut Yuliati (2001:22),
adalah terletak pada kemampuan keuangan daerah 2 untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada
pemerintah pusat mempunyai proporsi yang semakin mengecil, dan diharapkan bahwa
Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi
dana penyelenggaraan pemerintah daerah. PAD merupakan salah satu faktor yang
penting dalam pelaksanaan roda pemerintahan suatu daerah yang berdasar pada
prinsip otonomi yang nyata, luas dan bertanggung jawab. Peranan PAD dalam
keuangan daerah menjadi salah satu tolak ukur penting dalam pelaksanaan otonomi
daerah, dalam arti semakin besar suatu daerah memperoleh dan menghimpun PAD
maka akan semakin besar pula tersedianya jumlah keuangan daerah yang dapat
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan Otonomi Daerah. Menurut Susantih dan
Saftiana (2008:3) Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana
secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan
pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu
kepada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya disesuaikan dan
diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah. Semua
sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan
kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah. Dalam Penjelasan UU No. 33 Tahun
2004, Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain
berupa : kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan
pemerintah yang diserahkan; 3 kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan
retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya
nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk
mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang
sah serta sumber-sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut, dalam hal ini
pada dasarnya Pemerintah menerapkan prinsip “uang mengikuti fungsi”. Dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengenai Keuangan Negara, terdapat penegasan
di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan
negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan
pengelolaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur /
bupati / walikota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan
daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang
dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan
keuangan daerah, yaitu bahwa gubernur / bupati / walikota bertanggungjawab atas
pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah.
Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah
melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam
Undang-Undang Otnomi Daerah. Dengan demikian pemerintah daerah dituntut untuk
mandiri dalam hal pendanaan. Meskipun ada jatah dari pemerintah pusat berupa
dana perimbangan, akan tetapi pemerintah tidak akan menggelontorkan kebutuhan
pendanaan pelaksanaan otonomi daerah seratus persen dari yang dibutuhkan.
Terlebih lagi jika daerah otonom tersebut adalah wilayah hasil pemekaran, atau
daerah yang 4 tingkat pembangunannya masuk prioritas penting seperti daerah
tertinggal, terluar, dan tapal batas. Maka dana yang dibutuhkan untuk
pelaksanaan otonomi otomatis lebih banyak disbanding daerah-daerah yang lain.
Selain itu, banyaknya kasus korupsi kepala daerah maupun penyelenggara daerah,
banyaknya kasus proyek salah sasaran, serta penggunaan anggaran yang tidak
tepat sasaran, membuat beban keuangan daerah semakin berat. Diberitakan dalam
harian Kompas tertanggal 15 Desember 2012 bahwa menurut Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) Gamawan Fauzi, pemekaran wilayah yang sudah dilakukan hingga kini
belum memberikan hasil yang memuaskan bagi kesejahteraan rakyat. Gamawan bahkan
mengatakan dari hasil evaluasi yang dilakukan pemerintah 70 persen dari 205
daerah otonom baru (DOB) gagal. Hal ini menunjukkan terjadinya kecenderungan
pemekaran wilayah yang diusulkan oleh masyarakat daerah karena alasan budaya,
kesukuan, dan aspirasi belaka yang belum diikuiti dengan perhitungan biaya yang
digunakan untuk pemekaran tersebut. (Kompas Online, 2012) Dan dikutip dari
harian Tribun Batam tertanggal 3 Mei 2014, diungkapkan oleh Hj. Raja Syahniar
Usman, bahwa 78% dari 57 daerah otonom yang mengalami pemekaran (dimekarkan)
antara rentang 2011 hingga 2014 mengalami gagal berkembang. Menurutnya,
daerah-daerah tersebut mengalami kegagalan otonomi dikarenakan pemekaran yang
dipaksakan, kehilangan aset dan sumber pendapatan serta ketidakmandirian
keuangan. Dan dikutip dari PortalKBR tertanggal 27 Desember 2013, Kementerian
Dalam Negeri mencatat sekitar 43 daerah dari 57 daerah otonomi baru dinyatakan
5 gagal berkembang. Staf Ahli Kemendagri, Reydonnyzar Moenek mengatakan,
daerah-daerah tersebut gagal menyejahterakan masyarakatnya.
Sebab anggaran daerah hanya
digunakan untuk membiayai aparatur dan perbaikan infrastruktur. Berikut adalah
pendapat Reydionyzar Moenek yang dikutip dari PortalKBR, (2013) Karena perilaku
belanja daerah otonom baru itu, satu sampai dengan sekian tahun itu pasti hanya
untuk belanja aparatur termasuk penggunaan gedung, sarana dan seterusnya.
Diantaranya mulai dari pelayanan publik, kemudian tata kelola pemerintahan
sampai daya saing, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan prilaku belanja
daerah itu boleh dibilang memang tidak seperti yang kita harapkan dan memang
tidak bisa bantah ya akhirnya ujung-ujungnya pembentukan daerah otonom baru
waktu itu sangat elitis dan hanya untuk memenuhi kepentingan elit-elit lokal
setempat. (PortalKBR, 2013) Dalam penelitian Agustina (2003:10), rata-rata
kinerja pengeloaan keuangan dan tingkat kemandirian daerah kota Malang di era
otonomi daerah berdasarkan analisis ratio keuangan adalah kurang baik dengan rasio
kemandirian keuangan masih bersifat Instruktif, yaitu sebesar 18,76% (<
25%), akan tetapi memiliki rasio efektivitas prosentase rata-ratanya sebesar
105,4% yang berarti pengelolaan PAD sangat stabil dan efektif. Dalam hal ini,
Pemerintah Kota Malang masih memprioritaskan belanja daerahnya untuk Dana
Alokasi Umum (DAU) dibandingkan untuk Dana Alokasi Khusus (DAK). Dan dalam
penelitian Ash-Shiddiqy (2012: 83), rata-rata kinerja pengelolaan keuangan
Kabupaten Bantul masih kurang. Rasio Kemandirian rataratanya sebesar 8,79%
masih berada diantara 0%-25% yang berarti kemampuan keuangan Pemerintah
Kabupaten Bantul dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah masih sangat
kurang. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal pada 6 pemerintahan Kabupaten
Bantul masih dalam skala antara 0%-10% yaitu sebesar 8,07% yang berarti bahwa
PAD mempunyai kemampuan yang sangat kurang dalam mendukung otonomi daerah
khususnya dalam membiayai pembangunan daerah. Rasio Indeks Kemampuan Rutin pada
pemerintahan Kabupaten Bantul masih dalam skala interval antara 0%-20% yaitu
sebesar 11,98%, dan ini berarti bahwa PAD mempunyai kemampuan yang masih sangat
kurang untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah khususnya dalam membiayai
pengeluaran rutin. Rasio Keserasian antara pengeluaran belanja rutin lebih
besar dibandingkan dengan belanja pembangunan yaitu sebesar 68,79% dan 31,21%.
Rasio Pertumbuhan Rata-rata secara keseluruhan mengalami peningkatan di setiap
tahunnya yakni PAD sebesar 17,78%. Kemudian dalam penelitian Savitry
(2013:102), dipaparkan bahwa tingkat kemampuan keuangan Pemerintah Kota
Makassar antara tahun 2007 hingga 2011 masih rendah, dengan Rasio Kemandirian
keuangan daerah selama lima tahun terakhir yang menghasilkan jumlah
rata-ratanya sebesar 18,30% dengan pola hubungan yang instruktif.
Kemudian Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, selama 5 (lima) tahun
menunujukkan angka rata-rata sebesar 15,39% dengan kemampuan keuangan yang
tergolong kurang. Lalu berdasarkan kemampuan PAD untuk membiayai pengeluaran
rutin daerah, yang sering disebut juga dengan Rasio IKR (Indeks Kemampuan
Rutin) rata-rata hanya sebesar 24,99% dengan pola kemampuan keuangan yang masih
berada dalam interval 20,01% - 40,00% yang dinilai kurang. Dilanjut dengan
hasil perhitungan rasio keserasian, pemerintah Kota Makassar masih lebih
memprioritaskan belanja rutin daripada belanja 7 pembangunan. Hasil rata-rata
dari rasio pembangunan sebesar 37,20% dan rasio belanja rutin sebesar 62,80%
sehingga terdapat kesenjangan sebesar 25,60%. Dalam penelitian ini, peneliti
mencoba untuk menentukan sejauh mana kemampuan dan kinerja keuangan daerah
dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Peneliti menjadikan
Kabupaten Nganjuk sebagai obyek penelitian dikarenakan jarangnya pemberitaan
atau pengungkapan fakta tentang kemampuan dan kinerja keuangan Kabupaten
Nganjuk, sehingga hal ini menarik perhatian peneliti untuk berusaha
mengungkapkan fakta yang ada. Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas,
peneliti mengangkat judul Analisis Kemampuan dan Kinerja Keuangan Daerah Kabupaten
Nganjuk Dalam Mendukung Keberhasilan Otonomi Daerah Pada Tahun 2013
1.2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
diatas, maka disusunlah rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peran
kemampuan keuangan pemerintah daerah Kabupaten Nganjuk dalam mendukung
pelaksanaan keberhasilan otonomi daerah?
2. Bagaimana peran kinerja
keuangan pemerintah daerah Kabupaten Nganjuk dalam mendukung pelaksanaan
keberhasilan otonomi daerah?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan peran
kemampuan keuangan pemerintah daerah Kabupaten Nganjuk dalam mendukung
pelaksanaan keberhasilan otonomi daerah
2. Mendeskripsikan peran
kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Nganjuk dalam mendukung
pelaksanaan keberhasilan otonomi daerah
1.4. Kontribusi Penelitian
1.4.1. Bagi Pemerintah Daerah Sebagai bahan masukan yang berguna
dan saran-saran tentang evaluasi kinerja keuangan daerah dalam rangka
penyuksesan pelaksanaan otonomi daerah.
1.4.2. Bagi Peneliti Sebagai
bentuk pemenuhan rasa ingin tahu dan pengungkapan fakta dari apa yang membuat
penasaran peneliti. Selain itu juga sebagai bahan acuan dan perbandingan
terhadap penelitian-penelitian selanjutnya.
1.4.3. Bagi Universitas Bahwa penelitian ini diharapkan dapat
dipergunakan dan dimanfaatkan oleh mahasiswa lainnya sebagai bahan pertimbangan
dan perbandingan dalam mempelajari permasalahan yang sama.
1.4.4.
Bagi Pembaca Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau referensi
bagi para pembaca yang mempunyai rasa penasaran yang sama dengan peneliti dan
bagi pembaca yang akan melakukan penelitian lebih lanjut.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Manajemen :Analisis kemampuan dan kinerja keuangan daerah Kabupaten Nganjuk dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2013. Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment