Abstract
INDONESIA:
Kebangkrutan adalah keadaan perusahaan tidak mampu membayar kewajibannya, sehingga tidak dapat melanjutkan aktivitas bisnisnya. Untuk mengantisipasi kebangkrutan, perusahaan dapat melakukan prediksi dengan beberapa Model. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara model prediksi Altman, Springate, Ohlson, dan Zmijewski pada perusahaan BUMN Indonesia go public dan BUMN Malaysia go public, dan juga untuk mengetahui model prediksi mana yang paling akurat.
Data yang digunakan adalah laporan keuangan tahunan periode 2011-2015 yang telah dipublikasi di BEI dan Bursa Malaysia. Teknik pengambilan sampelnya adalah purposive sampling dengan total 140 sampel. Alat analisis yang digunakan adalah uji One Way Anova dan uji Independent Sample T-Test dengan bantuan program Microsoft Excel dan SPSS 16.
Hasil perhitungan keempat model prediksi menunjukkan bahwa terdapat beberapa perusahaan BUMN Indonesia go public dan BUMN Malaysia go public yang diprediksi bangkrut. Ketika diuji dengan One Way Anova diketahui bahwa terdapat perbedaan antara keempat model prediksi tersebut saat diterapkan pada BUMN Indonesia go public dan BUMN Malaysia go public. Namun saat membandingkan tiap model pada 2 negara dengan uji Independent Sample T-Test, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan antara Model Altman, Springate, dan Ohlson yang diterapkan pada BUMN Indonesia go public dengan yang diterapkan pada BUMN Malaysia go public, sedangkan antara Model Zmijewski yang diterapkan pada BUMN Indonesia go public dengan yang diterapkan pada BUMN Malaysia go public diketahui berbeda. Berdasarkan hasil prediksi tersebut, model yang memiliki tingkat akurasi tertinggi pada BUMN go public kedua negara tersebut adalah Model Zmijewski, sehingga model tersebut merupakan model prediksi yang paling sesuai untuk memprediksi BUMN go public.
ENGLISH:
Bankruptcy is a state company was unable to pay its liabilities, so that it cannot continue its business activities. For anticipation of the bankruptcy, the company can perform predictions with some models. The purpose of this research is to find out whether there are differences between model predictions of Altman, Springate, Ohlson, and Zmijewski on the companies BUMN Indonesia go public and BUMN Malaysia go public, and also to find out the model prediction which are the most accurate.
The data used are the annual financial statements of the period 2011-2015 that have been published in the BEI and Bursa Malaysia. The sample technique was purposive sampling with total of 140 samples. Analysis tools used is the One Way Anova test and Independent Sample T-Test with the help of Microsoft Excel and SPSS 16.0 programs.
The results of the calculation of the four model predictions indicate that there are few company of BUMN Indonesia go public and BUMN Malaysia go public predicted bankruptcy. When tested with the One Way Anova is known that there are differences between the four model prediction as applied to BUMN Indonesia go public and BUMN Malaysia go public. However, when comparing of each model on the two countries with Independent Sample T-test, it is know that there is no difference between the Altman Model, Springate, and Ohlson applied to BUMN Indonesia go public with that applied to BUMN Malaysia go public, while between Zmijewski Model applied on the BUMN Malaysia go public with that applied on the BUMN Indonesia go public Malaysia known different. Based on the results of the prediction, the model that has the highest degree of accuracy on the BUMN go public both countries are Model Zmijewski, so the model is the most appropriate prediction model to predict BUMN go public.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi dunia yang dibarengi
dengan semakin majunya teknologi dimasa globalisasi ini menyebabkan industri
perdagangan terus mengalami pertumbuhan dan perskembangan. Persaingan pun
semakin ketat dengan semakin canggihnya teknologi yang ada, sehingga perusahaan
dituntut berusaha lebih keras dalam beradaptasi agar tidak tertinggal atau
bahkan tersingkirkan. Perusahaan yang tertinggal atau bahkan tersingkirkan
awalnya akan mengalami kesulitan keuangan karena penurunan penjualan atau
lainnya sehingga bisa berdampak pada kebangkrutan. Kebangkrutan juga dikenal
dengan istilah kepailitan. Menurut Toto (2011: 332), kebangkrutan merupakan
kondisi dimana perusahaan tidak mampu lagi untuk melunasi kewajibannya.
Kebangkrutan banyak terjadi pada perusahaan yang berada pada Negara yang
mengalami kesulitan ekonomi. Tentunya kesulitan keuangan di Indonesia baik
dalam perusahaan skala kecil, menengah, ataupun besar menjadi momok bagi
seluruh elemen baik itu pemilik perusahaan maupun karyawan yang bekerja di
dalamnya. Sebelum bangkrut, perusahaan mengalami indikasi awal yang biasanya
dapat dikenali lebih dini dengan menganalisis laporan keuangan dengan suatu
cara tertentu. Kebangkrutan juga dikenal dengan istilah kepailitan. Standars
& Poors (dalam Budiwati, 2011: 53) mengartikan kepailitan sebagai “The
first occurrence of a payment default on any financial obligations subject to a
bonafide 2 commercial dispute; an exception occurs when an interest payment
missed on the due date is made within the grace period”. Masih dalam Budiwati
(2011: 53), menurut Crouhy, Galai dan Mark, bankruptcy diartikan sebagai
sesuatu yang legal atau sebagai suatu peristiwa ekonomi, biasanya ditandai
dengan berakhirnya segala bentuk arus kegiatan perusahaan. Peristiwa ini juga
merupakan titik akhir dari suatu proses yang panjang, yaitu kondisi perusahaan
yang tidak dapat memenuhi kewajiban keuangannya. Beberapa orang menyebut
kebangkrutan sama halnya dengan financial distress. Padahal, hal ini tidak
benar, financial distress hanyalah salah satu penyebab bangkrutnya sebuah
perusahaan. Namun tidak berarti semua perusahaan yang mengalami financial
distress akan menjadi bangkrut. Menurut Platt dan Platt (2002) financial
distress didefinisikan sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi
sebelum kebangkrutan ataupun likuidasi. Untuk menghindari hal tersebut,
kegunaan informasi jika suatu perusahaan mengalami financial distress akan
dapat mempercepat tindakan manajemen untuk mencegah masalah sebelum terjadinya
kebangkrutan, pihak manajemen dapat mengambil tindakan merger atau take over
agar perusahaan lebih mampu untuk membayar hutang dan mengelola perusahaan dengan
baik. Financial distress juga akan menimbulkan terjadinya biaya langsung yang
dikeluarkan sehubungan dengan kesulitan. Misalnya fee pengacara, fee akuntan,
fee pengadilan, waktu manajemen, tenaga profesional lain untuk
merestrukturisasi keuangannya yang kemudian dilaporkan kepada kreditur, bunga
yang dibayar perusahaan untuk pinjaman selanjutnya yang biasanya jauh lebih
mahal, dan 3 beban administratif (Hadad, 2004: 3). Berbagai hal yang
ditimbulkan dari kondisi financial distress mendorong pada timbulnya kebutuhan
penyediaan alat deteksi dini atau early warning system yang dapat memberikan
sinyal bagi perusahaan akan kemungkinan terjadinya financial distress. Kondisi
financial distress dapat dikenali lebih awal dengan menggunakan suatu model
sistem peringatan dini yang selanjutnya dilakukan upaya memperbaiki kondisi
sebelum sampai pada kondisi kritis atau kebangkrutan. (Pambekti, 2014: 5).
Menurut Christianti (2013: 77), prediksi financial distress yang akurat menjadi
hal yang sangat krusial bagi setiap perusahaan, karena financial distress
umumnya dapat mengarah pada kebangkrutan atau kegagalan sebuah perusahaan dan
dengan mengetahui tingkat prediksi financial distress, perusahaan dapat segera
melakukan tindakan proteksi bisnis lebih baik atau bertindak untuk mengurangi
risiko kerugian bisnis atau bahkan menghindarinya. Topik mengenai financial
distress telah banyak menarik perhatian peneliti keuangan di seluruh dunia.
Beberapa peneliti melakukan penelitian untuk menemukan formula yang bisa
dijadikan prediktor kebangkrutan, Sebagai contoh, penelitian Altman (1968) yang
menghasilkan sebuah formula untuk memprediksi kemungkinan financial distress
perusahaan dengan menggunakan metodologi multivariate. Dalam statistik,
penetapan formula ini menggunakan metode Multivariate Discriminant Analysis
(MDA). Formula untuk memprediksi kebangkrutan yang dikemukakan oleh Altman ini
kemudian dikenal sebagai Model Altman yang dapat memprediksi perusahaan
manufaktur go public. Model ini mengalami revisi pada tahun 1983 yang bertujuan
agar tidak hanya dapat 4 digunakan untuk perusahaan manufaktur go public saja,
namun juga untuk perusahaan manufaktur yang non public. Dan terkahir pada tahun
1995, Altman melakukan modifikasi pada model prediksinya dengan tujuan model
ini tidak hanya dapat digunakan untuk memprediksi perusahaan manufaktur go
public dan manufaktur non public saja, namun dapat digunakan pada semua jenis
perusahaan go public maupun non public. Pada tahun 1978 muncul Model Springate
yang ditemukan oleh Gorgon L.V. Springate. Model Springate adalah model rasio
yang menggunakan Multiple Discriminat Analysis (MDA) untuk memprediksi
perusahaan pailit dan tidak pailit. Springate (1978) menggunakan metode
statistik dan teknik pengambilan sampel yang sama dengan Altman tetapi
sampelnya berbeda. Jika Altman menggunakan sampel perusahaan-perusahaan di
Amerika, Springate menggunakan sampel perusahaan di Kanada. Model Prediksi
selanjutnya di kemukakan oleh Ohlson (1980) yang mengemukakan formula dan
teknik pemilihan sampel yang berbeda dengan Altman (1968) dan Springate (1978).
Sampel dipilih dengan random sampling dengan alat Compustat. Dan metode yang
digunakan adalah metode Multivariate Logit sehingga kemudian menghasilkan
formula baru yang dikenal dengan Model Ohlson. Zmijewski (1983) menggunakan
metodologi yang hampir sama dengan Ohlson (1980) yaitu menggunakan Multivariate
Logit. Metode pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitiannya pun juga sama
yaitu dipilih secara acak 5 (random sampling). Dan formula yang dihasilkan dikenal
sebagai Model Zmijewski. Perkembangan zaman yang diikuti dengan perkembangan
teknologi dan perubahan siklus ekonomi menyebabkan dunia usaha juga terus
mengalami perubahan. Salah satu perusahaan yang saat ini mulai gencar-gencar
diperbincangkan di Indonesi karena melakukan berbagai perubahan yaitu BUMN
(Badan Usaha Milik Negara). Perusahaan BUMN merupakan perusahaan yang setiap
penghasilannya di masukan kedalam kas Negara. Secara struktur memang sama saja
seperti perusahaan biasanya, namun pemegang sahamnya berbeda. Pemegang saham
BUMN yaitu Negara, sedangkan perusahaan swasta pemegang sahamnya adalah publik.
Setiap perusahaan selalu membutuhkan tambahan modal demi mengembangkan dan
meningkatkan kapasitas bisnisnya, sama halnya dengan Perusahaan BUMN. Salah
satu caranya untuk mendapatkan suntikan modal yang dilakukan Perusahaan BUMN
yaitu melalui penawaran saham ke publik atau dikenal dengan Initial Public
Offering (IPO). Tak hanya itu, emiten BUMN juga memperoleh nilai lebih di mata
perbankan usai menggelar IPO. Dengan masuknya investor publik, pemerintah tidak
lagi memiliki perusahaan dengan besaran saham 100 persen, sehingga harus
terdilusi. (Bisnis Liputan6.com, 16/02/2016). Penawaran saham perdana atau
Initial Public Offering (IPO) yang dilakukan oleh Perusahaan BUMN akan
mendongkrak pasar modal Indonesia baik dari sisi pertambahan investor dan dari
sisi peningkatan kapitalisasi pasar saham. Direktur Utama PT Bursa Efek
Indonesia (BEI) Tito Sulistio menuturkan, 6 perusahaan BUMN memiliki bisnis yang
bagus dan sehat, serta dimiliki oleh pemerintah. Hal ini dapat menjadi modal
bagi investor dan calon investor yang ingin berinvestasi di pasar modal.
(Bisnis Liputan6.com, 16/02/2016). Gambar 1.1 Jumlah Perusahaan BUMN Indonesia
Go Public Berdasarkan Sub Sektor Tahun 2015 Sumber : Data Olahan dari
www.sahamok.com/emiten/bumn-publik-bei/ Perusahaan BUMN Indonesia go public
pada tahun 2013 berjumlah 20 perusahaan (Gambar 1.1). Perusahaan-perusahaan
tersebut berasal dari 9 sub sektor, antara lain sub sektor Telekomunikasi,
Farmasi, Energi, Industri logam, Kontruksi, Bank, Pertambangan Semen, Angkutan.
Sub sektor Telekomunikasi sebesar 5% artinya 5% dari jumlah BUMN Indonesia go
public sebanyak 20 perusahaan adalah 1 perusahaan yaitu PT Telekomunikasi
Indonesia Tbk. Sub sektor farmasi sebesar 10% artinya ada 2 perusahaan BUMN sub
sektor farmasi yang listed di BEI yaitu PT Indofarma Tbk dan PT Kimia Farma
Tbk. Sub sektor energi dan sub sektor industri logam masing-masing ada 5%
artinya ada 1 7 perusahaan yang berasal dari sub sektor energi yaitu PT
Perusahaan Gas Negara Tbk dan 1 perusahaan berasal dari sub sektor industri
logam yaitu PT Krakatau Steel Tbk. Sebesar 20% (4 perusahaan) berasal sub
sektor konstruksi yaitu PT Adhi Karya Tbk, PT Pembangunan Perumahan Tbk, PT
Wijaya Karya Tbk, dan PT Waskita Karya Tbk. Dan sebesar 20% lainnya berasal
dari sub sektor bank (4 perusahaan) yaitu PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank
Rakyat Indonesia Tbk, PT Bank Tabungan Negara Tbk, dan PT Bank Mandiri Tbk. Sub
sektor pertambangan sebesar 15% artinya ada 3 perusahaan yitu PT Aneka Tambang
Tbk, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk. Sebesar 10% dari keseluruhan BUMN
Indonesia go public berasal dari sub sektor semen yaitu PT Semen Baturaja Tbk
dan PT Semen Indonesia Tbk. Terakhir, sebesar 10% berasal dari sub sektor
angkutan dan prasarana angkutan yaitu PT Jasa Marga Tbk dan PT Garuda Indonesia
Tbk. Gambar 1.2 Diagram Perkembangan BUMN Indonesia yang Go Public 0 10 20 30
40 50 60 70 80 90 Jumlah 17 18 18 20 Laba Bersih (triliun) 55 66 85 89 2010
2011 2012 2013 Sumber: Data Olahan 8 Pada gambar 1.2 diketahui bahwa
perkembangan jumlah dan laba bersih BUMN Indonesia go public mengalami
peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2010-2013, jumlah perusahaan BUMN
Indonesia go public mengalami sedikit kenaikan tiap tahunnya. Pada tahun 2010
BUMN Indonesa go public berjumlah 17 perusahaan. Kemudian pada tahun 2011 PT
Garuda Indonesia listed di Bursa Efek Indonesia sehingga jumlah perusahaan BUMN
Indonesia go public menjadi 18 perusahaan. Pada tahun 2012 jumlah perusahaan
BUMN tidak mengalami penambahan, namun pada tahun 2013 perusahaan mengalami
penambahan 2 perusahaan sehinga jumlah perusahaan BUMN Indonesia go public pada
tahun 2013 ada 20 perusahaan. Laba bersih yang dihasilkan BUMN Indonesia go
public pada tahun 2010 mengalami kenaikan tiap tahunnya seperti terlihat pada
gambar 1.2. Kenaikan ini menunjukkan perkembangan laba bersih BUMN Indonesia go
public yang dinilai baik atau sehat sehingga banyak investor yang memilih
saham-saham Perusahaan BUMN Indonesia untuk berinvestasi.
Hal ini didukung dari rata-rata
tingkat likuiditas perdagangan saham yang tinggi di pasar modal dan proyek
pemerintah sehingga mendukung kinerja saham BUMN. (Bisnis Liputan6.com,
15/02/2016). Kemudian, menindak lanjuti berita bahwa Pemerintah tengah
menginventarisasi anak perusahaan pelat merah yang akan menerbitkan obligasi
sebagai penampung dana repatriasi dari kebijakan amnesti pajak, Kementerian
BUMN sudah menyiapkan langkah-langkah kegiatan perusahaan negara untuk menampung
dana repatriasi yang diperkirakan akan semakin bertambah hingga akhir bulan ini
dan pada periode kedua nantinya. (Bisnis.com, 26/09/2016). 9 Perusahaan BUMN
Indonesia diketahui merupakan perusahaan yang sehat dan banyak dipilih oleh
investor untuk berinvestasi pada saham-saham Perusahaan BUMN yang telah listed
di Bursa Efek Indonesia (BEI). Begitu juga dengan BUMN yang dimiliki oleh
Negara lain, seperti BUMN Malaysia. Dahlan Iskan di Kementerian BUMN, Jakarta,
Selasa (15/4/2014) mengatakan bahwa pemerintah Malaysia tidak mengenakan cukai
(setoran dividen) sehingga perusahaan jadi besar. Dan perusahaan besar akan
menyetor pajak yang besar melebihi pendapatan cukai (dividen). (Detik Finance,
15 April 2014 13:18 WIB) Gambar 1.3 Jumlah Perusahaan BUMN Malaysia Go Public
Berdasarkan Sub Sektor Tahun 2015 Sumber : Data Olahan dari www.khazanah.com.my
Dapat dilihat pada Gambar 1.2, Perusahaan BUMN Malaysia yang go public terbagi
dalam 8 sektor dengan jumlah perusahaan BUMN Malaysia go public sebanyak 30 perusahaan.
Sub sektor Finance sebesar 23% artinya 23% dari jumlah
BUMN Malaysia go public sebanyak 30 perusahaan
adalah 7 perusahaan yaitu BIMB Holdings Berhad, Bursa Malaysia, CIMB Group
Holdings Berhad, 10 MNRB Holdings Berhad, Malayan Banking, Malaysia Building
Society, dan Syarikat Takaful Malaysia. Sub sektor Customer Product sebesar 7%
artinya ada 2 perusahaan BUMN sub sektor Customer Product yang listed di BEI
yaitu Formosa Prosonoc Industries dan UMW Holdings. Kemudia sub sektor
Industrial Product sebesar 7% artinya ada 2 perusahaan yaitu Chemical Company
of Malaysia dan Petronas Gas. Sub sektor IPC, Properties dan REITs
masing-masing ada 3% artinya ada 1 perusahaan yang berasal dari sub sektor IPC
yaitu Time dotcom, 1 perusahaan berasal dari sub sektor Properties yaitu
Malaysia Resources Corporations, dan 1 perusahaan yang berasal dari REITs yaitu
KLCC Property Holdings. Dan sisanya sebesar 34% lainnya berasal dari sub sektor
lain (10 perusahaan) yaitu Bintulu Port Holdings, Boustead Holdings, Malaysia
Airports Holdings Berhad, MISC Berhad, Petronas Dagangan, Pharmaniaga, Pos
Malaysia Berhad, Sime Darby, Telekom Malaysia, dan Tenaga Nasional. Dengan
keadaan ekonomi yang semakin berkembang pesat ini, tidak hanya memperbaiki
kinerja, Perusahaan BUMN juga perlu mengantisipasi mengenai sebuah kondisi
financial distress yang mungkin saja akan terjadi sedini mungkin agar segera
dapat dilakukan tindakan untuk mencegah parahnya kondisi tersebut yang
kemungkinan bisa berujung pada kebangkrutan.
Untuk mengantisipasi kondisi ini,
perusahaan dapat melakukan prediksi kebangkrutan dengan beberapa model prediksi
yang ada. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai prediksi financial
distress, terdapat beberapa model prediksi yang dapat digunakan, seperti Model
Altman, Model Springate, Model Ohlson, dan Model Zmijewski. 11 Model prediksi
Altman, Springate, Ohlson, dan Zmijewski menggunakan variabel yang berbeda pada
rumus perhitungan prediksi masing-masing model. Karena perbedaan tersebut,
kemudian muncul beberapa penelitian yang bertujuan untuk mengetahui adakah
perbedaan antara beberapa model prediksi kebangkrutan dengan objek yang berbeda
pada masing-masing penelitian. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan
oleh Purnajaya, Komang Devi Methili & Ni K. Lely A. Merkusiwati (2014) yang
menguji model Altman, Springate dan Zmijewski pada perusahaan yang ada di
industry komestik yang terdaftar di BEI, dan hasilnya menyatakan bahwa terdapat
perbedaan potensi kebangkrutan mengemukakan hasil bahwa terdapat perbedaan
model prediksi kebangkrutan antara ketiga model tersebut. Hasil penelitian ini
berbeda dengan hasil penelitian Sinarta dan Tia Maria Sembiring (2015) yang
menguji model prediksi yang sama yaitu model Altman, Springate, dan Zmijewski,
namun objek yang digunakan adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI,
dan hasilnya menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara ketiga
model tersebut. Perbedaan rumus dari beberapa model prediksi kebangkrutan
menjadikan setiap model meliki tingkat ketepatan prediksi yang berbeda. Reza
Prabowo dan Wibowo (2015) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji
ketepatan prediksi model Altman, Springate, dan Zmijewski dalam memprediksi
kebangkrutan perusahaan yang delisted dari BEI dan hasilnya menyatakan bahwa
Model Altman merupakan model prediksi yang paling akurat untuk memprediksi
kebangkrutan perusahaan delisted. Penelitian Enny Wahyu Puspita Sari (2015)
yang menjelaskan bahwa Model Springate merupakan model yang paling akurat 12
dalam memprediksi perusahaan transportasi Indonesia dibandingkan dengan Model
Altman, Zmijewski, dan Grover. Kemudian penelitian Veronita Wulandari Emrinaldi
Nur DP dan Julita (2014) mengguji model Altman Springate, Ohlson, Zmijewski,
Fulmer, dan CA-Score pada perusahaan Food and Beverage di Indonesia dan
hasilnya adalah Model Ohlson adalah Model yang paling akurat dibandingkan
kelima model tersebut. Berbeda dengan hasil penelitian Galuh Tri Pambekti
(2014) yang menguji model Altman, Springate, Zmijewski, dan Grover pada perusahaan
yang ada di Daftar Efek Syariah, ia menemukan bahwa model Zmijewski memiliki
tingkat keakuratan atau ketepatan prediksi yang lebih paling baik dibadingkan
ketiga model lainnya. Dari ulasan diatas diketahui bahwa setiap model prediksi
memiliki tingkat ketepatan prediksi yang berbeda jika diterapkan pada objek
penelitian yang berbeda.
Hal ini menarik untuk dikaji kembali. Objek
penelitian terdahulu berasal dari satu industri dan satu sektor seperti sektor
manufaktur, food and beverage, dan industri kosmetik, sehingga perusahaan yang
digunakan sebagai sampel tersebut dapat dikatakan merupakan perusahaan sejenis.
Berbeda dengan penelitian Reza Prabowo dan Wibowo (2015) yang menggunakan objek
perusahaan delisting dari beberapa sektor berbeda. Peneliti disini tertarik
untuk melakukan pengujian ketepatan model prediksi dengan menggunakan objek
perusahaan yang berasal dari sektor yang berbeda, seperti perusahaan BUMN go
public. Penelitian menggunakan objek dari sektor yang berbeda sebelumnya sudah
ada, namun penelitian sebelumnya menggunakan objek perusahan delisting yang
memiliki beberapa masalah untuk diselesaikan dan sudah tidak terdaftar lagi di
13 BEI, sedangkan BUMN dikenal sebagai perusahaan yangsehat dan dijamin oleh
Negara karena sebagian besar pendapatannya disetorkan ke Negara. Beberapa
penelitian sebelumnya menghitung tingkat ketepatan prediksi tiap model dan
kemudian membandingkannya untuk melihat tingkat keakuratan tertinggi.
Penelitian lain melakukan uji beda antara beberapa model prediksi saja tanpa
membandingkan hasil prediksi tiap model pada objek lain. Seperti yang
dijelaskan sebelumnnya bahwa model paling akurat berbeda saat diterapkan pada
objek yang berbeda. Dari perbedaan hasil tersebut, peneliti tertarik untuk
menguji hasil prediksi tiap model jika diterapkan pada objek yang berbeda.
Dalam penelitian ini, objek yang digunakan ada 2 yaitu BUMN Indonesia go public
dan BUMN Malaysia go public. Peneliti memilih Perusahaan BUMN go public sebagai
objek penelitian perbandingan model prediksi kebangkrutan karena dari beberapa
penelitian terdahulu, sebagian besar menggunakan objek yang masih
beroperasional, seperti penelitian Rismawaty (2012) yang menggunakan objek
penelitian perusahaan Manufaktur di Indonesia, Ni Made Evi Dwi Prihanthini dan
Maria M. Ratna Sari (2013) yang menggunakan objek penelitian perusahaan Food
and Beverage (F&B) yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), Sinarti
dan Tia Sembiring (2015) yang menggunakan objek penelitian perusahaan
Manufaktur yang terdaftar di BEI, dan masih banyak lagi. Alasan lain karena
penelitian ini juga bertujuan untuk memprediksi kesehatan perusahaan BUMN go
public, tidak hanya bertujuan untuk membandingkan model prediksi kebangkrutan
saja. Dengan prediksi tersebut, dapat diketahui apakah informasi bahwa sebuah
perusahaan 14 baik-baik saja atau sebenarnya sebuah perusahaan tersebut
mengalami masalah keuangan. Peneliti akan melakukan penelitian untuk menguji
perbedaan dan tingkat ketepatan atau keakuratan beberapa model prediksi dengan
kebaharuan antara lain (1) Menggunakan Perusahaan BUMN go public sebagai objek
penellitian, dan (2) Membandingkan hasil prediksi tiap model yang diterapkan
pada objek di dua Negara yang berbeda yaitu BUMN Indonesia go public dan BUMN
Malaysia go public. Alasan Dari kebaharuan tersebut, peneliti akan melakukan
penelitian dengan judul “Perbandingan Model Prediksi Kebangkrutan Perusahaan
Badan Usaha Milik Negara Indonesia dan Badan Usaha Milik Negara Malaysia Yang
Go Public”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas,
dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana prediksi kebangkrutan
Perusahaan BUMN Indonesia yang go public dengan model prediksi Altman,
Springate, Ohlson, dan Zmijewski?
2. Bagaimana prediksi kebangkrutan
Perusahaan BUMN Malaysia yang go public dengan model prediksi Altman,
Springate, Ohlson, dan Zmijewski?
3. Adakah perbedaan prediksi
kebangkrutan antara model Altman, Springate, Ohlson, dan Zmijewski pada
Perusahaan BUMN Indonesia yang go public? 1
4. Adakah perbedaan prediksi
kebangkrutan antara model Altman, Springate, Ohlson, dan Zmijewski pada
Perusahaan BUMN Malaysia yang go public?
5. Adakah perbedaan prediksi
kebangkrutan antara model prediksi Altman, Springate, Ohlson, dan Zmijewski
pada Perusahaan BUMN Indonesia dengan Perusahaan BUMN Malaysia yang go public?
6. Model prediksi kebangkrutan manakah yang
paling akurat dalam memprediksi kebangkrutan Perusahaan BUMN Indonesia yang go
public?
7. Model prediksi kebangkrutan manakah yang
paling akurat dalam memprediksi kebangkrutan Perusahaan BUMN Malaysia yang go
public?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui prediksi kebangkrutan
Perusahaan BUMN Indonesia yang go public dengan model prediksi Altman,
Springate, Ohlson, dan Zmijewski. 2. Mengetahui prediksi kebangkrutan Perusahaan
BUMN Malaysia yang go public dengan model prediksi Altman, Springate, Ohlson,
dan Zmijewski.
3. Mengetahui perbedaan prediksi kebangkrutan
antara model Altman, Springate, Ohlson, dan Zmijewski pada Perusahaan BUMN
Indonesia.
4. Mengetahui perbedaan prediksi
kebangkrutan antara model Altman, Springate, Ohlson, dan Zmijewski pada
Perusahaan BUMN Malaysia.
5. Mengetahui perbedaan prediksi
kebangkrutan antara model prediksi Altman, Springate, Ohlson, dan Zmijewski
pada Perusahaan BUMN Indonesia dengan Perusahaan BUMN Malaysia yang go public.
6. Mengetahui model prediksi kebangkrutan yang
paling akurat dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan BUMN Indonesia yang go
public.
7. Mengetahui model prediksi
kebangkrutan yang paling akurat dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan BUMN
Malaysia yang go public.
1.4 Manfaat dan Kegunaan
1. Bagi manajemen perusahaan,
penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk mengevaluasi kinerja
perusahaan dan merencanakan kebijakan yang akan dilakukan di masa depan. 2.
Bagi calon investor, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
untuk menganalisa perusahaan yang akan dipilih sebagai tempat menanamkan modal
atau berinvestasi.
3. Bagi peneliti, penelitian ini
dimaksudkan untuk memperdalam ilmu yang di dapat dengan cara
mengimplementasikannya pada kasus yang nyata. 4. Bagi akademisi, hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dan dapat dikembangkan
kembali menjadi sebuah penelitian yang baru dan bermanfaat. 1.5 Batasan
Penelitian
Dalam penelitian ini, model prediksi
kebangkrutan yang digunakan adalah Model Altman Modifikasi (1995), Model
Springate (1978), Model Ohlson (1980), dan Model Zmijewski (1984). Pada awalnya
Model Altman dikemukakan pada tahun 1968, namun kemudian mengalami revisi pada
tahun 1983 dan 1995. Perbedaan antara ketiga Model Altman ini salah satunya
dari segi pengaplikasiaan 17 pada objek. Model Altman (1968) diaplikasikan pada
perusahaan yang go public, Model Altman Revisi (1983) dapat diaplikasikan pada
perusahaan yang tidak go public juga, sedangkan Model Altman Modifikasi (1995)
dapat digunakan untuk semua perusahaan, baik perusahaan manufaktur maupun
perusahaan nonmanufaktur. Pada penelitian ini, objek yang digunakan adalah
Perusahaan BUMN yang terdiri dari beberapa sektor industri sehingga dalam
penelitian ini, Model Altman yang digunakan adalah yang ketiga, yaitu Model
Altman yang telah dimodifikasi (1995)
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Manajemen : Perbandingan model prediksi kebangkrutan Perusahaan Badan Usaha Milik Negara Indonesia dengan Badan Usaha Milik Negara Malaysia yang go public. Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment