Abstract
INDONESIA:
Sebagai program pengalihan aset dari milik negara menjadi milik swasta, Privatisasi BUMN di Indonesia merupakan kebijakan ekonomi pemerintah yang sangat kontroversial karena disinyalir berpotensi merugikan negara dalam jangka panjang. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN (UU BUMN) memuat pengaturan terkait Privatisasi yang meliputi maksud, tujuan, tata cara, kriteria BUMN yang bisa atau tidak bisa diprivatisasi, serta mengatur terkait peraturan teknis lainnya. Penelitian ini mengkaji bagaimana pangaturan privatisasi BUMN dalam UU BUMN dan bagaimana hukum privatisasi BUMN perpektif konsep kepemilikan dan peran negara dalam perekonomian perspektif doktrin ekonomi Islam. Selanjutnya, akan dikaji apakah persamaan dan perbedaan antara hukum privatisasi BUMN perspektif UU BUMN dan Doktrin Ekonomi Islam. Penelitian kualitatif ini melakukan penggalian bahan hukum melalui studi pustaka (library research) terhadap Undang-undang BUMN, buku-buku terkait privatisasi BUMN, dan konsep kepemilikan dan peran negara dalam doktrin ekonomi Islam.
Tidak semua BUMN dapat diprivatisasi, baik menurut UU BUMN dan Doktrin Ekonmi Islam. Hanya saja,spesifikaisnya berbeda. BUMN yang dapat diprivatisasi dalam UU BUMN hanyalah BUMN Persero yang memenuhi kriteria dalam Pasal 76 UU BUMN, sedangkan BUMN yang tidak boleh diprivatisasi adalah BUMN yang dilarang sebagaimana dalam Pasal 77 UU BUMN.
Doktrin Ekonomi Islam membagi kepemilikan menjadi tiga jenis, yakni kepemilikan negara, kepemilikan umum, dan kepemilikan pribadi. Negara harus berperan sebagai pengelola untuk menjamin kebutuhan masyarakat, terutama aset yang seharusnya menjadi kepemilikan umum. Kepemilikan umum berarti milik seluruh masyarakat. Berpedoman pda sebuah kaidah fiqhiyah, bahwa status hukum industri mengikuti apa yang diproduksinya. Maka, BUMN yang memproduksi barang yang tergolong milik umum/seluruh masyarakat tidak boleh diprivatisasi karena akan dimiliki oleh segelintir pihak pemilik saham. Hal ini meliputi perusahaan pertambangan dan fasilitas umum. Dalam konteks pertambangan, kedua sumber hukum tersebut sama- sama melarang adanya privatisasi. Privatisasi pertambangan atau sumber daya alam tidak perbolehkan dalam Pasal 76 UU BUMN. Hal ini untuk melindungi keadilan distribusi kepemilikan terhadap aset milik masyarakat yang seharusnya dikelola negara. Begitu jugan dengan privatisasi aset startegis yang menguasai hajat hidup orang banyak juga tidak diperbolehkan. Dalam Islam, untuk kategori yang terakhir ini termasuk dalam fasilitas umum yang menjadi kepemilikan umum. Konsekuensinya, perusahaan sektor ini tidak boleh diprivatisasi.
ENGLISH:
As a diversion program of state-owned assets into private property, privatization of state-owned enterprises in Indonesia is the government's economic policies which are highly controversial because it allegedly could potentially harm the country in the long time. Law No. 19 Year 2003 on BUMN (BUMN Act) contains settings which are related to privatization include the intent, purpose, procedures, criteria or state that can not be privatized, and organizes relevant technical regulations. This study examines how the regulations of BUMN privatization in the law and how the privatization law concept of ownership perspective and the perspective of the economic role of the state in the doctrine of Islamic economy. Furthermore, it will be assessed whether the similarities and differences between the laws of perspective privatization BUMN and the doctrine of Islamic economy. This qualitative study was digging through library of legal materials of state law, books of privatization of BUMN, and the concept of ownership and the role of the state in the doctrine of Islamic economy.
Not all BUMN to be privatized, according to both state law and the doctrine of economic Islam. It's just different its specification. BUMN that can be privatized under state law is Persero of BUMN that meet the criteria in Article 76 of the BUMN regulations, while BUMN that cannot be privatized is BUMN that are prohibited by state law in Article 77.
Doctrine of islamic economy break the ownership into three types, namely state ownership, public ownership and private ownership. State must act as a manager to ensure the needs of the society, especially the asset that should be public ownership. Public ownership means belonging to the whole of the society. Guided for the rule of fiqhiyah, that the legal status of the industry follows what is produced. Thus, BUMN that produces the goods belonging to the public domain or entire of the society should not be privatized because it is owned by a handful of shareholders. This includes mining companies and public facilities. In the context of mining, the two sources of law equally prohibits the privatization. The privatization of the mining or natural resources are not allowed in Article 76 of Law of BUMN. This is to protect the fairness of the distribution of ownership of assets belonging to the people that should be run by the country. And also the privatization of strategic assets dominate the life of the people are also not allowed. In Islam, for this last category is included in the public facility into public ownership. Consequently, this corporate sector should not be privatized.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai sebuah agama yang
universal, ajaran Islam tidak hanya menekankan kepada aspek duniawi, tetapi
juga ukhrawi. Dalam rumusan Muhammad Daud Ali, agama Islam sebagai agama
terakhir, mengandung ajaran yang merupakan satu sistem, terdiri dari akidah
(iman, keyakinan), syari’ah (hukum) dan akhlaq (moral).1 Secara lebih spesifik,
menurut Abdurrahman Wahid, hukum Islam2 , selain 1 Mohammad Daud Ali, Hukum
Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Indonesia, Cet ke- VIII
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 28. Lihat juga: Muhammad Tahir
Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini
(Jakarta: Kencana, 2003) h. 23 2 Mayoritas ahli fiqh tidak sepakat dengan
penerjemahan “fiqh” ataupun “syari’ah” sebagai “hukum Islam”. Syari’ah bersifat
qath’i dan tidak mencakup masalah hukum saja, tetapi juga aspek khuluqiyah dan
i’tiqadiyah. Dalam Islam, hukum Islam digunakan sebagai artikulasi dari wajib,
sunnah, mubah, makruh, haram. Oleh karena itu, terminologisasi fiqh maupun
syari’ah sebagai hukum Islam danggap terlalu sempit. Akan tetapi, jika kemudian
hukum Islam tetap diidentikkan dengan fiqh, maka hukum Islam yang dimaksud
termasuk dalam bidang ijtihad yang bersifat dhanni.
. Oleh karena itu, penggunaan istilah hukum Islam dalam penelitian
inin hanyalah untuk mempermudah pemahaman saja seperti yanig diimplementasikan
oleh Abdurrahman Wahid. Penulis mengambil justifikasi Jawahir Thontowi, bahwa
generalisasi istilah 2 mengandung hal-hal yang lazimnya dikenal sebagai bidang
yuridis, juga meliputi soal-soal liturgi dan ritual keagamaan, soal-soal etika
dari cara bersopan santun hingga kepada spekulasi estetis para mistikus
(mutasawwifin), soal-soal perdata dari urusan perseorangan hingga urusan
perniagaan dan moneter, soal-soal pidana dari penetapan bukti dan saksi hingga
kepada penetapan hukuman mati untuk suatu tindak pidana, soal-soal
ketatanegaraan dari penunjukan kepada pemerintahan hingga pengaturan hubungan
internasional antara bangsa muslim dan bangsa lain, dan seribu satu masalah
lain yang meliputi keseluruhan aspek kehidupan.3 Ekonomi merupakan salah satu
aspek yang telah diatur tersendiri dalam hukum Islam melalui al-Qur’an dan
al-Haidits, walaupun secara global dan bersifat fondasional. Menurut Abu A’la
Al-Maududi, Islam menerangkan sebuah sistem ekonomi. Akan tetapi, bukan berarti
Islam telah menerangkan sebuah sistem yang permanen dan detail.4 Karakter
fondasional inilah yang kemudian membuat manusia bisa menyusun dan merancang
ekonomi yang sesuai di setiap masa, tanpa mengesampingkan ajaran Islam.
Sependapat dengan Al Maududi, Yusuf Al-Qardlawi juga mengemukakan bahwa aturan
dalam Islam ada yang bersifat global dan rinci. Yang global, biasanya untuk
hal-hal yang memungkinkan berubah karena faktor waktu atau tempat. Sedangkan
yang rinci untuk hal-hal yang baku. Menurutnya, aspek ekonomi syari’ah menjadi
hukum Islam, tidaklah salah, namun berada pada lingkup kajian yang sangat
sempit. Lihat: Jawahir Thontowi, Islam, Politik, dan Hukum termasuk dalam
kategori masalah yang sering berubah, temporal tergantung tempat dan waktunya.
Sehingga, Islam cukup meletakkan dasar-dasarnya. 5 Oleh karena itu, bagi umat
muslim, Islam harusnya juga menjadi paradigma dalam mengelola perekonomian.
Paradigma Islam terhadap ekonomi yang secara fondasional diatur dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadits inilah yang kemudian diinterpretasikan, dirumuskan dan ditulis
oleh ulama. 6 Rumusan tersebut, sebenarnya cukup lama dikenal, sebagai fiqh
al-iqhtishadi (fiqh ekonomi)7 meskipun tidak populer. Dalam ilmu hukum, hasil
pendapat ulama ini dikategorikan sebagai doktrin yang termasuk dalam jenis
sumber hukum formal. Dalam penelitian ini, doktrin yang dimaksud adalah hukum
ekonomi Islam. Sebagai konsekuensi logis dari generalnya teks Al-Qur’an dan
Al-Hadits, keberadaan doktrin ekonomi Islam tersebut memungkinkan adanya respon
hukum Islam secara lebih aktif menyikapi berbagai pro-kontra seputar kebijakan
ekonomi kontemporer. Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan
kebijakan yang sejak beberapa dekade terakhir menjadi kontroversi serius di
Indonesia.
., Keadaan ini mudah diterima dan bermuara pada prinsp mu’amalah
dalam kaidah syar’iyah, bahwa asal segala mu’amalah adalah halal, sampai
ditemukan dalil-dalinya. Sehingga, Abu Zahra, Guru Besar di Al-Azhar
University, menyebut bahwa aspek Mu’amalat, selain ada ketentuan hukum
syari’at, sebagian besar fenomena medern dalam ekonomi, politik, kenegaraan
bersandaar pada multilateral consensus (Ijma’). Jawahir Thontowi, Op.Cit., 9 6
Hal ini menegasikan banyak asumsi bahwa kedudukan hukum Islam yang sedemikian
penting dan menentukan kni hanya menjadi proyeksi teoritis belaka, atau dalam
istilah Abdurrahman Wahid, telah mengalami fosilisasi yang hampir selesai. Eddi
Rihana Arief, Op.Cit., 3 7 Istilah fiqh ekonomi (fiqh al-iqtishasi) hampir
tidak pernah dikenal dalam kajian fiqh di Indonesia. Mengenai ini, M Daud Ali
mengemukakan, sebagaimana pembagian hukum perdata dan hukum publik yang
diajarkan di Fakultas-fakultas Hukum di Indonesia, kaidah muamalah dapat dibagi
menjadi dua bagian besar, yakni (1) kaidah muamalah yang mengatur hubungan
perdata, meliputi: a. munakahat; b. wirasah (hukum waris); c. dan laiin-lain.
(2) kaidah-kaidah yang mengatur hubungan publik, misalnya meliputi a. hukum
jinayat (pidana); b. khilafah/ ahkam as-sultaniah (ketatanegaraan); c. siyar
(hukum internasional); d. dan sebagainya; serta e. Mukhasamat (hukum acara).
Lihat: M. Daud Ali, Op.Cit.,. 33 dan 51. Walaupun demikian, dapat dipastikan
bahwa masalah ekonomi dalam disiplin ilmu fiqh, termasuk dalam kategori fiqh
muamalah dan sebagian kecil di ahkam as-sultaniyah (hukum ketatanegaraan)
ketika menyangkut masalah kebijakan ekonomi publik. 4 BUMN merupakan badan
usaha dengan jumlah aset yang sangat besar. Peranannya, seperti dijelaskan
dalam Undang-Undang Dasar 1945, sangat penting dan strategis dalam menggerakkan
roda-roda perekonomian dan pembangunan nasional.8 Namun, pengelolaan BUMN
ternyata tidak menunjukkan hasil maksimal, sehingga banyak yang masuk dalam
kategori tidak sehat. Buruknya pengelolaan BUMN tersebut bahkan ada yang
disebabkan oleh terjadinya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang dilakukan oleh
pejabat pengelola. Dalam kaitan ini, sebagian besar BUMN di Indonesia,
sebagaimana istilah Darem Acemoglu, memang telah menjadi institusi ekstraktif
yang menjadi penyebab utama terjadinya negara gagal. 9 Akibatnya, berdasarkan
laporan resmi pemerintah pada tahun 1997, lebih dari 50 persen BUMN kurang atau
tidak sehat. Rinciannya, 57 BUMN dinyatakan tidak sehat (35,8 persen), 29 BUMN
kurang sehat (18,2 persen), 33 BUMN sehat (20,8 persen), dan 41 BUMN sehat
sekali (25,2 persen). Laporan tahun 1997 tersebut lebih baik dari pada tahun
1992 yang menyatakan, 25 BUMN yang sehat dan 35 BUMN yang sehat sekali dari 188
BUMN yang diperiksa, jadi 68,09 persen BUMN yang diperiksa dalam keadaan kurang
atau tidak sehat.10 Keadaan ini menyebabkan kerugian besar yang dialami BUMN
Indonesia secara makro. Selama ini, pemerintah telah menyuntikkan dana dalam jumlah
besar akibat kerugian BUMN. Subsidi untuk BUMN yang terus merugi tersebut
mencapai Rp.60 Trilliyun atau 20 persen dari total pengeluaran pemerintah.11
Praktis, banyak BUMN yang justru membebani anggaran negara karena subsisi yang
diberikan relatif lebih 8 Didik Rachbini, Analisi Kritis Ekonomi Politik
Indonesia (Yogjakarta: Pustaka Pelajar. 2003).80-82. 9 Kompas, 24 Juni 2012. 10
Didik Rachbini, Op.Cit., 82 11 Ishak Rfick, Baso Amir, BUMN Expose: Menguak
Pengelolaan Aset Negara Senilai 2000 Tahun Lebih (Jakarta: Ufuk Press. 2010).
xiii 5 besar dari pada subsidi keperluan lain yang lebih penting seperti
pertanian, kesehatan, dan pendidikan. Atas dasar ini, muncul gagasan
privatisasi BUMN yang secara singkat berarti menjual aset-aset negara tersebut
kepada sektor publik agar lebih kompetitif dan dikelola secara korporatis.
Walaupun demikian, tidak sedikit pihak yang menolak keras terhadap privatisasi
BUMN. Menurut mereka, BUMN adalah aset negara yang harus tetap dipertahankan
kepemilikannya oleh pemerintah, walaupun tidak mendatangkan manfaat karena
terus merugi. Dengan privatisasi, Pemerintah tidak lagi memiliki otoritas untuk
berpartisipasi menentukan strategi dan sasaran ke depan yang ingin ditempuh
perusahaan. Pemerintah juga tidak punya kapasitas untuk intervensi keputusan
pengelola swasta yang merugikan atau menimbulkan biaya sosial bagi publik.
Singkatnya, pemerintah tidak memiliki power untuk mengontrol fungsi pelayanan,
distribusi, dan keadilan berkonsumsi. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa kebijakan
privatisasi di negaranegara berkembang, termasuk di Indonesia, lebih merupakan
agenda restrukturisasi atau deregulasi ekonomi dari IMF dan Bank Dunia12 melaui
Washington Concensus13 akibat semakin tergantungnya perekonomian orde baru pada
modal 12 Heri Alfian, Privatisasi BUMN Tak Memihak Rakyat (Harian SINDO, Sabtu,
16 January 2010). Februari 1967 menjadi awal terintegrasinya perekonomian
nasional dalam kapitalisme internasional. Dimana Indonesia masuk menjadi
anggota IMF. Kapitalisme internasional yang dimaksud adalah lembaga-lambaga
internasional dan swasta asing seperti IMF, ADB, Bank Dunia, dan UNDP.
Keikutsertaan ini, menurut rezim orde baru, didasarkan atas alasan pemulihan
ekonomi. Namun demikian, keterlibatan lembaga-lembaga internasional tersebut
mengharuskan adanya semacam penyesuaian struktural, diantaranya adalah
liberalisasi perdagangan, devaluasi mata uang, programprogam anti inflasi,
terbuka terhadap modal asing, termasuk privatisasi. Lihat masalah ini dalam
Agus Miftahus Surur, Pasar Negara, Manusia: Membedah Anatomi Teori Ekonomi
(Jurnal Gerbang Vol.5 No.02 Oktober-Desember 1999). 2-5. 13 Mengenai isi
perjanjian ini, bisa dilihat di Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia: Kajian
Teoritis dan Analisis Empiris (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 13. Yang jelas,
privatisasi perusahaan negara menjadi poin j dalam perjanjian
tersebut.Washington Consensus, diikrarkan di Amerika pada tahun 1980-an oleh
para pembela pasar bebas yang terdiri dari wakil dari perusahaan-perusahaan 6
asing dan pinjaman Hutang Luar Negeri (HLN). Oleh karena itu, privatisasi BUMN
di Indonesia telah dilakukan sejak rezim Orde Baru. Pemerintah menjual 35%
saham PT. Semen Gresik (1991), 35% saham PT. Indosat (1994), 35% saham PT.
Tambang Timah (1995) dan 23% saham PT. Telkom (1995), 25% saham BNI (1996) dan
35% saham PT. Aneka Tambang (1997). Pada tahun 2010, jumlah BUMN yang
diprivatisasi Kementerian BUMN mencapai 20 BUMN.14 Sehingga, dari tahun ke
tahun, jumlah BUMN menjadi terus berkurang. Sebelum tahun 1998, jumlah BUMN
mencapai sekitar 300 unit. Jumlah ini berkurang setelah adanya kebijakan
privatisasi menjadi 158 BUMN pada tahun 2002. Pada tahun 2006, jumlah BUMN
menjadi hanya 139 unit.15 Walaupun demikian, dampak privatisasi BUMN terhadap
kesejahteraan rakyat belum optimal. Hal tersebut disebabkan oleh dorongan
privatisasi BUMN di Indonesia yang lebih mengedepankan kebutuhan untuk memenuhi
defisit APBN dibandingkan dengan kepentingan korporasi.
Di sisi lain, privatisasi
BUMN juga disinyalir menjadi penyebab timpangnya distribusi pendapatan. Pada
tahun 1999-2005, komposisi pembagian pendapatan semakin memburuk, karena pada
tahun 2005, sebanyak 40% penduduk berpendapatan rendah mendapat bagian hanya
18,81% dari keseluruhan pendapatan nasional; 40% berpendapatan menengah
menyerap 36,40% dan 20% penduduk terkaya menikmati 44,78%. Selengkapnya, lihat
tabel di bawah ini: besar Internasional, Bank Dunia, IMF, serta wakil negara
kaya. Mansour Fakih, Bebas dari NeoLiberalisme (Yogjakarta: Insists Press,
2010). 86 14 Privatisasi: Penguasa Menghianati Rakyat (Bulletin Al-Islam
No.444) Hal 1. 15 Tulus Tambunan, Op.Cit., 300 16 Privatsasi BUMN Belum
Berdampak pada Kesejahteraan Rakyat
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2672 Diakses: 23 Mei
2012. 7 Tabel 1: Ketimpangan Distribusi Pendapatan Indikator Seleksi 1999 2002
2003 2004 2005 Komposisi Pendapatan Keluarga - Pengeluatran untuk pangan 62.94
58.47 56.89 54.59 51.37 - Pengeluaran untuk non pangan 37.06 41.53 43.11 45.52
48.63 Distribusi Pendapatan - 40% penduduk berpendapatan terendah 21.66 20.92
20.57 20.80 18.81 - 40% penduduk kelompok menengah 37.77 36.89 37.10 37.13
36.40 - 20% penduduk pendapatan tertinggi 40.57 42.19 42.33 42.07 44.78 Indeks
Gini 0.31 0.33 0.32 0.32 0.36 Sumber: Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik:
Kajian Teoritis dan Analisis Empiris17 Islam tidak menghendaki adanya
ketimpangan pendapatan melalui terakumulasinya kekayaan dalam penguasaan
minoritas elit. Dalam QS. AlHasyr:59:7, Allah SWT berfirman: $tBur çnr ä ãsù ãAqߧ 9$# ãN ä39s?#uä !$tBur 4 öN ä3ZÏB Ïä!$uÏYøîF{$# tû÷üt/ P 's!rß tbq ä3t w ös1 É>$s)Ïèø9$# ßÏx© © !$# ¨ bÎ) ( © !$# (#q à ) ¨ ?$#ur 4 (#qßgtFR$$sù çm÷Ytã öN ä39pktX
“....supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara
kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya” Disisi lain, dalam hukum Islam juga
terdapat konsep tersendiri mengenai hak milik atau kepemilikan. Pada dasaranya,
pemilik dari segala sesuatu hanyalah Allah SWT. 17 Ahmad Erani Yustika, Ekonomi
Politik: Kajian Teoritis dan Analisis Empiris (Yogjakarta: Pustaka Pelajar,
2009) 177 8 ÷rr& öN à 6Å¡à ÿRr& þÎû $tB (#rßö7 è ? bÎ)ur 3 ÇÚöF{$# Îû $tBur ÏNºuq»yJ¡¡9$# Îû $tB °! 4n?tã ª !$#ur 3 âä!$t±o `tB Ü>Éjyèãur âä!$t±o `yJÏ9 ãÏÿøóusù ( ª !$# ÏmÎ/ N ä3ö7Å$yÛã çnq à ÿ÷ è ? í Ïs% &äóÓx« Èe@ à 2 “kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa
siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” Manusia
hanyalah khalifah dimuka bumi ini. Sehingga, kepemilikan dalam Islam juga
diatur sedemikian rupa demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Berkaitan dengan ini, hukum Islam mengenal tiga macam jenis kepemilikan, yakni
kepemilikan individu (privat ownership), kepemilikan umum (public ownership),
dan kepemilikan negara (state ownership). Polemik seputar privatisasi
sebenarnya juga menyangkut perbedaan konsepsi tentang peran negara dan
perekonomian. Madzhab kapitalisme maupun neoliberalisme meyakini bahwa negara
tidak berhak menjadi aktor dalam perekonomian. Pertumbuhan ekonomi harus
berpijak pada prinsip laissez faire 18 dan sepenuhnya diserahkan kepada
mekanisme pasar sehingga privatisasi BUMN menjadi salah satu bagian integral
dalam gagasan dan pemikiran kapitalisme. Sementara itu, madzhab sosialisme
yakin bahwa negara mempunyai otoritas penuh dalam perekonomian. Seluruh hasil
kegiatan ekonomi publik harus diserahkan kepada negara dan negara berkewajiban
untuk mendistribusikannya tanpa terkecuali. Oleh karena itu, madzhab 18 Prinsip
menyatakan bahwa tidak boleh ada campur tangan pemerintah di dalam kegiatan
pasar atau ekonomi; pemerintah harus berfungsi sebagai penegak hukum dan
perundangan saja. Secara historis, prinsip ini merupakan respon dari system
kerajaan yang sangat regulative di Prancis dan Inggris di akhir abad ke-17.
Mohammed Aslam Haneef, Contemporary Muslim Economic Thougt: a Comparative
Analysis, diterjemahkan oleh Suherman Rosyidi, Pemikiran Ekonomi Islam
Kontemporer: Analisis Komparatif Terpilih (Terjemah) (Jakarta: Rajawali Press,
2010). xx 9 sosialisme menolak tegas terhadap program privatisasi BUMN.
Berkaitan dengan ini, Seorang pemikir ekonomi Islam asal Iran, Syed Nawab
Haedar Naqvi berpendapat, bahwa negara harus bertanggungjawab terhadap
kesejahteraan masyarakat. Naqvi berargumen, bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi
yang memihak kepada kaum miskin. Dengan kata lain, ekonomi Islam itu tidak
bebas nilai (valuefree) tetapi merupakan ekonomi beretika atau sarat nilai
(value-laden). Prinsip etis ini pada gilirannya, menuntut peranan negara. Dalam
sistem ekonomi Islam, menurut Naqvi, negara tidak hanya bertindak sebagai
regulator tetapi juga sebagai aktor dalam memenuhi kebutuhan manusia untuk
menciptakan masyarakat yang egaliter.
Hukum Islam, tentu juga
tidak apatis mengenai tugas-tugas, peran, maupun kewajiban negara. Mengenai
ini, beberapa karya klasik sudah populer seperti karya Imam Al Mawardi, Ahkam
As-Sulthaniyah. Oleh karena itu, mengkaji privatisasi BUMN dari sudut pandang
hukum Islam, menurut hemat penulis, begitu menarik. Hal ini bisa ditinjau dari
konsep kepemilikan dan peranan negara dalam perekonomian menurut doktrin
ekonomi Islam, baik yang ditulis oleh ulama klasik maupun kontemporer. Selain
dapat menjadi autokritik bagi pemerintah jika ternyata kebijakan privatisasi
itu tidak sesuai dengan ajaran Islam, penelitian ini penting sebagai upaya
kontekstualisasi doktrin ekonomi Islam yang sudah banyak diakui dalam
wacana-wacana akademik. 19 M Dawam Raharjo, Ekonomi Neo Klasik dan Sosialisme
Relegius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara
(Bandung: Mizan, 2011). 159
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan privatisasi BUMN menurut Undang-Undang Nomor.19
Tahun 2003 Tentang BUMN?
2. Bagaimana konsep kepemilikan menurut doktrin ekonomi Islam?
3. Apakah persamaan dan perbedaan privatisasi BUMN menurut
UndangUndang Nomor.19 Tahun 2003 Tentang BUMN dan doktrin ekonomi Islam?
C. Pembatasan Masalah
Sebagai sebuah penelitian
mengenai BUMN, penelitian ini terkesan terlalu luas, namun, fokus masalahnya
terletak dari paradigma mengenai perespektif hukum positif, yakni UU BUMN
mengenai privatisasi BUMN dan ekonomi Islam melalui konsep kepemilikan dan
peran negara. Dalam hal ini, akan dicari secara komparatif antara doktrin
ekonomi Islam vis a vis UU No.19 Tahun 2003 sebagai subjek paradigma dan
privatisasi BUMN sebagai objek hukum. Dosktrin ekonomi Islam, dalam hal ini
hanya terbatas hanya pada pendapat para ulama dan tokoh ekonomi Islam
kontemporer, tetapi juga pendapat ulama’ fiqh klasik.
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui
pengaturan privatisasi BUMN dalam UU No.19 Tahhun 2003.
2. Untuk mengetahui konsep
kepemilikan menurut doktrin ekonomi Islam.
3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan privatisasi BUMN
menurut Undang-Undang Nomor.19 Tahun 2003 Tentang BUMN dan Doktrin Ekonomi
Islam?
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Penelitian ini bermanfaat secara teoritis
terhadap aktualisasi konsep fiqh dibidang ekonomi Islam (fiqh al-iqtishadiah)
yang mempunyai relevansi dengan problem-problem kontemporer, khususnya
privatisasi BUMN. Penelitian ini juga bermanfaat untuk menjadi rekomendasi bagi
pemerintah dalam konteks pengelolaan kekayaan negara agar sesuai dengan koridor
agama, karena bagaimanapun juga, negara ini meletakkan keberagamaan sebagai
fondasi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara lebih praksis,
penelitian ini bermanfaat dalam perkembangan keilmuan ekonomi Islam kontemporer
yang menjadi proyek Islamisasi yang paling bisa diterima dalam belakangan ini.
2.
Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi penulis sebagai
persyaratan menempuh gelar akademik Strata I (satu) Program Studi Hukum Bisnis
Syari’ah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Privatisasi BUMN perspektif UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN dan doktrin ekonomi Islam" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment