Abstract
INDONESIA:
Wali nikah memiliki peranan yang cukup signifikan dan urgen, bahkan dalam salah satu hadits diriwayatkan bahwa tidak sah nikah seseorang bila tidak ada wali nikahnya. Jika seorang wali menjadi adhol dan enggan menikahkan anaknya maka hak kewalian berpindah pada wali nasab yang lainnya. Pindahnya kewalian kepada wali hakim bila seluruh wali tidak ada atau wali qarib pun dalam keadaan enggan menikahkan. Di daerah Sulamadaha Kecamatan Pulau Ternate Maluku Utara banyak hal yang memperlihatkan terjadinya kawin lari apabila walinya adhal. Penentuan perpindahan wali ini tidak berdasarkan urutan derajat wali nasabnya lagi melainkan langsung kepada wali hakim.
Melihat keadaan seperti ini, maka peneliti melakukan penelitian ini dengan tujuan (1) untuk mengetahui pandangan para tokoh terhadap wali adhal atas adat masibiri dan (2) alasan para orang tua menolak menikahkan anak perempuannya.
Agar penelitian ini berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh peneliti, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan paradigma alamiah yang bersumber pada pandangan para tokoh agama, tokoh adat dan pemerintah yang dalam hal ini pemerintah yang dimaksud ialah pejabat KUA Kecamatan Pulau Ternate terhadap wali adhal atas adat maibiri (kawin lari) dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian field research. Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara dan dokumentasi. Adapun mengenai metode pengumpulan analisis data, peneliti menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Adapun hasil penelitian dari penelitian ini yaitu pertama, menikah dengan menggunakan wali hakim bisa dilakukan jika wali nasab enggan menikahkan anaknya karena alasan-alasan yang sesuai dengan ketentuan syar’i namun terlebih dahulu dimusyawarahkan secara baik-baik dengan walinya untuk menjaga keutuhan keluarga dan tidak boleh menempuh jalan pintas dengan menggunakan wali hakim jika wali nasab wanita masih ada karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku Kedua alasan orang tua menolak menikahkan anaknya karena beberapa faktor yaitu 1) Persoalan silsilah keturunan dan moralitas pelamar. 2) Marga. 3) Anak masih menempuh pendidikan.
ENGLISH:
Marriage guardian or wali has a significant and important role. In a hadith, the marriage of a woman who marries without the consent of her guardians is void. If a guardian or walirefuseto marry off his daughter, he loses his right to another wali. The right can be taken by wali hakim or judge guardian when a woman has no wali or her waliqarib refuses to endorse a marriage. InSulamadaha,Pulau Ternate, Maluku Utara runaway marriage often occurs when the waliagainststhe marriage. The couple tends to directly appoint wali hakim and overlook the wali order.
Having seen the situation, the researcher aims to (1) find out the perspective of ulama, custom figures and the government onwaliadhalofmasibiriand (2) the parents’ reason to refuse marrying off their daughters.
In the study, the researcher employs anatural paradigmfrom the perspectives of ulama, custom figuresand the government on waliadhal of masibiri. The government in the context refers to Assistant Registrar of KUA Pulau Ternate. The study employs a qualitative approach and it is a field research. The data collection consists of interview and documentation.To analyze the data, the researcher employs a qualitative descriptive analysis.
The results of the study showthree conclusions. First,it is allowed toget married by appointing wali hakim when wali refuses to endorse the marriage due to Islamic reason. The appointing should be discussed first to avoid family dispute and, it is forbidden to appoint wali hakim when a woman still has wali since it violates the law. Second , parents refuse to marry of their daughters due to severalfactors, namely 1) nasab problems and bridegroom’s morals. 2) Clan. 3) The daughter is a student.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Pernikahan
ditinjau dari Hukum Syariat merupakan akad yang menghalalkan pergaulan sebagai
suami istri (termauk hubungan seksual) antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan bukan mahram yang memenuhi berbagai persyaratan tertentu, dan
menetapkan hak dan kewajiban masing-masing demi membangun keluarga yang sehat
secara lahir dan batin. Jika seseorang sudah sanggup untuk melaksanakan
pernikahan maka sangat dianjurkan kepadanya untuk segera melakukannya karena
itu akan mencegahnya dari perbuatan zina.1 Jika ditinjau dari Kompilasi Hukum
Islam Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Seperti halnya firman
Allah yang tercantum dalam al Quran surat ar-Ruum ayat 21 tentang anjuran
menikah : َو َر ْح َم َو َج َع َل بَ ْينَ ُكم َّمَو
َّدةً ْيهَا لَ ِ تَ ْس ُكنُوا إ ِّ ل ً َ ْز َواجا ِس ُكْم أ نفُ َ َق لَ ُكم ِّم
ْن أ ْن َخلَ َ ْو َو ِم ٍم ْن آيَاتِ ِه أ قَ ِّ َّن فِي َذلِ َك ََليَا ٍت ل ِ يَتَفَ
َّك ُرون إ ةً Artinya: “ Dan diantara tanda-tanda kebesaran
kekuasaan-Nya Ia menciptakan untuk kamu-kamu istri-istri dari jenismu sendiri
supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya diantara
amu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.3 Sebuah pernikahan
dapat mempererat hubungan antara keluarga suami dan keluarga isteri, dan pada
gilirannya mempererat hubungan kasih sayang serta menjalin persaudaraan antar
anggota masyarakat yang sebelumnya mungkin tidak atau belum saling mengenal.
Namun terkadang pernikahan bisa menimbulkan perselisihan antar beberapa pihak
yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Salah satu hal yang
menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga ialah 1 Muhammad Baqir,Fiqih
Praktis II Menurut al-Quran,Sunnah dan Para Pendapat Para Ulama, (Bandung:
Karisma, 2008) 2 Pengertian perkawinan berdasarkan Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. 3 Q.S. ar-Ruum (30): 21. karena pernikahan yang
dilangsungkan tidak sepenuhnya diridhoi atau direstui oleh orang tua. Ada salah
satu bentuk adat pernikahan di Ternate yang menjadi tradisi jika seorang wanita
yang di lamar tidak mendapat restu atau persetujuan dari walinya, pernikahan
yang dimaksudkan ialah kawin Masibiri /kawin lari. Tradisi Masibiri ini
dilakukan jika lamaran dari seorang laki-laki tidak diterima oleh pihak
keluarga wanita. Sesuai tradisi, pelamar bisa mencuri wanita yang dilamarnya
tanpa sepengetahuan keluarga wanita. Dalam waktu beberapa lama lelaki (pelamar)
kembali ke rumah wanita dan meminta restu dari orang tua wanita. Jika tetap
tidak direstui maka pelamar bisa menikahi wanita yang telah di bawanya meskipun
tanpa ada wali dari pihak wanita tersebut sehingga pernikahan dilangsungkan
dengan menggunakan wali hakim. Namun pada kenyataannya mereka tidak dinikahkan
oleh wali hakim dari Kantor Urusan Agama atas putusan Pengadilan melainkan
dinikahkan oleh imam masjid yang oleh mereka di anggap sebagai wali hakim. Pada
umumnya si gadis lari/kabur dari rumah orang tuanya dan menuju ke rumah
petugas/pejabat nikah (wali hakim) atau ke rumah mudin. Setelah petugas
memberitahukan kepada orang tuanya bahwa anak gadisnya sekarang berada di
rumahnya. Biasanya orang tua si gadis (wali nasab) menyerahkan pelaksanaan
perkawinan darurat ini kepada petugas wali hakim atau mudin untuk mengurusnya.4
4 Html://nikah adat/bentuk perkawinan adat di Ternate (diakses pada tanggal 25
Desember 2013 pukul 17.06) Sehingga perwalian dapat diwakilkan oleh orang lain
(wali hakim) atau mudin tanpa kehadiran orang tua bahkan wali nasabnya.
Perkawinan bentuk ini adalah cara yang ditempuh sebagai usaha terakhir karena
jalan lain tidak memungkinkan atau tidak ada. Faktor-faktor yang mendorong
terjadinya Kawin Masibiri ini kemungkinan karena orang tua tidak menyetujui
lamaran lelaki pilihan putri mereka, menghindari biaya perkawinan yang sangat
tinggi, pihak laki-laki tidak mampu untuk melaksanakan cara meminang atau juga
karena mereka berlainan rumpun dalam kelompok sosial yang tidak bisa melakukan
perkawinan. Bentuk perkawinan ini ditempuh dan dapat terjadi kemungkinan karena
pihak keluarga si pemuda adalah berasal dari strata bawah atau terlalu miskin
untuk mampu melaksanakan cara meminang. Masyarakat Ternate menganggap bahwa
bentuk Kawin Lari (Masibiri) merupakan pintu darurat yang ditempuh oleh si
pemuda . Konsekwensi adat yang dipikul akibat perkawinan ini sudah dipikirkan
matangmatang oleh pasangan kedua remaja tersebut. Masyarakat berpikir walaupun
perkawinan ini dilakukan secara darurat (kebanyakan dilaksanakan di rumah imam
masjid) namun tetap dianggap sah menurut hukum adat karena tata cara perkawinan
dilaksanakan menurut rukun nikah secara Islam. Bentuk pernikahan semacam ini
dianggap sah oleh masyarakat karena mereka menganggap bahwa semua syarat maupun
rukun perkawinan dalam hukum Islam telah terpenuhi. Salah satunya yaitu orang
yang dijadikan wali dalam perkawinan yang dilangsungkan meskipun walinya bukan
wali nasab. Dengan alasan yang demikian maka wali wanita tersebut menjadi wali
adhal. Secara umum wali adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang
bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Sedangkan wali perkawinan adalah
seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.5
Yang di maksud dengan wali adhal sendiri ialah wali yang tidak mau menikahkan
wanita yang sudah baligh yang akan menikah dengan seorang pria yang kufu’.6
Wali merupakan salah satu rukun yang harus di penuhi dalam perkawinan. Status
wali dalam perkawinan merupakan rukun yang menentukan sahnya akad nikah. Wali
dalam pernikahan dibagi menjadi beberapa macam, pertama wali nasab yaitu wali
karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.7
Kedua wali hakim yaitu wali yang hak perwaliannya timbul karena orang tua
perempuan menolak atau tidak ada atau karena sebab lainnya.8 Ketiga tahkim
yaitu wali yang diangkat oleh calon suami dan calon istri. apabila wali nasab
tidak dapat menjadi wali karena sebab-sebab tertentu dan wali hakim tidak.9
Keempat wali mujbir ialah seoang wali yang berhak menikakan perempuan yang
diwakilkan diantara orang yang kehilangan kemampuannya termasuk perempuan yang
masih gadis tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dahulu, dan berlaku juga
bagi orang yang diwakilkan tanpa melihat ridha atau tidaknya pihak yang berada
di bawah 5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta :
Kencana, 2006, ) h 69. 6 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009),h. 102. 7 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009),h. 95. 8 H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam
yadi Indonesia (Jakata : Sinar Grafika,2006), h. 16. 9 Tihami dan Sohari
Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),h. 98. perwalainnya.10
Dalam perkawinan Masibiri (kawin lari) yang di lakukan ini perwalian mempelai
wanita tidak ditangan walinya namun di serahkan kepada imam masjid yang dalam
hal ini mereka menganggap bahwa itu wali hakim. Penentuan perpindahan wali
nikah dari wali nasab kepada wali hakim dalam kasus kawin lari (kawin masibiri)
ini tidak berdasarkan urutan derajat wali nasabnya melainkan langsung mengambil
jalan pintas ke imam masjid yang mereka anggap sebagai wali hakim berhubung
wali nasabnya telah menjadi wali adhal. Hal ini dilakukan dengan unsur
kesengajaan bukan karena faktor-faktor yang menyebabkan perpindahan wali kepada
wali hakim . Masyarakat beranggapan bahwa anak gadis yang melakukan kawin lari
tidak akan menjadi tanggung jawab orang tua atau wali nasabnya lagi, jadi
menurut sebagian dari mereka tidak menjadi masalah terkait dengan wali adhal.
Namun setiap orang memiliki pandangan dan perspektif yang berbeda-beda mengenai
suatu masalah. Dalam kasus ini tentu saja tidak semua akan berperspektif
demikian seperti yang disebutkan diatas. Pandangan tokoh agama, adat dan
pemertintah mengenai wali adhal ini pun kemungkinan berbeda-beda. Untuk itu
peneliti akan melakukan observasi di daerah yang masyarakatnya masih melakukan
adat Masibiri karena sebagian dari mereka walinya adhal, yaitu di Kelurahan
Sulamadaha Kecamatan Pulau Ternate Kota Ternate Maluku Utara Dari uraian
permasalahan diatas penulis tertarik untuk melihat dan meneliti lebih dalam
terkait kasus yang terjadi dengan mengambil judul “PANDANGAN 10 Tihami dan
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),h. 101. TOKOH
AGAMA, ADAT DAN PEMERINTAH TERHADAP WALI ADHAL ADAT MASIBIRI (KAWIN LARI) Studi
Kasus di Kelurahan Sulamadaha Kecamatan Pulau Ternate Kota Ternate Maluku Utara
”. Penelitian ini untuk memberikan penjelasan dan deskripsi secara komprehensif
bagaimana pandangan tokoh dan pemerintah tentang wali adhal tersebut dalam adat
Masibiri. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas dan mengacu pada
judul yang ada,penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan tokoh agama, adat dan Pemerintah tentang wali adhal? 2.
Apa alasan seorang wali menolak menikahkan anak perempuannya ? C. TUJUAN PENELITIAN
Berkaitan dengan adanya permasalahan tersebut, maka tentunya ada beberapa
tujuan yang ingin dicapai, yaitu: 1. Dapat mendeskripsikan serta memahami
pandangan tokoh agama, adat dan Pemerintah tentang wali adhal. 2. Dapat
mendeskripsikan alasan seorang wali menolak menikahkan anak perempuannnya
dengan calon suami pilihan anak gadisnya tersebut. D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini setidaknya mempunyai dua manfaat yang menjadi harapan peneliti.
1. Manfaat Teoritis, penelitian ini bermanfaat: a. Untuk memperkaya wacana
keilmuan tentang perkawinan khususnya tentang pandangan tokoh agama, adat dan
Pemerintah tentang wali adhal serta alasan wali yang menolak menikahkan anak
perempuannya. b. Menjadi kontribusi positif terhadap fakultas Syariah khususnya
konsentrasi pada al-Ahwal asy-Syaksyiyah. c. Sebagai masukan bagi para para
ahli hukum terhadap pengembangan ilmu hukum khususnya hukum Islam agar tetap
sesuai dengan perkembangan zaman. 2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat:
a. Diharapkan mampu memberikan kontribusi serta solusi-solusi terkait tentang
penyelesaian wali adhal dan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
tentang apa sebenarnya wali adhal itu. b. Dapat bermanfaat bagi pelajar atau
mahasiswa, pengajar dan masyarakat umumnya yang mempelajari keilmuan ini
terutama yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian wali adhal. E. DEFINISI
OPERASIONAL 1. Tokoh Adat dan Agama Tokoh adalah seseorang yang terkemuka atau
kenamaan di bidangnya, atau seseorang yang memegang peranan penting dalam suatu
bidang atau aspek kehidupan tertentu dalam masyarakat. Seseorang tersebut
berasal, dibesarkan, dan hidup dalam lingkungan masyarakat tertentu.11 Tokoh
adat yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu orang yang terkemuka dalam
masalah adat di seputar lokasi penelitian dilakukan. Sedangkan tokoh agama
yaitu orang yang terkemuka dalam hal agama, dimana orang ini dipercaya oleh
masyarakat sekitar lokasi penelitian sebagai orang yang dapat mengatur dan
menyelesaikan terkait persoalan agama. 2. Pemerintah Pemerintah dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah sebuah sistem yang menjalankan wewenang dan
kekuasaan yang mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu Negara
atau bagian-bagian. Definisi secara luas dapat diartikan sebagai sekumpulan
orang-orang yang mengelola kewenangan dan kebijakan dalam mengambil keputusan
dan melaksanakan kepemimpinan dan koordinasi 11 “Definisi Tokoh”,
https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100424225844AA0 6gvm /,di
akses tanggal 29 2014 pukul 12:55. pemerintahan serta pembangunan masyarakat
dan wilayahnya yang membentuk sebuah lembaga dimana mereka ditempatkan.
Pemerintah merupakan sebuah wadah orang-orang yang mempunyai kekuasaan di dalam
sebuah lembaga yang disebut Negara dan mengurusi masalah kenegaraan dan
kesejahteraan rakyat.12 Dalam penelitian ini pemerintah yang di maksudkan oleh
peneliti yaitu pejabat Kantor Urusan Agama yang mana salah satu tugasnya
sebagai pelaksana pencatatan pernikahan, rujuk, dalam membina pengembangan
keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas
Islam berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Masibiri
Masibiri atau yang didalam bahasa Indonesia disebut kawin lari ialah salah satu
bentuk pernikahan adat yang dilakukan oleh pasangan yang akan menikah apabila
wali dari calon mempelai wanita menolak untuk menikahkannya. 12 “Definisi
Pemerintah”, http://www.anneahira.com/definisi-pemerintah.htm /, diakses
tanggal 30 Agustus 2014 pukul 13:14. F. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika
penulisan adalah rangkaian urutan yang terdiri atas uraian mengenai suatu
pembahasan dalam karangan ilmiah atau penelitian. Berkaitan dengan penelitian
ini, secara keseluruhan dalam pembahasannya terdiri atas: BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan beberapa permasalahan yang melatarbelakangi serta urgensi
dilakukannya penelitian. Disamping itu juga memuat rumusan masalah dimana
terdapat beberapa pertanyaan yang kemudian dirumuskan kedalam tujuan. Dan
manfaat penelitian ada pada bab ini juga, dimana kita bisa mengetahui manfaat
apa yang diperoleh dari penelitian ini. Memuat juga penelitian terdahulu yang
sejalan dengan tema atau judul dari penelitian ini serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini diuraikan mengenai teori dan konsep yang
mendasari dan mengantar penulis untuk menganalisis. Menerangkan tentang
kerangka teori yang membahas didalamnya tentang kawin lari, syarat dan rukun
yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan, dan wali dalam pernikahan.
BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini merupakan metode penelitian. Untuk mencapai
hasil yang sempurna, penulis menjelaskan metode penelitian yang dipakai dalam
penelitian ini. Metode penelitian ini terdiri dari jenis penelitian, pendekatan
penelitian, lokasi penelitian, sumber data, teknik pengumpulan teknik dan
analisis data yang merupakan beberapa rangkaian dalam proses penelitian. BAB IV
: PAPARAN DAN ANALISIS DATA Bab ini terdiri dari temuan penelitian dan analisis
data serta berisi pembahasan terhadap penemuan-penemuan. Pertama-tama, pada bab
ini memaparkan profil para informan atau para tokoh (tokoh agama, adat dan
pemerintah) yang memberikan pendapat atau pandangan tentang wali adhal serta
alasan para orang tua menolak menikahkan anak perempuannya. Setelah itu, dalam
bab ini juga terdapat analisis data yang meliputi hasil wawancara dengan para
tokoh tersebut yang memberikan pendapat atau pandangan mereka serta alasan
orang tua menolak menikahkan anak perempuannya. BAB V: PENUTUP Bab V adalah
sebagai penutup yang merupakan rangkaian akhir dari sebuah penelitian yang
memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan jawaban singkat atas rumusan
masalah yang telah dirumuskan, bukan mengulang kembali penjelasan-penjelasan
yang sudah diungkapkan pada analisis. Selain itu, pada bab ini juga memuat
saran terhadap hasil pemaparan dan analisis data yang peneliti peroleh, serta
harapan peneliti terhadap semua pihak yang berkompeten dalam masalah ini agar
penelitian yang dilakukan oleh peneliti dapat memberikan kontribusi yang
maksimal.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Pandangan tokoh agama, adat dan pemerintah terhadap wali adhol adat masibiri (kawin lari): Studi kasus di Kelurahan Sulamadaha Kecamatan Pulau Ternate Kota Ternate Maluku Utara" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment