Abstract
INDONESIA:
Maqâshid al-syarî’ah merupakan salah satu tema yang cukup signifikan dalam kajian metodologi hukum Islam (ushûl al-fiqh). Dalam literatur ushul fiqh banyak ditemui pendapat yang menyatakan bahwa Imâm al-Syâthibiy adalah tokoh penting di balik teori yang banyak mengakomodasi pertimbangan-pertimbangan kontekstual tersebut. Melalui pemikirannya tentang maqâshid al-syarî’ah Imâm al- Syâthibiy menginginkan agar kemaslahatan makhluk dijadikan sebagai salah satu pertimbangan utama ketika seorang mujtahid berupaya melakukan inferensi hukum (istinbâth al-hukm).
Maqâshid al-syarî’ah dirumuskan oleh al-Syâthibiy dengan menggunakan metode penalaran istiqrâ’iy. Metode istiqrâ’ atau juga dikenal dengan induksi (induction) merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para ulama mantiq dan ushul fiqh dalam berbagai kajian. Metode penalaran tersebut banyak dikembangkan oleh para pemikir Yunani dan ditransfer masuk ke dunia Islam semasa terjadinya pembebasan daerah-daerah (futuhât) yang dilakukan oleh otoritas muslim.
Ketika Pemerintah Indonesia berinisiatif untuk mengadakan pembinaan hukum nasional agar hukum yang ada di Indonesia dapat secara lebih nyata memberikan kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia, yang salah satu agendanya adalah dengan melakukan pembaruan dalam bidang hukum Islam, maka isu seputar relevansi ide-ide Imâm al-Syâthibiy tentang maqâshid al-syarî’ah menjadi bahan diskusi yang menarik. Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya pemikiran maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dan bagaimana pula relevansi antara maqâshid al-syarî’ah tersebut dengan agenda pembaruan hukum Islam di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran Imâm al-Syâthibiy tentang maqâshid al-syarî’ah serta relevansinya dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif (dari segi metode analisa datanya) dan ushul fiqh (dari segi ranah disiplin keilmuannya), penelitian yuridis- normatif ini menggunakan buku karangan Imâm al-Syâthibiy, yakni al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Ahkâm sebagai bahan rujukan utama. Pembahasan dalam penelitian ini penulis batasi pada relevansi teori maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dengan beberapa metode pembaruan hukum Islam yang digunakan oleh lembaga negara dalam merumuskan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam di Indonesia, yakni Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang dirumuskan oleh DPR dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dirumuskan oleh Presiden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa teori maqâshid al-syarî’ah Imâm al- Syâthibiy memiliki relevansi dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia terutama jika dilihat dari sudut metode pembaruan hukum Islam yang digunakan oleh DPR ketika merumuskan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Presiden ketika merumuskan Kompilasi Hukum Islam. Relevansi tersebut terletak pada adanya kesamaan pada teori maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dan pembaruan hukum Islam di Indonesia yang menempatkan kemaslahatan umat manusia sebagai tujuan sekaligus pertimbangan utamanya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Manusia diciptakan beserta fitrah untuk
cenderung mencintai kebaikan. Termasuk dalam kebaikan itu adalah kemaslahatan
diri manusia sendiri sebagai makhluk yang, di satu sisi, memiliki berbagai
kepentingan individual, namun di sisi lain memainkan peran sebagai bagian dari
suatu komunitas sosial. Oleh sebab itu, setiap amal perbuatan manusia
semestinya lahir karena latar belakang (because motive) dan bertujuan untuk (in
order to motive) suatu kemaslahatan, baik kemaslahatan bagi dirinya sendiri
maupun bagi lingkungan sekitarnya.
Syari’at diturunkan bagi umat
manusia dalam rangka mewujudkan kemaslahatan (mashlahah) mereka, baik kemaslahatan
di dunia maupun di Karena syari’at Islam merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits
–dua sumber ajaran yang telah terbukukan, maka metode istinbâth (inferensi)
hukum (termasuk di dalamnya kaidah-kaidah penafsiran bahasa) berperan sangat
besar dalam menjelaskan makna ayat serta merumuskan hukum dari kedua sumber
tersebut agar sedapat mungkin sesuai dengan maqâshid al-syarî’ah sehingga dapat
mewujudkan kemaslahatan yang diinginkan.
menguraikan pendapatnya bahwa: “Ketika suatu
prinsip atau aturan syari’ah didasarkan pada makna umum atau implikasi yang
luas dari suatu teks al-Qur’an dan Sunnah, berbeda dengan aturan langsung dari
teks yang jelas dan terinci, maka teks dan prinsip (aturan) syari’ah itu harus
dihubungkan melalui penalaran hukum. Bagaimana pun juga sulit dibayangkan suatu
teks al-Qur’an dan Sunnah, betapa pun jelas dan rincinya, tidak memerlukan
ijtihad untuk interpretasi dan penerapannya dalam situasi yang konkret.”
Bahkan sebelum Ushul Fiqh lahir,
yakni pada masa Sahabat dan Tabi’in, maqâshid al-syarî’ah telah dijadikan
sebagai sebuah pertimbangan hukum dalam merumuskan fatwa-fatwa dan pendapat
hukum. Misalnya, diriwayatkan bahwa ‘Aisyah dan Ibn ’Abbas pernah menolak
kesimpulan hukum dari hadits-hadits Âhâd yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
yang menyatakan tentang keharusan membasuh kedua tangan sampai tiga kali bagi
seseorang yang baru bangun tidur sebelum memasukkannya ke dalam wadah. ‘Aisyah
dan Ibn ’Abbas menilai bahwa hadits tersebut tidak selaras dengan tujuan
syari’at karena bertentangan dengan kaidah tentang penghindaran kesulitan
(limukhâlafatih liqâ’idat raf’ al-haraj).
Atau keputusan Umar yang tidak lagi
menyalurkan zakat 17 17 al-Syâthibiy (w. 790 H./1388 M.), seorang yuris Islam
dari Andalusia, agaknya merupakan ulama yang paling berjasa dalam membuat
prinsip maqâshid al-syarî’ah tersebut menjadi sebuah rumusan yang lebih
komprehensif dan sistematis.6 Pemikiran al-Syâthibiy yang menguraikan maqâshid
al-syarî’ah secara panjang lebar dapat ditemukan dalam karya monumentalnya,
al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm (Beberapa Konsensus dalam Dasar-dasar Hukum).7
Imâm al-Syâthibiy menyatakan bahwa syari’at dimaksudkan sebagai upaya untuk
mewujudkan kemaslahatan makhluk.8 Kemaslahatan makhluk dapat tercapai apabila
lima hal primer dalam hidupnya telah terjamin. Lima hal tersebut antara lain
agama (dîn), jiwa (nafs), akal (’aql), keturunan (nasl), dan harta benda
(mâl).9 Bagi al-Syâthibiy, upaya melindungi lima hal inilah yang menjadi tujuan
(maqâshid) diturunkannya syariat Islam. Dalam kitabnya itu pula, al-Syâthibiy
membagi kemaslahatan makhluk menjadi tiga, yakni mashlahat dlarûriyyah
(kemaslahatan primer), mashlahat hâjiyyah (kemaslahatan sekunder), dan
mashlahat tahsîniyyah (kemaslahatan suplementer). Masing-masing klasifikasi
bergantung kepada peran dan urgensinya bagi kehidupan manusia.
Jika suatu kemaslahatan sangat
menentukan keberlangsungan hidup manusia dan jika tanpanya akan terjadi
ketimpangan dan kepada para muallaf oleh karena ketentuan tersebut dianggap
tidak relevan lagi dengan tujuan syari’ah (yang dalam hal ini adalah ta’lîf
atau mengambil hati orang-orang yang baru masuk Islam), sekalipun keputusan itu
bertentangan dengan nash al-Qur’an Surat al-Taubah ayat 60.
ketidakadilan yang mengakibatkan ambruknya tatanan sosial (ikhtilâl al-nidhâm fî al-ummah), maka kemaslahatan itu termasuk dalam kategori mashlahat dlarûriyyah. Jika suatu kemaslahatan berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan sekunder bagi manusia, dalam arti memberikan kelapangan (al-tawsi’at wa daf’ al-dlîq) dalam pelaksanaan hukum, maka kemaslahatan itu termasuk dalam kategori mashlahat hâjiyyah. Dan jika suatu kemaslahatan memberikan perhatian kepada masalah etika (makârim al-akhlâq) dan estetika (mahâsin al-’âdât), maka kemaslahatan tersebut masuk dalam kategori mashlahat tahsîniyyah
ketidakadilan yang mengakibatkan ambruknya tatanan sosial (ikhtilâl al-nidhâm fî al-ummah), maka kemaslahatan itu termasuk dalam kategori mashlahat dlarûriyyah. Jika suatu kemaslahatan berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan sekunder bagi manusia, dalam arti memberikan kelapangan (al-tawsi’at wa daf’ al-dlîq) dalam pelaksanaan hukum, maka kemaslahatan itu termasuk dalam kategori mashlahat hâjiyyah. Dan jika suatu kemaslahatan memberikan perhatian kepada masalah etika (makârim al-akhlâq) dan estetika (mahâsin al-’âdât), maka kemaslahatan tersebut masuk dalam kategori mashlahat tahsîniyyah
Al-Syâthibiy, dalam kitab dan tema pembahasan
yang sama juga menganjurkan agar metodologi hukum Islam (ushûl al-fiqh) yang
telah ada ditelaah ulang dengan lebih mengacu kepada maqâshid al-syarî’ah agar
dapat menghasilkan produk-produk hukum yang lebih mampu mengakomodasi
kemaslahatan umat manusia.11 Hal tersebut perlu dilakukan mengingat rumusan
ushul fiqh klasik, seperti juga dikatakan oleh Hasan Turabi, seorang pemikir
muslim terkemuka asal Sudan, masih bersifat abstrak dan berupa wacana teoritis yang
tidak mampu menuntaskan perdebatan yang tak kunjung selesai,12 terlebih ketika
harus berhadapan dengan permasalahan-permasalahan hukum yang muncul sebagai
imbas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Persoalan seputar
demokrasi, konsep negara-bangsa, kesetaraan gender,
Imam Syaukani (selanjutnya disebut
Syaukani), Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya
bagi Pembangunan hukum Nasional (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), 106. 19
19 yang lain membutuhkan sarana pemecahan yang berupa kerangka metodologis yang
relevan dengan kepentingan umat Islam saat ini. Penelaahan ulang terhadap
metodologi hukum Islam tersebut semakin sulit untuk diabaikan mengingat di
antara sekian banyak disiplin ilmu yang berkembang dalam agama Islam, fiqh
merupakan salah satu bidang keilmuan yang paling banyak diminati oleh
masyarakat muslim di dunia. Hal tersebut dikarenakan fiqh, sebagai suatu bidang
ilmu yang membahas tentang permasalahan hukum dalam Islam (yang tentunya juga
dilengkapi dengan penjelasan tentang konsekuensi hukum yang bersifat konkret),
bukan hanya mengatur kepentingan umat Islam dalam ranah publik saja, namun juga
ranah privat. Oleh sebab itu bisa dimengerti jika fiqh kemudian menjadi suatu
disiplin ilmu yang paling banyak mempengaruhi cara berpikir serta mendominasi
pemahaman masyarakat muslim terhadap agama mereka.
Fiqh merupakan disiplin keilmuan
yang telah mendapatkan tempat di hati umat Islam, termasuk umat Islam di
Indonesia. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarahnya fiqh tidak jarang
disalahartikan bahkan diidentikkan dengan wahyu dalam hal universalitas dan
sakralitasnya. Sebagai konsekuensi dari anggapan tersebut, fiqh lantas
diasumsikan bukan hanya sebagai suatu disiplin ilmu yang serba meliputi
(syâmil) dan tidak terjamah oleh pengaruh masa (zamân) dan lokalitas tempat
(makân), namun juga sebagai suatu tata aturan yang tidak boleh didebat dan
dipersoalkan. Namun demikian, seiring munculnya berbagai permasalahan hukum
yang ditemui oleh umat Islam pada zaman modern, baik karena faktor internal
13Nurcholish Madjid (selanjutnya disebut Madjid), Islam Doktrin dan Peradaban
(Cet. II; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), 235. 20 20 maupun
eksternal, maka pemahaman seperti di atas sedikit demi sedikit mengalami
pergeseran. Modernisasi dan globalisasi memang menawarkan banyak kemudahan bagi
masyarakat, namun keduanya juga telah membawa pada munculnya berbagai kebutuhan
baru yang menuntut untuk dipenuhi. Cara yang digunakan oleh manusia dalam
memenuhi kebutuhan barunya itulah yang acapkali melahirkan berbagai
permasalahan yang belum pernah ditemui oleh umat Islam pada masa-masa
sebelumnya.14 Dalam upaya mencari jalan keluar bagi permasalahan-permasalahan
tersebut sebagian pemikir muslim menilai bahwa melakukan interpretasi ulang
(reinterpretation) terhadap nas-nas suci (al-nushûsh al-muqaddasah) serta
merumuskan aturan metodologis dalam bidang hukum yang lebih sesuai dengan
perkembangan zaman –sekalipun tidak sepenuhnya baru– adalah lebih relevan dan
solutif daripada mengikuti tanpa disertai nalar kritis pendapat kebanyakan
ushûliyyûn dan fuqahâ’ klasik.15 Fiqh merupakan hasil ijtihad ulama yang tidak
terlepas dari konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi ketika ulama
tersebut hidup, selain tentunya juga dari 1 metode istinbâth hukum yang mereka
gunakan.16 Oleh karenanya tidak mengherankan jika hasil ijtihad seorang ulama
pada suatu masa dan tempat tertentu terkadang menjadi kurang sesuai untuk
diterapkan pada masa atau tempat yang berbeda. Memaksakan diri untuk menerapkan
seluruh ketentuan fiqh hasil ijtihad ulama terdahulu dan mengabaikan
kontekstualitas serta aktualitasnya bagi umat manusia zaman sekarang justru
dapat membawa akibat yang kontraproduktif dan mengancam kemaslahatan umat
manusia yang menjadi tujuan syari’at.
Upaya pembaruan hukum Islam dengan menggunakan
metode ijtihad yang telah disesuaikan dengan kebutuhan dan problematika
masyarakat modern serta konteks sosial-budaya umat Islam Indonesia adalah cara
yang dapat ditempuh untuk menjaga kemaslahatan umat Islam di Indonesia dari
ancaman yang bisa ditimbulkan dari penerapan fiqh klasik yang dilakukan secara
rigid. Pembaruan hukum (tajdîd al-hukm) telah dikenal baik dalam doktrinitas
maupun dalam sejarah agama Islam. Terdapat sebuah Hadits Nabi yang memberikan
justifikasi akan hal tersebut.17 Hal ini menunjukkan bahwa upaya pembaruan
hukum Islam yang tengah digalakkan oleh para pendukungnya di zaman modern ini
sebenarnya bukanlah sesuatu yang ilegal dan sama sekali baru, betapa pun
gagasan pembaruan hukum Islam seringkali mendapatkan perlawanan dan memicu
perdebatan yang berkepanjangan. 16Cik Hasan Bisri (selanjutnya disebut Bisri),
Model Penelitian Fiqh: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian (Cet. I;
Jakarta: Prenada Media, 2003), 198. 17Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan
oleh Abû Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda: .
Pembaruan hukum Islam di mana ijtihad menjadi
sarana yang menyebabkannnya tidak mustahil untuk dilakukan merupakan suatu
keniscayaan di tengah problem kemanusiaan yang begitu kompleks. Akan tetapi,
problem kehidupan yang sedemikian struktural dan sistemik ini tentu saja
membutuhkan sebuah metode ijtihad yang progresif dan brilian agar mampu
mengakomodasi segala kebutuhan serta mewujudkan kemaslahatan masyarakat modern
saat ini.18 Dalam kerangka pembaruan hukum Islam dengan menggunakan metode
istinbath hukum yang dimaksud, seperti dikatakan oleh A. Qodri Azizi,
selanjutnya hukum Islam tidak sekadar diarahkan pada upaya pencarian legitimasi
legal formal an sich, namun juga pada seberapa banyak hukum Islam mampu
menyumbangkan nilai-nilainya dalam rangka kemajuan, keteraturan, ketentraman,
dan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.19 Sebagai upaya untuk
memperbarui hukum Islam dan menjadikannya lebih responsif dan solutif bagi umat
Islam di Indonesia, maka proyek pembaruan hukum Islam yang tengah digalakkan
tentu memerlukan landasan hukum dan basis teoritik yang kokoh. Oleh karena
pembaruan hukum Islam tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menghasilkan
produk hukum yang mampu memberikan perlindungan bagi kemaslahatan umat manusia,
maka rumusan al-Syâthibiy tentang tujuan-tujuan syari’at (maqâshid al-syarî’ah)
sebagaimana sekilas telah dikemukakan di atas terlihat memiliki korelasi dan
keselarasan dengan agenda pembaruan hukum Islam tersebut. Di samping itu,
rumusan al-Syâthibiy tersebut juga tampak sesuai dengan mekanisme pembaruan
hukum Islam di Indonesia yang, seperti
0 Oleh karena latar belakang di
atas, peneliti melihat bahwa penelitian dengan fokus pembahasan tentang
relevansi antara maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dan upaya pembaruan
hukum Islam di Indonesia ini layak untuk dikaji. B. Batasan Masalah Fokus
pembahasan dalam penelitian ini adalah relevansi antara pemikiran Imâm
al-Syâthibiy tentang maqâshid al-syarî’ah dengan pembaruan hukum Islam di
Indonesia. Terkait pembaruan hukum Islam di Indonesia dibatasi hanya pada
metode pembaruan hukum Islam yang dilakukan melalui lembaga negara 21, dalam
hal ini adalah lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ketika
merumuskan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan lembaga
eksekutif yaitu Presiden ketika merumuskan Kompilasi Hukum Islam (KHI). 20Lebih
lanjut keduanya mengatakan: ”Bahwa pembentukan suatu ketentuan hukum atau ajaran
harus selalu dirujukkan atau mempertimbangkan kondisi-kondisi lokal dan tingkat
peradaban yang dicapai manusia, itu kebutuhan pokok yang tidak bisa diingkari.
Sebab itulah, maka sebagian ulama mempersyaratkan bagi seorang mufassir atau
mujtahid untuk mengetahui sabab al-nuzûl dari sebuah ayat. Memahami sebuah ayat
yang hanya berjangkar pada argumen-argumen gramatikal dengan menepikan
peristiwa-peristiwa lokal yang menyertainya telah terjebak pada logosentrisme
bahasa secara penuh-penuh. Padahal, dalam kehidupan ini, pada awalnya bukanlah
kata, melainkan realitas. Sebuah realitas dilaporkan dengan meminjam perangkat
bahasa.” Lihat: Abdul Moqsith Ghazali dan Musoffa Basyir-Rasyad, ”Islam
Pribumi: Mencari Model Keberislaman ala Indonesia”, dalam Komaruddin Hidayat
dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi
Nusantara (Cet. I; Jakarta: Mizan, 2006), 684-685. 21Seperti dikatakan oleh Cik
Hasan Bisri, pengembangan hukum Islam dapat dilakukan melalui tiga jalur, yakni
melalui pranata sosial (pranata kekerabatan, ekonomi, pendidikan, keilmuan,
keindahan dan rekreasi, keagamaan, politik, dan kebutuhan jasmaniah),
organisasi kemasyarakatan (Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, Persatuan Islam, dll), dan kekuasaan negara (Pemerintah, DPR, MA,
dll).
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pemikiran Imâm al-Syâthibiy
tentang maqâshid al-syarî’ah?
2. Bagaimanakah relevansi maqâshid
al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan mengadakan penelitian ini antara lain:
1. Memahami pemikiran Imâm
al-Syâthibiy tentang maqâshid al-syarî’ah;
2. Mengetahui relevansi maqâshid
al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian yang mengambil tema tentang
maqâshid al-syarî’ah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kalangan
luas, baik secara teoritis maupun praktis. Dengan demikian hasil yang nantinya
diperoleh melalui penelitian ini tidak hanya dapat memberikan sumbangan positif
bagi pihak-pihak dalam skala yang terbatas atau dalam tataran normatif saja.
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai sebuah kajian ilmiah yang
diharapkan dapat menghadirkan penjelasan yang memadai tentang relevansi antara
pemikiran maqâshid al-syarî’ah hasil rumusan Imâm al-Syâthibiy dengan pembaruan
hukum Islam yang dilakukan di Indonesia.
Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan
dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai pijakan bagi penelitian
selanjutnya dalam hal maqâshid al-syarî’ah maupun relevansinya dengan pembaruan
hukum Islam di Indonesia sekaligus sebagai bekal, baik bagi peneliti 25 25
sendiri maupun kalangan lain, dalam menganalisa berbagai persoalan terkait
hukum Islam yang kemungkinan muncul di sekitar mereka serta dalam mencermati
dan mengkritisi ketentuan-ketentuan hukum Islam yang telah ditetapkan oleh para
ulama, terlebih yang berkaitan dengan pembaruan hukum Islam dan permasalahan
umat manusia modern.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Maqâshid al-Syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dan relevansinya dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia."" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
Download
No comments:
Post a Comment