Abstract
INDONESIA:
Seseorang yang belum cukup umur dalam melangsungkan perkawinan dapat mengajukan izin dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama. Pada umumnya yang mengajukan dispensasi kawin adalah orang tua dari anak, karena seseorang yang masih belum cukup umur dewasa belum bisa menjadi subyek hukum. Tetapi dalam perkara nomor 0067/Pdt.P/2012/PA.Pas yang mengajukan sendiri adalah anak, karena orang tua tidak memberikan izin.
Dari latar belakang tersebut diambil fokus penelitian bagaimana seseorang yang secara umur belum dapat melakukan perbuatan hukum dapat mengajukan dispensasi kawin atas dirinya sendiri, dan bagaimana perkara ini dilihat dari segi maslahahnya.
Setelah mendapatkan data serta dianalisis diketahui bahwa sebenarnya seseorang yang belum cukup umur belum dapat melakukan perbuatan hukum, akan tetapi perkara ini termasuk pengecualian karena calon istrinya telah hamil.
Hakim menetapkan untuk mengizinkan keduanya menikah, berdasarkan maslahahnya. Menurut analisa penulis hakim menetapkan izin dispensasi berdasarkan kemaslahatan individu yakni kemaslahatan pemohon, namun jika dilihat secara kemaslahatan umum penetapan izin dispensasi kawin ini menimbulkan dampak yang lebih global karena dampaknya lebih besar yaitu dapat menyebabkan ketidakjelasan nasab anak kelak.
Dari latar belakang tersebut diambil fokus penelitian bagaimana seseorang yang secara umur belum dapat melakukan perbuatan hukum dapat mengajukan dispensasi kawin atas dirinya sendiri, dan bagaimana perkara ini dilihat dari segi maslahahnya.
Setelah mendapatkan data serta dianalisis diketahui bahwa sebenarnya seseorang yang belum cukup umur belum dapat melakukan perbuatan hukum, akan tetapi perkara ini termasuk pengecualian karena calon istrinya telah hamil.
Hakim menetapkan untuk mengizinkan keduanya menikah, berdasarkan maslahahnya. Menurut analisa penulis hakim menetapkan izin dispensasi berdasarkan kemaslahatan individu yakni kemaslahatan pemohon, namun jika dilihat secara kemaslahatan umum penetapan izin dispensasi kawin ini menimbulkan dampak yang lebih global karena dampaknya lebih besar yaitu dapat menyebabkan ketidakjelasan nasab anak kelak.
ENGLISH:
Someone who is not yet enough to getting marriage, can be propose some permission dispensation of mary into religious court. In general, the propose of dispensation of marry is a parent of the child, because someone who is not old enough adult cannot be the subject in law. But in case number 0067 / Pdt.P / 2012 / PA.Pas who propose their own children, because the parents did not give the permission.
From this background was taken focus study research who someone that have not enough old able to conduct legal action may file a dispensation to marry on theirself, and the case of viewed in terms maslahah.
After getting the data and analyzed it is known that in fact someone who is not old enough yet able to take legal actions, but this case includes an exception as the wife was pregnant.
based on maslahah, judge set to allow both of them married. According to the author analyzes the judge set a dispensation permit based on individual benefit the welfare of the applicant, but when viewed as a public good determination dispensation permit this mating a more global impact because the impact is greater uncertainty that may cause nasab child later.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pernikahan merupakan ikatan yang
terjadi antara laki-laki dan perempuan yang menghalalkan hubungan diantara
keduanya, dengan adanya ikatan pernikahan, dua orang (laki-laki dan perempuan)
yang awalnya terpisah berkumpul menjadi satu kesatuan dan membentuk sebuah
rumah tangga sebagai suami dan istri. Islam mensyariatkan adanya perkawinan
salah satunya adalah untuk kebutuhan biologis manusia, untuk melanjutkan
keturunan dan saling memberikan kasih sayang. Melalui pernikahan inilah awal
terbentuknya sebuah keluarga. Dalam Agama Islam mengatur aturan-aturan tentang
perkawinan. Dalam Islam, rumahtangga 2 merupakan dasar bagi kehidupan manusia
dan merupakan faktor utama dalam membina masyarakat. Karena keluarga merupakan
unit tekecil dalam sebuah masyarakat. Oleh karena itu Islam sangat memberikan
perhatian dalam masalah perkawinan. Salah satu perhatian Islam terhadap
keluarga adalah diciptakannya aturan dan syariat yang luwes, adil, dan
bijaksana. Andaikata aturan ini dijalankan dengan jujur dan benar, maka tidak
akan ditemukan adanya pertentangan dan pertikaian. Kehidupan keluarga akan
berjalan damai. Kedamaian ini tidak saja dapat dirasakan oleh keluarga yang
bersangkutan, tetapi juga dapat dinikmati oleh anggota masyarakat sekitar.1
Bentuk dari aturan Islam yang luwes, adil, dan bijaksana tersebut salah satunya
adalah disyaratkannya bagi para calon mempelai yakni berakal dan balig. Para
ulama mazhab sepakat bahwa berakal dan balig merupakan syarat dalam perkawinan,
kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai.2 1Abdutawwab Haikal, Rahasia
Perkawinan Rasulullah SAW Poligami dalam Islam vs Monogami Barat, (Jakarta: CV
Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. 1, hal. 6 2Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh
‘Ala al-Madzahib al-Khamsah, terj. Masykur A.B, dkk, (cet. 26; Jakarta :
Lentera, 2010), h. 315 3 Para ulama mazhab juga sepakat bahwa, bagi perempuan
haidh dan hamil merupakan bukti ke-balig-an.3 Menurut madzhab Syafi’i dan
Hambali serta beberapa ulama madzhab Hanafi yang lain, fase kedewasaan itu tiba
pada kisaran usia 15 tahun.4 Namun dalam hukum positif yang berlaku di
Indonesia, ukuran sesorang dapat melakukan pernikahan adalah telah dewasa.
Dewasa menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, seseorang yang
belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua dan Pengadilan
Agama. Adanya pembatasan minimal umur sesorang dapat melakukan pernikahan,
karena Negara dan Pemerintah mempunyai kepentingan sekaligus kewajiban untuk
mengawal dan mengarahkan perkawinan sebagai institusi sosial yang melindungi
sekaligus mengangangkat harkat dan martabat perempuan.5 Beberapa orang tua dulu
berpikir dengan menikahkan anaknya di usia dini adalah pilihan yang tepat.
Karena bagi anak perempuan umur diatas 20 tahun merupakan umur yang sudah
dianggap tua, dan jika anak perempuan belum juga menikah diatas umur itu, hal
tersebut dianggap menjadi aib keluarga. Namun perkawinan anak dibawah umur
sekarang ini dipandang dan ditakutkan justru akan berakibat sebaliknya. Dengan
menikahkan anak dibawah umur disinyalir berpotensi mengguncang harmoni sosial,
karena didalamnya dikhawatirkan terjadi bentuk 3Muhammad Jawad Mughniyah,
Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Khamsah, h. 317 4Yusuf Hanafi, Kontroversi
Perkawinan Anak Di Bawah Umur (Child Marriage), (Bandung: CV. Mandar
Maju,2011), h. 21 5Yusuf Hanafi, Kontroversi Perkawinan Anak Di Bawah Umur, h.
10. 4 kekerasan terhadap yang bersangkutan, perampasan hak, perdagangan anak,
dan juga kejahatan pedophilia.6 Pedophilia merupakan gangguan kejiwaan pada
orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 16 atau
lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau
eksklusif pada anak prapuber (umumnya usia 13 tahun atau lebih muda, walaupun
pubertas dapat bervariasi). Anak harus minimal lima tahun lebih muda dalam
kasus pedofilia remaja (16 atau lebih tua) baru dapat diklasifikasikan sebagai
pedofilia.7 Di Indonesia untuk memberikan perlindungan serta menjaga agar
perkawinan dapat berjalan dengan baik, sehat dan terjaga kelanggengannya, maka
dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diberikan batasan umur
seseorang dapat melakukan perkawinan, agar terwujud sebuah perkawinan yang
ideal dengan umur yang matang. Batasan umur yang ditetapkan adalah 19 bagi
laki-laki dan 16 bagi perempuan. Meskipun dalam Undang-Undang telah menetapkan
batasan usia perkainan sedemikian rupa, namun tidak menutup kemungkinan
seseorang menikah dibawah umur tersebut. Seseorang yang belum mencapai umur
yang ditetapkan tetap dapat melakukan perkawinan dengan syarat mendapatkan izin
dari walinya dan dari Pengadilan Agama. Di Pengadilan Agama permohonan izin
menikah ini disebut dengan permohonan Dispensasi Kawin. 6Yusuf Hanafi,
Kontroversi Perkawinan Anak Di Bawah Umur, h. 10. 7
https://en.wikipedia.org/wiki/Pedophilia 5 Bagi calon mempelai yang belum
mencapai umur diperbolehkannya menikah dan ingin mengajukan dispensasi nikah
juga memiliki prosedur sendiri. Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan telah disebutkan prosedur melakukan permohonan Dispensasi Kawin
yakni orangtualah yang mendaftarkan dan mengajukan permohonan dispensasi kawin
anaknya, seperti yang tercantum dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni: “Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1)
pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang
diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita”.8 Seiring
perkembangan Pengadilan Agama dan beracara didalam Pengadilan Agama, Mahkamah
Agung mengeluarkan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan
Agama, yang mana buku tersebut berisi pedoman-pedoman yang harus diikuti oleh
seluruh hakim dan jajaran pegawai Pengadilan Agama.9 Di dalam Buku Pedoman
Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, lebih spesifik lagi dalam
Buku II Edisi Revisi tahun 2010, Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan mengenai
prosedur dispensasi kawin. Yang mana dalam Buku II Edisi Revisi tahun 2010,
yang mengajukan permohonan dispensasi kawin bisa oleh anak sendiri. Pemohon
yang dimaksud adalah para calon mempelai yang umurnya masih belum mencapai
batas kebolehan menikah. 8Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Pasal 7 ayat 2. 9Keputusan Mahkamah Agung/032/SK/IV/2006 6 Hal itu disebutkan
dalam bab Pedoman Khusus pernikahan, dalam masalah Dispensasi Kawin,
“Permohonan dispensasi kawin yang diajukan oleh calon mempelai pria dan/atau
calon mempelai wanita dapat dilakukan secara bersama-sama kepada Pengadilan
Agama atau Mahkamah Syar'iyah dalam wilayah hukum dimana calon mempelai pria
dan wanita tersebut bertempat tinggal”.10 Jadi untuk mendaftarkan dispensasi
kawin tidak harus didaftarkan dan diajukan oleh orang tuanya. Terkait dengan
siapa yang boleh mengajukan pendaftaran dispensasi kawin apakah orangtua atau
oleh anak sendiri, hal itu setelah dicermati, antara UndangUndang tahun 1974
tentang Perkawinan dengan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan agama terdapat perbedaan. Namun dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Admistrasi Pengadilan Agama disebutkan bahwa “Pengadilan
agama/mahkamah syar’iyah dapat memberikan dispensasi kawin setelah mendengar
keterangan dari orang tua, keluarga dekat atau walinya”.11 Jadi meskipun anak
dibawah umur dapat mengajukan permohonan dispensasi kawin atas dirinya sendiri,
namun dalam prosesnya, Pengadilan Agama akan mengeluarkan penetapan setelah
mendengarkan keterangan dari orangtua, keluarga dekat atau wali dari si anak.
10Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II, edisi
revisi 2010. Hal 138 11Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama, Buku II, edisi revisi 2010. Hal 138 7 Akan tetapi belum diketahui
bagaimana praktik yang terjadi dalam lapangan. Dalam praktiknya jika ada
seorang anak dibawah umur mengajukan dispensasi nikah, maka dalam proses
penetapannya apakah penetapan dispensasi kawin akan baru dikeluarkan setelah
mendengarkan keterangan dari orangtua, keluarga dekat, atau wali. Apakah hakim
dalam memutus pengabulan dispensasi kawin sudah sesuai dengan apa yang telah
ada dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Agama.
Dalam perkara nomor 0067/Pdt.P/2012/PA.Pasuruan, pemohon yang mengajukan
dispensasi kawin adalah anak dibawah umur, pemohon merupakan pemuda yang berumur
17 tahun 3 bulan, dan calon istrinya adalah perempuan yang berumur 16 tahun.
Dalam mengajukan dispensasi kawin pemohon mengajukan atas dirinya sendiri.
Dalam kasus ini apakah hakim nantinya dalam pertimbangan menetapkan dispensasi
kawin mereka berdasarkan keterangan dari orangtuanya terlebih dahulu atau
tidak. Selain itu, memang jika dilihat dari Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, prosedur yang ada pada Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas
dan Administrasi Pengadilan Agama mengenai dispensasi kawin tidak sesuai, namun
bagaimana jika dilihat dari sudut pandang maslahah. Oleh karena itu penelitian
ini menliti tentang bagaimana jika dispensasi kawin itu diajukan sendiri oleh
anak dibawah umur, bagaimana proses acaranya dan bagaimana tinjauan
maslahahnya. 8 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah
dipaparkan sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pemberian dispensasi kawin yang diajukan sendiri oleh anak
dibawah umur di Pengadilan Agama Pasuruan? 2. Bagaimana tinjauan maslahah
dikabulkannya dispensasi kawin oleh anak dibawah umur? C. Tujuan Penelitian
Dilihat dari rumusan masalah yang telah dipaparkan dapat dirumuskan tujuan
meneliti sebagai berikut: 1. Dapat menjelaskan proses pemberian dispensasi
kawin yang diajukan sendiri oleh anak dibawah umur di Pengadilan Agama Pasuruan
2. Untuk memahami tinjauan maslahah dikabulkannya dispensasi kawin oleh anak
dibawah umur menurut tinjauan maslahah D. Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian
ini , penulis berharap agar penelitian ini nantinya mampu memberikan sumbangsih
pemikiran dan khazanah keilmuan. Secara spesifik manfaat penelitian ini dibagi
menjadi dua kategori: 9 1. Secara teori : penelitian ini diharapkan dapat
menjadi suatu penambahan pengetahuan dan keilmuan yang berkaitan dengan
peraturan tentang dispensasi kawin yang diajukan oleh anak dibawah umur. Dapat
dijadikan sebagai bahan perbandingan penelitian peraturan selanjutnya yang
berkaitan dengan masalah ini. 2. Secara praktis: penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi bagi para praktisi hukum, masyarakat umum dan
peneliti lain dalam mengkaji masalah dispensasi kawin.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment