Abstract
INDONESIA:
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan sangat penting. Oleh Karena menyangkut hukum kekeluargaan, maka pemikiran seorang mufasir dalam menafsirkan ayat – ayat kewarisan tidak bisa dilepas dari sistem kekeluargaan dan sosial budaya seorang mufasir tinggal. Imam Syafi’i yang hidup dalam masyarakat arab yang notabene-nya bercorak patrilineal penafsiranya terhadap ayat – ayat kewarisan juga bernuansa patrilineal. Begitu juga dengan Hazairin yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas bercorak bilateral, penafsiranya terhadap ayat – ayat kewarisan dan juga bernuansa bilateral. Selama ini masyarakat cenderung taqlid dan belum begitu memahami masalah kewarisan kakek bersama saudara dalam proses pembagianya. berangkat dari semua ini penelitian ini bertujuan untuk mempelajari persamaan dan perbedaan kewarisan kakek bersama saudara perspektif Imam Syafi’i dan Hazairin serta mengkaji latar belakang pemikiran kedua tokoh tersebut dalam menggali sebuah hukum dalam menetapkan kewarisan kakek bersama saudara.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang: pertama; Bagaimana Epistemologi Imam Syafi'i dalam menetapkan kewarisan kakek bersama saudara?, kedua; Bagaimana Epistemologi Hazairin dalam menetapkan kewarisan kakek bersama saudara?, dan ketiga; Bagaimana analisis epistemologi komparatif kewarisan kakek bersama saudara perspektif Imam Syafi'i dan Hazairin?.
Skripsi ini merupakan hasil penelitian kepustakaan (library research) tentang kewarisan antara kakek bersama saudara yang mengkomparasikan antara perspektif imam Syafi'i dan Hazairin. Data penelitian dihimpun melalui kajian teks dan selanjutnya dianalisis dengan tehnik deskriptif dan komparatif. Dari beberapa argumen dan penjelasan-penjelasan atas data yang ada, penyusun menarik konklusi, kewarisan kakek bersama saudara merupakan suatu permasalahan kontroversial jika diperbandingkan antara pendapat Imam Syafi'i dan Hazairin, karena dari kedua tokoh ini memiliki konsep tersendiri dalam merumuskan kelompok ahli waris dan juga dalam penggalian hukum.
Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa menurut Imam Syafi’i epistemologi hukum tentang kewarisan kakek bersama saudara adalah qiyâs. Dalam perspektif Imam Syafi'i, tidak ada nash eksplisit dalam al-Qur'an maupun al-Hadits, dengan "kakek adalah bapak dari ayah si mayyit sedang saudara adalah sepupu dari ayah, artinya masing-masing berhubungan dengan si mayyit melalui ayah". Sedangkan menurut Hazairin epistemologi hukum kewarisan kakek bersama saudara adalah Al Qur’an. Posisi kakek menurut beliau berada pada keutamaan ke empat atau ahli waris langsung yang paling terakhir yang tidak disebutkan dalam surat al- Nisa': 11, 12, 176, dan hanya tersirat mempunyai tempat dalam surat al- Nisa': 33, Yaitu kakek dari ayah sebagai mawâli (pengganti) bagi ayah dan kakek dari ibu sebagai mawâli bagi ibu.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah
Kebiasaan saling mewarisi harta peninggalan dari si mayit kepada ahli waris
yang masih hidup telah ada dan berkembang jauh sebelum Islam datang. Ketika
Islam tumbuh dan berkembang, kebiasaan tersebut masih terus berlanjut dengan
beberapa modifikasi di dalamnya. Praktek yang tidak sesuai dengan ajaran dan
moral Islam dihapuskan dan diganti dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT
sebagaimana termaktub dalam al-Qur‟an. Hukum kewarisan yang dibawa oleh Islam
sebagaimana termaktub dalam al-Quran memberikan suatu kepastian secara hukum
bagi umat Islam untuk menyelesaikan berbagai masalah kewarisan. Hal ini
berjalan sebagaimana hukum Allah SWT dan tanpa paksaan dari ahli waris maupun
muwâritsnya. Di samping 2 itu, Nabi Muhammad SAW melalui Hadits memberikan
penjelasan tentang masalah kewarisan. Hukum kewarisan menempati tempat sangat
penting dalam perkembangan sejarah hukum Islam. Karenanya, para fuqaha‟ dan
mufassir banyak memperbincangkan masalah tersebut, mulai dari masa klasik
sampai sekarang. Bahkan para fuqaha‟ menjadikan hukum tersebut sebagai salah
satu cabang ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu ”wârits” atau ilmu
farâ‟id. 1 Adapun yang dikatakan dengan ilmu warits adalah berpindahnya sesuatu
dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain, sesuatu
tersebut bersifat umum bisa berupa harta, ilmu atau kemuliaan. Sedangkan dari
segi terminologi berarti berpindahnya hak milik dari si mati kepada ahli
warisnya yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, kebun atau
hak-hak syari'ah.2 Ilmu farâ‟id dianggap penting, karena hal ini disandarkan
pada sabda Rasulullah SAW: ( 1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 14, ( Bandung
: al- Ma‟arif, 1987 ) h. 252 2 Muhammad Alî Al-Shâbûnî, Al-Mawârits Fî
Al-Syarî‟ati Al-Islâmiyah 'alâ Dau' al- Kitab wa al-Sunnah, alih bahasa M.
Basalamah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) h. 31-32 3 Di bacakan kepada Abu
Al Qasim Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz dan aku mendengarkan: Muhammad
bin Abbad Al Makki Abu Abdullah menceritakan kepada kalian dengan cara
dibacakan kepadanya paa bulan rajab tahun dua ratus tiga puluh satu, Hafsh bin
Umar Ibnu Abu Al Aththaf menceritakan kepada kami dari Abu Az-Zinad, dari Al
A‟raj, dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: ”Belajarlah ilmu farâ‟id
dan ajarkanlah ilmu itu. Ilmu tersebut merupakan separuh dari ilmu-ilmu yang
ada. Ilmu ini merupakan ilmu yang pertama dilupakan orang”.(HR. Ibnu Majah dan
al-Dâraquthnî)3 Berdasarkan hadis tersebut Jumhur „ulama fiqh berpendapat bahwa
mempelajari ‟ilmu farâ‟id adalah hukumnya fardlu kifâyah (kewajiban kolektif).4
Perbedaan pemahaman dan aplikasi mengantarkan hukum warits bersifat legal
formal dan menyebabkan fragmentasi aliran pemikiran yang berujung dengan
kelahiran madzhab-madzhab. Penyebab utama timbulnya beragam interpretasi hukum
kewarisan adalah: Pertama, metode dan pendekatan yang digunakan oleh para ulama
dalam melakukan ijtihâd berbeda. Kedua, perbedaan kondisi masyarakat dan waktu
kapan ulama melakukan ijtihâd. 5 Di sisi yang lain, masalah kewarisan tidak
jarang menimbulkan sengketa di antara ahli warits. Masalah kewarisan ini
menyangkut tiga unsur atau menyangkut rukun dan syarat, yakni: Pertama, harta
warisan (maurûts), bagaimana wujud harta benda yang beralih dipengaruhi oleh
sifat kekeluargaan di mana pewaris dan ahli waris berada. Kedua, pewaris
(muwârits), bagaimana hubungan pewaris dengan harta bendanya dipengaruhi oleh
sistem, sifat dan 3 Abi Abdilah Muhammad Bin 4 lingkungan kekeluargaan di mana
pewaris berada. Ketiga, ahli warits, bagaimana dan sejauh mana ada ikatan
kekerabatan antara pewaris dan ahli warits. Ketika dilihat dari beberapa
nash-nash kewarisan yang ada, maka masalah kewarisan dianggap telah jelas
(qath‟i) dalam beberapa hal, sebagai contoh bahwa ayat tersebut qath‟i adanya
surat an-Nisâ‟ (4): 12, yaitu tentang bagian suami.6 Namun dalam beberapa hal
yang lain tidak disinggung secara jelas oleh al-Quran sehingga masih banyak
menimbulkan beragam interpretasi. Masalah kewarisan yang tidak disinggung
secara jelas di dalam al-Quran di antaranya masalah kewarisan kakek bersama
saudara. Di mana kakek disini adalah kakek yang shahih, yakni kakek yang
nasabnya terhadap pewaris tidak tercampuri unsur wanita, misalnya ayah dari
bapak dan seterusnya ke atas. Sedangkan kakek yang tercampuri unsur wanita
disebut juga sebagai kakek yang rusak nasabnya, misalnya ayahnya ibu, atau ayah
dari ibunya ayah. Di dalam alQur‟an hanya diterangkan mengenai hak warits
saudara Surat an – Nisâ‟ Ayat 11 yaitu: Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo
harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(An-Nisa‟:11)7 Dan kakek
dijelaskan dalam hadits, yaitu
Dari Umar, dia bertanya, “ Adakah diantara kalian yang tau cara
rasulullah memberikan bagian warisan untuk kakek?” Ma‟qil bin Yasar berkata, “
Aku tau Rasulullah memberikan 1/6 bagian. Umar bertanya lagi. “ Bersama siapa
si kakek saat itu ?” Ma‟qil menjawab, “ aku tidak tahu” Umar lalu berkata,”
kamu tidak tau, kalau begitu apa gunanya?”(Muttafaq „Alaih)8 Oleh karena itu,
mayoritas sahabat sangat berhati-hati dalam menentukan masalah ini, bahkan
mereka cenderung sangat takut untuk memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah
ini. Ibn Mas'ûd r.a. dalam hal ini pernah mengatakan: 7 ibid, h. 101-102 8 Abu
Dawud, Sunan Abî Dawud, vol. 3, ( Beirut : Dar al- fikr,1994 ) h.344 6
"Bertanyalah kalian kepada kami tentang masalah yang sangat pelik
sekalipun, namun janganlah kalian tanyakan kepadaku tentang masalah warisan
kakek yang sahih dengan saudara."9 Para imam madzhab pun berbeda pendapat
mengenai kewarisan kakek bila bersama dengan saudara, sama seperti perbedaan
yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah SAW. Perbedaan tersebut dapat
digolongkan ke dalam dua aliran sebagai berikut: Pendapat aliran pertama
menyatakan bahwa para saudara, baik saudara sekandung, saudara seayah, ataupun
seibu, terhalang (gugur) hak warisnya dengan adanya kakek. Pendapat ini sejalan
dengan pendapat Imam Abu Hanifah dalam sebuah fatwanya.10 Menurut beliau bahwa
kakek akan mengganti kedudukan ayah bila telah tiada, karena kakek merupakan
bapak yang paling tinggi.11 Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kaidah yaitu,
bila ternyata ashâbah banyak arahnya, maka yang lebih didahulukan adalah arah
anak (bunuwwâh), kemudian arah ayah (ubuwwâh), kemudian saudara (ukhuwwâh), dan
barulah arah paman (‟umûmah). Sekali-kali arah itu tidak akan berubah atau
berpindah kepada arah yang lain, sebelum arah yang lebih dahulu hilang atau
habis. Misalnya, jika ashabah itu ada anak dan ayah, maka yang didahulukan
adalah arah anak. Bila ashâbah itu ada arah saudara dan arah paman, maka yang
didahulukan adalah arah saudara, kemudian barulah arah paman. Oleh karena itu,
golongan yang pertama ini menyatakan bahwa arah ayah, mencakup pula kakek,
buyut (ayahnya kakek), kata ”al-ab” dalam al-Quran meliputi kakek, yaitu
ayahnya ayah sampai ke atas jalur nasab, sebagaimana kata ”ibn” mencakup
anaknya anak (cucu) sampai ke bawah. Hal ini diambil dari kata-kata ”al-ab”
dalam firman Allah surat Yusuf ayat 38:....... Dan aku pengikut agama
bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub…….13 Dalam ayat di atas
menunjukkan bahwa lafal “al-ab” juga mencakup di dalamnya kakek, karena Nabi
Ibrahim, Ishaq adalah kakek Nabi Yusuf. Pendapat Imam Abu Hanifah mengikuti
pendapat Abu Bakar as-Siddiq yang mengatakan kakek adalah ayah. Beliau
mengikuti pendapat Abu Bakar asSiddiq karena beliau adalah sahabat Nabi yang
paling ‟alim dan paling utama, serta tidak ada sahabat lain yang menentang
pendapatnya. Dan pendapat ini diikuti pula oleh 14 sahabat yang lain.14 Aliran
kedua berpendapat, bahwa para saudara sekandung dan.16Kakek tidaklah
menggugurkan hak warits para saudara sekandung dan yang seayah. Bahkan
kedua-duanya mendapat hak warits secara bersama-sama sesuai dengan ketentuan di
dalamnya. Adapun alasan yang dikemukakan oleh pendapat ini ialah, bahwa derajat
kekerabatan saudara dan kakek dengan pewarits sama. Kedekatan kakek terhadap
pewarits melewati ayah, demikian juga saudara. Kakek merupakan pokok dari ayah
(ayahnya ayah), sedangkan saudara adalah cabang dari ayah (anak-anaknya ayah),
karena itu tidaklah layak untuk mengutamakan yang satu dari yang lain karena
mereka sama derajatnya.17 Bila kita mengutamakan yang satu dan mencegah yang
lain berarti telah melakukan kezaliman tanpa alasan yang dapat diterima. Hal
ini sama dengan memberikan hak warits kepada para saudara sekandung kemudian di
antara mereka ada yang tidak diberi. Alasan lain yang dikemukakan ialah, bahwa
kebutuhan para saudara terhadap harta jauh lebih besar daripada kakek.18
Sebagai gambaran, misalnya saja warisan pewaris ini dibagikan atau diberikan
hanya kepada kakek tanpa saudara, kemudian kakek ini wafat, maka harta
peninggalannya akan berpindah kepada anak-anaknya kakek, yang berarti
paman-paman para saudara. Pendapat ini juga 15 Abi „Umar Yusuf Bin Abdillah Bin
Muhammad Bin Abdi al-Bar An-Namri al-Qurtubiy, Al-Kâfî Fî Fiqhi Ahli al-Madînah
al-Maliki, ( Beirut : Dar al- kutub al- ilmiah, tt ) h. 566 16 Malik Bin Anas,
al-Muwatta‟, ( Dar al- fikr, tt ) h. 312 17 Abu Bkr Jabir al-Jazairiy, Minhaj
al-Muslim, ( Kairo : Dar al – kutub al – salafi, tt ) h. 449-450 18 Op.cit, h.
93 9 dianut oleh Imam Syafi'i,19dan Imam Ahmad bin Hambal,20dan diikuti oleh
kedua orang murid Abu Hanifah, yaitu Muhammad dan Abu Yusuf. 21 Corak berpikir
dari masalah di atas merupakan fenomena yang mengisi teks-teks hukum warits
Islam. Oleh karena itu, masalah ijtihadiyah 'kewarisan kakek bersama saudara',
ketika dibandingkan antara pendapat golongan pertama dan kedua berkonsekuensi
terhadap hak-hak kewarisan kakek dan saudara dari garis laki-laki ataupun pihak
perempuan yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam mengutamakan kerabat
yang lebih berhak mendapatkan warits. Hal ini karena prinsip penting yang
menjadikan faktor perbedaan argument di antara keduanya sebagai landasan hukum
dari solusi yang ditetapkannya, sehingga dari penulis sendiri tertarik untuk mengkaji
secara ilmiah dengan judul "Epistemologi Imam Syafi'i dan Hazairin Dalam
Menetapkan Kewarisan Kakek Bersama Saudara ( Studi Komparatif ) ” B. Rumusan
Masalah Agar lebih jelas dan sistematis, obyek penulisan ini akan difokuskan
pada masalah bagian waris kakek bersama saudara seayah, maka studi penelitian
ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana Epistemologi Imam Syafi'i Dalam
Menetapkan Kewarisan Kakek bersama saudara seayah ? 19 Abu Abdillah Muhammad
Bin Idris Bin ‟Abbas Bin Usman dan dikenal dengan sebutan Imam Syafi'i dan
pendiri mazhab al-Syafi'i. Beliau lahir di Gazza tahun 150 H/767 M 20 Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal al-Syaibani, lahir di Bagdad pada bulan Rabi‟ul Awwal 164 H
dan wafat pada tahun 241 H. Beliau adalah pendiri madzhab Hanabilah. 21 Ya‟qub
bin Ibrahim al-Ansari lahir di Kufah (113 H/731 M-182 H/798 M). Beliau adalah
salah satu sahabat Imam Abu Hanifah yang ahli fikih, ahli tafsir, ahli hadits,
sejarawan, sastrawan, teolog, dan ketua Mahkamah Agung Daulah „Abbasiyah. 10 2.
Bagaimana Epistemologi Hazairin Dalam Menetapkan Kewarisan Kakek bersama
saudara seayah ? 3. Bagaimana analisis Epistemologis Komparatif kewarisan kakek
bersama saudara seayah perspektif Imam Syafi'i dan Hazairin? C. Tujuan
Penelitian Dalam penelitian kepustakaan ini, maka tujuan dari pada penelitian
ini didasarkan pada kerangka rumusan masalah, antara lain: 1. Untuk mengetahui
Epistemologi Imam Syafi'i Dalam Menetapkan kewarisan kakek bersama saudara
seayah. 2. Untuk mengetahui Epistemologi Hazairin Dalam Menetapkan kewarisan
kakek bersama saudara seayah. 3. Untuk menganalisis terhadap komparasi
kewarisan kakek bersama saudara seayah perspektif Imam Syafi'i dan Hazairin
dari sisi Epistemologinya. D. Manfaat Penelitian Manfaat hasil Penelitian ini
diharapkan berguna dan bermanfaat antara lain, yaitu: 1. Aspek Teoritis, hasil
penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan yaitu untuk dijadikan bahan
studi dalam rangka mengembangkan teori hukum kewarisan khususnya tentang
kewarisan kakek bersama saudara. 11 2. Aspek Praktis, hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pedoman bagi masyarakat, khususnya
tokoh agama dan penegak hukum dalam rangka memperjelas dan menyempurnakan
aturan tentang ketentuan kewarisan kakek bersama saudara dalam kajian hukum kewarisan
Islam. E. Definisi Operasional Untuk menghindari kesalahpahaman pembaca
terhadap judul skripsi tentang 'Epistimologi Imam Syafi'i dan Hazairin' Dalam
Kewarisan Kakek Bersama Saudara ( Studi Komparatif )‟, maka perlu untuk
dijelaskan konsep yang terdapat dalam skripsi ini, yaitu: Studi Komparatif
adalah kajian atau penelitian ilmiah yang bersifat komparasi ( perbandingan
sebagai penjelasan ): berdasarkan persamaan dan perbedaan: kelemahan dan
kelebihan dari obyek yang diteliti.22 Maka dalam skripsi ini mengkomparasikan
pemikiran antara Imam Syafi‟i dan Hazairin dalam menetapkan kewarisan kakek
bersama saudara Epistemologi adalah Cabang dari filsafat yang menyelidiki
sumber – sumber serta kebenaran pengetahuan. 23 Dari beberapa makna tersebut
digunakanlah tinjauan, untuk meneliti, meninjau sumber atau cara Imam Syafi'i
dan Hazairin Dalam Menetapkan kewarisan kakek bersama saudara seayah. 22 M.
Dahlan Y Al-Barry, L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri
Intelelektual, (Surabaya: Target Press, 2003 Ghazza tahun 150 H/ 767 M.
Diantara karyanya adalah al-Umm, alRisalah. 24 Hazairin, nama lengkapnya Prof.
Dr. Hazairin, SH, seorang ahli adat dan tokoh intelektual muslim. Beliau
dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum adat dan hukum Islam di Fakultas Hukum UI
pada tahun 1952. Beliau lahir pada tanggal 28 November 1906 di Bukit Tinggi
(Sumatera Barat).25 Salah satu ajarannya adalah paham kewarisan Islam bilateral
yang baru diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1950 dalam konfrensi para
hakim seluruh Indonesia.26 Kakek adalah bapak dari ibu atau bapak dari ayah.
Dalam penelitian ini memfokuskan pada kakek dari ayah. Saudara, adalah kerabat
perempuan atau laki-laki baik kandung (seayah dan seibu). Akan tetapi dalam
penelitian ini memfokuskan pada saudara sekandung dan seayah.. Metode
Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan
(library research) atau studi teks, yaitu suatu penelitian yang berusaha
mengetahui secara konseptual dan mendalam tentang suatu permasalahan yang ada
dalam masyarakat. Maka dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode
dokumentasi, yaitu mengumpulkan, menelusuri buku–buku atau tulisan yang relevan
dengan tema yang sedang dikaji. Metode berfikir yang digunakan adalah metode
berfikir deduktif, yaitu cara berfikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik
dari sesuatu anggapan sifatnya umum yang sudah di buktikan bahwa dia benar dan
kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus. 27 2. Sumber Data
Sumber penelitian disini dapat di bagi menjadi dua sumber, yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder. a. Sumber data primer, yaitu data yang
diperoleh langsung dari sumber pertama sebagai bahan rujukan hukum,28 di antara
sumber data primer karya – karya Imam Syafi‟i yaitu: ( Kitab al – Umm dan
al-Risalah) 1. Al-Umm (kitab 27 Syarifudin Hidayat Sedarmayanti, Metode
Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2002) h. 23 28 Zainal Asikin Amiruddin,
Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) h.30
14 induk). Kitab ini disusun langsung oleh Imam Syafi‟i secara sistematis
sesuai dengan bab-bab fiqih dan menjadi rujukan utama dalam madzhab Syafi‟i,
kitab ini memuat pendapat Imam Syafi‟i dalam berbagai masalah fiqh, dalam kitab
ini juga dimuat pendapat Imam Syafi‟i yang dianut dengan sebutan al-Qaul
alQadim (pendapat lama) dan al-Qaul al-Jadid (pendapat baru). Kitab ini dicetak
berulang kali dalam delapan jilid. 2. al-Risalah ini merupakan kitab ushul
fiqih yang pertama kali dikarang. Dan karenanya Imam Syafi‟i dikenal sebagai
peletak ilmu ushul fiqih. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran beliau
dalam menetapkan hukum. Dan dalam kitab tersebut dijelaskan pula masalah
kewarisan kakek bersama saudara. Serta buku yang membahas tentang masalah
kewarisan kakek bersama saudara seayah perspektif Hazairin yaitu ( Hukum
kewarisan bilateral menurut al- Qur‟an dan al- Hadits, dan hendak kemana hukum
Islam oleh Hazairin). Merupakan buku karangan Hazairin yang monumental. Di
dalamnya diterangkan pemikiran beliau dalam menetapkan hukum dan masalah
kewarisan yang bercorak bilateral dan dijelaskan pula pembahasan masalah
kewarisan kakek ketika bersama saudara. b. Sumber data sekunder, yaitu bahan
pustaka yang berisikan informasi tentang sumber data sekunder untuk menunjang
sumber data primer. Sehingga dapat membantu menganalisis dan memahami serta
memberikan penjelasan mengenai sumber data primer. Dalam hal ini sumber data
sekunder berupa 15 buku- buku maupun kitab- kitab yang berhubungan dengan
permasalahan yang adakaitannya dengan bahasan penelitian ini,29 3. Metode
Pengumpulan Data Pengumpulan data skripsi ini memakai metode dokumentasi, yakni
penulis mengumpulkan data–data dokumentasi yang bersumber dari buku, makalah,
dan artikel yang berhubungan dengan tema penulisan skripsi ini. 30 4. Metode
Analisis Data Metode pembahasan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
adalah sebagai berikut: a. Metode deskriptif, adalah kajian yang menyeluruh dan
mendalam dari berbagai aspek,31 yaitu dengan mengemukakan pemikiran-pemikiran
Hazairin dan Imam Syafi'i tentang bagian waris kakek bersama saudara sekandung
dan seayah. b. Metode komparatif, yaitu menghubungkan diantara latar belakang
konsep ide-ide antara tokoh yang general dan mempunyai singularitas (bahasa)
sebagai konsep dari subyek atau ekspresi tokoh tertentu yang bersifat
komunikatif, yang satu mempengaruhi yang lain dari segi persamaan dan perbedaan
dalam memahami kejelasan dan ketajaman suatu obyek penelitian.32 Dengan
demikian, kajian ini membandingkan latar belakang 29 Ibid, h. 25 30 Ibid, h. 68
31 Achmad Charris Zubair Anton Bakker, Metodologi Penelitian Filsafat,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990) h. 54 32 Ibid, h. 50-51 16 pemikiran Imam Syafi'i
dan Hazairin terhadap kewarisan kakek bersama saudara seayah, sehingga
mendapatkan suatu persamaan, perbedaan dan kesimpulan. G. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu diperlukan untuk menegaskan, melihat kelebihan dan
kekurangan berbagai teori yang digunakan penulis lain dalam pengkajian
permasalahan yang sama. Penelitian terdahulu ini perlu kiranya disebutkan dalam
penelitian untuk menegaskan dan mempermudah pembaca melihat dan menilai perbedaan
teori yang di gunakan penulis dengan penulis yang lain dalam melakukan
pengkajian permasalahan yang sama. Hal tersebut agar dapat mengetahui dan lebih
memperjelas kembali bahwa penelitian ini memiliki perbedaan yang sangat
subtansial dengan hasil penelitian yang lain. Adapun penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh mahasiswa fakultas syari‟ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
antara lain adalah sebagai berikut : Oleh Imroatul muflihatin ni’mah, 2003.
Kewarisan perempuan menurut pasal 189 KHI. Penelitian ini membahas tentang
kedudukan perempuan dalam kewarisan menurut KHI tetapi sebagai subjek waris
yang berhak mendapat harta waris, tetapi berbeda dalam bagianya. Hal ini
menunjukan bahwa KHI belum berani secara tegas memberi bagian warits yang
“adil” dengan eksistensi perempuan saat ini. Akan tetapi KHI juga memberi
kesempatan kepada ahli waris melakukan “penyimpangan” dalam pembagian waris
dari ketentuan 2:1 hal ini dilakukan sebagai relasi respon terhadap tuntutan
realita, dengan didasarkan 17 kepada konsep kemaslahatan sebagai inti moral
yang wajib ada dalam setiap hukum yang ditetapkan.33 Dalam hal ini, fokus
kajian Ni‟mah berbeda dengan fokus kajian yang akan peneliti lakukan, karena
fokus kajian peneliti ini lebih mengarah pada pasal 189 tentang kedudukan
kewarisan perempuan di dalam KHI, sementara skripsi ini mengaitkan terhadap
konteks Hukum Warits Islam di Indonesia yang dalam KHI sebagai pegangan
hakim-hakim di peradilan Agama tidak menerima adanya konsep kewarisan kakek
bersama saudara, karena dalam konteks hukum waris di Indonesia, kewarisan kakek
bersama saudara seayah tidak tercantum dalam KHI tapi dalam penyelesaiannya
hakim dalam memutuskan perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib
memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan rasa
keadilan sebagaimana isi Pasal 229 KHI, sehingga dapat diterapkan menurut imam
Syafi'i. Oleh Nurkholis 2006. Fenomena pembagian waris di desa Jatigono
kecamatan Kunir kab. Lumajang. ( kemaslahatan pembagian warits ) penelitian ini
lebih memfokuskan kajianya terhadap fenomena pembagian waris pada masyarakat
Jatigono yang mendasarkan pada keadilan soisologis liberalis, serta pada
kebiasaan masyarakat secara adat. Dalam mewujudkan keadilan dan kemaslahatan
dalam pembagian harta warits di Jatigono di pengaruhi oleh dua faktor
diantaranya: Pertama, faktor keadilan dalam persamaan hak antara ahli waris
laki-laki dan ahli waris perempuan. Dimana pembagian sama rata ini berdasarkan
pada keadilan dalam konteks sosiologis, sehinga dengan pembagian 33 Imroatul
muflihatin ni‟mah, “Kewarisan perempuan menurut pasal 189 KHI”, ( Malang:
Skripsi, Fakultas Syari‟ah UIN Maliki, 2003 ) 18 sama rata maka dapat
menghindarkan timbulnya konflik internal antara ahli waris. Inilah konsep
kemaslahatan pembagian waris menurut masyarakat Jatigono. Kedua; faktor
keyakinan terhadap hukum adat yang dijadikan sebagai pedoman dalam pembagian
harta waris.34 Sedangkan fokus Peneliti meneliti tentang bagian waris kakek
ketika bersama saudara sekandung dan seayah, dan bagaimana istinbath hukum Imam
Syafi‟i mengenai masalah bagian waris kakek ketika bersama saudara sekandung
dan seayah di dalam kitabnya al – Umm, serta bagaimana istinbath hukum Hazairin
tentang masalah bagian warits Kakek ketika bersama saudara sekandung dan seayah
di dalam buku- bukunya salah satunya adalah Hukum kewarisan bilateral menurut
al- Qur‟an dan al- Hadits, tidak hanya itu, peneliti juga menjabarkan persamaan
dan perbedaan antara Imam Syafi‟i dan Hazairin tentang bagian waris kakek
ketika bersama dengan saudara sekandung dan seayah. H. Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian ini, sistematika pembahasan dibagi menjadi lima Bab, yakni
sebagai berikut: Bab I, adalah pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
tentang kewarisan bagian kakek bersama dengan saudara seayah perspektif Imam
Syafi‟i dan Hazairin terutama dari segi persamaan dan perbedaan, rumusan
masalah atau pertanyaan – pertayaaan yang menjadi dasar dari apa yang akan di
teliti oleh 34 Nurkholis, Fenomena pembagian warits di desa jatigono kecamatan
kunir kab. Lumajang. (kemaslahatan pembagian warits ), (Malang: Skripsi,
Fakultas Syari‟ah UIN Maliki, 2006 ) 19 Peneliti, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, definisi operasional, metode penelitian penelitian terdahulu serta
sistematika pembahasan. Bab II, menjelaskan tentang kewarisan kakek bersama
saudara seayah dalam dua sub bab, yaitu dalam konsep kewarisan menurut Imam
Syafi'i dan konsep kewarisan menurut Hazairin. Masing-masing dari tokoh
dicantumkan biografi, Epistemologi Hukum, konsep hukum warits, bagian warits
kakek, bagian warits saudara, kewarisan kakek bersama saudara. Bab III, adalah
analisis terhadap epistemologi kewarisan kakek bersama saudara seayah
perspektif Imam Syafi'i dan Hazairin. Pembahasan ini meliputi tiga sub bab: pertama;
Epistemologi Imam Syafi'i dalam menetapkan kewarisan kakek bersama saudara
seayah, kedua; Epistemologi Hazairin dalam menetapkan kewarisan kakek bersama
saudara seayah, ketiga; Analisis terhadap komparasi kewarisan kakek bersama
saudara perspektif Imam Syafi'i dan Hazairin dari sisi epistemologinya. Bab IV,
adalah bab penutup yang menguraikan kesimpulan sebagai jawaban dari pokok
permasalahan beserta saran-saran. Daftar Pustaka
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : PEpistemologi Imam Syafi'i dan Hazairin dalam menetapkan kewarisan kakek bersama saudara: Studi komparatif." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment