Abstract
INDONESIA:
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan sah adalah menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya (tidak memperbolehkan pernikahan beda agama). Sedangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 pasal 35 huruf a justru memberikan peluang atau sarana untuk mendapatkan penetapan perkawinan beda agama. Apabila permohonan perkawinan beda agama telah memperoleh penetapan pengadilan maka Kantor Catatan Sipil tidak ada alasan untuk menolak mencatatkan perkawinan beda agama tersebut. Sehingga dalam hal ini terjadi conflict of norm antara UU Perkawinan dan UU Administrasi Kependudukan.
Dari permasalahan di atas, fokus kajian dalam penelitian ini penulis merumuskan dua permasalahan, yaitu mengapa terjadi disharmoni dan bagaimana harmonisasi norma antara undang-undang perkawinan dan undang-undang administrasi kependudukan tentang perkawinan beda agama. Dan Hal ini bertujuan untuk mengetahui harmonisasi norma antara undang-undang perkawinan dan undang-undang administrasi kependudukan tentang perkawinan beda agama.
Dari rumusan masalah tersebut, jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Pendekatan tersebut bertujuan untuk mengetahui norma dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Selain itu, pendekatan konseptual bertujuan membangun konsep untuk dijadikan acuan dalam penelitian ini.
Berdasarkan analisa terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan, diperoleh kesimpulan bahwa terjadi disharmoni peraturan perkawinan beda agama, menurut UU Perkawinan menyatakan suatu perkawinan beda agama adalah tidak sah atau dilarang sedangkan dalam UU Administrasi Kependudukan, perkawinan beda agama sah apabila telah mendapatkan penetapan pengadilan. Menurut penulis melakukan pengubahan atau pencabutan pasal 35 huruf a UU Adminduk yang mengalami disharmoni bisa memberikan jalan harmonisasi hukum dalam pertentangan norma perkawinan beda agama dalam sistem hukum nasional.
ENGLISH:
Act No. 1 regarding marriage states that a marriage is legitimate if it has been performed according to the laws of the respective religious beliefs of the parties concerned (in short, prohibiting marriage between people of different religions). However, on the other hand, Act No. 2003 of 2006 article 35 item a provides opportunity or medium in order to obtain the establishment of inter religion marriage. When inter religion marriage petition has obtained a court warrant, the Civil Registration Office has no reason to reject the petition of inter religion marriage mentioned. Therefore, in this case, conflict of norm between Marriage Law and Citizenship Administrative Law is exist.
From the issue mentioned above, focus of this study is to formulate two problems: why there is disharmony and how is the harmonization of norm between marriage law and citizenship administrative law about inter religion marriage. It is aimed to recognize harmonization of norm between marriage law and citizenship administrative law related to inter religion marriage matter.
Based on those research questions, normative research type is applied and by using laws approach as well as concept approach. Those approaches are intended to gain knowledge about norm in Act No. 1 regarding Marriage and Act No. 23 of 2006 concerning Citizenship Administration. Besides, the purpose of conceptual approach is to form a concept to be prepared as reference in this research.
Build upon the analysis toward the collected legal materials, it can be concluded that there is disharmony in inter religion marriage regulation, as according to Marriage Law, inter religion marriage is illegitimate or prohibited. Meanwhile, based on Citizenship Administrative Law, inter religion marriage is legitimate as long as it has been established by the court. Nonetheless, according to the researcher, it is best practice to make amendment or revocation of Act No. 23 Year 2006 article 35 item a, in which it is happened to cause disharmony, so that it will create such way for law harmonization in this conflict of norms related to inter religion marriage in national legal system.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang masalah
Perkawinan merupakan bagian dari dimensi
kehidupan yang bernilai ibadah sehingga menjadi sangat penting. Manusia yang
telah dewasa, dan sehat jasmani serta rohaninya pasti membutuhkan teman hidup
untuk mewujudkan ketenteraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah
tangga. Dengan perkawinan itu pula manusia dapat membentuk keluarga, masyarakat
dan bahkan bangsa. Karena begitu pentingnya perkawinan tersebut sehingga agama-agama
yang ada di dunia ini ikut mengatur masalah perkawinan itu, bahkan adat
masyarakat serta institusi negara pun turut mengambil bagian dalam pengaturan
masalah perkawinan. 2 Negara yang dalam hal ini pemerintah sebagai fungsi
pemenuhan kebutuhan admnistrasi masyarakat juga berperan dalam mengatur
perkawinan. Dalam konsepsi hukum Indonesia, masalah perkawinan telah mendapat
pengaturan hukumnya secara nasional, yakni Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (UU Perkawinan)1 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.2
Undang-undang tersebut sudah berlaku secara formal yuridis bagi bangsa
Indonesia, dan telah menjadi bagian dari hukum positif. Undang-undang
perkawinan ini, selain meletakkan asas-asas, sekaligus menampung
prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini
menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat Indonesia. 3 Di
mana dalam undangundang tersebut mengatur prinsip-prinsip perkawinan itu
sendiri, harta bersama suami isteri dalam perkawinan, pembatasan thalâq dan
rujûk, hubungan orang tua dengan anak dan lain-lain sebagainya. Menurut Pasal 1
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini
berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada 1 Undang Undang Perkawinan,
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2 Peraturan Pemerintah
Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Taahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan 3 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), Cet.
Ke-1, h. 16. 3 agama dan kepercayaan masing-masing. Semua agama secara normatif
dan prinsipil tidak membolehkan adanya pernikahan beda agama. Secara yuridis,
dibuatlah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan seperangkat
aturan pelaksanaannya. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974; (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (2) Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.4 Sah
atau tidaknya perkawinan ditentukan oleh hukum agama masing-masing calon
mempelai. Sedangkan pencatatan tiap-tiap perkawinan itu merupakan persyaratan
formil administratif. Kemudian dalam penjelasanya dinyatakan, dengan perumusan
pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang 1945. Dimaksud
dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundangundangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang
ini. Hazairin dalam bukunya tinjauan Mengenai Undang-undang No. 1 Tahun 1974
menjelaskan bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan 4
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 4 melanggar hukum agamanya sendiri.
Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu atau Hindu Budha seperti
yang dijumpai di Indonesia. Salah satu persoalan krusial yang hingga kini tetap
mengemuka di dalam Undang-undang Perkawinan adalah perkawinan beda keyakinan
atau lebih spesifik perkawinan beda agama. 5 Dimaksudkan dengan keyakinan
adalah percaya dengan sungguh-sungguh akan kebenaran suatu ajaran, dan termasuk
salah satunya percaya terhadap ajaran agama. Sedangkan agama berkaitan dengan
kepercayaan tercermin pada ajaran ibadat dan kewajiban agama tertentu kepada
Tuhan. Dengan demikian kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan tidak identik
dengan agama. Keberadaan agama sebagai cara untuk mengenal dan percaya akan
Allah sekurangnya dicirikan akan adanya kitab suci, nabi sebagai utusan dan
masyarakat pendukungnya.6 Seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang
semakin berkembang pesat, permasalahan yang terjadi juga semakin kompleks.
Termasuk juga kompleksitas masalah perkawinan, yang antara lain perkawinan
campuran7 , kawin kontrak, dan perkawinan beda agama. 5 Sudarsono, Hukum
Perkawinan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 10. 6Mudiarti Trisnaningsih,
Relevansi Kepastian Hukum dalam Mengatur Perkawinan Beda Agama di Indonesia
(Bandung: Utomo, 2007), h. 2. 7 Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan
antar agama yang dimaksudkan di sini 5 Kenyataan dalam kehidupan masyarakat
bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak
dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundangundangan yang berlaku di Indonesia,
menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena
bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Kenyataan menunjukkan
perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat
interaksi sosial diantara seluruh warga negara Indonesia yang pluralis
agamanya. Dalam praktek, posedur yang banyak ditempuh selama ini adalah
mencatatkan perkawinan itu di Kantor Catatan Sipil. Pencatatan tersebut hanya
untuk memenuhi persyaratan formil administratif saja sebagaimana perintah Pasal
2 ayat (2) Undangundang Perkawinan, sedangkan keabsahannya menurut agama tergantung
kepada ketentuan hukum masingmasing agamanya itu serta keinginan kedua calon
mempelai. Oleh karenanya, tidak jarang mereka melakukan upacara perkawinan dua
kali menurut hukum dan tradisi masing-masing agamanya. Kedua calon mempelai
tidak jarang menggunakan jalur pengadilan untuk dapat dinikahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan. Namun jika pegawai tersebut menolak, maka calon mempelai
berhak memintakan penetapan kepada pengadilan dalam wilayah hukum pegawai
pencatat perkawinan itu berkedudukan dengan 6 menyerahkan surat keterangan
penolakan tersebut. Selanjutnya, hakim akan memeriksa dan memutuskan dalam
sidang cepat.8 Penafsiran resmi Undang-undang Perkawinan hanya mengakui
perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama dan kepercayaan yang sama dari
dua orang yang berlainan jenis yang hendak melangsungkan perkawinan. Meskipun
tidak ada satu pasal pun yang secara jelas dan tegas melarang perkawinan bagi
mereka yang berbeda agama.9 Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, Pasal 35 huruf a justru memberikan peluang bagi
mereka yang akan melangsungkan perkawinan beda agama. Ketentuan tersebut
berbunyi: “Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud Pasal 35 berlaku pula
bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Maksud dari perkawinan yang
ditetapkan oleh pengadilan menurut penjelasan pasal tersebut adalah perkawinan
yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. Ketentuan Pasal 35 huruf a
Undang-undang Adminstrasi Kependudukan membuka peluang bagi mereka yang akan
melangsungkan perkawinan beda agama tetapi ditolak oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan baik di KUA maupun Kantor Catatan Sipil. Mereka dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk diberikan izin melangsungkan
perkawinan beda agama di Kantor Catatan 8 Indonesia. Undang-undang tentang
Perkawinan, Undang-undang No. 1. LN No. 1 Tahun 1974.TLN. No. 3019, Pasal 9
Bahwa perkawinan yang diatur oleh UU Perkawinan tidak dapat dilakukan jika ada
masalah dalam hal umur calon mempelai (Pasal 7 UU Perkawinan) dan terpenuhinya
larangan perkawinan yang diatur oleh Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan
Pasal 12 UU Perkawinan. 7 Sipil. Apabila permohonan perkawinan beda agama telah
memperoleh penetapan pengadilan maka Kantor Catatan Sipil tidak ada alasan
untuk menolak mencatatkan perkawinan beda agama tersebut. Penafsiran Pasal 2
ayat (1) Undang-undang Perkawinan menyatakan sah tidaknya perkawinan ditentukan
oleh hukum agamanya masing-masing, tetapi di dalam Undang-undang Administrasi
Kependudukan Pasal 35 huruf a dimungkinkan perkawinan antar agama. Dari kedua
peraturan perUndang-undangan tersebut terjadi pertentangan satu dengan yang
lainnya. Di dalam Undang-undang Perkawinan, perkawinan beda agama dilarang,
tetapi di dalam Undang-undang Administrasi Kependudukan, perkawinan beda agama
diperbolehkan. Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan ada isu hukum berupa
conflict of norm (pertentangan normahukum). Untuk menyikapi berbagai macam
problematika tersebut, penulis akan melakukan penelitian mengenai Harmonisasi
Norma Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-undang Perkawinan dan Undang-undang
Administrasi Kependudukan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang
masalah tersebut, dapat diperoleh rumusan permasalahan sebagai berikut: 1.
Mengapa terjadi disharmoni norma antara Undang-undang perkawinan dan
Undang-undang administrasi kependudukan dalam pencatatan perkawinan beda agama?
8 2. Bagaimana mengharmonisasikan norma antara Undang-undang perkawinan dengan
Undang-undang administrasi kependudukan dalam perkawinan beda agama? C. Tujuan
Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui disharmoni
norma antara Undang-undang perkawinan dan Undang-undang administrasi
kependudukan dalam pencatatan perkawinan beda agama. 2. Mengetahui harmonisasi
norma antara Undang-undang perkawinan dengan Undang-undang administrasi
kependudukan dalam perkawinan beda agama. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat
dari penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis a. Memberikan kontribusi dalam
khazanah hukum keluarga di Indonesia, khususnya berkaitan dengan perkawinan
beda agama. b. Dapat dijadikan sebagai bahan analisis dan kajian terhadap isu
yang berkaitan dengan harmonisasi peraturan perUndang-undangan mengenai
perkawinan beda agama. 2. Secara praktis 9 a. Untuk memberikan preskripsi mengenai
pengaturan perkawinan beda agama sehingga harmonis antara Undang-undang
perkawinan dengan Undang-undang administrasi kepndudukan. b. Dapat dijadikan
pedoman bagi pemerintah, khususnya para legislator (pembuat Undang-undang) dan
pihak yang berwenang dalam rangka melakukan pengkajian ulang terhadap
peraturan-peraturan perkawinan beda agama dan pada akhirnya terciptalah
kepastian hukum perkawinan beda agama dalam sistem hukum keluarga di Indonesia.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Harmonisasi norma perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Administrasi Kependudukan." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment