Abstract
INDONESIA:
Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan tentang perkawinan dalam Islam telah dibahas secara rinci mulai dari pengertian wanita dan perkawinan yang diharamkan dalam Islam. Di dalam masyarakat Padang Sidempuan, mereka mempunyai aturan dan adat istiadat sendiri yang berbeda dengan perkawinan masyarakat pada umumnya.
Adapun rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini menggunakan tiga rumusan masalah ialah 1. Bagaimana Prosesi Perkawinan Adat Batak Di Daerah Padang Sidimpuan, 2. Apa Konsekuensi Bagi Pelaku Pernikahan Semarga Dalam Adat Batak Di Daerah Padang Sidimpuan. 3. Bagaimana Analisis Hukum Islam Terhadap Pernikahan Semarga Di Daerah Padang Sidimpuan.
Metode penelitian adalah fenomenologis bersifat deskriptif analitis yaitu hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistematis tentang perkawinan semarga pada masyarakat Padang Sidimpuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, yang kemudian dianalisa sehingga dapat diambil kesimpulan secara umum. Penulisan ini didasarkan atas hasil wawancara dengan Masyarakat Padang Sidimpuan.
Dari hasil penelitian menunjukkan perkawinan semarga dalam Masyarakat Adat Padang Sidimpuan masih dianggap sesuatu yang tabu, walaupun dalam agama islam hal ini sebenarnya tidak dipermasalahkan, tetapi pelaku yang melakukan perkawinan semarga harus merombak marga si pengantin perempuan dengan marga dari ibu suaminya agar tutur sapa yang semestinya tidak menjadi rusak ataupun tumpang tindih.
Adapun konsekwensinya bagi pelaku adalah mereka tidak bisa mengikuti upacara adat setempat apabila ada horja (perayaan besar), karena mereka melanggar ketentuan yang berlaku yang masih disakralkan sampai sekarang. Karena keyakinan masyarakat adat padang sidimpuan semarga berarti dongan sabutuha (saudara kandung) apabila hal itu dilanggar berarti ada konsekwensi hokum adat yang berlaku bagi mereka. Seperti mengganti marga, membayar denda adat yang ditimpakan kepada mereka atas perbuatan mereka yang melanggar atura-aturan adat yang berlaku.
ENGLISH:
Marriage is a spiritual bond between a man born to a woman as husband and wife with the aim of forming a family (household), a happy and everlasting based on Belief in God Almighty. The provisions on marriage in Islam has been discussed in detail starting from an understanding of women and marriage is forbidden in Islam. In the community of Padang Sidempuan, they have their own rules and customs that are different from marriage society in general.
The formulation of the problem in writing this essay uses three is 1. How Batak customary marriage procession in the desert region sidimpuan, 2. What are the consequences for perpetrators semarga in customary marriages in the desert sidimpuan hobo. 3. How is the analysis of Islamic law on marriage sidimpuan semarga in desert areas.
Writing method using analytical descriptive phenomenological study of the results obtained from this research are to provide comprehensive and systematic picture of marriage in society semarga Sidimpuan Padang, South Tapanuli District, which is then analyzed so that it can be concluded in general. Writing is based on the results of interviews with the people of Padang Sidimpuan.
The result showed a marriage semarga in Padang Indigenous Sidimpuan still considered a taboo, although the Islamic religion it is actually not disputed, but the actors who perform marriages semarga should remodel the bride's clan with the clan of her husband's mother for who should not have said hello become damaged or overlap.
The consequences for the perpetrators is that they can not follow the local traditional ceremonies when there horja (big celebration), because they violate the regulations that are still sacred to the present. Because the field of indigenous beliefs sidimpuan semarga means dongan sabutuha (siblings) if it is violated means that there are consequences of customary law applicable to them. Like replacing the clan, to pay the customary fine imposed upon them for their acts that violate atura customary rules and regulations.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di dalam hukum islam pernikahan merupakan satu
anjuran bagi kaum muslimin. Hal ini diatur dalam Undang-undang Dasar No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan bahwa: ”Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.1 Sedangkan dalam pengertian populernya
perkawinan adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan
hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong
menolong dan 1 Lihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1. 2 memberi batas
hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing- masing. Dari
pengertian ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan
perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan
hubungan pergaulan yang dilandasi tolong menolong. Karena perkawinan termasuk
pelaksanaan agama, maka didalamnya ada tujuan / maksud mengharapkan keridhaan
Allah SWT. Hal ini dijelaskan didalam firman Allah yang berbunyi: Artinya: Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum:
21)2 . Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam islam perkawinan dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan
keturunannya dalam suasana saling mencintai (mawaddah) dan kasih sayang
(rahmah) antara suami isteri. Jadi, pada dasarnya perkawinan merupakan cara
penghalalan terhadap hubungan antar kedua lawan jenis, yang semula diharamkan,
seperti memegang, memeluk, mencium dan hubungan intim. Perkawinan juga
merupakan cara untuk melangsungkan kehidupan umat manusia di muka bumi, karena
tanpa adanya regenerasi, populasi 2 Al-Qur’an dan Terjemahannya. Penerbit: CV.
ASY-SYIFA’ Semarang 1992. 3 manusia di bumi ini akan punah. Dan perkawinan
memiliki dimensi psikologis yang sangat dalam, karena dengan perkawinan ini
kedua insan, suami dan isteri, yang semula merupakan orang lain kemudian
menjadi satu. Mereka saling memiliki, saling menjaga, saling membutuhkan, dan
tentu saja saling mencintai dan saling menyayangi, sehingga terwujud keluarga yang
harmonis (sakinah).3 Begitu jelas islam menjelaskan tentang hakekat dan arti
penting perkawinan, bahkan dalam beberapa Undang-undang masalah perkawinan
diatur secara khusus. Seperti, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan
lain-lain. Dalam hukum perkawinan islam dikenal sebuah asas yang disebut
selektivitas. Artinya bahwa, seseorang ketika hendak melangsungkan pernikahan
terlebih dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa
ia terlarang untuk menikah. Hal ini untuk menjaga agar pernikahan yang
dilangsungkan tidak melanggar aturan-aturan yang ada. Terutama bila perempuan
yang hendak dinikahi ternyata terlarang untuk dinikahi, yang dalam Islam
dikenal dengan istilah mahram (orang yang haram dinikahi). Tentang larangan
perkawinan, al-Qur’an memberikan aturan yang tegas dan terperinci. Dalam surat
an-Nisa’ ayat 22-23 Allah SWT berfirman : 3 Masykuri Abdillah, “Distorsi
Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini”, dalam Mimbar Hukum No. 36 Tahun IX 1998,
hal 74. 4 Artinya : Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah
dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang lampau. Sungguh,
perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk (jalan
yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang
perempuan, saudara- saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudaramu sesusuan,
ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang
dalam pemeliharaanmu dari istri yang kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa bagi
kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) menikahi istri-istri anak kandungmu
(menantu) dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.4 Berdasarkan ayat ini, dapat dipahami bahwa ada tiga
kategori perempuan yang haram untuk dinikahi. Pertama, karena ada hubungan
darah (pertalian nasab), baik hubungan nasab (keturunan) maupun karena hubungan
persusuan. Kedua, karena ada hubungan pernikahan, baik yang dilakukan 4
Al-Qur’an dan Terjemahannya. 5 ayah, diri sendiri atau anak. Dan ketiga, karena
status perempuan yang sudah menikah. Sementara dalam kompilasi hukum Islam,
masalah larangan perkawinan diatur dalam pasal 39. Pasal 39 menyebutkan bahwa:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
disebabkan: 1. Karena pertalian nasab: a. Dengan seorang wanita yang malahirkan
atau yang menurunkannya atau keturunannya. b. Dengan seorang wanita keturunan
ayah atau ibu. c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. 2. Karena
pertalian kerabat semenda: a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya
atau bekas istrinya. b. Dengan seorang wanita bekas istri yang menurunkannya.
c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya
hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla al-dukhul d. Dengan seorang
wanita bekas istri keturunannya.. 3. Karena pertalian sesusuan: a. Dengan
wanita yang sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke atas. b. Dengan
seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah. 6 c.
Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah. d.
Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas. e. Dengan
anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya. Di dalam hukum adat dikenal
juga adanya larangan perkawinan, Salah satu aturan yang dilarang dalam hukum
adat batak adalah dilarangnya melangsungkan perkawinan semarga. Artinya
masyarakat batak tidak boleh menikah dengan orang lain yang memilki marga yang
sama dengannya. Contohnya adalah apabila keluarga marga A bermarga nasution
maka dia tidak bisa menikah dengan keluarga B yang bermarga sama dengan
dirinya. Dalam system perkawinannya adat batak menganut system patrineal atau
menarik garis keturunan bapak, sebagai konsekwensinya dari perkawinan searah,
atau asimetris, maka keluarga B, untuk selamanya tidak boleh lagi memberikan
anak gadis mereka kepada keluarga marga A, yang bersangkutan. Perkawinan searah
itu di Padang Sidimpuan dianjurkan, yaitu perkawinan seorang anak laki-laki
dengan seorang anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya, yang disebut boru
tulang. Tutur sapa perempuan tadi terhadap laki-laki dinamakan anak namboru dan
sebaliknya boru tulang. Bagi mereka yang menarik garis kebapaan, utusan
keluarga dari pihak laki-laki lebih dahulu pergi melamar kepada pihak keluarga
perempuan. Tidak seperti dalam masyarakat yang menarik garis keturunan keibuan,
yang datang melamar adalah dari pihak perempuan. Perkawinan Adat Di Padang 7
Sidimpuan, adalah terikat kepada system adat yang dianut oleh suku tersebut.
Menurut peraturan perundangan undangan yang berlaku, hukum adat tetap berlaku,
bagi orang Indonesia asli, selama belum diatur dengan undang- undang, dan
sepanjang adat tersebut masih dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Perkawinan menurut adat, tidaklah hanya mengikat suami istri saja, tetapi juga
mengikat keluarga kedua belah pihak, yaitu keluarga pihak perempuan dengan
keluarga pihak laki-laki.5 Perkawinan secara timbal balik, baik yang menarik
garis keibuan (Matrilineal), maupun dalam keluarga yang menarik garis keturunan
kepabaan, yang dalam ilmu pengetahuan adat, disebut Patrilineal, adalah
dilarang. Sebaliknya bagi golongan yang menarik garis keturunan dari kedua
belah pihak (Bilateral), seperti di Pulau Jawa, diperkenankan perkawinan timbal
balik, yang disebut secara simetris. Larangan perkawinan dalam semarga/sesuku
berlaku bagi semua masyarakat yang menarik garis keturunan, baik keturunan
kebapaan maupun keibuan. Hukum adat yang mengatur tentang pernikahan di
Indonesia sangat beragam. Akan tetapi, apabila diklasifikasikan dapat diketahui
bahwa terdapat tiga macam sistem pernikahan adat di Indonesia yaitu :6 1.
Sistem endogami Dalam sistem pernikahan endogami, masyarakat hanya
diperbolehkan menikah dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Masyarakat
yang dikenal menggunakan sistem ini adalah masyarakat 5 Ibid. hlm. 46. 6
Soerjono Soekanto, Inti Sari Hukum Keluarga. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1992), 28-39 8 tanah Toraja. Walaupun demikian telah terjadi pergeseran budaya
karena beberapa faktor, seperti sudah mudahnya akses dengan wilayah atau daerah
lain sehingga peraturan ini mulai ditinggalkan. 2. Sistem eleutherogami Sistem
pernikahan ini berbeda dengan sistem pernikahan yang bersifat endogami dan
eksogami. Tetapi hanya mengatur larangan yang berhubungan dengan ikatan
kekeluargaan atau keturunan, seperti larangan menikah dengan ibu, nenek, anak
kandung, cucu dan sebagainya.7 3. Sistem eksogami Dalam sistem pernikahan
eksogami, masyarakat diharuskan menikah dengan orang di luar sukunya atau orang
di luar clan nya. Sistem seperti ini dapat dijumpai di daerah Tapanuli,
Minangkabau, Sumatera Selatan dan di beberapa daerah lainnya. Tapanuli
sebagaimana disebut di atas adalah suku Batak, yang mempunyai lima sub suku,
dan masing-masing mempunyai wilayah utama, sekalipun sebenarnya wilayah itu
tidak sedominan batas-batas pada zaman yang lalu. Sub suku dimaksud yaitu: a.
Batak Karo yang mendiami wilayah dataran tinggi Karo, Deli Hulu, Langkat Hulu,
dan sebagian tanah Dairi. b. Batak Simalungun yang mendiami wilayah induk
Simalungun. c. Batak Pak Pak yang mendiami wilayah induk Dairi, sebagian Tanah
Alas, dan Gayo. 7 Ibid, h. 132 9 d. Batak Toba yang mendiami wilayah meliputi
daerah tepi danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, dan Silindung,
daerah pegunungan Pahae, Sibolga, dan Habincaran. e. Batak Angkola Mandailing
yang mendiami wilayah induk Angkola dan Sipirok, Batang Toru, Sibolga, Padang
Lawas, Barumun, Mandailing, Pakantan, dan Batang Natal. Masyarakat Batak adalah
salah satu masyarakat yang menganut sistem pernikahan eksogami, dan merupakan masyarakat
dengan garis keturunan patrilineal (kebapaan).8 Dimana merupakan sistem
kekeluargaan yang menarik garis keturunan secara konsekuen melalui garis
laki-laki atau bapak. Jenis pernikahan masyarakat seperti ini adalah nikah
jujur atau eksogami jujur. Pada hakikatnya, tujuan pernikahan patrilineal
adalah untuk melestarikan galur suami dalam garis laki-laki.9 Pada suku Batak,
dikenal istilah marga atau clan yang berasal dari bapak, seperti marga Siregar,
Lubis, Sitompul dan lain-lain. Sehingga dengan adanya marga ini, masyarakat
Batak mengetahui apakah dia dengan yang lain adalah dongan sabutuha (saudara
kandung atau semarga), bagaimana ia memanggil keluarga lainnya, yang dalam
istilahnya disebut partuturon (cara bertutur sapa). Paling penting dalam marga
ini adalah, bahwa kesamaan marga dapat menyebabkan terlarangnya pernikahan.
Karena dalam keyakinan masyarakat 8 Bushar Muhammad, Pokok-Hukum Adat, (Jakarta
: PT. Pradnya Paramita, 2004), 21 9 J.C.Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat
Toba, (Yogyakarta: LKiS, Cet, I, 2004), 197 10 Batak, semarga berarti sabutuha
(satu perut, saudara kandung, semarga), maksudnya adalah lahir dari perut yang
satu, berarti saudara kandung. Selain itu, masyarakat batak mengenal satu
sistem kekerabatan yang disebut dalihan natolu (tungku tiga). Hal ini
dianalogikan dengan tiga tungku memasak di dapur, dimana dahulu kebiasaan
masyarakat batak memasak dengan tungku yang terbuat dari batu, kemudian disusun
berbentuk segi tiga. Maka adat batak pun mempunyai tiga tiang penopang dalam kehidupan,
baik dalam patidahon holong (kesenangan) dan siluluton (kesedihan) dan sistem
kekerabatan ini menjadi falsafah hidup orang Batak. Dalihan natolu ini terdiri
dari: a. Pihak semarga (in group), dalam istilah Batak disebut kahanggi. b.
Pihak yang menerima istri (wife receving party), atau yang disebut anak boru
dan, c. Pihak yang memberi istri (giving party), dan lebih dikenal dengan
sebutan hamoraon. Dengan adanya falsafah dalihan natolu ini, maka berlaku
larangan menikah dengan saudara semarga. Untuk itu laki-laki yang ingin menikah
harus mencari wanita di luar marganya, begitu juga dengan perempuan harus
mencari laki-laki di luar marganya. Sifat pernikahan semacam ini disebut
pernikahan asymetris comnubium.10 Kemudian ketiga tungku marga ini tidak boleh
melakukan pernikahan tukar menukar.11 10 Soekanto, Meninjau Hukum Adat
Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet, III, 1996), 77 11 Amir
Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia:Studi Kritis Perkembangan Hukum
Islam, Fikih, UU. No.1/1974 dan KHI, (Jakarta: Prenada Media, Cet, II, 2004),
144-145 11 Masalah tersebut sudah tentu menarik untuk dikaji, karena pada
perkembangannya, telah terjadi akulturasi pada budaya Batak. Salah satu
penyebabnya adalah pengaruh agama Kristen dan Islam yang telah lama masuk ke
Tanah Batak. Akulturasi yang terjadi adalah sebagai berikut: Pertama, sebelum
agama masuk ke Tanah Batak, konsep religi yang hidup dalam masyarakat adalah
campuran dari kepercayaan keagamaan kepada dewata.12 Pemujaan yang bersifat
animisme terhadap roh orang yang meninggal, dinamisme bahkan paganisme.13
Kedua, Islam masuk ke tanah Batak khususnya tanah Batak bagian selatan pada
tahun 1816.14 Dibawa oleh tuanku Rao yang menganut mazhab Hambali.15
Penyebarannya dimulai dari Daerah Angkola, namun tidak dapat mengislamkan
daerah sekitar danau toba. Secara umum tidak ada perubahan besar dalam tradisi
masyarakat muslim batak. Perubahan menyeluruh hanya terjadi pada keyakinan dan
praktek peribadatan yang menyesuaikan dengan agama Islam. Meskipun demikian
pada praktek pernikahan, harus tetap melakukan sesuai dengan syariat Islam,
seperti terpenuhinya syarat, rukun dan sebagainya.16 Pengaruh agama yang masuk
ke tanah batak sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, khususnya
agama Islam dan Kristen. Ada kebiasaan yang diterima oleh agama dan ada juga
yang bertentangan dengan 12 Mangaradja Onggang Perlindungan, Tuanku Rao,
(Yogyakarta: LKiS, Cet, I, 2007), 24 13 Ibid, 27 14 Ibid, 172 15 Ibid, 198 16G.
Siregar Baumi, Pembaharuan dan Modernisasi Adat Budaya Tap. Selatan Burangir
Barita, Petunjuk Cara Pelaksanaan Horja Mangkobar Dalam Upacara Adat Hombar
Adat Dohot Ibadat, (Padangsidempuan: 2007), 53 12 agama. Kebiasaan-kebiasaan
yang dianggap tidak bertentangan dengan agama tetap dipelihara. Salah satunya
adalah larangan pernikahan semarga. Jelas dilihat dalam istilah batak yaitu
hombar adat dohot ibadat, artinya adat dan ibadah itu saling berdampingan.17
Karena masalah ini masih perlu dikaji lebih mendalam untuk mendapatkan jawaban
terhadap larangan pernikahan semarga dalam adat masyarakat Batak, maka
penelitian ini dirumuskan dengan judul:” Perkawinan Adat Batak Di Daerah Padang
Sidimpuan, Sumatera Utara (Studi Fenomenologis) B. Rumusan Masalah Adapun
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana
prosesi perkawinan Adat Batak di Daerah Padang Sidimpuan? 2. Apa Konsekowensi
Bagi Pelaku Pernikahan Semarga Dalam Adat Batak Di Daerah Padang Sidimpuan? 3.
Bagaimana analisis hukum Islam terhadap larangan pernikahan semarga dalam adat
Batak ? C. Batasan Penelitian Dalam penelitian ini untuk menghindari pembahasan
yang terlalu melebar dan kurang mengarah dari pokok permasalahan yang sulit
untuk mendapatkan satu kesimpulan yang konkrit, maka penulis rasa perlu adanya
17 Ibid, 2 13 batasan-batasan yang jelas yaitu hanya mendeskrifsikan perkawinan
Adat batak di daerah Padang Sidimpuan ditinjau dari hukum islam serta konsep
perkawinan secara adat. D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah
diatas, tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pelaksanann atau
prosesi Perkawinan Adat Batak Di Daerah Padang Sidimpuan. 2. Untuk mengetahui
konsekowensi bagi pelaku Pernikahan Semarga Dalam Adat Batak Di Daerah Padang
Sidimpuan. 3. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan Hukum Islam Tentang
Perkawinan Secara Adat. E. Manfaat Penelitian Secara teoritis penelitian ini
mempunyai kegunaan sebagai berikut: 1. Dengan hasil yang diperoleh diharapkan
bisa menambah wawasan yang lebih luas mengenai prosesi perkawinan adat batak
atau perbandingan hukum antara hukum islam dan Adat Batak. Penelitian ini bisa
memberikan sumbangan ilmiah dalam disiplin ilmu ibadah dan memberikan
kontribusi ilmiah pada Fakultas Syari’ah Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah. 2.
Bagi masyarakat, khususnya masyarakat batak supaya bisa menambah pemahaman dan
memberikan gambaran mengenai perkawinan adat batak, agar bisa dijadikan sebagai
bahan pertimbangan. 14 3. Bagi penulis, skripsi ini digunakan untuk memenuhi
persyaratan dalam rangka menempuh studi akhir kesarjanaan (S-1) di Fakultas
Syari’ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki Malang).
Selain itu diharapkan dengan penelitian ini, pengetahuan, kemampuan dan
penglaman penulis dapat bertambah, sehingga dapat mengamalkan dan
mengembangkannya ditengah-tengah masyarakat. F. Sistematika Pembahasan Untuk
mempermudah penyusunan dan pemahaman dalam penelitian maka penulis membuat
sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan yang berisi Latar
Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Mamfaat Penelitian Dan
Sistematika Pembahasan. Bab II: Dalam bab ini terdiri dari: Kajian Pustaka,
Penelitian Terdahulu, Konsep Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Juga Penjelasan
Hukum Adat Tentang Perkawinan. Bab III: Bab ini memaparkan Metode Penelitian
Berisi Tentang Pengumpulan Data, Pengolahan Data, Pengecekan Keabsahan Data,
Penyajian Data Dan, Analisis Data. Hal ini bertujuan agar dapat dijadikan
pedoman dalam penelitian dan mengantarkan penulis untuk membahas pada bab
selanjutnya. Bab IV: Pada bab ini memuat Paparan Dan Analisis Data, Yang
Meliputi Tentang Konsep Perkawinan Adat Batak dan prosedur perkawinan yang
biasanya dilakukan oleh orang setempat. 15 Bab V: Penutup yang memuat
kesimpulan dari semua pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan dan saran-saran
yang berkaitan dengan hasil penelitian yang dapat untuk menjadi pertimbangan
lebih lanjut.
No comments:
Post a Comment