Abstract
INDONESIA:
Sebuah Undang-undang tidaklah mungkin mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara tuntas. Bahkan, adakalanya aturan hukum itu tidak lengkap dan tidak jelas. Meskipun demikian hakim dilarang menolak suatu perkara dengan alasan peraturannya tidak lengkap atau tidak jelas atau bahkan tidak ada aturannya. Hukum Islam maupun hukum positif mengakui tidak ada aturan hukum atau undang-undang yang sempurna. Keterbatasan Undang-undang itu tidak bisa mengatur seluruh kegiatan manusia sehingga hakim diharuskan melakukan penemuan hukum untuk menyelesaikan sebuah perkara. Penemuan hukum dalam Islam disebut ijtihad, ijtihad bisa dilakukan ketika mujtahid memahami maqâshid al-syarî’ah, sebagai tujuan ditetapkannya hukum.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui metode yang digunakan hakim dalam penemuan hukum, mengetahui kedudukan maqâshid al-syarî’ah dalam penemuan hukum serta penerapannya dalam putusan hakim.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian empiris, dengan mengumpulkan data yang bersifat deskriptif kualitatif. Data yang terkumpul lebih banyak berupa data primer, yang didukung dengan beberapa data sekunder yang kemudian digunakan sebagai bahan analisis data hasil penelitiannya. Data diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi. Sedangkan analisis data bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan suatu keadaan atau fenomena yang terjadi di lapangan. Pada tahap akhir hasil penelitian disimpulkan sesuai dengan rumusan masalah.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan hakim PA kab. Malang dalam penemuan hukum adalah interpretasi dan kontruksi hukum. Kedudukan maqâshid al-syarî’ah dalam penemuan hukum sebagai pertimbangan ketika tidak ditemui aturan hukum yang pasti dan sebagai metode untuk memahami tujuan dibentuknya hukum. Penerapan penemuan hukum yang menggunakan maqâshid al-syarî’ah sebagai pertimbangan terdapat pada putusan hakim tentang dispensasi kawin, dengan menggunakan maqâshid al-syarî’ah sebagai pertimbangannya, penerapan maqâshid al-syarî’ah sebagai metode untuk memahami tujuan dibentuknya hukum terdapat dalam perkara hak asuh anak, hakim menggunakan maqâshid al-syarî’ah untuk memahami tujuan teks hukumnya dan perkara asal usul anak hakim menggunakan maqâshid al-syarî’ah sebagai tujuan memutuskan perkara dengan pertimbangannya.
ENGLISH:
A law is impossible to regulate all aspects of human life completely. Even sometimes rule of law is incomplete and unclear. However, the judge is forbidden to reject a case by reason the rule is incomplete, unclear or even no rule. Islamic law and positive law recognizes that there is not perfect rule of law. The limited law can not regulate all human activities so the judge is required to perform rechtvinding to resolving a case. Rechtvinding in Islamic law is called ijtihad, ijtihad can be done when mujtahid understands maqâshid al-syariah as the purpose of enactment of the law. The purpose of this research is to determine the method that used by judge in rechtvinding, position of maqâshid al-syariah in rechtvinding, and its application in judge’s decision.
This research is empirical study, data in this research is descriptive qualitative. The collected data are in the form of primary data, which supported by several secondary data and analyzed by the data for this research. The data is collected by interview and documentary. While the descriptive data analysis to describe a situation or phenomena that occur in the field. At the final stage of the research, it concluded according with formulation of the problem.
Research finding are the method that used by religious court of district Malang judge in rechtvinding are interpretation and law construction. The maqâshid al-syariah position in rechtvinding as consideration when there is not certain legal rule and understand the purpose of enactment of law. The application of rechtvinding that uses maqâshid al-syariah as consideration is in the judge's decision on marriage dispensation, by using maqâshid al-syariah as a consideration. In the child custody case, the judge uses maqâshid al-syariah to understand the purpose of the legal text. In the origin of children case, the judge uses maqâshid al-syariah as a destination to decide cases with judge’s discretion.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sebuah aturan hukum tidaklah mungkin mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia secara tuntas. Bahkan, adakalanya aturan hukum
itu tidak lengkap dan tidak jelas. Kendati demikian, aturan hukum tersebut
harus dilaksanakan. Oleh karena itu, jika terjadi pelanggaran terhadap aturan
hukum, maka hakim harus melaksanakan dan menegakkan aturan hukum tersebut.
Hakim tidak boleh menolak menjatuhkan 2 putusan dengan alasan aturan hukumnya
tidak lengkap atau tidak jelas atau bahkan tidak ada aturannya.1 Hukum Islam
maupun hukum positif mengakui tidak ada aturan hukum atau undang-undang yang
sempurna. Di dalamnya pasti ada kekurangan dan keterbatasannya. Tidak ada
ketentuan hukum yang lengkap selengkap-lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya
dalam mengatur seluruh kegiatan manusia. Aturan hukum bersifat statis dan rigid
(kaku), sedangkan perkembangan kegiatan manusia selalu meningkat dari waktu ke
waktu, baik jenis maupun jumlahnya, sehingga muncul ungkapan hukum tertulis
selalu ketinggalan dengan peristiwanya.2 Konsekuensi dari terbatasnya teks-teks
hukum maka hakim dan petugas-petugas hukum lainnya harus melakukan penemuan
hukum guna memberikan solusi terhadap berbagai persoalan yang terjadi di
masyarakat baik yang tidak jelas hukumnya, tidak jelas aturannya atau sama
sekali tidak diatur hukumnya. Penemuan hukum (rechtsvinding), lazimnya
diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas
hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa
hukum yang kongkrit.3 Dengan demikian dalam upaya penemuan hukum ada beberapa
unsur yang dapat terlibat dalam penemuan hukum ini, sebagai contohnya adalah
ilmuan hukum yang prodak hukumnya disebut doktrin. 1Pasal 10 ayat (1)
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 2Bambang
Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2006), h.74. 3Jaenal
Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2008), h. 126. 3 Dalam pengertian lain, penemuan hukum
(rechtsvinding) adalah suatu teori yang memberikan arah bagaimana cara
menemukan aturan yang sesuai untuk suatu peristiwa hukum tertentu, dengan cara
penyelidikan yang sistematis terhadap suatu aturan, dengan cara menghubungkan
antara satu aturan dengan aturan yang lainnya.4 Sehingga penemuan hukum ini
merupakan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat
umum dengan mengingat peristiwa kongkrit. Hal ini selaras dengan apa yang
dikatakan oleh Amir Syamsuddin bahwa penemuan hukum (rechtsvinding) merupakan
proses pembentukan hukum dalam upaya penerapan peraturan hukum umum terhadap
peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah tertentu, seperti interprestasi,
argumentasi atau penalaran (redenering), konstruksi hukum, dan lain-lainnya.5
Kaidah-kaidah atau teori-teori penemuan hukum ini bertujuan agar penerapan
aturan hukum terhadap suatu peristiwa hukum dapat dilakukan secara tepat dan
relevan menurut hukum. Sehingga hal ini dapat berimplikasi pada produk hukum
yang dihasilkan oleh hakim dalam menangani permasalahan hukum. Hal ini juga mengandung
arti bahwa sebagai proses konkritisasi peraturan (das sollen) kedalam peristiwa
konkrit tertentu (das sein). Dalam melakukan penemuan hukum pastinya hakim
tidak lepas dari aspek sumber hukum sebagai bahan pertimbangan hakim dalam
memutuskan suatu perkara. 4N.E. Algra, dkk., Rechtsgeleerd Handwoordenboek,
yang diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata, Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea
Belanda Indonesia, (Jakarta: Bimacipta, 1998), h. 4. 5Amir Syamsuddin, Penemuan
Hukum ataukah Prilaku Chaos?, dalam Opini harian Kompas, Sabtu, 5 Januari 2008,
h. 8. 4 Sumber-sumber hukum dari penemuan hukum sama dengan sumber hukum pada
umumnya, yaitu Undang-undang, hukum kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin.
Metode penemuan hukum dalam Islam dikenal dengan istilah ijtihad, ijtihad
dilakukan oleh para mujtahid. Hukum Islam yang kita warisi hingga kini
merupakan hasil ijtihad para faqih yang sifatnya konstekstual. Tujuan dari
ijtihad adalah untuk menggali hukum-hukum yang terkandung dalam al Qur’an dan
al Hadis, hal ini sama dengan tujuan penemuan hukum yang dilakukan oleh para
hakim untuk memutuskan perkara yaitu sama-sama untuk menggali hukum dari sumber
hukum yang ada. Perbedaan antara ijtihad dalam Islam dan penemuan hukum oleh
hakim terletak pada sumber hukum yang menjadi landasan utama dalam memutuskan
perkara atau masalah yang ada. Maqâshid al-syarî’ah sebagai tujuan pokok
ditetapkannya hukum supaya produk yang dihasilkan oleh hakim dapat diterima dan
dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat. Maqâshid al-syarî’ah adalah sebagai
tujuan dari penetapan hukum, penetapan hukum menjadi kewenangan hakim pada saat
ini dalam memutuskan suatu perkara. Dapat pula dikatakan bahwa maqâshid
al-syarî’ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat
manusia.6 Maqâshid al-syarî’ah bertujuan untuk kemaslahatan seluruh umat
manusia. Kemaslahatan itu dapat terwujud apabila lima unsur pokok dapat
diwujudkan dan terpelihara. Kelima unsur pokok itu adalah menjaga agama, jiwa,
keturunan, akal dan harta. 6Amir mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran
Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), h. 92. 5 Salah satunya putusan
tentang hak asuh anak yang diberikan kepada ayah karena ibu dirasa tidak mampu
mendidik anak dan mencukupi kebutuhan anak dengan baik. Tujuan dari teks hukum
adalah untuk melindungi hak-hak anak, memang dalam KHI pasal 105 hak asuh anak
yang belum mencapai usia 12 tahun diberikan pada ibu, akan tetapi ketika ibu
dirasa tidak dapat memenuhi hak-hak anak maka hak asuh bisa diberikan kepada
bapak dengan mempertimbangan kepentingan anak atau menjaga keturunan. Hal ini
menunjukkan bahwa penerapan hukum progresif dalam upaya mewujudkan hukum yang
berasaskan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sudah dilakukan oleh
hakim-hakim di Pengadilan Agama. Penggunaan maqâshid al- syarî’ah dalam upaya
rechtsvinding pada hakekatnya embrionya sudah tampak di beberapa putusan hakim
di Peradilan Agama. Sehingga dalam kacamata peneliti, peran dari sumbangsih
maqâshid al-syarî’ah dalam upaya rechtsvinding oleh hakim di Pengadilan Agama
sangat menarik untuk diteliti. Sebagai bentuk sensitifitas hakim dalam merespon
perkembangan permasalahan hukum di masyarakat dan menciptakan hukum yang
selaras dengan nilai-nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Selain itu
juga sebagai bentuk ijtihad hakim dalam merespon kekosongan hukum dan sebuah
bentuk aktualisasi hukum Islam itu sendiri. B. Rumusan Masalah Berdasarkan
kerangka pemikiran yang dipaparkan dalam latar belakang diatas, maka fokus
penilitian ini dituangkan dalam rumusan masalah sebagai berikut: 6 1. Bagaimana
metode yang digunakan hakim Pengadilan Agama Kab. Malang dalam upaya
rechtsvinding? 2. Bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama Kab. Malang
terhadap maqâshid al-syarî’ah dalam upaya rechtsvinding? 3. Bagaimana penerapan
rechtsvinding yang berlandaskan maqâshid al-syarî’ah dalam putusan oleh hakim
Pengadilan Agama Kab. Malang? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan fokus penelitian
yang tertuang dalam rumusan masalah sebagaimana diatas, maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui metode yang digunakan hakim
Pengadilan Agama Kab. Malang dalam upaya penemukan hukum (rechtsvinding). 2.
Untuk mengetahui pandangan hakim Pengadilan Agama Kab. Malang terhadap
kedudukan maqâshid al-syarî’ah dalam upaya penemuan hukum (rechtsvinding). 3.
Untuk mengetahui penerapan rechtsvinding yang berlandaskan maqâshid al-
syarî’ah dalam putusan oleh hakim Pengadilan Agama Kab. Malang. D. Manfaat
Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian diatas, diharapkan penelitian ini dapat
bermanfaat bagi peneliti maupun masyarakat secara luas, baik secara teoritis
maupun praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 7 1.
Secara Teoritis Penelitian ini merupakan media informasi yang bermanfaat untuk
para akademisi, praktisi hukum, masyarakat secara luas dan peneliti
selanjutnya. Banyaknya ketidaktahuan masyarakat terkait aturan dalam hukum
Islam serta aturan dalam hukum positif, yang sesungguhnya harus dijunjung demi
keberlangsungan tujuan hukum itu sendiri serta kemaslahatan. Sehingga perlu
dilakukan penelitian sebagai tambahan bagi para pembacanya serta dapat
dijadikan bahan referensi penelitian serupa untuk masa yang akan datang,
khususnya dalam memahami kedudukan maqâshid al-syarî’ah dalam upaya penemuan
hukum yang dilakukan oleh para hakim di Pengadilan Agama. 2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi secara umum yang bersifat
deskriptif di kalangan praktisi hukum, masyarakat secara luas, dan akademisi.
Sumbangsih penelitian ini berkenaan dengan kedudukan maqâshid al-syarî’ah dalam
upaya penemuan hukum (Rechtsvinding) oleh para hakim di Pengadilan Agama agar
dapat memberikan pemahaman kepada praktisi hukum dalam upaya penemuan hukum
yang progresif, bersifat adil, dan dapat di terima oleh masyarakat secara luas.
E. Definisi Oprasional Penelitian ini terbatas pada kajian tentang pandangan
hakim terhadap kedudukan maqâshid al-syarî’ah dalam upaya rechtvinding atau
penemuan hukum di 8 Pengadilan Agama Kabupaten Malang. Kemudian yang menjadi objek
dari penelitian ini adalah pendapat beberapa hakim Pengadilan Agama Kabupaten
Malang. Penelitian ini terbatas pada definisi oprasional berikut ini: 1.
Maqâshid al-syarî’ah Maqâshid al-syarî’ah adalah tujuan Allah swt sebagai
syari’ (pembuat hukum) dalam menetapkan hukum terhadap hamba-Nya.7 Maqâshid
al-syarî’ah yang dimaksud peneliti adalah tujuan pokok dibentuknya hukum yaitu
keadilan dan kebebasan. 2. Rechtvinding (penemuan hukum) Rechtvinding (penemuan
hukum) adalah pembentukan hukum oleh subyek atau pelaku penemuan hukum dalam
upaya menerapkan peraturan hukum umum berdasarkan peristiwanya (konkritasi
hukum) berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu yang dapat
dibenarkan dalam ilmu hukum, seperti interpretasi, penalaran, konstruksi hukum
dan lain-lain.8 3. Hakim Kata “hakim” berarti mengetahui yang benar, pengadil,
adil, yang mengadili perkara.9 Dalam hal ini penulis mengartikan hakim adalah
sebagai salah satu penegak hukum di Indonesia yang mempunyai tugas di bidang
yudisial, yaitu menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan setiap perkara
yang masuk ke Pengadilan. 7Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2007), h. 120. 8Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum,
(Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 30. 9Pius A Partanto & M. Dahlan al
Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 2001), h. 461. 9 4. Pengadilan
Agama Pengadilan Agama adalah suatu lembaga (institusi) tempat mengadili atau
menyelesaikan sengketa hukum dalam rangka melaksanakan kekuasaan kehakiman, yang
mempunyai kewenangan absolut dan relatif sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Pengadilan Agama adalah suatu lembaga (institusi) dan badan Peradilan
(proses mengadili atau mencari keadilan) Agama pada tingkat pertama.10 F.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan pada skripsi ini secara keseluruhan
terdiri atas lima bab, yang mana pada masing-masing bab berisi beberapa sub bab
yang disusun secara sitematis sebagai berikut: Bab I merupakan bab pendahuluan
yang didalamnya berisi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, sistematika penulisan.
Bab II yaitu tentang kajian pustaka. Bab ini menjelaskan tentang landasan
teoritis yang berkaitan dengan objek penelitian. Dalam bab ini memuat tentang
pertama, penelitian terdahulu. Kedua, konsep maqâshid al-syarî’ah: pegertian
maqâshid al-syarî’ah, kehujjahan maqâshid al-syarî’ah, ijtihad dalam hukum
Islam, 10Erfaniah Zuhriyah, Peradilan Agama Di Indonesia (sejarah pemikiran dan
realita), (Malang: UIN- Malang Press, 2009), h. 5-6. 10 metode ijtihad dan
peranan maqâshid al-syarî’ah di dalamnya. Ketiga, penemuan hukum: sejarah
penemuan hukum, pengertian penemuan hukum, dasar hukum positif, sumber penemuan
hukum, alasan penemuan hukum oleh hakim, metode penemuan hukum, tahapan tugas
hakim dalam penemuan hukum. Bab III yaitu tentang metode penelitian yang di
dalamnya memuat jenis penelitian, pendekatan penelitian, lokasi penelitian,
jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, metode pengolahan data. Bab IV
merupakan bab yang berisi pemaparan data dan hasil analisisnya. Dimana dalam
bab ini ialah ditemukan suatu jawaban dari rumusan masalah yang telah
ditentukan sebelumnya. Dalam bab ini meliputi: Pertama, deskripsi Pengadilan
Agama Kabupaten Malang. Kedua, metode penemuan hukum yang digunakan hakim
Pengadilan Agama Kabupaten Malang. Ketiga, pendapat hakim Pengadilan Agama
Kabupaten Malang terhadap kedudukan maqâshid al-syarî’ah dalam rechtvinding.
Keempat, penerapan rechtvinding yang berlandaskan maqâshid al-syarî’ah dalam
putusan hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang. Bab V merupakan bab penutup.
Dimana dalam bab ini dimaksudkan untuk mengakhiri dari proses penelitian. Dalam
bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan beberapa saran-saran
peneliti yang ditujukan pada diri sendiri maupun pada masyarakat umum yang
bersangkutan.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment