Abstract
INDONESIA:
Proses penerusan atau perpindahan harta keluarga kepada anak-anak, kepada turunan keluarga telah dimulai ketika orang tua masih hidup, pengalihan hak atas harta dalam masyarakat muslim di Indonesia selain dalam bentuk pewarisan juga dikenal dalam bentuk hibah dan wasiat. Melihat fenomena yang ada di desa Langkap, peneliti tertarik dengan adanya praktek pembagian warisan, hibah dan wasiat dengan pertimbangan ekonomi ahli waris, bagi ahli waris PNS akan mendapat pembagian harta peninggalan dengan jumlah sedikit daripada ahli waris bukan PNS. Dalam pembagiannya berdasarkan atas kesepakatan ahli waris karena dalam pembagian ini lebih mengutamakan asas musyawarah mufakat antar ahli waris. Perlu diketahui, fenomena pembagian harta peninggalan yang terjadi di desa Langkap menganut salah satu sistem keturunan yang ada di Indonesia yaitu sistem bilateral. sistem bilateral ini menarik garis keturunan bapak maupun ibu, sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada hakikatnya tidak membeda-bedakan ahli waris dari pihak ibu atau pun pihak bapak.
Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan hal-hal yang menjadi dasar masyarakat desa Langkap dalam pembagian harta peninggalan (waris, hibah dan wasiat) dengan pertimbangan ekonomi ahli waris serta mendeskripsikan langkah/cara yang dilakukan masyarakat Langkap untuk menghindari konflik antar ahli waris dalam pembagian harta peninggalan
Penelitian ini termasuk ke dalam studi kasus (case study). Secara umum, Robert K.Yin dalam Case Study Research Design and Methods yang dikutip oleh Imam Suprayogo mengemukakan bahwa studi kasus sangat cocok digunakan dalam penelitian dengan menggunakan pertanyaan “how” (bagaimana) dan “why” (mengapa), yang akan digunakan dalam wawancara. Berkaitan dalam masalah penelitian ini, maka unit analisis adalah masyarakat Langkap, karena penelitian ini merupakan studi kasus kemasyarakatan.
Alasan dari pembagian harta peninggalan dengan pertimbangan ekonomi antara lain adalah karena adanya rasa belas kasihan, menghindari kesenjangan ekonomi, dan menghindari pertikaian. Cara untuk menghindari konflik dapat dilakukan dengan pembagian harta penuinggalan dengan pertimbangan ekonomi ahli waris, pembagian harta peninggalan sama rata, musyawarah dan menyerahkan persoalan kepada pihak desa.
ENGLISH:
The process of resumption or transferring of family estae to children and family generation have been started when the old fellow is still alive, the transfer of esta rights in Indonesian moslem society is in the form of endowment and the form of escrow and donation. Comprehending the phenomenon existing in the countryside of Langkap, the researcher is interested in the existence of heritage division practice, escrow and donation under heir’s economic consideration, the PNS heir will get the different amount of estae ommission than the non PNS heir. These divisions is based on the agreement of heir because an agreement becomes the very basic principle. It is important to know that the phenomenon of estae omission division of Langkap people refers to bilateral system. The system of bilateral draws a father and a mother lineage, so that there is no discrimination in familiarity.
The aim of research is to explain the basic principles of Langkap in the matter of estae omission division (heir, escrow and donation) with the consideration of heir economics and to explain the way taken by the society of Langkap to avoid conflict between heir in the matter of estae omission division.
This research is a case study research. In general, written in Robert K.Yin of Case Study Research Design Methods as quoted by Imam Suprayogo that the case study is very compatible to be used in this research by applying the question ‘how’ and ‘why’ in the interview. In relation with the problem of this research, the society of Langkap becomes the unit of analysis.
Some principles of estae omission division are economic consideration for example compassion feeling, economic unbalancing and to avoid conflict. The way to avoid conflict can be done by the division of estae omission by considering to the economic status of heirs, the undiscimminated division of estae ommission, the deliberation and delivering problems to the officials.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Proses penerusan atau
perpindahan harta keluarga kepada anak-anak, kepada turunan keluarga telah
dimulai ketika orang tua masih hidup, pengalihan hak atas harta dalam
masyarakat muslim di Indonesia selain dalam bentuk pewarisan juga dikenal dalam
bentuk hibah dan wasiat. Permasalahan waris merupakan salah satu aspek penting
dalam bidang hukum perdata, khususnya dalam kelangsungan / pemindahan
kepemilikan harta benda perseorangan. Maka dari itu setiap individu harus dapat
memahami ilmu yang berkaitan dengan praktek waris serta pembagiannya Syari’at
Islam menetapkan aturan waris, yang dikenal dengan istilah ilmu pembagian waris
dengan bentuk yang sangat teratur dan adil di dalamnya ditetapkan hak
kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Syari’at Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah
meninggal dunia kepada ahli warisnya, baik dari segi nasab maupun kerabat yang
ada, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, besar ataupun kecil. Al-Qur’an
sendiri menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan kewarisan tanpa
mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semua telah dijelaskan
sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah ia berstatus sebagai anak,
ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara
30 seayah atau seibu.1 Oleh karena itu, Al-Qur’an dijadikan acuan utama hukum
dan penentuan pembagian waris. Namun dalam ayat Al-Qur’an sendiri sedikit
sekali yang merinci suatu hukum secara detail, maka sebagai pelengkap untuk
menjabarkannya adalah dengan sunnah Rasul (hadits) beserta hasil ijtihad ulama
terkemuka. Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia hingga saat ini belum
mempunyai unifikasi hukum. Karena hukum yang ada di Indonesia beragam dan
pastinya masyarakat Indonesia sendiri mengikuti hukum yang berlaku, yaitu hukum
Barat (hukum positif), Islam dan Adat. Akibatnya sampai saat ini pengaturan
masalah waris di Indonesia belum mempunyai kesamaan. Adapun bentuk dan sistem
hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat
kekeluargaan, Sedangkan sistem kekeluargaan yang ada pada masyarakat Indonesia
menarik dari sebuah garis keturunan. Secara umum, garis keturunan yang ada pada
masyarakat Indonesia dikenal dengan tiga macam sistem keturunan, yaitu sistem
patrilineal, sistem matrilineal dan sistem bilateral.2 Dari adanya perbedaan
sistem keturunan yang tercantum di atas, menunjukkan bahwa sistem hukum
warisnya pun sangat pluralistik. Meski demikian, sistem hukum waris di
Indonesia tidak hanya melihat pada sistem kekeluargaan masyarakat yang beragam,
melainkan juga disebabkan oleh adat istiadat masyarakat Indonesia yang
bervariasi. Oleh sebab itu, tidak heran jika sistem hukum waris adat yang ada
juga beraneka ragam serta memiliki corak dan sifat-sifat tersendiri sesuai
dengan 1 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), 32 (Buku ini selanjutnya “Pembagian”); Idem, Hukum Waris,
(Solo: Pustaka Mantiq, 1994), (Buku ini selanjutnya disebut “Hukum”). 2 Eman
Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, adat dan BW, (Bandung:
Refika Aditama, 2005), 5-6 31 system kekeluargaan dari masyarakat adat
tersebut. Begitu pula dengan hukum waris Islam dan hukum waris Barat (hukum
positif) yang mempunyai corak dan sifat berbeda dengan hukum waris adat, Karena
sumber dari ke dua hukum tersebut berbeda, hukum waris Islam berdasar pada
kitab suci Al-Qur’an, sedang hukum waris Barat peninggalan zaman Hindia Belanda
bersumber pada BW (Burgerlijk Wetboek). 3 Selain mengenal hukum kewarisan,
masyarakat muslim juga mengenal sistem pengalihan yang disebut hibah. Hibah
merupakan pemberian sesuatu dari seseorang kepada orang lain ketika ia masih
hidup. Hibah yang berkaitan dengan kewarisan adalah pemberian sejumlah harta
yang dapat menjadi modal dasar dalam membina rumah tangga yang diberikan
seseorang kepada orang yang berhak menjadi ahli waris bila penghibah meninggal
dunia. Pemberian yang demikian, biasa disebut permulaan pewarisan dalam hukum
adat.4 Selain itu, hibah yang diberikan kepada orang yang tidak mempunyai
hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan penghibah, dan hibah yang
diberikan kepada orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan
perkawinan dengan penghibah tetapi tidak dapat dijadikan modal kerja, maka
tidak disebut hibah yang berkaitan dengan kewarisan, tetapi hanya disebut
pemberian biasa (hibah). Pemberian (hibah) yang disebutkan di atas, dapat
dibedakan atas pemberian sejumlah barang tertentu yang dilakukan oleh seorang
ayah atau ibu kepada beberapa orang anaknya, dan pemberian seluruh harta
kekayaan oleh seorang ayah atau ibu kepada semua orang yang berhak menjadi ahli
waris bila ia meninggal dunia. 3 Ibid., 7 4 Zainudddin Ali, Pelaksanaan Hukum
Waris Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 24 32 Kedua bentuk hibah di
atas, seperti telah diuraikan sebelumnya sebagai permulaan pewarisan. Demikian
pula, jika ahli waris sudah mendapat bagian tertentu melalui hibah, seperti
rumah, ternak, kebun, dan sebagainya. Pemberian itu sudah diperhitungkan
sebagai pembagian harta warisan tidak dilakukan lagi karena pengaturan harta
benda tersebut sudah sesuai dengan kehendak si pewaris ketika ia masih hidup.
Selain itu, kalau pada saat meninggalnya orang tua masih ada sisa harta yang
telah dihibahkan dan masih ada ahli waris yang masih kurang bagiannya atau
belum mendapatkan hibah, maka dalam pembagian harta warisan akan diseimbangkan
bagian diantara ahli waris.5 Selain hibah hukum Islam juga mengenal system
pengalihan harta peninggalan melalui wasiat, wasiat merupakan pengalihan dari
seseorang yang sudah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup, berarti
wasiat merupakan suatu penetapan yang dilakukan oleh seseorang tentang
bagaimana harta peninggalannya harus dibagi oleh ahli warisnya ketika ia
meninggal dunia. Wasiat juga dapat dilakukan kepada sejumlah harta tertentu
untuk ahli waris tertentu atau orang lain, dan dapat juga dilakukan kepada
seluruh harta untuk semua ahli waris bila ahli waris itu menyetujuinya. Tidak
menutup kemungkinan harta yang diwasiatkan dapat diberikan kepada orang yang
tidak termasuk ahli waris seperti anak angkat, anak tiri, dan anak luar kawin.
Selain itu, dapat juga berwasiat kepada lembaga-lembaga social keagamaan,
misalnya lembaga yang pernah berjasa kepada pewasiat atau kepada masjid-masjid,
madrasah-madrasah, dan sebagainya.6 5 Ibid., 25 6 Ibid., 22 33 Wasiat tidak
mensyaratkan bentuk tertentu, baik wasiat secara lisan maupun wasiat secara
tulisan, tetapi yang penting syarat-syarat materialnya terpenuhi yakni
disetujui oleh ahli waris. Dalam praktiknya, secara umum wasiat diucapkan
secara lisan pada saat-saat terakhir masa hidup pemilik harta dengan menyatakan
kehendaknya tentang harta peninggalannya. Pernyataan itu disaksikan oleh para
ahli waris, atau disampaikan kepada orang tertentu yang telah memiliki
kepercayaan dari para ahli waris.7 Jika dilihat dari bentuknya, wasiat
dilakukan oleh seseorang dengan sejumlah harta tertentu, dan wasiat tersebut
hanya sebagian dari jumlah keseluruhan harta milik pewasiat yang ditujukan
kepada ahli waris tertentu. Bila dihubungkan dengan pembagian harta warisan
tampak bahwa wasiat ini tidak berkaitan dengan pelaksanaan hukum kewarisan dan
tidak dianggap sebagai permulaan pembagian warisan. Sedangkan wasiat yang
dilakukan oleh seseorang dengan keseluruhan harta yang kelak menjadi harta
peninggalan pewasiat bila ia meninggal dunia dan semua ahli waris yang berhak
mendapatkan harta warisan memperoleh harta melalui wasiat. Hal ini berkaitan
dengan pembagian harta warisan bila semua ahli waris menyetujuinya.8 Melihat
fenomena yang terjadi, peneliti tertarik dengan adanya model pembagian warisan,
hibah dan wasiat dengan pertimbangan ekonomi ahli waris yang terjadi di desa
Langkap. Perlu diketahui, dalam fenomena model pembagian harta peninggalan yang
terjadi di desa Langkap menganut salah satu sistem keturunan yang ada di
Indonesia yaitu sistem bilateral. sistem bilateral ini menarik garis 7 Ibid. 8
Ibid., 23 34 keturunan bapak maupun ibu, sehingga dalam kekeluargaan semacam
ini pada hakikatnya tidak membeda-bedakan ahli waris dari pihak ibu dan pihak
bapak. Dalam hukum Adat pembagian harta peninggalan yang diberikan kepada ahli
waris bukan bagian-bagian yang ditentukan oleh angka, melainkan berdasarkan
unit per unit (satuan benda). Hal ini dimaksudkan agar supaya ahli waris
(anak-anak) mengetahui dengan pasti bagian yang menjadi haknya. Masyarakat
Langkap memang berpegang teguh pada agama Islam, mereka mengerti ketentuan
pembagian harta peninggalan (waris, hibah dan wasiat) yang ada dalam hukum
Islam, namun dalam setiap keluarga mempunyai keinginan dan keyakinan
masing-masing dalam pembagiannya, sehingga sangat beragam, ada keluarga yang
menganut pembagian waris dua banding satu (2:1) ada pula yang membaginya sama
rata (1:1) dan ada pula yang membagi hartanya yang disesuaikan dengan kondisi
ekonomi ahli waris. Pembagian harta peninggalan tersebut telah dilakukan
melalui wasiat dan hibah ketika pewaris masih hidup, dan dilakukan dengan
musyawarah keluarga (bersama ahli waris). Dalam pembagiannya pun disaksikan
langsung oleh para ahli waris, sehingga tahu bagian masing-masing yang mereka
peroleh. Meski demikian pewaris tetap memanggil sekretaris atau carik desa sebagai
saksi adanya pelaksanaan pembagian waris dalam keluarga tersebut, sehingga
apabila terjadi sengketa antar ahli waris kita dapat memanggilnya kembali
sebagai saksi dari pihak luar keluarga. Adapun cara pembagian waris tersebut
disesuaikan dengan kebutuhan atau kondisi ekonomi ahli waris. Bagi mereka yang
memiliki pekerjaan tetap (PNS), akan mendapatkan sedikit dari harta warisan,
begitupun sebaliknya bagi mereka yang tidak mempunyai pekerjaan tetap akan
mendapat bagian waris lebih banyak. Yang 35 melatarbelakangi adanya pembagian
ini, karena pewaris berasumsi bahwa seorang pegawai akan memperoleh pendapatan
yang pasti dalam setiap bulannya. Lain hal nya dengan ahli waris yang tidak
mempunyai pekerjaan tetap, tentunya tidak mempunyai penghasilan yang tetap
juga. Meskipun pembagian harta peninggalan di atas dilakukan melalui musyawarah
dan atas kesepakatan keluarga, namun tidak menutup kemungkinan nantinya akan
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan oleh para ahli waris, seperti timbul
perselisihan atau terjadi sengketa antar ahli waris. Apabila terjadi hal-hal
demikian, mereka menyelesaikannya dengan cara seperti semula dilakukannya
pembagian waris, yaitu diselesaikan dengan musyawarah sesama ahli waris, dengan
memanggil sekretaris atau carik desa sebagai saksi yang hadir ketika
pelaksanaan pembagian waris berlangsung. Namun ketika usaha musyawarah ini
gagal, baru permasalahan diajukan ke pengadilan. Dari latar belakang di atas,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pembagian harta peninggalan (waris,
wasiat dan hibah) yang ada. Maka dalam penelitian nanti, peneliti menggunakan
judul "PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN DENGAN PERTIMBANGAN KEMAMPUAN EKONOMI
AHLI WARIS DI DESA LANGKAP KEC. BANGSALSARI KAB. JEMBER”
B.
RUMUSAN
MASALAH
Perumusan masalah merupakan
hal yang sangat penting dalam suatu penelitian, sebab suatu masalah merupakan
obyek yang hendak diteliti dan perlu dicari pemecahannya. Berdasarkan uraian
latar belakang yang ada, peneliti menganggap perlu memberikan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut: 1. Mengapa
kemampuan ekonomi menjadi dasar pembagian harta peninggalan (waris, hibah dan
wasiat) pada masyarakat Langkap? 2. Bagaimana langkah/cara yang dilakukan untuk
menghindari konflik dalam pembagian harta peninggalan (waris, hibah dan wasiat)
pada masyarakat Langkap?
C.
TUJUAN
PENELITIAN
Tujuan penelitian di dalam karya ilmiah merupakan sebuah target
yang hendak dicapai melalui beberapa langkah penelitian. Tujuan merupakan
sebuah cita-cita yang diinginkan dalam setiap usaha, karena sebuah usaha
tidaklah ada artinya tanpa ada tujuan yang pasti. 1. Untuk mendeskripsikan
hal-hal yang menjadi dasar masyarakat desa Langkap dalam pembagian harta
peninggalan (waris, hibah dan wasiat) dengan pertimbangan ekonomi ahli waris 2.
Untuk mendeskripsikan langkah/cara yang dilakukan masyarakat Langkap untuk
menghindari konflik antar ahli waris dalam pembagian harta peninggalan D.
MANFAAT PENELITIAN
1. Secara teoritis, dari hasil penelitian ini dapat dijadikan tolak
ukur bagi peneliti selanjutnya, khususnya dalam penelitian waris. Memberikan
kontribusi wacana ilmiah bagi pengembangan/pengetahuan, khususnya dalam ilmu
waris. 2. Secara praktis 37 a. Sebagai kontribusi pemikiran bagi mahasiswa
fakultas Syari’ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, bahwa pembagian waris,
wasiat dan hibah tidak selalu berdasarkan pada hukum Islam, akan tetapi
disesuaikan dengan kondisi social masyarakat. b. Sebagai sumbangsih pengetahuan
bagi masyarakat Jember pada umumnya dan masyarakat langkap khususnya, tentang
pembagian waris, wasiat dan hibah yang tidak berdasarkan pada hukum Islam.
E. BATASAN MASALAH Dalam sebuah penelitian
perlu adanya ditulis batasan masalah, agar dalam penelitian nanti penulis dapat
fokus pada pokok permasalahan yang akan dibahas dalam sebuah penelitian. Tentunya
dalam penelitian ini hanya akan membahas beberapa permasalahan tentang
pembagian harta peninggalan yang meliputi waris, hibah dan wasiat.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Pembagian harta peninggalan dengan pertimbangan kemampuan ekonomi ahli waris di Desa Langkap Kec. Bangsalsari Kab. Jember" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment