Abstract
INDONESIA:
Asas forum domisili adalah suatu asas umum yang diterapkan dalam penyelesaian perkara perdata yang mana asas tersebut diatur dalam pasal 118 ayat (1) HIR atau pasal 142 ayat (1) RBg. Pasal tersebut berbunyi gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Namun, dalam ber-Acara di Pengadilan Agama khususnya dalam perkara perceraian, penyelesaian perkara perceraian haruslah berpatokan pada pasal 66 ayat (2) yang mana gugatan diajukan pada Pengadilan Agama di daerah hukumnya meliputi kediaman termohon/isteri dan pasal 73 ayat (1) dengan mengajukan gugatan pada Pengadilan Agama di daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat/isteri dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui relevansi asas forum domisili dalam perkara perceraian terhadap pasal 118 ayat (1) HIR atau pasal 142 ayat (1) RBg dengan pasal 66 dan pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989 serta untuk mengetahui keberlakuan asas forum domisili dalam perkara perceraian jika dikumulasi dengan gugat harta bersama.
Adapun jenis penelitian ini dikategorikan sebagai jenis penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Bahan hukum primer yang digunakan adalah UU No. 7 Tahun 1989 dan HIR atau RBg, serta didukung oleh buku-buku yang berkaitan dengan tema yang dibahas.
Dari penelitian tersebut, penulis memperoleh kesimpulan bahwa dalam perkara perceraian yang diselesaikan di Pengadilan Negeri aturan dalam pasal 118 ayat (1) HIR atau pasal 142 ayat (1) RBg tersebut murni diterapkan dalam pengajuan gugatan perceraian. Namun apabila perkara perceraian ini diselesaikan di Pengadilan Agama, maka aturan yang menjadi landasan pokoknya adalah untuk perkara cerai talak yang diatur pada pasal 66 ayat (2), aturan ini dapat dikatakan sejalan dengan penerapan asas forum domisili. Sedangkan untuk cerai gugat yang diatur pada pasal 73 ayat (1). Dalam hal ini asas forum domisili diterapkan, apabila terjadi pengecualian terhadap pasal 73 ayat (1) undang-undang tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan dalam perkara cerai terjadi kumulasi gugatan misalnya dengan gugat harta bersama sesuai dengan aturan pada pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989. Apabila harta tersebut berupa barang tetap dan berada di luar daerah hukum PA isteri, maka PA tersebut meminta bantuan kepada PA tempat barang itu berada untuk menyita barang tersebut. Namun, jika perkara tersebut masing-masing berdiri sendiri, maka untuk gugat harta bersama bukan lagi diajukan pada PA daerah hukum tempat tinggal steri, melainkan PA di daerah hukum tempat barang itu berada sesuai dengan pasal 118 ayat (3) HIR yakni asas forum rei sitae.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Para filosof, khususnya Aristoteles menjuluki manusia dengan zoon
politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya selalu mempunyai keinginan
untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya atau dengan kata lain disebut
dengan makhluk bermasyarakat. Sebagai makhluk bermasyarakat, manusia tidak akan
bisa hidup tanpa adanya hukum yang mengatur pergaulan hidup mereka. Di dalam
kehidupan bermasyarakat, tiap-tiap individu mempunyai kepentingan yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Ada kalanya kepentingan mereka saling
bertentangan, yang dapat menimbulkan sengketa. Sengketa itu terkadang dapat
diselesaikan secara damai, namun terkadang pula dapat menimbulkan ketegangan
yang terus-menerus, sehingga menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Untuk
menghindari hal tersebut, maka upaya yang harus dilakukan yakni dengan membuat
ketentuan atau kaidah hukum yang harus ditaati oleh setiap masyarakat, sehingga
kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi. Negara
Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah menyatakan
diri sebagai negara berdasarkan atas hukum.1 Ini dinyatakan dengan jelas dalam
pasal 1 ayat (3) BAB I UUD 1945 tentang Bentuk dan Kedaulatan, ditegaskan bahwa
“Negara Indonesia adalah negara hukum.2 Hal ini digunakan sebagai suatu bukti
bahwa negara Indonesia telah memenuhi syarat sebagai negara yang berdasarkan
atas hukum, yakni dengan terbentuknya badanbadan peradilan yang bebas dari
campur tangan kekuasaan lainnya.3 Untuk mewujudkan Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana yang dimaksud oleh UUD 1945 BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman
pasal 24 ayat (1) dan (2) dirumuskan bahwa: Ayat (1) : “Kekuasaan Kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.” Ayat (2) : “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan
Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer,
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
1Rusli Muhammad, Potret lembaga Pengadilan Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006), 1. 2Lihat pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar
1945. 3Rusli Muhammad, Op. Cit., 1. Sejak tahun 1948 hingga kini terdapat tiga
buah Undang-undang yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni: 1. UU
No.19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan kehakiman dan
Kejaksaan. 2. UU No.19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. 3. UU No. 14 Tahun 1970 yang diubah menjadi UU No. 35 Tahun 1999 dan
disempurnakan menjadi UU no. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.4 Sebagai
perwujudan Pasal 24 UUD 1945, maka keberadaan Peradilan Agama sebagai bagian
dari pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman dipertegas dalam pasal 10 ayat (2) UU No.4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dirumuskan bahwa “Badan Peradilan yang
berada dibawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara”.5 Dengan adanya UU No. 14 Tahun 1970 jo UU No. 35 Tahun 1999 jo UU No.4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara formal maka keberadaan Peradilan
Agama telah diakui dan Hukum Acara yang dipergunakan adalah HIR ( Het Herzeine
Inlandsch Reglement) dan RBg ( Rechts Reglement 4Cik Hasan Bisri, Peradilan
Agama Di Indonesia (Cet. 4; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 150.
5Lihat pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8.
Buitengewesten).6 Karena dilihat dari sejarah awalnya HIR dan RBg merupakan
Sumber Hukum Acara yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda yang berlaku untuk
Peradilan Negeri sampai Indonesia merdeka. Kemudian pemerintah Belanda
membentuk Lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura dengan Stb.1882 No.152 jo.
Stb 1937 No.116 dan 610, di Kalimantan Selatan dengan Stb.1937 No.638 dan 639.
Oleh karena itu, Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum adalah
HIR untuk Jawa Madura dan RBg untuk luar Jawa Madura, maka kedua aturan ini
diberlakukan juga pada Peradilan Agama sampai saat ini. Hal ini dipertegas
dalam pasal 1 Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Segala
peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut UUD ini”.7 Seiring dengan perkembangannya, ketentuan Hukum
Acara Perdata yang yang termuat dalam HIR dan RBg ini kemudian dimantapkan
dengan berlakunya beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain: a. UU No.
20 tahun 1974 khusus untuk acara banding daerah Jawa dan Madura. b. UU No. 14
Tahun 1970 yang diubah menjadi UU No. 35 Tahun 1999 dan disempurnakan menjadi
UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. c. UU No. 14 Tahun 1985 yang
diubah menjadi UU No. 5 Tahun 2005 tentang Mahkamah Agung. d. UU No. 2 Tahun
1986 jo UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum. 6 Sulaikin Lubis, Hukum
Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2006),
2. 7Lihat pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945. e. UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 dan sekarang diubah
menjadi UU No. 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Ketentuan tentang Hukum Acara yang berlaku di
lingkungan Peradilan Agama tersirat pada pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, dirumuskan bahwa “Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam undang-undang ini”.8 Misalnya saja kekhususan dalam undangundang
ini terdapat dalam pasal 65 sampai dengan pasal 88 UU No. 7 Tahun 1989 yaitu
pemeriksaan sengketa perkawinan yang berkenaan dengan cerai talak yang datang
dari pihak suami, cerai gugat yang datang dari pihak isteri maupun dari pihak
suami, gugatan perceraian karena alasan zina (li’an), dan beberapa
ketentuan-ketentuan lain yang diatur secara khusus.9 Jika dihubungkan dengan
masalah yang akan dibahas, sangat erat hubungannya, karena dari penjelasan
pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989, maka terdapat dua macam Hukum Acara yaitu (1)
Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR pada pasal 118 sampai dengan pasal
245 dan RBg pada pasal 142 sampai dengan pasal 314 , dan (2) Hukum Acara yang
secara khusus diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 jo UU No.
50 Tahun 2009 8Lihat pasal 54 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989
Nomor 49. 9Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama (Cet. 4; Jakarta: Kencana, 2006), 7. terdapat pada pasal 54 sampai dengan
pasal 91. Maka dalam hal ini Hukum Acara Perdata yang berlaku di Peradilan
Agama yang diatur secara khusus itu untuk melengkapi apa yang terdapat dalam
HIR dan RBg.10 Menilik dari penjelasan di atas timbulnya suatu sengketa jika
dihubungkan dengan keberadaan peradilan perdata maka dapat menimbulkan
permasalahan kompetensi mengadili, yang biasa disebut dengan yurisdiksi
(jurisdiction) atau kompetensi maupun kewenangan mengadili. Permasalahan
kompetensi mengadili ini timbul disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: 1. Faktor
instansi peradilan yang membedakan eksistensi antara peradilan banding dan
kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi (superior court) berhadapan dengan
peradilan tingkat pertama (inferior court). 2. Faktor perbedaan atau pembagian
yurisdiksi berdasarkan lingkungan peradilan yang melahirkan kompetensi absolut
bagi masing-masing lingkungan peradilan. 3. Faktor kewenangan khusus (specific
juridiction) yang diberikan undangundang kepada badan extra judicial, seperti
arbitrase atau mahkamah Pelayaran. 4. Faktor yang timbul dalam satu lingkungan
peradilan disebabkan faktor wilayah (locality) yang menimbulkan kompetensi
masing-masing pengadilan 10Sulaikin Lubis, Op. Cit., 81. dalam lingkungan
wilayah hukum atau daerah hukum tertentu yang disebut kompetensi relatif.11
Dari uraian diatas, peneliti akan meneliti faktor yang keempat mengenai
kompetensi relatif yang berkenaan dengan wilayah mengadili suatu perkara
perceraian, karena dalam permasalahan kompetensi relatif ini berhubungan dengan
pengadilan mana yang berhak untuk mengadili perkara perceraian, agar nantinya
tidak terjadi kesalahan dalam pengajuan perkaranya. Kompetensi relatif ini ada
hubungannya dengan permasalahan yang akan diteliti yakni dengan asas forum
domisili dalam perkara perceraian, karena asas ini merupakan asas dalam
kompetensi relatif. Untuk itu, dalam menentukan kompetensi relatif setiap
Pengadilan Agama berpedoman pada ketentuan undang-undang Hukum Acara Perdata
yang diatur pada pasal 54 undang-undang tentang Peradilan Agama, maka landasan kompetensi
relatif Pengadilan Agama merujuk pada ketentuan pasalpasal HIR dan RBg
sebagaimana yang diatur dalam pasal 118 HIR ayat (1) atau pasal 142 ayat (1)
RBg yang berbunyi: “Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan
Pengadilan Negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani
oleh Penggugat atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan
negeri didaerah hukum siapa Tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui
tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya ”,12 kemudian asas ini disebut dengan
forum domisili atau dalam bahasa Latinnya disebut dengan actor secuitur forum
rei. Tempat tinggal menurut pasal 17 BW 11M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata:
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Jakarta:
Sinar Grafika, 2008), 179-180. 12Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan (Cet.
ulang; Bogor: Politeia, 1995), 76-77. (Burgerlijk Wetboek) adalah “Setiap orang
dianggap mempunyai tempat tinggalnya dimana ia menempatkan pusat kediamannya”.
13 Dan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 pasal 66 dan pasal 73
yang menangani sengketa perkawinan, yang masing-masing pasal ini berbunyi:
Pasal 66 ayat (1): Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan
istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna
menyaksikan ikrar talak. ayat (2): Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon. Pasal 73 ayat (1): Gugatan
perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.14 Jadi penentuan
kompetensi relatif bertitik tolak dari aturan yang menetapkan ke Pengadilan
Agama mana gugatan diajukan, agar gugatan tersebut memenuhi syarat formal.
Namun dalam perkara perceraian tidak menutup kemungkinan terjadinya
penggabungan antara perceraian dengan gugat harta bersama, dari sinilah
kemudian terjadi lagi kebingungan mengenai kompetensi relatif pengadilan mana
yang berhak memeriksa perkara tersebut, jika gugat harta bersama ini mengenai
benda tetap (tidak bergerak). Apabila gugatan perceraian tersebut digabungkan
dengan gugat harta bersama berupa barang tetap, maka bisa saja terjadi
13Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Cet. 35;
Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), 6. 14Lihat pasal 66 dan 73 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. pengecualian terhadap asas forum
domisili, apabila gugatan harta bersama itu mengenai benda tetap. Dimana dalam
istilah hukum perdata dikenal dengan forum rei sitae yakni gugatan diajukan
kepada pengadilan ditempat benda tetap itu terletak, hal ini sesuai dengan
pasal 118 ayat (3) HIR atau pasal 142 ayat (3) RBg.
B.
Batasan
Masalah
Untuk lebih menitik beratkan pada masalah yang akan dibahas dan
agar tidak terlalu meluas, maka pembahasan yang akan dikemukakan dibatasi dan
difokuskan pada asas forum domisili dalam perkara perceraian (relevansi antara
pasal 118 ayat (1) HIR atau pasal 142 ayat (1) RBg dengan pasal 66 dan 73 UU
No. 7 Tahun 1989.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana relevansi asas
forum domisili dalam perkara perceraian terhadap pasal 118 ayat (1) HIR atau
pasal 142 ayat (1) RBg dengan pasal 66 dan pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989 ? 2.
Bagaimana keberlakuan asas forum domisili dalam perkara perceraian jika
dikumulasi dengan gugat harta bersama ?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui
relevansi asas forum domisili dalam perkara perceraian terhadap pasal 118 ayat
(1) HIR atau pasal 142 ayat (1) RBg dengan pasal 66 dan pasal 73 UU No. 7 Tahun
1989. 2. Untuk mengetahui keberlakuan asas forum domisili dalam perkara
perceraian jika dikumulasi dengan gugat harta bersama.
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pijakan guna
untuk penelitian selanjutnya yang ada kaitannya dengan permasalahan ini, baik
itu bagi pembaca maupun masyarakat. Dan juga untuk memperkaya khazanah keilmuan
khususnya di bidang Hukum Acara Perdata baik di lingkungan Peradilan Umum
maupun Peradilan Agama yang berkaitan dengan asas forum domisili dalam perkara
perceraian. 2. Manfaat Praktis Menyumbang pemikiran bagi pembuat kebijakan
dalam rangka untuk meningkatkan mutu dan prestasi di bidang hukum, khususnya
bagi praktisi hukum dan aparat pengadilan yang berkaitan dengan asas forum
domisili dalam perkara perceraian. Dan juga guna menambah wawasan baru bagi
Fakultas Syari‟ah Program Studi Al-Ahwal Al- Syakhshiyyah khususnya pada mata
kuliah Peradilan Agama di Indonesia dan Hukum Acara Perdata dan Peradilan
Agama.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Asas forum domisili dalam perkara perceraian: Relevansi antara pasal 118 ayat (1) HIR atau pasal 142 ayat (1) RBg dengan pasal 66 dan pasal 73 UU no. 7 tahun 1989" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment