Abstract
INDONESIA:
Hakim di Pengadilan Agama harus memutuskan perkara sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ia harus merujuk pada Undang-undang yang ada, akan tetapi hakim diperbolehkan melakukan ijtihad demi keputusan yang lebih adil dan lebih maslahat. Dalam menjawab permasalahan yang ada dan menghadapi perubahan zaman yang menuntut pergeseran tata nilai di masyarakat, maka perlu dibentuk hukum yang dapat memenuhi nilai-nilai keadilan bagi para pencari keadilan, karena sering kali produk hukum yang ada dinilai belum memenuhi nilai-nilai keadilan yang dibutuhkan masyarkat. Oleh karena itu menjadi sebuah keharusan bagi hakim untuk melakukan ijtihad dalam menyelesaikan setiap perkara guna memberi kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Untuk mencapai sasaran tersebut hakim bukan digambarkan sebagai sosok yang hanya menerima perintah dari atasan, dalam artian hakim hanya mengerti dan mampu menerapkan hukum jadi atau siap pakai, namun hakim digambarkan sebagai orang yang mampu untuk melengkapi khazanah fiqhiyah pada umumnya dan hukum materiil Peradilan Agama pada kususnya. Pada gambaran ini hakim adalah orang yang harus aktif dan mampu mencari hukum yang belum tersedia di depannya, antara lain dengan banyak membaca bahkan mampu membentuk hukum baru yang belum terjangkau oleh referensi yang ada.
Ijtihad hakim dalam memutuskan perkara akhir-akhir ini jarang ditemukan. Mayoritas dari hakim yang ada memutuskan perkara tanpa melakukan ijtihad karena dinilai bahwa undang-undang yang ada telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara yang ditangani. Akan tetapi jika dilihat lebih teliti sesungguhnya perkara yang masuk ke Pengadilan Agama pada akhir-akhir ini sangat variatif dan terkadang memiliki kronologi permasalahan yang rumit, terutama pada perkara kewarisan. Sehingga menuntut seorang hakim untuk melakukan terobosan hukum atau ijtihad. Agar putusan yang dihasilkan benar- benar mengandung nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan bagi pihak-pihak yang berperkara.
Dari berbagai bentuk perkara yang masuk ke Pengadilan Agama, perkara kewarisan merupakan perkara yang paling rumit, karena ketika perkara kewarisan tersebut masuk ke Pengadilan Agama maka telah terjadi suatu sengketa didalamnya. Ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan sistem pembagian yang telah dilakukan. Padahal syari’at Islam telah secara jelas dan konkrit menempatkan pihak-pihak yang berhak mendapatkan warisan dan bagian-bagiannya secara terperinci.
Prosedur ijtihad dalam perkara waris yang dilakukan oleh hakim pengadilan agama Blitar memiliki tahapan-tahapan, ketika menangani perkara waris maka hakim merujuk pada undang-undang, ketika undang-undang tidak mengatur, kurang jelas, atau mengatur tapi dalam pandangan hakim tidak memberikan kemaslahatan dan keadilan bagi pihak yang berperkara maka hakim akan melakukan ijtihad. Ijtihad tersebut mendasarkan pada maslahah mursalah guna mendapatkan putusan yang paling adil bagi pihak-pihak yang berperkara.
ENGLISH:
Judges should decide cases in accordance with applicable procedures. He should refer to existing laws, but judges are allowed to make ijtihad to decisions more equitable and more serious benefits. In response to existing problems and deal with the changing times that demand a shift in values in society, it is necessary to establish laws that can meet the values of justice for seeking justice, because often there is a legal product that assessed value does not meet the required community justice It has become a necessity for judges to ijtihad in completing each case to ensure legal certainty for the seeker of justice. To achieve this goal, the judges are not depicted as a man who only accept orders from superiors, in the sense that the judges only being able to understand and apply the law of finished or finished, but the judge described as unable to complete material treasure fiqhiyah law in General and religious kususnya. In this picture the judge is the one who should be active and to find a law that has not been available in front of him, among others, with a lot of reading even able to establish new laws that are not covered by existing references.
Ijtihad judges in deciding cases of late rarely found. The majority of the judges who decided the case without conducting ijtihad because it is considered that the existing legislation is adequate to resolve the issue at hand. However, closer examination of real cases that went to the Islamic Court in the recent very varied and sometimes has a chronology of a complex problem, especially in cases of inheritance. So that requires judges to make a breakthrough or ijtihad. In order for the resulting decisions actually contain the values of justice and benefit for the parties litigant.
Of the various forms of matter that enter the Islamic Court, the legacy of this case is the most complicated case, because when the case goes to court then there is a dispute Religious heritage in it. There are parties who feel aggrieved by the distribution system that has been done. Although Islamic law has been clear and concrete laid the parties are entitled to inheritance and its parts in detail.
Ijtihad procedure in cases of inheritance performed by judges of religious courts of Blitar has a stage, when dealing with inheritance cases, the judge refers to the law, when the law does not regulate, is less clear or set, but given the judges do not do not give benefits and fairness for the case, then the judge ijtihad . Ijtihad is based maslahah mursalah order to obtain the most fair decision for the plaintiff party. Maslahah used as basis by the judge in the exercise of ijtihad and the confidence gained through consideration of judges.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Syari‟at Islam telah meletakkan sistem
kewarisan dalam suatu aturan yang paling baik, bijak dan adil, akan tetapi
sistem kewarisan yang telah diatur dalam al-Quran dan hadits tersebut masih
menimbulkan ketidakpuasan dalam tataran praktisnya, padahal al-Quran telah
menjelaskan hukum-hukum waris dan pembagian-pembagiannya secara sempurna tanpa
meninggalkan bagian seseorang atau membatasi benda yang akan diwariskan.1
Sejalan dengan itu para ulama klasik seperti ulama madzhab telah menetapkan
bagian masing-masing ahli waris secara terperinci. Setiap orang yang memeluk
Islam wajib baginya melaksanakan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan yang
telah secara sharih dijelaskan dalam al-Qur‟an, begitu juga dengan aplikasi sistem kewarisan Islam yang telah
tercover dalam al-Qur‟an dan hadits secara jelas. Akan tetapi pada kenyataanya
masih banyak masyarakat Islam yang mengabaikannya sehingga terjadi
persengketaan dalam pembagian harta warisan. Penyelesaian sengketa tersebut
dapat diserahkan pada lembaga yang berwenang. Indonesia sejak zaman sebelum
penjajahan telah membuat tata hukum dalam bidangnya masing-masing, dan telah
menyediakan wadah untuk menyelesaikan suatu perkara jika terjadi suatu
sengketa. Salah satunya adalah Pengadilan Agama yang merupakan suatu lembaga
untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara orang Islam. Semua perkara perdata
yang dialami oleh orang Islam dapat diajukan ke lembaga ini, termasuk juga
perkara waris. Yahya harahap mengatakan “Dengan mengaitkan asas personalitas
keislaman dengan ketentuan pasal 49 ayat 3 UU N0 7 tahun 1989 tentang peradilan
agama huruf b, jo penjelasan umum angka 2 alinea kedua yang menentukan salah
satu bidang perdata warisan meliputi seluruh golongan rakyat beragama Islam.
Dengan kata lain sengketa kewarisan yang terjadi bagi setiap orang yang
beragama Islam, kewenangan untuk mengadilinya tunduk dan takluk kedalam
lingkungan Pengadilan Agama”. 2 Hakim di Pengadilan Agama harus memutuskan
perkara sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ia harus merujuk pada
Undang-undang yang ada, akan tetapi hakim diperbolehkan melakukan ijtihad demi
keputusan yang lebih adil dan lebih maslahat. Dalam menjawab permasalahan yang
ada dan menghadapi perubahan zaman yang menuntut pergeseran tata nilai di
masyarakat, maka perlu dibentuk hukum yang dapat memenuhi nilai-nilai keadilan
bagi para pencari keadilan, karena sering kali produk hukum yang ada dinilai
belum memenuhi nilai-nilai keadilan yang dibutuhkan masyarkat. Oleh karena itu
menjadi sebuah keharusan bagi hakim 2 Suhrawardi lubis. Komis simanjuntak,
Hukum Waris Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007) hal 15 3 untuk melakukan
ijtihad dalam menyelesaikan setiap perkara guna memberi kepastian hukum bagi
para pencari keadilan.3 Di sini hakim dituntut untuk mampu berijtihad agar
norma hukum yang ada tidak menjadi beku dan hanya berupa teks mati tanpa arti
dan nilai. Sejalan dengan uraian di atas karakteristik hukum Islam bersifat
wasathiah dan harokah yang artinya adalah bangunan hukum Islam yang telah
sempurna perlu kiranya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan manusia supaya
terjadi suatu keharmonisan. Karena masyarakat selalu berubah dan bergerak dari
satu titik ke titik lain yang memungkinkan munculnya problem baru, maka sifat
hukum Islam yang bergerak perlu diperhatikan agar pelaku hukum atau hakim tidak
enggan untuk melakukan ijtihad, sehingga salah satu peran hakim sebagai law
reformer benar-benar dapat terlaksana.4 Selain itu pula adanya kehendak dan
dorongan berbagai pihak agar keberadaan hakim di Pengadilan Agama tidak hanya
sekedar terikat dengan tugas-tugas rutin saja ketika ada perkara, melainkan
hakim juga ikut berperan dalam mengembangkan hukum Islam di Indonesia. Untuk
mencapai sasaran tersebut hakim bukan digambarkan sebagai sosok yang hanya
menerima perintah dari atasan, dalam artian hakim hanya mengerti dan mampu
menerapkan hukum jadi atau siap pakai namun disini hakim digambarkan sebagai
orang yang mampu untuk melengkapi khazanah fiqhiyah pada umumnya dan hukum
materiil Peradilan Agama pada kususnya. Pada gambaran ini hakim adalah orang
yang harus aktif dan mampu mencari hukum yang belum tersedia di depannya,
antara lain dengan banyak membaca bahkan mampu membentuk hukum baru yang belum
terjangkau oleh referensi yang ada.5 3 Erfaniah Zuhriah, Ijtihad Hakim Agama
Dalam Konteks Undang-undang. El-Qisth Jurnal Ilmiah Fakultas Syari‟ah , Vol 3
Nomor 1, September, 2006, hal 38 4 Ibid 5 Ibid 4 Ijtihad hakim dalam memutuskan
perkara akhir-akhir ini jarang ditemukan.6 Mayoritas dari hakim yang ada
memutuskan perkara tanpa melakukan ijtihad karena dinilai bahwa undangundang
yang ada telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara yang ditangani. Akan
tetapi jika dilihat lebih teliti sesungguhnya perkara yang masuk ke Pengadilan
Agama pada akhir-akhir ini sangat variatif dan terkadang memiliki kronologi
permasalahan yang rumit, terutama pada perkara kewarisan. Sehingga menuntut
seorang hakim untuk melakukan terobosan hukum atau ijtihad. Agar putusan yang
dihasilkan benar-benar mengandung nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan bagi
pihak-pihak yang berperkara. Dari berbagai bentuk perkara yang masuk ke
Pengadilan Agama, perkara kewarisan merupakan perkara yang paling rumit, karena
ketika perkara kewarisan tersebut masuk ke Pengadilan Agama maka telah terjadi
suatu sengketa didalamnya. Ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan sistem
pembagian yang telah dilakukan. Padahal syari‟at Islam telah secara jelas dan
konkrit menempatkan pihak-pihak yang berhak mendapatkan warisan dan
bagianbagiannya secara terperinci. Oleh karena itu ijtihad hakim Pengadilan
Agama dalam menangani perkara kewarisan ini menjadi sangat menarik untuk
diteliti. Dan satu sisi lagi yang tidak kalah menariknya adalah bahwa ijtihad
hakim Pengadilan Agama tidak dibatasi oleh prosedurprosedur yang mengikat.
Hakim boleh melakukan model ijtihad dengan menggunakan metodemetode yang ada
seperti halnya qiyas, maslahah mursalah, istihsan dan bahkan dapat merujuk
kitab-kitab klasik hasil dari ijtihad para imam madzhab.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prosedur ijtihad hakim
PA Blitar dalam menangani perkara waris? 6 Hasil dari observasi di PA Blitar
selama masa PKL, 13 Juli-13 Agustus 2009 7 Ibid 5 2. Mengapa hakim PA Blitar
memilih mengggunakan ijtihad dalam melakukan pembagian harta warisan?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah diatas maka
tujuan penelitian ini adalah 1. Mengetahui bagaimana prosedur ijtihad yang
dilakukan oleh hakim pengadilan agama Blitar dalam menangani perkara kewarisan
seiring makin berkembangnya permasalahan dalam kasus kewarisan. 2. Mengetahui
mengapa seorang hakim memilih untuk melakukan ijtihad padahal undang-undang
yang ada telah dianggap mencukupi untuk menyelesaikan semua perkara yang masuk
pengadilan agama.
D. Definisi Operasional
Disini akan kami jelaskan beberapa
kata kunci dari judul yang telah kami angkat ini. 1. Ijtihad Ijtihad berasal
dari kata dasar jahada yang berarti mencurahkan segala kemampuan. Oleh sebab
itu ijtihad dalam arti bahasa adalah usaha yang optimal dan menanggung beban
berat.8 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ijtihad didefinisikan sebagai
usaha penyelidikan tentang suatu hal, pengerahan segala tenaga dan pikiran
untuk menyelidiki dan menggali hukum yang terkandug dari al-Qur‟an dengan
syarat-syarat tertentu.9 Sedangkan menurut Imam Al-Syaukani adalah برل انىسع في َيم حكى شسعي عًهي بطسيق اال ستُبب ط 8 Fathurrohman Jamil, Metode Ijtihad Majlis
Tarjih Muhammadiyah. (Jakarta: Logos, 2005) 9 Departement Pendidikan dan
Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Balai Pustaka, 1989) hal
321 6 ”Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syari‟at yang bersifat
praktis melalui istinbath”. 2. Hakim Hakim adalah Orang yang diangkat oleh
kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat menggugat, oleh
karena penguasa sendiri tidak bisa meyelesaikan tugas peradilan.11 3. Ijtihad
Hakim Ijtihad hakim merupakan suatu bentuk terobosan hukum yang dihasilkan oleh
hakim dalam menangani suatu perkara untuk mendapatkan putusan yang lebih
bijaksana, maslahat dan adil.12 4. Peradilan agama Peradilan Agama adalah
pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama islam mengenai
perkara-perkara perdata tertentu menurut ajaran agama Islam.13 5. Pengadilan
agama Pengadilan Agama adalah Satuan organisasi yang menyelengarakan penegakan
hukum dan keadilan tersebut.14 6. Perkara Kewarisan Perkara Kewarisan adalah
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan bagian Jaih Mubarok Pengadilan Agama Di Indonesia, (Bandung : Pustaka
Bani Quraisy).2 7 melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta
penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.1
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian yang kami
lakukan ini memiliki dua aspek, yakni : 1. Aspek Teoritis. Pada aspek teoritis
ini manfaat dari penelitian yang kami lakukan adalah dapat memperkaya khazanah
keilmuan dalam bidang hukum Islam, khususnya dalam ranah ijtihad hakim pengadilan
agama dalam menangani perkara waris. Penelitian ini juga dapat dijadikan
sebagai bahan perbandingan antara ijtihad yang telah dilakukan para ulama
klasik dengan ijtihad yang dilakukan oleh hakim pada era moderen ini seiring
dengan bertambahnya permasalahan yang muncul. Selain itu pula penelitian yang
kami lakukan ini juga dapat dijadikan sebagai referensi bagi pihak-pihak
terkait yang akan melakukan penilitian dalam ranah yang sama. Dan yang terahir
manfaat teoritis dari hasil penelitian ini adalah dapat menjawab kegelisahan
peneliti yang telah dipaparkan dalam uraian latar belakang. 2. Aspek praktis.
Pada aspek ini didapatkan beberapa manfaat dari hasil penelitian yang kami
lakukan, diantaranya adalah : 15 Penjelasan pasal 49 undang-unang Nomor 3 tahun
2006 huruf b 8 a. Dapat menambah wawasan para akademisi khususnya mahasiswa
fakultas syari‟ah tentang bagaimana model dan inovasi ijtihad yang dilakukan
oleh hakim pengadilan agama terkait dengan perkara waris b. Dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan oleh hakim-hakim lain dalam menangani perkara yang
sama. c. Dapat dijadikan sebagai acuan oleh hakim lain dalam memutuskan perkara
yang sama. F. Penelitian Terdahulu Penelitian dalam bidang ijtihad hakim
Pengadilan Agama ini telah banyak dilakukan oleh banyak peneliti. Oleh karen
itu kami akan mengidentifikasikan penelitian terdahulu yang menyentuh pada
ranah-ranah yang hampir sama. Diantaranya adalah 1. Penelitian yang dilakukan
oleh Adi Candra dengan judul “Ijtihad Hakim dalam menetapkan keputusan Hukum”.
Dalam penelitiannya tersebut Adi Candra menspesifikasikan penelitianya pada
pandangan hakim pengadilan agama yang merujuk pada sumber hukum Islam secara
material dan apakah hakim tersebut akan melakukan ijtihad atau terobosan hukum
dalam memutuskan kasus yang tidak ada sumber hukum materialnya dalam Islam.
Disini ia memaparkan bahwasannya semua perkara yang masuk ke PA adalah perkara
yang bersifat Islam dan hakim memiliki peran penting pada semua perkara yang
diperiksa. Oleh karena itu hakim harus pandai-pandai melihat dan
mempertimbangkan dalam memeriksa perkara tersebut apalagi jika perkara tersebut
tidak dapat diputuskan dengan undang-undang yang 9 berlaku, maka seorang hakim
disini harus melakukan ijtihad.16 Substansi dari penelitian yang dilakukan oleh
Adi Candra adalah seorang hakim berhak untuk melakukan ijtihad atau tidak
ketika hukum materiilnya dalam Islam tidak ditemukan. Sedangkan pada penelitian
yang kami lakukan bahwa seorang hakim harus melakukan ijtihad ketika
undang-undang yang ada dianggap kurang memenuhi rasa keadilan. Jadi
signifikansi perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh Adi Candra dengan
penelitian yang kami lakukan adalah pada substansi materinya. 2. Penelitian
yang dilakukan oleh Ahmad Dardiri dengan judul “Pertimbangan Hakim Dalam
Merujuk Hukum Islam (Study Kasus Putusan Hakim di PA Malang)”. Pada penelitian
ini Dardiri menyatkan bahwasanya faktor-faktor yang mengharuskan hakim untuk
melakukan ijtihad, salah satunya adalah bahwa hukum positif masih menyisakan
problematika ketika dijadikan dasar atau acuan dalam memutuskan perkara, karena
mayoritas masyarakat yang mengajukan perkara lebih percaya dan meyakini bahwa
hukum Islam lebih mengandung nilai keadilan yang sempurna dibandingkan dengan
hukum positif. Selain itu pula ia juga memaparkan bagaimana metode-metode yang
digunakan hakim PA kota Malang dalam merujuk hukum Islam.17 Penelitian yang
dilakukan oleh Ahmad Dardiri ini hampir sama dengan penelitian yang kami
lakukan namun fakus penelitiannya pada metode seorang hakim dalam merujuk hukum
Islam sedangkan penelitian kami adalah bagaimana prosedur ijtihad yang
dilakukan oleh seorang hakim. 16 Adi Candra. Ijtihad Hakim dalam Menetapkan
Keputusan Hukum. (UIN Maliki, Skripsi, 2004) 17 Ahmad Dardiri. Perrtimbangan
Hakim dalam Merujuk Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Hakim di PA Malang). (UIN
Maliki, Skripsi, 2003) 10 3. Penelitian yang dilakukan oleh Nur Shofa Ulfiati
dengan judul “Ijtihad Hakim Dalam Memutuskan Perkara Perceraian”. Dalam
penelitianya ini Nur Shafa merumuskan bahwasanya hakim PA Bangil dalam
memutuskan perkara perceraian ini telah melakukan ijtihad, yang mana fokus
penelitianya hampir sama dengan yang kami angkat. Dalam penelitianya ini Shafa
memaparkan model ijtihad yang dilakukan oleh majlis hakim yang memutuskan
perkara perceraian tersebut dan memaparkan bagaimana metode yang digunakan
majlis hakim tersebut dalam menetapkan hukum terhadap perkara yang ditangani.
Ijtihad yang dilakukan hakim dalam penelitian ini adalah ijtihad kolektif atau
musyawarah majlis.18 Jadi dapat disimpulkan bahwasanya signifikansi perbedaan
yang sangat menojol dari penelitian yang kami lakukan dengan penelitian
sebelumnya adalah pada aspek prosedural ijtihadnya dan pada aspek konsep
keadilan dalam pandangan hakim yang menangani perkara sehingga ia harus
melakukan ijtihad ketika perundang-undangan yang ada belum dianggap mencukupi
nilai-nilai keadilan yang diharapkan oleh para hakim dan pihak-pihak yang
berperkara. 4. Sistematika Penulisan Dan Pembahasan Dalam mempermudah memahami
isi dari sebuah penelitian maka perlu disajikan sistematika penulisan dan
pembahasan. Disini kami akan memaparkan peulisan dan pembahasan secara
sistematis dari penelitian yang telah kami lakukan. 18 Nur Shofa Ulfiati.
Ijtihad Hakim dalam Memutuskan Perkara Perceraian. (Malang. Skripsi, 2009) 11
Bab I merupakan Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
identifikasi masalah, rumusan masalah, definisi oprasional, tujuan penelitian,
manfaat dari hasil penelitian, penelitian terdahulu dan sistematika pembahasan.
Bab II terdiri dari kajian pustaka. Didalamnya mencakup konsep kewarisan Islam
secara general dengan beberapa sub babnya yang terdiri dari dasar hukum
keawarisan Islam, sebab-sebab mewaris, rukun mewaris, syarat mewaris, penggugur
hak waris, bagian-bagian ahli waris, dan asas-asas hukum kewarisam Islam.
Ijtihad dalam hukum Islam yang didalamnya terdiri dari definisi ijtihad, syarat
dan unsur-unsur ijtihad, macam-macam ijtihad, fungsi ijtihad dan metode
ijtihad. Kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani perkara kewarisan. Hukum
kewarisan dalam kompilasi hukum Islam. Dan yang terakhir adalah Ijtihad hakim
pengadilan agama. Bab III terdiri dari metode penelitian yang di dalamnya
berisi lokasi penelitian, jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data,
teknik pengumpulan data, teknik pengelolaan data dan teknik pengecekan
keabsahan data. Bab IV terdiri dari paparan data yang berisi deskripsi
pengadilan agama Blitar, yuridiksi pengadilan agama Blitar, sejarah pengadilan
agama Blitar, kasus-kasus kewarisan di pengadilan agama Blitar. Analisis data
memaparkan bagaimana prosedur ijtihad yang dilakukan oleh hakim pengadilan
agama Blitar dalam menangani perkara kewarisan dan alasan mengapa hakim
pengadilan agama Blitar memilih untuk melakukan ijtihad pada perkara tersebut
disertai dengan analisis dari data-data yang ada. 12 Bab V berisi kesimpulan
dari penelitian ini dan saran-saran pada para pihak terkait dengan penelitian
yang kami lakukan.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Ijtihad hakim Pengadilan Agama Blitar dalam perkara warisan: Studi di Pengadilan Agama Blitar" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment