Abstract
INDONESIA:
Untuk perkara perceraian akibat dari Syiqᾰq (perselisihan yang tajam) maka didatangkan seorang hakam (juru damai) dari pihak keluarga, sesuai yang tertera dalam pasal 76 Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dengan adanya PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi, pasal tentang Syiqᾰq ini dikatakan tidak lagi efisien. Pihak Pengadilan lebih terfokus menggunakan sistem mediasi dalam menengahi pihak yang berperkara. Karena alasan semua perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama salah satunya haruslah dapat diselesaikan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan baik penyelesaian itu merupakan perdamaian atau perceraian. Jika sudah seperti ini keefektifan pengangkatan hakam dalam pasal 76 mengenai perkara Syiqᾰq ini masih diberlalukan atau hanya menggunakan media mediasi saja dalam penengah terkait perkara Syiqᾰq.
Oleh sebab itu, peneliti tertarik mengetahui efektifitas peran hakam dalam perkara Syiqᾰq Pasal 76 dalam Undang-Undang No.50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan hakim tentang efektifitas Pengangkatan Hakam Dalam Perkara Syiqᾰq Berdasarkan Pasal 76 Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 di Pengadilan Agama Kota Malang?. 2. Apa faktor yang menyebabkan pergeseran peran hakam dalam perkara Syiqᾰq?
Agar penelitian ini berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh peneliti, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian field reaseach. Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara dan dokumentasi. Adapun mengenai metode analisis data, peneliti menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada, bahwa peran hakam dalam perkara Syiqᾰq ini masih efektif dan masih digunakan pada saat hakim mendatangkan saksi keluarga atau orang terdekat dari pihak Penggugat dan Tergugat, pada saat inilah mereka diberi tugas untuk menjadi juru damai dan melaporkan hasil pendamaian tersebut. Karena tidak banyak yang melaporkan cerai akibat Syiqᾰq maka hakam disini terlihat seperti tidak berlaku setelah adanya peraturan mediasi. Efisiensi waktu dan biaya dibutuhkan untuk mendapatkan putusan yang adil tanpa biaya yang mahal.
ENGLISH:
For the divorce case due to syiqậq (couple persistent dissension) then an arbitrator brought from the family, as stated in the Religious Court’s Constitution article 76 Number 50 Year 2009 with the constitution of Minister of Religion (PERMA) Number 1 Year 2008 on Intermediary Procedure, the article about syiqậq has declared that no longer efficient. The judiciary is more focus applying mediation system in mediating the litigants. For reason of all submitted cases to the Religious Court one of them must be solved with a simple way, fast and low cost whether the completion is ended up in peace or divorce. If it has proceeded this way, than the effectiveness of an arbitrator assignment in article 76 of this case is still enforced or just utilizing an intermediary procedure to mediate the case of syiqậq.
Therefore, the researcher is interested to know the effectiveness of arbitrator's role in the case of syiqậq in the Religious Court’s Constitution article 76 Number 50 Year 2009 with the problem of studies as follows: 1. What is the perspective of judge about the effectiveness of arbitrator’s assignment in the case of syiqậq based on article 76 of the Constitution Number 50 Year 2009 at the Religious Court of Malang? 2. What are the factors that cause a shift in the role of the arbitrator in syiqậq case?
In order to run this study according to the goals that expected by the researcher, in this study the researcher used a qualitative approach and the field research studies. While the used data collection methods were interviews and documentation methods. As to the method of data analysis, researcher used a qualitative descriptive analysis.
Based on the results of the study, the writer obtained answers to the existing problems, that the role of arbitrator in syiqậq is still effective and still used when the judge bring together the family or the closest witness of the litigant and defendant, and soon they were given the task to be a mediator and reporting the results of the reconcilement. Because there are few divorce reports in the case of Syiqậq, then the role of an arbitrator here seems inapplicable after the mediation rules because of the defrayal efficiency and the adjudication time.
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Masalah Kebahagiaan dalam keluarga merupakan
keinginan yang diharapkan semua orang yang membina rumah tangga. Suami dan
isteri berjalan beriringan melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing
dalam membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera. Saling mendukung dan juga
memotivasi dalam hal pekerjaan dan membangun keluarga diantara keduanya. Segala
tingkah laku yang ditunjukkan selalu berorientasi kearah menuju keluarga yang
harmonis. Sebagai aplikasi dari Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yaitu 2 membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun pada kenyataan yang terjadi, dalam sebuah rumah
tangga selalu terdapat kerikil-kerikil permasalahan yang tidak menyenangkan dan
mengakibatkan sedikit pertengkaran diantara suami dan isteri. Ada kalanya
kehidupan pernikahan begitu ruwet dan memusingkan. Hal tersebut terjadi karena
peran dan fungsi mereka khususnya bagi suami ataupun isteri yang tidak
melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab mereka masing-masing. Apalagi jika
terdapat perbedaan pendapat yang sangat signifikan, misal saja persoalan pola
asuh anak yang berbeda. Saat keduanya saling mempertahankan ego masing-masing,
pasti akan terjadi percekcokan dan bahkan bisa terjadi saling hina dan
kekerasan batin dan fisik antara keduanya. Dari percekcokan inilah banyak dari
mereka yang berumah tangga lebih mengambil jalan pintas yakni sebuah perceraian
sebagai solusi yang tepat. Sekalipun sebenarnya jalan keluar dalam menangani
masalah mereka tidak harus dengan sebuah kata perceraian, akan tetapi banyak
dari mereka yang merasa putus asa dan tidak yakin mampu mempertahankan hubungan
keduanya yang akhirnya perceraian adalah harga mati bagi mereka. Putusnya
sebuah perkawinan (perceraian) sendiri juga bisa disebabkan karena kematian
(suami/isteri), juga bisa karena perceraian yang telah diputuskan oleh
Pengadilan. Jika putusnya perkawinan ini akibat dari putusan dari perceraian
maka ada dua kemungkinan, karena cerai gugat atau karena talak. Perceraian 3
dianggap sah apabila dilakukan di sidang Pengadilan Agama (bagi yang beragama
Islam) setelah berusaha dilakukannya berbagai perdamaian dan juga pembuktian.
Salah satu prinsip yang dianut oleh Hukum Perkawinan Nasional adalah
mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini adalah sejalan dengan ajaran agama,
karena kalau terjadi perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan yang
dicitacitakan, yaitu membentuk keluarga bahagia dan sejahtera. Berlainan halnya
dengan putusnya perkawinan karena kematian, sebab kematian merupakan takdir
dari Allah SWT yang tidak dapat dielakkan oleh manusia. Perceraian haruslah
cukup memiliki alasan bahwa suami-isteri sudah tidak bisa untuk melanjutkan
hidup bersama dalam atap rumah tangga. alasan perceraian yang tercantum dalam penjelasan
Pasal 39 (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang kemudian
dicantumkan juga pada pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975
perceraian bisa juga dilakukan karena alasan syiqầq, yaitu perselisihan yang
tajam dan terus menerus antara suami isteri. Dalam penyelesaian perkara syiqầq
ini, sesuai dengan ketentuan pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, pengadilan dapat mengangkat hakam, yang terdiri dari seorang
atau lebih yang bisa berasal dari keluarga suami dan keluarga isteri atau orang
lain yang tidak punya hubungan keluarga dengan suami isteri tersebut. Dalam
memeriksa perkara Hakim perlu menerapkan asas wajib mendamaikan. Kewajiban
hakim untuk mendamaikan pihak yang berperkara sangat sejalan dengan tuntutan
dan ajaran Agama Islam. Islam selalu menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan
dan pertengkaran melalui pendekatan islah (usaha 4 damai). Oleh karena itu para
hakim Pengadilan Agama harus menyadari dan mengemban fungsi mendamaikan pihak
yang berperkara. Sebab bagaimana adilnya putusan akan lebih adil hasil
perdamaian. Hasil perdamaian tersebut harus merupakan sebuah perdamaian yang
tulus, namun sangat disayangkan tujuan luhur mendamaikan pihak yang berperkara
sering dikotori dan dinodai oleh sebagian hakim. Praktek fungsi mendamaikan
menyimpang dari keluhuran dan menjelma dalam bentuk pemaksaan, sama sekali
tidak membuahkan kedamaian, kerukunan dan persaudaraan, tetapi mendatangkan
malapetaka bagi pihak yang berperkara. Tanpa mengurangi arti keluhuran
perdamaian dalam segala bidang persengketaan makna perdamaian dalam sengketa
perceraian mempunyai nilai keluhuran tersendiri. Agar fungsi mendamaikan dapat
dilakukan hakim lebih efektif, sedapat mungkin berusaha menemukan faktor yang
melatar belakangi persengketaan, terutama sengketa perceraian atas alasan
perselisihan dan perengkaran yang terus menerus (Syiqầq). Karena berdasarkan
pengalaman dan pengamatan perselisihan dan pertengkaran yang muncul di
permukaan seringkali hanya dilatarbelakangi oleh masalah sepele. Akan tetapi
kerena suami istri tidak segera menyelesaikan atau karena suami istri tidak
menemukan cara pemecahan yang rasional, masalah sepele tersebut berubah bentuk
menjadi perselisihan yang terus menerus (Syiqầq). Dalam perceraian yang disebabkan
karena pertengkaran dan perselisihan terus menerus yang disebut dengan syiqầq.
Namun ada juga yang berpendapat lain mengenai syiqầq, bahwa dikatakan syiqầq
kalau selisihnya itu mengandung unsur membahayakan bagi suami isteri dan
terjadilah pecahnya perkawinan. Sedangkan bila 5 tidak mengandung unsur-unsur
yang membahayakan dan belum sampai pada tingkat darurat, maka hal tersebut
belum dikatakan syiqầq. Dalam praktek perkara syiqầq di Pengadilan Agama, hakim
menunjuk keluarga dari para pihak yang bisa bertindak sebagai hakam. Karena
hakam dalam melaksankan tugas-tugasnya dapat bergerak bebas dengan leluasa di
luar sidang. Maksudnya adalah, perdamaian yang dilakukan oleh hakam tidak harus
dilakukan sesuai jadwal Pengadilan Agama dan juga bisa dilakukan dimanapun
hakam menghendaki selama bisa membuat nyaman pihak PENGGUGAT dan TERGUGAT dalam
melakukan perdamain. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Peradilan Agama jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, penyelesaian perkara
syiqầq pun mengalami penyesuaian dalam prosesnya. Apabila sebelum berlakunya
UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, penyelesaian perkara syiqầq
didasarkan pada ketentuan fiqih secara murni, setelah berlakunya undang-undang
tersebut penyelesaian perkara syiqầq mengalami perubahan yang disesuaikan
dengan ketentuan Undang-undang, yakni peraturan-peraturan Organik Pengadilan
Agama1 . Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 76 ayat
(1) menyebutkan: “apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqầq maka
untuk 1 Zainal Abidin Abubakar, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam
Lingkungan Peradilan Agama, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
Departemen Agama R.I., (Jakarta, 2001), ,hal 327. 6 mendapatkan putusan
perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga
atau orang-orang yang dekat dengan suami isteri.” Bila perceraian karena alasan
pertengkaran dan perselisihan secara terus menerus maka keterangan dari pihak
keluarga atau orang terdekat dari suami-isteri haruslah didengarkan. Selain
itu, juga harus dilakukan pengangkatan hakamain dari keluarga masing-masing
bisa seorang saja ataupun juga bisa lebih dari seorang. Dasar dugaan kuat pihak
keluarga menjadi hakam adalah lebih mengetahui seluk beluk rumah tangga serta
pribadi masing-masing suami isteri sehingga mengutus seorang hakam dari kedua
belah pihak lebih diutamakan. Filosofi mengangkat hakam dari pihak keluarga
adalah mereka dianggap lebih tahu keadaan suami isteri secara baik. Keluarga
kedua belah pihak memiliki misi untuk mendamaikan percekcokan yang terjadi
diantara keduanya sehingga peluang suami isteri untuk menyampaikan unegunegnya
dapat dilakukan tanpa banyak hambatan.2 Namun ada problematika dalam perkara
cerai akibat syiqầq ini. Sesuai dalam Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama, bahwa perkara bisa dikatakan syiqầq apabila Majelis Hakim
sudah melakukan pemeriksaan dan mendengarkan keterangan dari saksi yang berasal
dari keluarga atau orang terdekat, maka diangkatlah seorang hakam. Akan tetapi
dalam Buku II tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama.
yang menentukan bahwa syiqầq 7 atau tidaknya suatu perkara haruslah ditentukan
di awal saat para pihak mengajukan permohonan.3 Jika tidak ada jalan yang lebih
baik kecuali menceraikan mereka dengan suatu pertimbangan bahwa kalau tidak
dapat cepat diselesaikan dikhawatirkan akan memperburuk situasi kehidupan
masing-masing pihak, disamping itu unsur mawadah, dan rahmah sebagaimana yang
dikehendaki oleh Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21 sudah tidak ada antara
Penggugat dan Tergugat dimana unsur tersebut merupakan salah satu tujuan dari
perkawinan. Dengan adanya PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi,
Undang-undang tentang syiqầq ini dikatakan tidak lagi efisien. Pihak Pengadilan
lebih terfokus menggunakan sistem Mediasi dalam menengahi pihak yang
berperkara. Karena alasan semua perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama salah
satunya haruslah dapat diselesaikan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan
baik penyelesaian itu merupakan perdamaian atau perceraian. Jika sudah seperti
ini keefektifan pengangkatan hakam dalam pasal 76 mengenai perkara syiqầq ini
masih diberlalukan atau hanya menggunakan media mediasi saja dalam penengah
antara pihak Penggugat dan Tergugat jika perkara perceraianny itu akibat syiqầq
atau perselisihan yang menukik. Dari latar belakang tersebut, menurut penulis
hal ini sangat menarik untuk dikaji dan dijadikan sebagai penelitian. Dengan
demikian penulis akan mengadakan 3Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan Agama Buku II (Edisi Revisi 2010), Mahkamah Agung Dirjen Badilag.
2010, h. 156. 8 penelitian dengan judul “UPAYA PERDAMAIAN DALAM PERKARA SYIQẴQ
(Studi Efektifitas Pengangkatan Hakam Berdasarkan Pasal 76 Undang-Undang No. 50
Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama di Pengadilan Agama Kota Malang)” B.
RumusanMasalah Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka dapat
dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan hakim tentang efektifitas
Pengangkatan Hakam Dalam Perkara Syiqầq Berdasarkan Pasal 76 Undang-Undang No.
50 Tahun 2009 di Pengadilan Agama Kota Malang? 2. Apa faktor yang menyebabkan
pergeseran peran hakam dalam perkara syiqầq? C. TujuanPenelitian Adapun tujuan
penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan pengetahuan mengenai
pandangan hakim tentang efektifitas Pengangkatan Hakam Dalam Perkara Syiqầq
Berdasarkan Pasal 76 UndangUndang No. 50 Tahun 2009 di Pengadilan Agama Kota
Malang. 2. Mendapatkan pengetahuan tentang faktor yang menyebabkan pergeseran
peran hakam dalam perkara syiqầq. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi
akademisi/penulis 9 Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi
ilmiah mengenai efektifitas peran hakam dalam perkara syiqầq dengan suatu
tinjauan yuridis sosial 2. Bagi para piha/masyarakat Sebagai bahan informasi
dan gambaran secara umum mengenai efektifitas peran hakam dalam perkara syiqầq.
3. Bagi aparat penegak hokum Dalam hal ini adalah hakim dalam mempertimbangkan
dan menetapkan dasar hukum yang dipakai dalam permasalahan perceraian karena
alasan syiqầq sehingga mampu menerapkan kaidah-kaidah hukum secara benar, tepat
dan tidak menimbulkan interpretasi hukum yang multi tafsir. 4. Bagi instansi
Pengadilan Agama Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan
hukum khususnya perceraian karena alasan syiqầq. E. Definisi Operasinonal 1.
Hakam Dalam kamus Bahasa Indonesia, hakam bermakna perantara, pemisah, wasit.4
adalah seorang yang ditetapkan pengadilan baik dari pihak keluarga suami maupun
dari pihak keluarga isteri untuk mencari solusi dalam penyelesaian perkara syiqầq.
4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai
Pustaka, 1988), h. 293 10 2. Syiqầq Syiqầq adalah krisis memuncak yang terjadi
antara suami isteri sedemikian rupa, sehingga antara suami isteri terjadi
pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin
dipertemukan dan kedua pihak tidak dapat mengatasinya.5 3. Efektifitas
Perbandingan antara realitas hukum dengan ideal hukum.6 Definisi efektifitas
secara umum dapat diartikan seberapa jauh tercapainya suatu tujuan atau target
yang telah ditetapkan sebelumnya. F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah
penyusunan dan melengkapi penjelasan dalam pengembangan materi, maka penulis
memberikan gambaran sistematika dari bab ke bab. Adapun perinciannya adalah
sebagai berikut: Bab I, merupakan pendahuluan dimana bab ini akan diuraikan
mengenai latar belakang pemilihan judul berdasarkan permasalahan mengenai UPAYA
PERDAMAIAN DALAM PERKARA SYIQẴQ (Studi Efektifitas Pengangkatan Hakam
Berdasarkan Pasal 76 Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama di
Pengadilan Agama Kota Malang) .Selain itu menguraikan tentang rumusan masalah,
batasan masalah, tujuan penelitian yang dirangkai dengan manfaat penelitian,
dan sistematika pembahasan. Dan adapun tujuan dari pengklasifikasian 5
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 335 6 Amiruddin dan
Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2004), h. 137 11 pendahuluan ini adalah untuk mempermudah pembaca
untuk memahami dari pembahasan yang dikaji. Bab II, berupa kajian pustaka yang
terdapat penelitian terdahulu yang menjadi batasan penelitian sebelumnya dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti, sehingga tidak terjadi kesamaan
penelitian dan juga isinya. Selanjutnya dalam bab ini juga memaparkan beberapa
kajian teori sebagai analisis untuk mengurai data, yaitu yang pertama, tentang
Pengangkatan Hakam yang terdiri atas beberapa sub bab, yaitu: 1) Pengertian
Hakam. 2) Syarat-syarat dan Tugas Hakam. Kedua, tentang Syiqầq, yang dibagi
menjadi beberapa sub, yaitu:1) PengertianSyiqầq. 2) DasarHukumSyiqầq. 3) Syiqầq
Menurut Hukum Islam. 4) Syiqầq Menurut Hukum Positif. 5) Sebab-Sebab Terjadinya
Syiqầq. Bab III, merupakan metode penelitian yang sangatlah penting. Metode
penelitian adalah salah satu dari inti skripsi. Kesalahan dalam mengambil
metode penelitian akan berpengaruh pada hasil yang didapatkan, sehingga
peneliti harus mengulang penelitiannya dari awal. Untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan oleh peneliti, maka peneliti benar-benar memperhatikan
secara objektif terkait dengan judul yang diangkat oleh peneliti, sehingga
tidak melenceng dari yang diharapkan. Dalam bab ini diantarnya menjelaskan
tentang jenis penelitian, pendekatan penelitian, lokasi penelitian, sumber
data, metode pengimpulan data dan teknik analisis data. Bab IV, Pada bab ini
dijelaskan tentang hasil penelitian dan pembahasan, yaitu dengan cara
menggambarkan lokasi, kondisi geografis, struktur organisasi faktor pendukung
dan penghambat dalam melaksanakan pengangkatan hakam dalam 12 perkara syiqầq.
Dalam bab ini juga akan menjawab masalah yang terdapat pada rumusan masalah
yang meliputi peran hakam dan efektifitas undang-undang tentang hakam di
Pengadilan Agama Kota Malang. Bab V. Bab ini merupakan penutup, yaitu yang
berisi tentang kesimpulan dari penelitian mengenai UPAYA PERDAMAIAN DALAM
PERKARA SYIQẴQ (Studi Efektifitas Pengangkatan Hakam Berdasarkan Pasal 76
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama di Pengadilan Agama
Kota Malang) dan juga saran.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" :Upaya perdamaian dalam perkara syiqᾰq: Studi efektifitas pengangkatan hakam berdasarkan pasal 76 Undang-Undang no. 50 tahun 2009 tentang peradilan agama di Pengadilan Agama Kota Malang." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment