Abstract
INDONESIA:
Secara normatif ibu kandung merupakan wali yang sah bagi anak kandungnya. Hal ini diperkuat oleh Pasal 47 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam yang mengatakan bahwa Anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah menikah berada dibawah kekuasaan orang tuanya, selama tidak dicabut. Orang tua berhak mewakili anaknya mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Namun faktanya beberapa Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah mensyaratkan ibu untuk memiliki penetapan perwalian dari Pengadilan, dalam hal melakukan beberapa perbuatan hukum. Seperti dalam perbuatan hukum penjualan tanah waris. Salah satu contohnya adalah yang ada dalam perkara No.001/Pdt. P/2014/PA.Kab.Mn. Ada beberapa masalah yang dikaji dalam penelitian ini yaitu bagaimana pertimbangan Pengadilan Agama Kabupaten Madiun menerima serta bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam mengabulkan permohonan penetapan perwalian oleh ibu kandung atas anaknya dalam perkara No.001/Pdt. P/2014/PA.Kab.Mn.
Dalam rangka menjawab rumusan masalah di atas maka peneliti menggunakan metode penelitian empiris atau lapangan, serta menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti terjun langsung kelapangan, dan yang menjadi data primer adalah wawancara kepada pihak-pihak yang bersangkutan dalam penerimaan dan penyelesaian penetapan No.001/Pdt. P/2014/PA.Kab.Mn. Dokumen–dokumen resmi serta buku-buku yang terkait digunakan sebagai sumber data sekunder.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1) Pertimbangan Pengadilan Agama Kabupaten Madiun menerima perkara tersebut karena sesuai dengan Undang- Undang Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak perkara jika masih berada dalam kewenangan Pengadilan. Permohonan perwalian yang diajukan oleh ibu kandung terhadap anak yang masih di bawah umur itu untuk membuktikan dalil-dalil bahwa transaksi tersebut bertujuan untuk kepentingan anak. 2) Dasar Pertimbangan Majelis Hakim Kabupaten Madiun mengabulkan permohonan penetapan ibu kandung sebagai wali terhadap anak di bawah umur dalam Penetapan Nomor 001/Pdt.P/2014/Pa.Kab.Mn adalah bahwa transaksi tersebut demi kepentingan anak yaitu untuk biaya hidup anak. Selain itu Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa hak-hak anak ini harus dilindungi. Selain itu adanya penetapan ini untuk menguatkan bahwa memang anak itu menghendaki adanya peralihan hak yang di dalamnya ada hak dari anak yang masih di bawah umur tersebut.
ENGLISH:
In normative, a mother is a legal guardian for her child. This is affirmed by Article 47 Act Number 1 of 1974 jo Article 98 Compilation of Islamic Law that the child under 18 years old or has not been married is the parent’s authority as long as the authority is not revoked. The parent have right to represent their child in regarding all legal deeds, either inside or outside the court. But in the fact, some of the Notaries/Land Deed Officers command the mother to have a decision of guardianship petition by the judge to do some legal deeds, such as in the legal deed to sell the land of inheritance. For example, in the case Number 001/Pdt.P/2014/PA.Kab.Mn. There are some problems examined in this study, namely how is the consideration of Religion Court of Regency of Madiun to receive the case Number 001/Pdt.P/2014/PA.Kab.Mn and how is the consideration of the judges to determine the petition of guardianship by the mother for her child in the case Number 001/Pdt.P/2014/PA.Kab.Mn.
To answer the statements of problem, the author uses empirical or field research and uses qualitative approach. In this study, the author directly enters to field of study and the primary data is the interview to the related parties in the receiving and completing the case Number 001/Pdt.P/2014/PA.Kab.Mn. Official documents and related books are used as the secondary data.
The conclusions of this study are: 1) Consideration of Religion Court of Regency of Madiun accepts the case because based on the Act of the Judicial Authority states that the Court cannot be refused the case if it is the authority of the Court. Guardianship petition is filed by the mother for her child to prove the arguments that the transaction is intended to the child interests. 2) The basic Considerations of the judge assembly of the Religion Court on granting the mother request to become her child’s guardian in the decision of the case number 001/Pdt.P/2014/Pa.Kab.Mn is for the needs of child’s life. In other hand, the judge assembly considers children's rights must be protected. Moreover, the decision affirms that the child intends to move his right.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ajaran agama Islam mengatur hubungan manusia
dengan Sang Penciptanya dan ada pula yang mengatur hubungan sesama manusia
serta Islam mengatur hubungan manusia dengan alam semesta. Dalam perjalanan
hidup manusia ditakdirkan berpasang-pasangan untuk meneruskan generasinya, dan
untuk mewujudkan keharmonisan dalam kehidupannya, sehingga terjadilah sebuah
perkawinan. 2 Perkawinan merupakan jalan untuk meneruskan generasi manusia.
Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 didefinisikan sebagai ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
sebab Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengenal definisi perkawinan.
Seperti dalam Pasal 26 Burgerlijk Wetbeok bahwa Undang-Undang memandang
perkawinan hanya dari hubungan keperdataan. 2 Perkawinan ialah pertalian yang
sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.3
Pernikahan adalah asas hidup yang paling utama dalam menentukan pergaulan di
masyarakat. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang sangat mulia
untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan kerukunan, akan tetapi pernikahan
dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum
dengan kaum yang lain, dan banyak nilai-nilai ibadah yang terkadung dalam
pernikahan.4 Oleh karena di dalam pernikahan terkandung banyak nilai-nilai
ibadah, maka suatu pernikahan harus diperlihara dengan baik karena. Pernikahan
yang dipelihara dengan baik bisa abadi dan bisa tercapai tujuan dari penikahan
yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah. Selain itu
pernikahan juga disyariatkan 1 Undang-Undang Republin Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan & Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara,
2012) h. 2 2 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Jakarta: Pradnya Paramita, 2008) h.8 3 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata
(Jakarta: Intermasa, 2003) h. 23 4 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku I),
(Bandung: Pustaka Setia, 2001) h. 11 3 untuk melestarikan keturunan yang baik.
Pernikahan yang tidak diperlihara dengan baik dapat menimbulkan terjadinya
perceraian. Secara umum sebab putusnya perkawinan itu ada karena perceraian dan
kematian. Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
membagi sebab-sebab putusnya perkawinan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu
kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan hal seperti ini tercantum.
Hal yang sama juga dijelaskan dalam Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam yang
mengatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas
putusan Pengadilan. Dalam hukum perkawinan Agama Islam menentukan bahwa apabila
salah seorang di antara kedua suami isteri meninggal dunia, maka telah terjadi
perceraian dengan sendirinya. Dimulai sejak tanggal meninggal tersebut.5
Putusnya perkawinan karena kematian akan ada hubungannya dengan kewarisan,
dimana ada pewaris dan ahli waris yang berkaitan erat dengan putusnya
perkawinan karena kematian. Dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dinyatakan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian. Jadi kematian
seseorang tersebut merupakan syarat terjadinya perwarisan. Dengan meninggalnya
seseorang maka kekayaan beralih kepada ahli waris.6 Dalam masalah pewarisan,
ahli waris bisa merupakan orang yang sudah dewasa maupun anak yang masih
dibawah umur. Anak dibawah umur 5 Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat
Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) h. 229 6 Saifullah,
Buku Ajar Wawasan Hukum Perdata Di Indonesia (Edisi Revisi), Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2011, h.89 4 atau anak
yang belum cakap hukum berada dalam kekuasaan orang tuanya yang masih hidup.
Orang tua dan anak mempunyai hak dan kewajiban yang harus diterima dan dijalani
satu sama lain. Untuk menjamin terlaksananya hak dan kewajiban masing-masing
pihak, maka Undang-Undang mengatur mengenai hak dan kewajiban tersebut. Dalam
perundang-undangan Indonesia, orang tua terutama ayah maupun ibu yang memiliki
kecakapan hukum terhadap anak-anak mereka yang belum cakap hukum, secara
otomatis adalah orang yang bertanggung jawab dalam merawat, memelihara serta
mewakili anak tersebut dalam perbuatan hukum. Seorang anak yang lahir ke dunia
ini, serta merta membutuhkan orang lain yang akan memeliharanya, baik dirinya,
harta bendanya ataupun hak miliknya, karena ia membutuhkan orang lain yang akan
mengawasi penyusuan dan pengasuhannya. Demikian juga ia membutuhkan orang lain
untuk menjaga dan memeliharanya, serta mendidik dan mengajarinya, dan
melaksanakan bermacam-macam urusan yang berhubungan dengan jasmaniyahnya dan
pembentukan kepribadiannya, selain itu anak membutuhkan orang yang akan
mengawasi urusan hak miliknya, agar supaya dipelihara dan diperkembangkan. 7
Sehingga ia membutuhkan seorang wali untuk mewakili perbuatan hukum ketika ia
belum dewasa, hal seperti ini disebut dengan perwalian. Perwalian dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 poin (h) dikatakan bahwa perwalian adalah
kewenangan yang diberikan kepada seorang untuk 7 Zakariya Ahmad al Barry, Hukum
Anak-anak Dalam Islam. Penerjemah Chadijah Nasution, (Jakarta: Bulan Bintang,
1977) h. 106 5 melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk
kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau kedua
orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Berbeda
dengan kekuasaan orang tua terhadap anak-anaknya yang secara otomatis adalah
sebagai wali dan pengasuh anaknya, maka dalam keadaan dimana orang tua tersebut
tidak cakap dalam menjalankan kewajibannya atau karena meninggalnya kedua orang
tua, Seorang yang ditunjuk oleh hakim dapat menjadi wali bagi anak-anak
tersebut. Dalam hal ini pencabutan dan permohonan penunjukan wali adalah
dilakukan oleh Pengadilan Agama. Seperti dalam Pasal 47 Undang-Undang No.1
Tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum
pernah melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tua selama
kekuasaan tersebut tidak dicabut. 8 Namun pada kenyataannya dalam kehidupan
sehari-hari hal tersebut terkadang tidak berlaku, contohnya dalam persyaratan
administrasi seperti pembuatan passport maupun kepentingan lain. Berdasarkan
uraian di atas, peneliti mengetahi bahwa orang tua kandung tidak perlu
mengajukan permohonan penetapan wali atas anaknya, karena berdasarkan peraturan
perundang-undangan, mereka secara otomatis adalah wali bagi anak-anak mereka.
Namun, pada kenyatannya peneliti menemukan satu perkara yang keluar dari
ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dimana seorang ibu kandung memohon
penetapan perwalian kepada Pengadilan Agama Kabupaten Madiun atas anak
kandungnya, yang 8 Pasal 47 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan 6 permohonan tersebut tercatat dengan nomor register
001/Pdt.P/2014/PA.Kab.Mn. Penetapan tersebut berisi tentang pengajuan
permohonan perwalian yang dilakukan oleh ibu atas anak kandungnya yang ayah
kandung anak tersebut atau suami dari pemohon sudah meninggal dunia pada tahun
2007. Pengajuan permohonan perwalian ini untuk dapat mewakili anaknya dalam
melakukan perbutan hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah, pemohon
bermaksud untuk menjual tanah waris bagian anaknya yang belum cukup umur untuk
kebutuhan anaknya yaitu untuk kehidupan seharihari anaknya tersebut. Bentuk
akhir dari permohonan ini adalah Majelis Hakim mengabulkan permohonan yang
diajukan oleh pemohon. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk
meneliti masalah tersebut. Peneliti bermaksud untuk mengangkat penelitian ini
dengan judul “Permohonan Perwalian Oleh Ibu Kandung Atas Anaknya Untuk
Melakukan Transaksi Penjualan Tanah Waris Di Pengadilan Agama Kabupaten
Madiun”. B. Batasan Masalah Agar permasalahan tetap fokus dan tidak meluas
pembahasannya, maka pembatasan terhadap masalah ini sangat diperlukan.
Pembatasan masalah ini supaya tujuan dari penelitian bisa tercapai, dan juga
supaya fokus penelitian ini jelas. Dalam penelitian ini peneliti membatasi pada
salah satu perkara yang merupakan permohonan perwalian yang diajukan oleh ibu
kandung atas anaknya untuk melakukan transakasi penjualan tanah waris yaitu
pada penetapan nomor 001/Pdt.P/2014/PA.Kab.Mn. 7 C. Rumusan Masalah Dari latar
belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan Pengadilan Agama Kabupaten Madiun dalam menerima
permohonan perwalian oleh ibu kandung terhadap anak di bawah umur? 2. Bagaimana
dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam mengabulkan permohonan penetapan ibu
kandung sebagai wali terhadap anak dibawah umur dalam Penetapan Nomor
001/Pdt.P/2014/PA.Kab.Mn? D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pertimbangan Pengadilan Agama
Kabupaten Madiun dalam menerima permohonan perwalian oleh ibu kandung terhadap
anak dibawah umur. 2. Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Hakim mengabulkan
permohonan penetapan ibu kandung sebagai wali terhadap anak dibawah umur dalam
Penetapan Nomor 001/Pdt.P/2014/PA.Kab.Mn. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini
bisa memberikan manfaat yang bersifat teoritis maupun manfaat yang bersifat
praktis. 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan bisa memberi manfaat
karena penelitian ini memberikan sumbangsih terhadap keilmuan. Menambah 8
kepustakaan tentang perwalian yang diajukan oleh ibu atas anak kadungnya dan
juga memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum,
dan diharapkan juga dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi hakim-hakim di
Pengadilan Agama. 2. Secara Praktis a. Manfaat bagi peneliti Penelitian ini
digunakan sebagai tambahan informasi dan wawasan pengetahuan tentang perwalian
yang diajukan oleh ibu atas anak kadungnya. Serta merupakan pelajaran berharga
yang dapat mengaktualisasi diri peneliti sebagai mahasiswa dalam mengembangkan
pemikiran konsep ilmu hukum. b. Manfaat bagi lembaga Hasil penelitian ini bisa
digunakan sebagai bahan kepustakaan yang dijadikan sarana pengembangan wawasan
keilmuan khususnya di jurusan Al Ahwal Al Syakhshiyyah dan juga sebagai
sumbangan pemikiran bagi akademisi dan praktisi hukum yang mempunyai
keterkaitan dalam menangani masalah yang berkaitan dengan perwalian. F.
Definisi Oprasional 1. Permohonan Perwalian yang dimaksud dalam judul
penelitian ini adalah permohonan perwalian yang diajukan oleh Ibu kandung terhadap
anaknya 9 di Pengadilan Agama untuk mendapatkan penetapan perwalian dari
Pengadilan Agama. 2. Ibu Kandung pada penelitian ini adalah wanita yang telah
melahirkan anak tersebut yang sekarang dalam keadaan sehat secara jasmani dan
rohani. 3. Transaksi Penjualan Tanah Waris merupakan perbuatan hukum berupa
penjualan tanah waris yang dilakukan oleh seseorang yang sudah cakap hukum,
yang dalam hal ini seorang ibu ingin menjual tanah waris milik anaknya yang
belum cakap hukum. G. Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah dalam memahami,
berikut adalah sistematika penulisan skripsi yang akan peneliti tulis: Bab
pertama dalam penelitian ini merupakan bab Pendahuluan. Dalam bab ini berisi
pandangan global tentang pokok isi skripsi, dengan menyampaikan latar belakang
permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi
operasional, dan sistematika pembahasan. Sedangkan bab kedua berisi Tinjauan
Pustaka. Tinjauan pustaka ini peneliti membahas tentang permohonan di
Pengadilan khususnya Pengadilan Agama, membahas kewenangan Peradilan Agama,
selain itu membahas tentang ultra petitum dalam putusan, membahas perwalian
menurut hukum islam dan hukum positif di Indonesia, tentang usia dewasa dalam
fiqh maupun usia dewasa dalam Undang-Undang, serta yang terakhir membahas
tentang jual beli, jual beli tanah dan jual beli tanah waris. 10 Metode
Penelitian merupakan pembahasan dalam bab ketiga. Metode Penelitian ini berisi
pengolahan dan pengorganisasian data penelitian serta membahas data-data
penelitian dengan teori yang relevan. Yang terdiri dari lokasi penelitian,
jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data,
dan teknik pengolahan data. Pada bab keempat berisi Hasil Penelitian dan
Pembahasan. Peneliti akan mendeskripsikan data yang sudah peneliti peroleh di
lapangan, kemudian peneliti analisis data tersebut. Dalam hal ini analisis
peneliti tentang pertimbangan Pengadilan Agama Kabupaten Madiun dalam menerima
permohonan perwalian oleh ibu kandung dan menganilisis pertimbangan Majelis
Hakim dalam pengabulan permohonan penetapan wali dengan nomor penetapan
001/Pdt.P/2014/PA.Kab.Mn. Bab terakhir adalah Kesimpulan dan Saran. Dalam bab
ini peneliti akan memberi kesimpulan dari hasil analisis, selain itu juga
peneliti memberikan saran-saran yang dirasa perlu.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment