Abstract
PNS adalah unsur aparatur Negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang- undangan yang berlaku. Dalam hal perkawinan dan perceraian, PNS harus tunduk pada PP No.8/ 1983 dan PP No. 45/ 1990, salah satunya adalah pasal 8 PP No. 10/ 1983 yang menetapkan bahwa apabila perceraian terjadi atas kehendak PNS pria diharuskan menyerahkan sebagian gajinya kepada bekas istrinya sampai kawin lagi dengan pria lain dan yang menolaknya dikenakan sanksi. Penelitian ini dilakukan di Dinas Pendidikan Kabupaten Malang dengan alasan tingkat perceraian pada instansi tersebut lebih tinggi daripada instansi lainnya.
Rumusan masalahnya ialah: 1) Bagaimana Implementasi pasal 8 PP No. 10/ 1983 tentang penyerahan sebagian gaji PNS kepada mantan istrinya di Dinas Pendidikan Kabupaten Malang?2) Bagaimana pandangan masyarakat Kabupaten Malang terhadap pelaksanaan pasal 8 PP No. 8/1983 di Dinas Pendidikan Kabupaten Malang? Penelitian ini menggunakan paradigma interpretatif dengan metode pendekatan kualitatif. Sedangkan jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum sosiologis atau empiris yaitu penelitian yang mengkaitkan hukum dengan perikelakuan manusia.
Hasil penelitian ini adalah bahwa implementasi pasal 8/1983 jo PP No. 10/ 1990 pada Dinas Pendidikan Kabupaten Malang tidak berjalan lancer. Adapun factor penghambatnya adalah 1) tidak adanya tembusan salinan putusan dari PA kepada bendaharawan Dinas Pendidikan Kabupaten Malang, 2) tidak adanya komplen dari mantan istri karena tidak mendapatkan sebagian gaji dari mantan suami 3) tidak adanya sosialisasi hukum terutama pasal8 PP No. 10/ 1983 4) tidak adanya kerjasama di antra para penegak hukum 5) keadaan ekonomi PNS yang tidak mencukupi apabila gajinya dibagi dengan mantan istrinya 6) tidak adanya sikap malu/ perasaan bersalah PNS jika tidak melaksanakan pasal tersebut . Adapun pandangan masyarakat Kab. Malang terhadap implementasi pasal 8 PP No. 10/ 1983 di Dinas Pendidikan Kab. Malang mayoritas tidak menyetujuinya dengan alasan setelah terjadi perceraian antara PNS dengan mantan istri sudah tidak ada hubungan lagi, sehingga PNS tidak berkewajiban untuk menafkahinya baik lahir maupun batin dan apabila PNS ingin memberikan nafkah hal itu dikembalikan kepada individu PNS.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk
hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
dalam membentuk keluarga yang kekal, di mana antara suami istri itu harus
saling menyantuni, kasih-mengasihi, dapat menciptakan keadaan aman dan tenteram
penuh kebahagiaan baik moral, spiritual dan materiil berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Ia bukan saja dipandang sebagai hubungan secara lahir saja, tetapi
lebih dari itu ia merupakan bentuk (sarana) ibadah kepada Sang Pencipta Yang
Maha di atas segala-galanya dan kelak harus dipertanggungjawabkan di
hadapan-Nya. Apabila akad nikah sudah terikrar dengan sempurna secara syar’i,
maka suami dan istri diikat oleh ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan
dengan kehidupan suami istri. Kedua belah pihak diberi kewajiban luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Suami sebagai kepala
rumah tangga bertanggung jawab untuk mengurus kehidupan istrinya, karena itu
diberi derajat setingkat lebih tinggi dari istrinya. Penetapan laki-laki lebih
tinggi satu derajat dari perempuan ini bukanlah menunjukkan bahwa laki-laki
lebih berkuasa dari wanita, tetapi hanya menunjukkan bahwa laki-laki itu adalah
pemimpin rumah tangga 1 xviii disebabkan telah terjadinya akad nikah. Karena
akad nikah ini pula suami berkewajiban untuk melindungi dan memberikan segala
keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya 2 . Begitu juga halnya
dengan istri, sebagai ibu rumah tangga ia mempunyai tanggungjawab untuk mengurus
rumah tangga dengan sebaik-baiknya, serta berhak untuk mendapatkan nafkah dari
suami. Apabila masing-masing memerankan tugasnya dengan sebaikbaiknya, maka
tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam pasal 1 Undang-undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dapat tercapai. Namun kenyataan sejarah
umat manusia yang telah berusia ratusan ribu tahun telah membuktikan bahwa
tidak selalu tujuan itu dapat dicapai bahkan sebaliknya kandas di tengah jalan
karena tidak terdapatnya kesepakatan atau kerukunan antara suami dan istri,
bahkan terjadi permusuhan yang berkepanjangan walaupun telah diusahakan
menghindarinya. Perkawinan yang buruk keadaannya itu tidak baik dibiarkan
berlarut- larut, sehingga demi kepentingan kedua belah pihak perkawinan yang
demikian itu lebih baik diputuskan secara sah di depan Pengadilan Agama
berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan Undang-undang. Dengan adanya putusan
dari Pengadilan Agama yang memutuskan untuk menceraikan suami istri tersebut,
maka kewajiban suami kepada mantan istrinya yang berupa pemberian nafkah lahir
tetap terus berlangsung selama mantan istri menjalankan masa iddah. Terkecuali
mantan istri tersebut telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan
tidak hamil, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah. Adanya kewajiban
memberikan nafkah bagi mantan istri disebutkan dalam al-Qur’an surat ath-Thalaq
ayat 1 dan 6 berikut ini: 2 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia
(Jakarta: Universitas Indonesia, 1974), 72. xix $ "
&
$ ‑
%
%
#$ "
! "
‑ +,
*
% ‑ )
$ % #$ ‑ ! ' (
'
' "
$
% &
$
% .
-# # !""‑ 1 % ‑
.
0
( ) $
( ) $
/
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertawakal kepada Allah. Janganlah kamu keluarkan mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang, itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” (Q.S. al-Thalaq: 1) 3
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertawakal kepada Allah. Janganlah kamu keluarkan mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang, itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” (Q.S. al-Thalaq: 1) 3
$ " ' , &
# #
, ' $ 2+ ! &
, ' $ 2+ ! &
* #$ " &
$
1
* 0
4 . , ( / 3
$ "
4 . -‑
!
$ 2 * /‑6 ! )
4"1 $ 5
8 $
$ 2 * /‑6 ! )
4"1 $ 5
8 $
3
* 6 ‑72 $ - ‑
# $ !
#$
5 9 “ Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya dan musyawarahkanlah di antara (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (Q.S. al-Thalaq: 6) xx Dalam masa iddah, istri memiliki hak dengan ketentuan: 3 1. Perempuan yang menjalani iddah raj’iyyah, jika ia taat atau baik terhadap suaminya maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian dan uang belanja dari mantan suaminya. Tetapi jika ia durhaka maka ia tidak berhak mendapatkan apa-apa. 2. Perempuan yang menjalani iddah talak ba’in, jika ia tidak hamil, ia hanya berhak memperoleh tempat tinggal saja. Tetapi jika ia hamil, ia juga berhak mendapat nafkah dari mantan suaminya. 3. Perempuan yang menjalani iddah wafat (karena ditinggal mati oleh suaminya), ia tidak berhak sama sekali nafakah dan tempat tinggal, karena ia dan anaknya adalah pewaris yang berhak mendapat harta pusaka dari almarhum suaminya. 4. Perempuan yang ditalak suaminya sebelum dikumpuli (qabla al-dukhul), ia tidak berhak menerima nafkah, tetapi ia berhak memperoleh mut’ah atau pemberian. Akan tetapi, apa yang telah ditetapkan oleh hukum islam tersebut tidaklah berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disingkat PNS) yang merupakan unsur aparatur Negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada peraturan tersendiri bagi PNS yang akan melaksanakan perkawianan dan perceraian yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 (selanjutnya disingkat PP No. 10/ 1983) tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS, kemudian disempurnakan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 (selanjutnya disingkat PP No. 45/ 1990) tentang perubahan atas PP No. 10/ 1983 dan Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) yaitu No. 08/ SE/ 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, disamping itu ia juga tunduk kepada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan 3Dahlan Idhamy, Azas-azas Fiqih Munakahat Hukum Keluarga Islam (Surabaya; al-Ikhlas, 1984), 56-57. xxi Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (selanjutnya disingkat PP No 9/ 1975). Tujuan diberlakukannya peraturan tersebut tidak lain adalah untuk meningkatkan kedisiplinan bagi PNS dan ia dituntut untuk memberi keteladanan kepada bawahan dan masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga. Dalam PP No. 10/ 1983 ditetapkan bahwa bagi PNS yang akan melakukan perkawinan dan perceraian harus memperoleh izin dari pejabat yang bersangkutan. Untuk pengajuan izin perceraian tersebut juga harus disertai dengan alasan-alasan yang sah, yaitu salah satu atau lebih alasan sebagai berikut: 4 1. Salah satu pihak berbuat zina 2. Salah satu pihak menjadi pemabuk, pemadat atau penjudi. 3. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut. 4. Salah satu pihak mendapat hukuman 5 (lima) tahun. 5. Salah satu pihak melakukan kekejaman. 6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan. Selain itu ia juga bersedia untuk membagi gajinya kepada bekas istrinya sesuai dengan putusan Pengadilan Agama. Bagi PNS yang menolak untuk membagi gajinya kepada bekas istrinya, menurut PP No. 45/ 1990, dikenakan sanksi hukum kepegawaian sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Kepala BAKN No. 48/ SE/ 1990 yang secara tegas mengatur tentang sanksi menyebutkan PNS kecuali Pegawai Bulanan disamping pensiun, dijatuhi hukuman disiplin berat berdasarkan PP No. 30 / 1980, apabila menolak melaksanakan pembagian gaji dan atau tidak 4Penerangan Hukum ke VIII tentang Perceraian : Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman (1985), 8. xxii mau menandatangani daftar gajinya sebagai akibat perceraian. Sedangkan untuk Pegawai Bulanan disamping pensiun, dibebaskan dari jabatannya. 5 Mengenai pembagian gaji tersebut selanjutnya diatur dalam pasal 8 PP No. 10/ 1983 yang menegaskan bahwa apabila perceraian terjadi atas kehendak PNS pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya dengan ketentuan sepertiga untuk PNS pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas istrinya, dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya. Jika tidak terdapat anak maka bagian bekas istri adalah separuh gaji mantan suami. Kewajiban tersebut terus berlangsung sampai bekas istrinya kawin lagi dengan pria lain. 6 Ketentuan di atas tidak berlaku, apabila istri meminta cerai karena dimadu, dan atau suami berzina, dan atau suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri dan atau suami menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau suami telah meninggalkan istri selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin istri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain d luar kemampuannya. 7 Dalam hal pembagian gaji PNS yang telah menceraikan istrinya, pihak yang berkewajiban melakukannya ialah bendaharawan pada masing-masing instansi tempat PNS tersebut berdinas setelah ia menerima salinan putusan dari Pengadilan Agama mengenai perceraian PNS yang bersangkutan dengan menghukumnya untuk menyerahkan sebagian gajinya kepada mantan istrinya. Menurut Surat Edaran BAKN No. 48/ SE/ 1990 tanggal 22 Desember 1990 BAB II angka 14-18 menyebutkan bahwa bendaharawan gaji wajib menyerahkan secara langsung bagian gaji yang menjadi hak mantan istri dan anak-anaknya sebagai akibat terjadinya 5Ali Zuchdi Muchdlor, Hukum Perkawinan Nasiona (Bandung: al-Bayan), 283. 6Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam: Kompetensi Pengadilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shadaqah, (Bandung: Mandar Maju, 1997), 38. 7 Ibid., 38. xxiii perceraian, tanpa lebih dahulu menunggu pengambilan gaji dari PNS mantan suami yang telah menceraikannya. Bekas istri dapat mengambil bagian gaji yang menjadi haknya secara langsung dari bendaharawan gaji, atau dengan surat kuasa atau dapat meminta untuk dikirimkan kepadanya 8 Rupanya aturan-aturan tersebut di Dinas Pendidikan Kabupaten Malang tidaklah berjalan seperti apa yang diharapkan. Baik Pengadilan Agama maupun Kepala Diknas tidak secara tegas menerapkannya kepada PNS yang dijatuhi hukumam untuk menjalankan pasal 8 PP No. 10/ 1983 jo PP No. 45/ 1990. PNS yang bersangkutan pun tidak mengetahui dan cenderung bersikap acuh tak acuh terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan pemerintah tersebut. Menurutnya aturan tersebut cenderung merugikan pihaknya dan merampas hak-haknya karena setelah bercerai antara dirinya dengan mantan istrinya sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dan tentu saja ia merasa keberatan jika melaksanakannya. Begitu pula dengan sikap mantan istri yang bersikap pasrah ketika ia tidak diberi nafkah pasca perceraian.
Agar pembahasan lebih memfokus dan mengarah kepada
permasalahan yang hendak dibahas dalam penelitian ini, maka penulis memberikan
batasan masalah yaitu seputar pemahaman masyarakat tentang pelaksanaan
pembagian gaji oleh PNS yang menceraikan istrinya pada instansi Pendidikan
Nasional di Kabupaten Malang. Alasan penulis mengadakan penelitian pada instansi
tersebut adalah karena tingkat perceraian lebih tinggi daripada instansi
lainnya. Rumusan Masalah 8Ali Zuhdi Muchdlor, Op. Cit., 278. xxiv Berdasarkan
uraian latar belakang penelitian tersebut, maka dapat dirumuskan
permasalahannya sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi Pasal 8 PP No. 10
Tahun 1983 Jo PP No. 45 Tahun 1990 tentang penyerahan sebagian gaji PNS untuk
mantan istri di Dinas Pendidikan Kabupaten Malang? 2. Bagaimana pandangan
masyarakat terhadap pelaksanaan Pasal 8 PP No. 10 Tahun 1983 Jo PP No. 45 Tahun
1990 tentang penyerahan sebagian gaji PNS untuk mantan istri di Dinas
Pendidikan Kabupaten Malang?
1. Untuk menjelaskan implementasi Pasal 8 PP No. 10 Tahun 1983 Jo PP No. 45 Tahun 1990 tentang penyerahan sebagian gaji PNS untuk mantan istri di Dinas Pendidikan Kabupaten Malang. 2. Untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap pelaksanaan Pasal 8 PP No. 10 Tahun 1983 Jo PP No. 45 Tahun 1990 tentang penyerahan sebagian gaji PNS untuk mantan istri di Dinas Pendidikan Kabupaten Malang.
Manfaat penelitian ini diharapkan sebagai berikut: 1. Secara Teoritis xxv a. Untuk menambah pengetahuan, pengalaman dan wawasan tentang aspek hukum yang ada pada PP No. 10/ 1983 khususnya pasal 8. b. Dengan hasil yang diperoleh diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah bagi Fakultas Syari’ah Jurusan al- Ahwal al-Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. c. Sebagai acuan referensi bagi peneliti selanjutnya dan bahan tambahan pustaka bagi siapa saja yang membutuhkan, terutama bagi mahasiswa Fakultas Syari’ah Jurusan al-Ahwal al-Syakhshiyyah dalam mengerjakan skripsi yang berhubungan dengan judul ini. 2. Secara Praktis: a. Dapat dijadikan bahan masukan bagi instansi terkait dalam melaksanakan pembagian gaji PNS kepada mantan istri. b. Dapat dijadikan sumber wacana bagi para aparat penegak hukum yang terkait di dalam dengan penelitian ini dalam melaksanakan PP No. 10/ 1983 terutama pasal 8
1. Untuk menjelaskan implementasi Pasal 8 PP No. 10 Tahun 1983 Jo PP No. 45 Tahun 1990 tentang penyerahan sebagian gaji PNS untuk mantan istri di Dinas Pendidikan Kabupaten Malang. 2. Untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap pelaksanaan Pasal 8 PP No. 10 Tahun 1983 Jo PP No. 45 Tahun 1990 tentang penyerahan sebagian gaji PNS untuk mantan istri di Dinas Pendidikan Kabupaten Malang.
Manfaat penelitian ini diharapkan sebagai berikut: 1. Secara Teoritis xxv a. Untuk menambah pengetahuan, pengalaman dan wawasan tentang aspek hukum yang ada pada PP No. 10/ 1983 khususnya pasal 8. b. Dengan hasil yang diperoleh diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah bagi Fakultas Syari’ah Jurusan al- Ahwal al-Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. c. Sebagai acuan referensi bagi peneliti selanjutnya dan bahan tambahan pustaka bagi siapa saja yang membutuhkan, terutama bagi mahasiswa Fakultas Syari’ah Jurusan al-Ahwal al-Syakhshiyyah dalam mengerjakan skripsi yang berhubungan dengan judul ini. 2. Secara Praktis: a. Dapat dijadikan bahan masukan bagi instansi terkait dalam melaksanakan pembagian gaji PNS kepada mantan istri. b. Dapat dijadikan sumber wacana bagi para aparat penegak hukum yang terkait di dalam dengan penelitian ini dalam melaksanakan PP No. 10/ 1983 terutama pasal 8
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Pandangan masyarakat Kabupaten Malang terhadap implementasi pasal 8 PP no. 10 tahun 1983 JO PP no. 45 tahun 1990: Studi pada Dinas Pendidikan Kabupaten Malang." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment