Abstract
INDONESIA:
Dalam Hukum Islam salah satu syarat menjadi saksi adalah adil, tapi dalam Hukum Acara Peradilan Agama tidak mengatur tentang keadilan seorang saksi. Syarat adil tersebut kemudian mendapat tanggapan dari berbagai pihak terutama para hakim. Hakim mempunyai kriteria adil tersendiri untuk para saksi dan itu berbeda dengan apa yang dirumuskan oleh para ulama.
Dari berbagai kriteria yang muncul paneliti mengadakan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pendapat hakim tentang adil, kriteria adil yang dirumuskan para ulama, serta untuk mengetahui alasan hakim menolak pencabutan keterangan saksi.
Agar penelitian ini berjalan lancar sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh peneliti, maka dalam penelitian ini menggunakan paradigma alamiah yang bersumber dari pandangan fenomenologis dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian case study. Sedangkan data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder yang dilakukan dengan teknik pengamatan, wawancara dan dokumentasi yang kemudian data tersebut diedit, diperiksa dan disusun secara cermat serta diatur sedemikian rupa yang kemudian dianalisis dengan
deskriptif kualitatif.
deskriptif kualitatif.
Pendapat hakim mengenai sifat adil saksi agar kesaksiannya sah dan dapat diterima sebagaimana Hukum Islam mengacu pada Undang-undang No.7 Tahun 1989, karena sejak diberlakukannya undang-undang tersebut Hukum Acara Peradilan Agama diperbolehkan memakai Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum sebagai Hukum Acaranya, yaitu HIR dan R.Bg. Kriteria adil bagi saksi menurut hakim Pengadilan Agama Malang sesuai dengan yang ditentukan oleh HIR dan R.Bg, yaitu saksi harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil, yang salah satunya saksi harus mau disumpah, karena dengan disumpah saksi dianggap telah jujur. Menurut Hakim Pengadilan Agama Malang jujur merupakan salah satu kriteria adil.Dalam hal penolakan keterangan saksi hakim tidak berpatokan pada pasal-pasal yang ada dalam undang-undang karena tidak ada pasal yang mengatur secara pasti mengenai pencabutan keterangan saksi, tapi hakim menggunakan ijtihad sendiri. Saksi tidak boleh mencabut keterangan karena keterangannya telah dicatat dalam BAP yang merupakan Akta Autentik suatu perkara. Dalam penolakan keterangan saksi hakim melihat keadilan saksi dari kejujurannya yang dibuktikan dengan sumpah.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkawinan merupakan sunnatullah
yang berlaku untuk semua makhluk-Nya yang ada di bumi. Perkawinan merupakan
cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak,
berkembang biak dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap
melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Tujuan
perkawinan sebagaimana firman Allah dalam surat arRum ayat 21 yang berbunyi: Artinya:”Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang”.2 Semua orang menginginkan
perkawinan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah. Dan untuk mewujudkan itu semua tidaklah mudah. Perkawinan harus dijaga
sedemikian rupa agar tidak hancur ditengah jalan yang menyebabkan terjadinya
sebuah perceraian. Kata perceraian dalam keluarga seakan merupakan “kiamat”
bagi sebuah mahligai rumah tangga. Setiap orang tentu tidak menginginkan
perceraian terjadi dalam kehidupan mereka. Namun jika kita lihat fenomena
perceraian makin marak belakangan ini, banyak alasan yang membuat suami istri
untuk mengambil jalan perceraian seperti misalnya karena tidak ada saling
kecocokan, disharmoni yang diakibatkan banyak faktor, KDRT dan lain sebagainya.
Perceraian merupakan putusnya hubungan antara pasangan suami istri sehingga
segala implikasi yang ditimbulkannya akan berlaku pada pasangan suami istri
yang melakukan perceraian. Khusus untuk masyarakat Islam mengajukan perkara
perceraian ke Pengadilan Agama. Untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan
bukanlah hal mudah tapi ada beberapa proses yang harus dilalui. Setelah para
pihak mengajukan perkara perceraiannya ke pengadilan dan telah melalui tahap
mediasi tapi gagal, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan duduk perkaranya. Untuk
membuktikan kebenaran dari dalil-dalil yang diajukan, maka penggugat ataupun
tergugat yang membantah dalil-dalil penggugat harus membuktikannya. Sebagaimana
yang dinyatakan dalam pasal 1865 KUH Perdata yang berbunyi”setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, Data di lapangan dalam perkara
cerai gugat no.597/Pdt.G/2008/PA/Mlg, penggugat harus membuktikan dalil-dalil
gugatannya, karena dalam hal ini penggugat adalah seorang istri. Dalam perkara
cerai gugat walaupun pihak tergugat tidak membantah dalil-dalil penggugat tapi
penggugat tetap diwajibkan untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya. Dalam hal
gugat cerai seorang istri harus menyerahkan 2 alat bukti, yaitu alat bukti
tertulis yang berupa Salinan Akta Perkawinan untuk membuktikan bahwa antara
penggugat dan tergugat memang pernah terjadi perkawinan dan alat bukti saksi
untuk meneguhkan dalil-dalil gugatan penggugat, karena dalam kasus ini
perceraian disebabkan karena KDRT. Menurut hukum acara perdata supaya saksi-saksi
yang diajukan oleh para pihak dapat didengar sebagai alat bukti, maka saksi
harus memenuhi syarat-syarat materiil, yaitu: keterangan yang diberikan
mengenai peristiwa yang dialami, didengar dan dilihat sendiri, keterangan yang
diberikan saksi mempunyai sumber pengetahuan yang jelas sebagaimana pasal 308
ayat (1) R.Bg, dan keterangan yang diberikan saksi saling bersesuaian satu sama
lain atau dengan alat bukti yang lain.4 Selain syarat materiil saksi juga harus
memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memberi keterangan di depan persidangan,
bukan yang dilarang untuk didengar sebagai saksi, bagi kelompok yang berhak
mengundurkan diri sebagai saksi 3 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Cet. 39 ; Jakarta: PT. Pradnya Paramita), 475. 4Chatib
Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada
Peradilan Agama (Yogyakarta: UII Press, 2009),111-112. menyatakan kesediaannya
untuk diperiksa sebagai saksi dan mengucapkan sumpah menurut agama yang
dianut.5 Menurut hukum Islam saksi yang dapat diterima kesaksiannya adalah yang
memenuhi syarat, dimana syarat tersebut merupakan suatu kewajiban yang harus
dimiliki seseorang untuk memberikan kesaksian, sehingga apabila tidak
terpenuhinya syarat-syarat maka kesaksian seseorang tidak dapat diterima.
Adapun syaratsyaratnya antara lain: Islam, baligh, berakal, merdeka, dan adil.
Salah satu syarat saksi dalam hukum Islam adalah adil. Dalam hukum acara
perdata tidak ada persyaratan seorang saksi harus adil sedangkan dalam hukum
Islam umat Islam sepakat akan disyari‟atkannya adil sebagai salah satu syarat
sebagai saksi yang memberikan keterangannya di dalam persidangan terutama dalam
hal perceraian yang menentukan hancur tidaknya suatu hubungan rumah tangga. Hal
ini juga ditegaskan dalam firman Allah dalam surat ath-Thalaq ayat 2: 4 Artinya:”……Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah
kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah………”6 Selain tidak disyaratkan adil
bagi saksi hukum acara perdata juga tidak mengatur tentang kriteria agar
seseorang saksi bisa dikatakan memiliki sifat adil. Berbeda dengan Hukum Islam
selain mensyaratkan adil bagi saksi yang memberikan keterangannya di dalam
persidangan, para ulama juga mempunyai kriteria tersendiri agar seorang saksi
dikatakan memiliki sifat adil, di antaranya, yaitu: tidak melakukan 5Abdul
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta:
Kencana, 2006), 250. 6 Al-Qur‟an, Op. Cit., 559. dosa besar, tidak terus
menerus melakukan dosa kecil, baik hati dan bukan merupakan musuh dari salah
satu pihak yang berperkara.7 Sifat keadilan merupakan tambahan bagi sifat
Islam, dan harus dipenuhi oleh para saksi yaitu kebaikan mereka harus
mengalahkan keburukannya, serta tidak dikenal kebiasaan berdusta dari mereka.
Sebagaimana firman Allah dalam surat alA‟raaf ayat 29: %
Artinya:”....Katakanlah,„Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil...‟”.8 Bahkan
yang lebih toleran adalah pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa orang bisa
dikatakan memiliki sifat adil cukup hanya dilihat dari keIslamannya secara
dzahir saja dan tidak diketahui darinya perbuatan yang merusak kemuliaan dan
kehormatannya.9 Syarat adalah sesuatu yang harus dipenuhi karena apabila tidak
dipenuhi, maka keterangan seorang saksi tidak dapat diterima dan tidak dapat
dikatakan sah secara hukum. Pengadilan Agama sebagai sebuah lembaga tempat
orang-orang Islam mencari keadilan yang bahkan salah satu hukum materiilnya
adalah al-Qur‟an, Hadits dan kitab-kitab fikih dalam praktek tidak menggunakan
kriteria Ulama dalam menilai keadilan dalam diri seorang. Dalam kasus perkara
cerai gugat no.597/Pdt.G/2008/PA.Mlg saksi dari pihak penggugat mencabut
keterangannya karena dipaksa oleh tergugat. pencabutan keterangannya saksi
tersebut Majelis Hakim menolaknya karena alasan telah memenuhi syarat formil
sebagaimana yang ditetapkan dalam Hukum Acara Perdata. Dalam kasus ini hakim
tidak terlihat menilai keadilan saksi dari apa yang disyaratkan oleh para
Ulama. Selain itu fenomena dimasyarakat orang yang berperkara ke Pengadilan
Agama kemudian diperintahkan membawa saksi oleh Majelis Hakim, mereka hanya
asal-asalan saja membawa saksi asalkan orang tersebut mengetahui apa yang
menjadi duduk perkaranya, maka itu sudah dianggap cukup tanpa mempertimbangkan
katentuan adil yang disyari‟atkan oleh Hukum Islam dan memiliki kriteria
seperti yang disebutkan oleh para Ulama. Tentunya hal ini terlepas dari tahu
tidaknya masyarakat akan disyari‟atkannya adil sebagai salah satu syarat untuk
menjadi saksi. Sifat adil tidak hanya harus dimiliki oleh seorang saksi dalam
akad nikah atau dalam hal poligami saja, tapi diperlukan juga dalam hal saksi
yang memberikan keterangannya di depan persidangan, karena sifat adil saksi
dalam memberikan keterangan di dalam persidangan sangat menentukan dalam
pertimbangan pengambilan keputusan oleh Majelis Hakim. Sebagai seorang hakim
yang harus tunduk kepada undang-undang yang berlaku, apalagi dalam lingkup
Peradilan Agama yang tidak sepenuhnya menggunakan al-Qur‟an, Hadits dan
kitab-kitab fikih sebagai landasan hukum dalam mengambil keputusan, tentunya
seorang hakim memiliki kriteria tersendiri untuk menentukan sifat keadilan dari
seorang saksi sehingga keterangannya dianggap sah dan dapat diterima. Setelah
diberlakukannya Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam
pasal 54 undang-undang tersebut menyatakan bahwa Peradilan Agama setara dengan
peradilan-peradilan yang lain dan dengan ketentuan itu Hukum Acara yang berlaku
di Peradilan Agama sama dengan Hukum Acara yang berlaku di peradilan umum,
yaitu HIR dan R.Bg termasuk mengenai alat bukti saksi. Dengan adanya
undang-undang tersebut yang memuat khusus mengenai Peradilan Agama yang mana di
dalamnya tidak mensyaratkan saksi harus memiliki sifat adil dan tidak ada
kriteria-kriteria khusus seperti yang para Ulama tetapkan agar seorang saksi
dikatakan memiliki sifat adil sehingga keterangan sah dan dapat diterima.
Selain itu Peradilan Agama adalah sebuah lembaga yang bisa dikatakan adalah
lembaga yang berbasis Islam, dan tentunya hakim-hakim di Peradilan Agama
setidaknya memiliki latar belakang agama. Sebagai manusia seorang hakim
Peradilan Agama selain harus tunduk pada peraturan undang-undang, yaitu HIR dan
R.Bg sebagai landasan hukum formil, hakim Peradilan Agama juga tidak bisa
mengabaikan al-Qur‟an, Hadits dan kitabkitab fikih sebagai salah satu landasan
hukum materiil. Dalam menentukan kriteria adil bagi saksi tentu hakim Peradilan
Agama mempunyai kriteria sendiri, sehingga keterangan saksi di dalam
persidangan dapat diterima dan dikatakan sah baik dari Hukum Islam ataupun
menurut Undang-Undang yang berlaku. Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik
untuk melakukan riset yang menelusuri tentang Pendapat Hakim Terhadap Kriteria
Adil Bagi Saksi Dalam Memberikan Kesaksian Perkara Cerai Gugat Di Pengadilan
Agama Malang (Studi Perkara No. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg). B. Identifikasi Masalah
Untuk memilih dan merumuskan suatu masalah peneliti terlebih dahulu mengidentifikasi
suatu masalah yang timbul dari das sollen dan das sein yang bertujuan untuk
menunjukkan adanya masalah secara jelas, banyak, serta luas yang timbul
terutama dari kerangka teori atau kerangka konseptual.
B.
Adapun masalah
dapat diidentifikasi Sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat Hakim mengenai perceraian? 2. Bagaimana pendapat Hakim
mengenai gugat cerai? 3. Bagaimana pendapat Hakim mengenai saksi? 4. Apa saja
syarat-syarat menjadi saksi? 5. Apa saja kewajiban dan hak-hak saksi? 6.
Bagaimana kriteria adil menurut Hakim? 7. Bagaimana prosedur pemeriksaan saksi?
8. Bagaimana pendapat hakim mengenai pencabutan keterangan saksi ketika saksi
telah memberikan keterangannya di hadapan Majelis Hakim? 9. Apa dasar
pertimbangan hakim dalam menerima atau menolak keterangan saksi?
C.
Batasan
Masalah
Agar permasalahan tetap fokus dan
tidak meluas maka pembatasan terhadap masalah ini sangat diperlukan sehingga
tujuan dari penelitian bisa dicapai. Menetapkan batasan-batasan masalah dengan
jelas sehingga memungkinkan penemuan faktor-faktor yang termasuk ke dalam ruang
lingkup masalah dan yang tidak. Untuk itu, peneliti membatasi pada bahasan
Pendapat Hakim Terhadap Kriteria Adil Bagi Saksi Dalam Memberikan Kesaksian
Perkara Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Malang (Studi Kasus Perkara No.
597/Pdt.G/2008/PA.Mlg).
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendapat Hakim Pengadilan Agama
Malang mengenai sifat adil yang harus dimiliki seorang saksi yang memberikan
keterangan di depan persidangan? 2. Menurut Hakim Pengadilan Agama Malang kriteria
apa saja yang harus dimiliki saksi agar dapat dikatakan memiliki sifat adil
sehingga keterangannya di depan persidangan dapat diterima dan dikatakan sah?
3. Apa alasan Hakim Pengadilan Agama Malang menolak pencabutan keterangan saksi
dalam perkara Gugat Cerai No. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg?
E. Tujuan Penelitian
Manusia mempunyai rasa keingintahuan terhadap
sesuatu, oleh karena itu berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti
bertujuan untuk menjawab permasalahan yang muncul mengenai: 1. Untuk mengetahui
pendapat Hakim Pengadilan Agama Malang mengenai sifat adil yang harus dimiliki
seorang saksi yang memberikan keterangan di depan persidangan. 2. Untuk
mengetahui kriteria apa saja yang harus dimiliki seorang saksi sehingga
keterangannya di depan persidangan dapat diterima dan dikatakan sah. 3. Untuk
mengetahui pendapat Hakim menolak pencabutan keterangan saksi dalam perkara
Gugat Cerai No. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg.
F. Manfaat Penelitian
Salah satu tujuan penelitian ini berdasarkan
rumusan di atas, diharapkan penelitian ini mempunyai manfaat baik secara
teoritis maupun praktis dalam rangka memperluas pengetahuan pendidikan
dimasyakarat. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai
berikut: 1. Secara Teoritis a. Menambah, memperdalam dan memperluas khazanah
keilmuan mengenai kriteria adil untuk seorang saksi agar keterangannya di depan
persidangan dapat diterima dan dikatakan sah. b. Digunakan sebagai landasan
bagi penelitian selanjutnya yang sejenis dimasa yang akan datang. 2. Secara
praktis a. Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam. b. Memberikan wawasan
dan pengalaman praktis dibidang penelitian mengenai kriteria adil untuk seorang
saksi agar keterangannya di depan persidangan dapat diterima dan dikatakan sah.
c. Hasil penelitin ini sangat berarti bagi peneliti karena dapat menambah
khazanah dan wawasan pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas syari‟ah.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Pendapat hakim terhadap kriteria adil bagi saksi dalam memberikan kesaksian perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Malang: Studi perkara no. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment