Abstract
INDONESIA:
Iddah menjadi suatu masalah klasik di masyarakat yang belum ada jalan keluarnya hingga saat ini, khususnya di Indonesia. Memang benar jika peraturan tentang iddah terdapat di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 11, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 153. Akan tetapi, peraturan itu hanya memuat tentang berapa lama iddah yang harus dijalani, bukan sejak kapan iddah mulai ditetapkan. Sehingga membuat beberapa PPN dan wakil PPN kebingungan untuk menentukan kapan iddah wanita dimulai, berangkat dari masalah tersebut keluarlah Surat Edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur No.KW.13.2/1/Pw.00.1/1097/2004 tentang keterangan tanggal putusan/penetapan Pengadilan Agama pada akta cerai khusus untuk wilayah Provinsi Jawa Timur. Di sisi lain Pengadilan Agama Banyuwangi mengeluarkan surat Penjelasan Pengadilan Agama dikarenakan pertanyaan dari bapak Wahab Cholil yang mana isinya berbeda dengan surat edaran Kementerian Agama ProvinsiJawaTimur.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memahami secara baik tentang dasar hukum dan kekuatan hukum dari pembuatan surat edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur No. KW.13.2/1/Pw.00.1/1097/2004 dan Penjelasan Pengadilan Agama Banyuwangi. Dan mengetahui mana yang lebih efektif dan mendekati kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia, khususnya Provinsi Jawa Timur.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif komparatif, jenis penelitian normatif dengan pendekatan Komparatif dan Pendekatan Undang-undang. Dalam rangka menganalisis bahan hukum, sebagian data didapat dari proses dokumentasi dan wawancara langsung kepada pejabat instansi terkait dibidangnya baik yang berhubungan langsung dengan kajian Surat Edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur No. KW.13.2/1/Pw.00.1/1097/2004 dan Penjelasan Pengadilan Agama Banyuwangi.
Dapat disimpulkan bahwa dasar hukum dari penetapan Surat Edaran Kementerian Agama ProvinsiJawaTimur No. KW.13.2/1/Pw.00.1/1097/2004 dan Penjelasan Pengadilan Agama Banyuwangi adalah sama yakni Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39 dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 153 akan tetapi pada praktik dan penafsirannya berbeda antara keduanya. Untuk kekuatan hukum keduanya sama-sama berjalan sesuai dengan kekuasaannya masing-masing, selama tidak ada kebingungan didalam masyarakat tentang penetapan masa iddah dan meminta penjelasan ke Pengadilan Agama, maka surat edaran Kementerian Agama tetap berlaku bagi KUA dan PPN sebagai pedoman penetapan masa iddah
ENGLISH:
Iddah becomes a classic problem in society that there is not away out until today, particularly in indonesia. It is that true if the rule about prescribed period contained in the act NO. 1in 1974on marriage Article 11, of Government Regulation No. 9 in 1975 on the implementation of law NO. 1 in 1974 on marriage article 39 and presidentialinstruction NO. 1 in 1991 on the compilation of Islamic law article 153. However, the rules it is only contains about how long the waiting period that must be lived, not when since prescribed period start set. So that the exit was a circulars of the ministry religion East java NO. KW.13.2/1/Pw.00.1/1097/2004 About the statement of date decision/determination Islamic court in divorcespecific certificate to the province East Java. In the other hand religious courts Banyuwangi issued which fatwa different with circular of the Ministry religious province East Java.
The purpose of the research is to understanding a better about law basis and the force of law from the manufacture of circular the Ministry Religious Province East Java No. KW.13.2 / 1 / Pw.00.1 / 1097/2004 and the fatwa Islamic Court Banyuwangi . And to find out which one is more effective and closer to the benefit for the people of Indonesian , especially East Java Province .
The research is used comparative descriptive study, the type of normative research,statute approach and comparative approach. The act in order to analyze the data , some of the data obtained from direct documentation and interview process to officials of the relevant agencies in the art either directly related to this study and also literature data relating to the circular of the Ministry Religious Province East Java No. KW.13.2 / 1 / Pw.00.1 / 1097/2004 and the explanation Islamic Court Banyuwangi .
It can be concluded that the lawdetermination of the circular the Ministry of Religious Province East Java No. KW.13.2 / 1 / Pw.00.1 / 1097/2004 and the explanation Islamic Court Banyuwangi is the same Government Regulation No. 9 in 1975 on the implementation of Law No. 1 in 1974 concerning marriage and article 39 of Presidential Instruction No. 1 in 1991 on the Compilation of Islamic Law Article 153 but in practice and interpretations different between both of them. For law force both of them equally could be ruled out , as long as there is not confusion in the community regarding the determination of the prescribed period and asked for a explanation to the Islamic Court , the circular of the Ministry of Religion remains valid as a guideline determination of the prescribed period .
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perceraian atau putusnya perkawinan
adalah terputusnya ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Putusnya ikatan tersebut dapat diakibatkan oleh salah seorang diantara keduanya
meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah seorang
diantara 2 keduanya sudah pergi meninggalkan kediamannya sehingga pengadilan
menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.1 Adat mayoritas masyarakat
Indonesia yang dinamakan putusnya perkawinan adalah ketika suami mengucapkan
kata talak, mereka menganggap bahwa hal tersebut sebagai tanda bahwa ikatan
perkawinan telah putus, akan tetapi sesungguhnya di Indonesia sendiri sudah
memiliki peraturan sendiri tentang perceraian, bahwa perceraian baru dianggap
putus setelah diputus di hadapan Pengadilan Agama. Indonesia sendiri hingga
pada pendataan tahun 2013, jumlah peristiwa nikah menurun dari tahun 2012
menjadi sebanyak 2.218.130 peristiwa, namun tingkat perceraiannya meningkat
menjadi 14,6 persen atau sebanyak 324.527 peristiwa. Data ini dikemukakan oleh
Kementerian Agama (Kemenag) yang disampaikan oleh Kepala Subdit Kepenghuluan
Anwar Saadi. 2 Mengenai perceraian, Islam mengambil posisi tengah-tengah,
antara melarang dan membolehkan tanpa batas. Larangan perceraian mungkin sangat
ideal tetapi sulit diterapkan. Sebab, pengendalian diri secara mutlak merupakan
hal yang mustahil. Menurut ideologi Islam, kaidah hukum yang bersifat melarang
hanya diterapkan sejauh manusia bisa mencapainya. Sebaliknya, kebebasan tanpa
batas tidak masuk akal dan hanya menimbulkan kemelut, 1 Zainuddin Ali, Hukum
Perdata di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2006) h. 73 2 Republika.co.id,
“Tingkat perceraian di Indonesia Meningkat tiap tahun ini datanya”,
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-tingkat-perceraian-indonesiameningkat-setiap-tahun-ini-datanya
diakses tanggal 28 Desember 2014. 3 bahaya, dan kerusakan.3 Hal semacam itu
tidak mungkin dibiarkan. Seperti Hadist Rasulullah SAW أ ب ض غ َلِل إ ال ح َل ق ِهلل ال طَّ ل ى ا Artinya: Sesuatu
Perbuatan yang paling dibenci Oleh Allah adalah Talak/perceraian (Riwayat Abu
Dawud, Ibn Majah, dan Al-Hakim).4 Posisi tengah-tengah Islam ini dapat dipahami
dengan melihat kedudukan perkawinan dalam Islam. Perkawinan dalam Islam
bukanlah merupakan perbuatan perdata (civil act), juga bukan perjanjian suci
(sacramental vow), tetapi sintesis keduanya. Oleh karena itu, perceraian
dibolehkan tetapi bukan tanpa batas seperti dalam kontrak bebas. Sebaliknya,
juga bukan tidak terputuskan seperti sebuah perjanjian suci.5 Hukum perkawinan
Indonesia. Ditetapkan asas “mempersukar terjadinya perceraian”. Asas
“mempersukar terjadinya perceraian” ini terlihat dengan adanya ketentuan : (1)
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak,
(2) untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
isteri itu tidak akan dapat hidup 3
http://ekomardion.blogspot.com/2009/04/tanggal-menjadi-janda.html diakses
tanggal 11 - 06- 2014 pukul 15.33 4 Muhammad Abdul Fuad al-Baafii, Sunan Ibnu
Majah, Juz 1 (Beirut: Darul Kitab al-Banani,2010), h.651 5
http://ekomardion.blogspot.com/2009/04/tanggal-menjadi-janda.html diakses
tanggal 11 - 06- 2014 pukul 15.33 4 rukun sebagai suami isteri, (3) tata aturan
perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan
sendiri.6 Demi asas ini, cerai talak yang asalnya dalam fikih sifat perkaranya
mirip volunter ditingkatkan menjadi gugat contentiosa dengan ketentuan: suami
sebagai pemohon yang berkedudukan sebagai "penggugat" dan isteri
sebagai termohon yang berposisi sebagai "tergugat" dan proses
pemeriksaannya berdasar atas asas audi et alteram partem. 7 Dalam upaya
realisasi asas “mempersukar terjadinya perceraian” sebagaimana telah
dideskripsikan di depan, maka kalau dicermati dalam satu kasus perceraian,
Pengadilan Agama sampai mengeluarkan beberapa produk hukum. Bagi cerai talak, Pengadilan
Agama mengeluarkan tiga produk hukum, yaitu (1) putusan, (2) penetapan, dan (3)
akta cerai. Sedang bagi cerai gugat, ada dua produk hukum, yaitu (1) putusan
dan (2) akta cerai. Putusan yang juga disebut vonnis (Belanda) atau al-qada‟u
(Arab), adalah produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan
dalam perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk Pengadilan semacam 6
Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 7 M. Yahya Harahap, S.H.
"Materi Kompilasi Hukum Islam" dalam Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.
dkk. (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia
(Yogyakarta : UII Press, 1993), h. 91-92. 5 ini biasa diistilahkan dengan
“produk peradilan yang sesungguhnya” atau jurisdictio cententiosa. 8 Sedangkan
penetapan yang disebut al-itsbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu produk
Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang
diistilahkan jurisdictio voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang
sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan
tentang sesuatu, sedangkan ia tidak berperkara dengan lawan.9 Akan tetapi, di
lingkungan peradilan agama ada beberapa jenis perkara yang berupa penetapan
tetapi ternyata bukan penetapan dalam bentuk voluntaria murni, sehingga
penetapan di sini pemohon dan termohon berposisi sebagai “penggugat” dan
“tergugat”.10 Hal ini dikarenakan pemohon ketika menggunakan haknya bisa
mendapat perlawanan dari termohon, misalnya permohonan pemohon (suami) agar
sidang menyaksikan pengucapan ikrar talak kepada isterinya. Oleh karena itu,
dalam kasus ini pengadilan sebelum mengeluarkan penetapan permohonan, terlebih
dahulu mengeluarkan putusan “gugatan”, sehingga dalam satu perkara bisa ada
beberapa produk peradilan. 8 Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H., Hukum Acara
Peradilan Agama (Jakarta : Rajawali Press, 1991), h. 195. 9 Rasyid, S.H., Hukum
Acara Peradilan Agama, h. 205 10 Rasyid, S.H., Hukum Acara Peradilan Agama,h.
207 6 Pengadilan Agama setelah mengeluarkan penetapan (bagi cerai talak) dan
putusan (bagi cerai gugat) yang kemudian keduanya telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka panitera Pengadilan Agama akan mengeluarkan produk hukum
lainnya, yaitu berupa akta cerai. Beberapa produk hukum ini. dalam aplikasinya
menimbulkan problema yuridis: mulai kapan seorang perempuan dihitung menjadi
janda? Apakah sejak tanggal dikeluarkannya putusan, penetapan, ataukah sejak
dikeluarkannya akta cerai? Tampaknya, di kalangan Pelaksana Undang-undang
Perkawinan, baik Pegawai Pencatat Nikah, penghulu, ataupun pembantu Pegawai
Pencatat Nikah, terjadi keragaman dan kerancuan pemahaman. Kondisi seperti ini
diperparah lagi oleh (kadang-kadang) ketidaktepatan pihak kepaniteraan
Pengadilan Agama dalam membubuhi tanggal dalam akta cerai. Kemudian jika ditinjau
dari penjelasan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Banyuwangi berbeda
dengan Surat Edaran dari Kementerian Agama Provinsi Jawa timur NO. KW
13.2/1/PW.00.1/1907/2004 yang dimana Surat Edaran Departemen Agama Atau yang
sekarang Disebut Kementrian Agama Provinsi Jawa timur itu mengemukakan bahwa
yang namanya masa iddah wanita itu dimulai dari tanggal diterbitkannya akta
cerai oleh Pengadilan Agama baik itu cerai talak ataupun cerai gugat. Akan
tetapi sebaliknya Pengadilan Agama Banyuwangi Dalam penjelasannya mengungkapkan
bahwa yang namanya cerai gugat masa 7 iddah dimulai sejak keluarnya keputusan
Pengadilan Agama yang berkekuatan hukum tetap dan untuk cerai talak dimulai
iddahnya adalah semenjak si mantan suami mengikrarkan talak di hadapan Pengadilan
Agama. Berangkat dari hal ini peneliti merasa terjadi dualisme hukum, karena
ketidakpastian dari beberapa Pengadilan Agama dan mampu membuat para Pegawai
Pencatatan Nikah atau pembantu Pegawai Pencatatan Nikah kebingungan dengan dua
hal yang berbeda. Kemudian peneliti tertarik untuk mengangkat judul penelitian
Studi Komparatif Surat Edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur No. KW
13.2/1/PW.00.1/1097/2004 dan Fatwa Pengadilan Agama Banyuwangi mengenai
penetapan masa iddah. B. Rumusan Masalah 1. Apakah landasan hukum penghitungan
awal masa iddah menurut Penjelasan Pengadilan Agama Banyuwangi dan Surat Edaran
Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur No. KW.13.2/Pw.00.1/1097/2004? 2.
Bagaimana kekuatan hukum penghitungan awal masa iddah menurut Penjelasan
Pengadilan Agama Banyuwangi dan Surat Edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa
Timur No. KW.13.2/Pw.00.1/1097/2004? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan Rumusan
Masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah: 8 1. Memahami landasan
hukum dari penetapan Fatwa Pengadilan Agama Banyuwangi dan Surat Edaran
Departemen Agama Provinsi Jawa Timur mengenai dasar dalam penghitungan awal
masa iddah. 2. Untuk memahami dan menganalisis kekuatan hukum dari Fatwa
Pengadilan Agama Banyuwangi dan Surat Edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa
Timur mengenai dasar dalam penghitungan awal masa iddah. D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Dilihat secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat
memberikan penjelasan secara rinci tentang penetapan penghitungan awal masa iddah
berdasarkan Fatwa Pengadilan Agama Banyuwangi dan Surat Edaran Kementerian
Provinsi Jawa Timur mengenai dasar penghitungan awal masa iddah. Sehingga dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum terkait iddah serta sebagai
bahan bacaan dan kepustakaan. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini
dilakukan untuk mendapatkan gelar S1 sarjana hukum islam (S.HI) bagi peneliti,
kemudian juga dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran dan dapat menambah
wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas. Serta penelitian ini 9 dapat juga
dijadikan sebagai bahan referensi bagi civitas akademik dan para peneliti yang
lainnya. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan
untuk penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (Normative Legal
Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan
hukum tertentu. Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian
doctrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan
perundangundangan dan bahan Pustaka.11 Dalam Penelitian ini peneliti mengkaji
aspek kepastian hukum dari penetapan masa iddah bagi wanita dan perbedaan
penanggalan dari pada akta cerai antara cerai gugat dan cerai talak. Serta
untuk memberikan solusi terhadap kepastian hukum terhadap penghitungan masa
iddah wanita. 2. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat
beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan
informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari
jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam 11 Soejono dan H.
Abdurrahman, 2003, Metode penelitian Hukum, (Rineka Cipta, Jakarta.) h.56 10
penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan
kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).12 Pendekatan yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
adalah pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan
Undang-undang (Statute Approach) pendekatan komparatif dilakukan dengan
membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang dari satu atau
lebih Negara lain mengenai hal yang sama. Dapat juga yang diperbandingkan di
samping undang-undang juga putusan pengadilan di beberapa Negara untuk kasus
yang sama. 13kegunaan pendekatan ini adalah untuk memperoleh persamaan dan
perbedaan diantara undang-undang tersebut. Pendekatan Undang-undang (Statute
Approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hokum yang sedang ditangani. Bagi penelitian ini
untuk kegiatan praktis, pendekatan Undang-undang ini membuka kesempatan bagi
peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu
Undang-undang dengan Undang-undang 12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,
(Jakarta: Kencana, 2010), h. 93. 13 Mahmud Marzuki, Penelitian, h. 95 11
lainnya. Hasil dari telaah merupakan suatu argument untuk memecahkan suatu isu
yang dihadapi.14 Berangkat dari hal tersebut penulis bermaksud menggunakan dua
pendekatan ini guna mengungkap perbedaan dan persamaan yang terdapat pada dasar
penetapan dan kekuatan hukum penetapan dari Pengadilan Agama Banyuwangi dan
Surat Edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur No. KW
13.2/1/PW.00.1/1097/2004 mengenai penetapan masa iddah. Serta mengetahui dasar
penetapan dan kekuatan hokum Penetapan dari Pengadilan Agama Banyuwangi dan
Surat Edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur No.
KW.13.2/Pw.00.1/1097/2004 mengenai penetapan masa iddah. 3. Bahan-bahan Hukum
Penelitian Normatif acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma
yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas oleh karena itu
pertama, 14 Amiruddin, Penelitian Hukum, h. 94 12 sebagai sumber datanya
hanyalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier.15 a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum yang akan
digunakan adalah Penjelasan Pengadilan Agama Banyuwangi mengenai Penetapan
penentuan awal masa iddah dan juga Surat Edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa
Timur No. KW 13.2/1/PW.00.1/1097/2004 tentang keterangan tentang tanggal
putusan/penetapan Pengadilan Agama pada akta cerai dan juga segala peraturan
perundangundangan Yang berkaitan dengan perkawinan seperti Kompilasi Hukum
Islam, Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan peraturan lainnya yang mengatur. b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil
penelitian atau pendapat pakar hukum. 16 Para hakim pengadilan Agama dan
Pejabat yang mengeluarkan Surat Edaran 15Amiruddin, Penelitian Hukum h. 118 16
Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum.h. 119 13 Kementerian Agama
Wilayah Provinsi Jawa Timur, dan juga para Pegawai Pencatatan Nikah (PPN). c.
Bahan Hukum Tersier Bahan yang menjelaskan bahan hukum primer dan sekunder,
seperti: kamus hukum, ensiklopedia, bibliografi, indeks.17 4. Metode
Pengumpulan Data a. Dokumentasi Metode yang digunakan adalah Metode kepustakaan
dan dokumentasi Yaitu peneliti mencari data mengenai hal-hal atau variable yang
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen, agenda dan
sebagainya.18 Di dalam penelitian ini peneliti mencari dokumentasi atau
kepustakaan mengenai pembahasan penetapan masa iddah yang bisa memberikan
kepastian hukum terhadap waktu iddah b. Wawancara Wawancara digunakan sebagai
teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan
untuk menemukan 17 Saifullah, Buku Panduan Metodologi Penelitian, (Malang: UIN
Press, 2006), h. 42 18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 231. 14 permasalahan yang harus
diteliti.19 Dalam teknik wawancara ini, pewawancara (interviewer) mengajukan
sejumlah pertanyaan kepada terwawancara (interviewee) yang akan memberikan
jawaban atas pertanyaan itu untuk memperoleh informasi-informasi yang
dibutuhkan oleh interviewer. Teknik wawancara yang digunakan pewawancara adalah
teknik wawancara tidak terstruktur. Peneliti melakukan wawancara secara
langsung dengan memberikan pertanyaan secara langsung kepada Pejabat yang
berwenang yang telah mengeluarkan penetapan Fatwa Pengadilan Agama Banyuwangi
dan Surat Edaran Kementerian Pengadilan Agama No. KW 13.2/1/PW.00.1 tentang
penetapan awal masa iddah. 5. Metode Pengolahan Data a. Editing yaitu memeriksa
kembali semua data yang diperoleh, terutama dari segi kelengkapan, kejelasan
makna, kesesuaian serta relevansinya dengan kelompok data yang lain, guna untuk
mengetahui apakah data tersebut sudah cukup baik dan bisa dipahami serta dapat
dipersiapkan untuk keperluan proses berikutnya. Dalam hal ini peneliti
memeriksa 19 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2012),h. 137. 15 kembali semua data yang di peroleh dari
hasil kajian kepustakaan mengenai kepastian hukum penetapan masa iddah. b.
Klasifikasi Yakni mereduksi data yang ada dengan cara menyusun dan
mengklasifikasikan data yang diperoleh ke dalam pola tertentu atau permasalahan
tertentu untuk mempermudah pembahasannya. Maka peneliti mengklasifikasikan data
dari hasil kepustakan yang didapat tentang penentuan masa iddah. c. Analisis
yaitu proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari
hasil pengamatan (observasi), wawancara, catatan lapangan, dan studi
dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke sintesis, menyusun ke dalam
pola, memilih mana yang penting dan mana yang akan dipelajari, dan membuat
kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri dan orang lain.20 adapun
metode analisis yang digunakan adalah Deskriptif Komparatif analisis. 20
Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan Dan Sosial “Kualitatif &
Kuantitatif”, (Jakarta: GP Pres, 2008), h. 221-222. 16 d. Kesimpulan yakni
pengambilan kesimpulan dari data-data yang telah diolah terlebih dahulu.
Kesimpulan yang ditarik berdasarkan berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan
merupakan jawaban yang benarbenar dicari.21 F. Penelitian Terdahulu Dari hasil
penelitian pertama yang dilakukan oleh Abdul Ghofur pada tahun 2012, yang
berjudul “ Studi Analisis terhadap ketentuan KHI Pasal 153 KHI ayat (5) Tentang
iddah bagi perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena
menyusui dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.22 Dia
mengungkapkan pokok permasalahannya adalah bagaimana penghitungan iddah
perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui dalam
Kompilasi Hukum Islam dan Apa dasar hukum iddah perempuan yang berhenti haid
ketika menjalani masa iddah karena menyusui dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam
penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengumpulkan
data-data kepustakaan atau disebut “ Library Research “. 21 Suharsimi Arikunto,
Prosedur Penelitian suatu pendekatan Praktik, h. 342. 22 Abdul Ghofur, Studi
Analisis Terhadap KetentuanKHIi pasal 153 ayat (5) Tentang Iddah Bagi Perempuan
Yang Berhenti Haid Ketika Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui, Skripsi,
(Semarang: IAIN Walisongo, 2012). 17 Dalam penelitian ini juga menggunakan
analisis deskriptif yang berusaha menggambarkan masalah tersebut Hasil dari
penelitiannya adalah perempuan sedang menyusui, kaitannya dengan dengan maslah
iddah, ia dianalogikan sebagai wanita yang berpenyakit. Bukan berarti susu itu
adalah penyakit. Akan tetapi, menyusui yang mengakibatkan berhentinya haid
itulah yang menjadikan wanita yang memiliki penyakit (illat). Kedua adalah
dalam KHI pasal 153 ayat (5) mengandung ketentuan bahwa jika wanita yang
haidnya berhenti karena menyusui atau penyebabnya adalah penyakit itu telah
mencapai usia menopause, maka beriddah tiga bulan. Meski hal ini tidak
dijelaskan langsung secara eksplisit. Ketentuan iddah yang tertuang dalam KHI
pasal 153 ayat (5) berdasar pendapat ulama yang bermadzhab Syafi’i yaitu Syaikh
Sulaiman. Sedangkan perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti
adalah terletak diamana peneliti hanya membatasi bahwa bagaimana sesungguhnya
perbedaan dan persamaan penetapan awal masa iddah dari penjelasan Pengadilan
Agama Banyuwangi dan Surat Edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. Dari
Penelitian Kedua yang dilakukan oleh Ridwan Kusuma pada tahun 2012 yang
berjudul “ Masa Iddah Istri Yang Suaminya Mafqud Menurut Imam Asy-Syafi’I
(dalam Kitab Al-Umm) di Universitas Islam Negeri (UIN) 18 Sunan Kalijaga,
Yogyakarta.23 Dalam penelitian ini yang menjadi pembahasan masalah adalah
permasalahan adalah bagaimana mengenai masa 'iddah seorang perempuan yang
suaminya mafqud. apakah dia diwajibkan ber'iddah atau bagaimana 'iddahnya di
dalam al- Qur'an tidak ada penjelasan mengenai hal ini. Dalam skripsi ini
penyusun membahas mengenai masa 'iddah istri yang suaminya mafqud menurut Imam
Asy- Syafi'i (Dalam Kitab Al- Umm), bagaimana mengenai masa 'iddah seorang
istri yang suaminya mafqud, apakah dia diwajibkan ber'iddah atau bagaimana
'iddahnya didalam al- Qur'an tidak ada penjelasan mengenai hal ini. Skripsi ini
merupakan penelitian kepustakaan, yaitu jenis penelitian yang sumber datanya
diperoleh dari pustaka, buku- buku atau karya- karya yang relevan dengan pokok
permasalahan yang diteliti. Pendekatan yang penyusun gunakan yaitu: pendekatan
normatif, yaitu cara mendekati masalah dengan mendasarkan pada teks- teks al-
Qur'an dan al- Hadis serta kaidahkaidah usul fiqh maupun pendapat para ulama.
Sifat dalam penelitian ini adalah deskriptis analisis, yaitu menggambarkan dan
menguraikan pokok permasalahan yang diteliti secara proporsional dengan proses
analisis. Maka penelitian ini berusaha menjelaskan masa 'iddah isteri yang
suaminya mafqud menurut Imam Asy- Syafi'i (Dalam Kitab Al- Umm), kemudian
memberikan gambaran umum tentang 'iddah sebagai salah satu variabel dari
penelitian ini. 23 Ridwan Kusuma, Masa „Iddah Istri Yang Suaminya Mafqud
Menurut Imam Asy- Syafi'i (Dalam Kitab al- Umm), skripsi, (Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga, 2012) 19 Setelah meneliti dan menganalisa masa 'iddah istri yang
suaminya mafqud menurut Imam As- Syafi'i (Dalam Kitab Al- umm) penyusun
berkesimpulan bahwa Imam As- Syafi'i berpendapat bagi istri yang suaminya
mafqud dilarang menikah dan 'iddah, jika masih ada keyakinan di dalam diri
seorang isteri tersebut, akan tetapi jika seorang isteri tersebut sudah
mempunyai keyakinan dalam diri bahwa suaminya telah meninggal maka boleh
ber'iddah dan kemudian menikah lagi. Karena menikah bukanlah sesuatu hal yang
buruk. Sudah jelas letak perbedaaanya dengan skripsi yang peneliti sedang
teliti yaitu membatasi masalah bahwa bagaimana sesungguhnya perbedaan dan
persamaan penetapan awal masa iddah dari Fatwa Pengadilan Agama Banyuwangi dan
Surat Edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. G. Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh sebuah karya ilmiah yang terarah dan sistematis, maka perlu
disusun sistematika pembahasan. Dalam penelitian ini, ada empat sistematika,
yaitu: Bab I (pertama) yang merupakan awal dari penyusunan penelitian, dalam
bab ini memuat tentang latar belakang masalah yang diambil, yaitu sebuah
rangkuman yang mengupas tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi, bahwa
masalah ini perlu dan penting untuk diteliti. Dari latar belakang masalah yang
telah dipaparkan, akan memunculkan beberapa pertanyaan yang terkait hal tersebut,
maka peneliti mencantumkan beberapa 20 pertanyaan tersebut dalam poin rumusan
masalah. Dari rumusan masalah yang akan peneliti bahas, memiliki tujuan yang
tercantum dalam tujuan penelitian. Selain itu, juga memiliki manfaat yang
tercantum dalam manfaat penelitian yang memuat tentang manfaat penelitian bagi
peneliti khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya. Di dalam BAB I ini
dijelaskan mengenai metode penelitian yang akan mengulas metode yang digunakan
oleh peneliti dalam penelitian ini. Metode tersebut meliputi jenis penelitian,
pendekatan penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan metode
pengolahan data. Sehingga dengan pembahasan tersebut dapat mengungkap sejumlah
cara yang diatur secara sistematis, logis, rasional dan terarah tentang
bagaimana pekerjaan sebelum, ketika dan sesudah mengumpulkan data sehingga
diharapkan mampu menjawab secara ilmiah perumusan masalah yang telah
dipaparkan. akan memaparkan tentang penelitian terdahulu, untuk melihat
perbedaan tentang masalah penelitian yang dikaji dengan peneliti yang lain.
Perlu mencantumkan penelitian terdahulu yang berfungsi sebagai tolak ukur
perbedaan tentang masalah yang dikaji, supaya peneliti tidak dianggap plagiasi
terhadap hasil penelitian orang lain. Untuk Bab II (kedua) Dalam bab ini, juga
terdapat kerangka teori yang membahas secara singkat tentang teori-teori
penelitian yang akan dilakukan. BAB III (ketiga) membandingkan perbedaan dan
persamaan antara surat edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur Nomor: 21
KW.13.2/1/Pw.00.1/1097/2004 dan penjelasan Pengadilan Agama Banyuwangi mengenai
penetapan awal masa iddah. Dan juga mendeskripsikan sumber hukum keluarnya
kedua surat tersebut dan menjelaskan bagaimana kekuatan hukum dari
dikeluarkannya surat tersebut. BAB IV (empat) merupakan bab terakhir dari
skripsi yang merupakan kesimpulan dan saran-saran terhadap dikeluarkannya surat
edaran Kementerian Agama Wilayah Provinsi Jawa Timur Nomor
:KW.13.2/1/Pw.00.1/1097/2004 dan juga penjelasan Pengadilan Agama Banyuwangi
tentang penjelasan akta cerai dan juga penetapan masa iddah.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Studi komparatif surat edaran Kementerian Agama Jawa Timur No. KW.13.2/1/Pw.00.1/1097/2004 dengan penjelasan Pengadilan Agama Banyuwangi tentang penetapan masa iddah." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah iniDOWNLOAD
No comments:
Post a Comment