Abstract
INDONESIA:
Praktik Hadlanah merupakan pengasuhan anak yang wajib dilakukan oleh setiap orang tua. Pengasuhan tersebut wajib dilaksanakan dalam kondisi apapun, termasuk pasca perceraian. Dalam hukum Islam dan KHI pasal 105 tentang akibat terjadinya perceraian, dijelaskan bahwa anak yang belum mencapai umur mumayyiz merupakan hak ibu, apabila anak telah mumayyiz, maka diberikan hak untuk menentukan pengasuhan atas dirinya. Hal tersebut berbeda dengan praktik hadlanah yang ada di desa Tanjung Bumi. Bagi masyarakat desa Tanjung Bumi penyelesaian perkara hadlanah pasca perceraian berdasarkan pada jenis kelamin anak. Apabila anak tersebut perempuan maka hak asuh ada ditangan bapak, sedangkan apabila anak tersebut laki-laki, maka hak asuh diserahkan kepada ibu.
Tujuan utama kajian ini adalah untuk mengetahui faktor apa yang melatar belakangi masyarakat Desa Tanjung memilih mempraktikkan hadlanah pasca pereceraian berdasarkan jenis kelamin anak. Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana hadlanah perspektif hukum Islam dalam pandangan tokoh agama dan tokoh masyarakat desa Tanjung Bumi.
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Sebagian besar data primer dikumpulkan melalui metode wawancara dan observasi lapangan. Literatur dan dokumentasi terkait persoalan ini digunakan sebagai data skunder. Setelah terkumpul selanjutnya di analisis menggunakan metode deskriptif.
Berdasarkan pada analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat desa Tanjung Bumi memilih mempraktikkan hadlanah pasca perceraian berdasarkan pada jenis kelamin anak, karena apabila anak perempuan diasuh oleh bapak, masyarakat desa Tanjung Bumi menganggap bahwa kelak ketika anak tersebut dewasa dapat membantu bapak menyiapkan segala kebutuhan bapak. sedangkan bagi seorang ibu yang lebih memilih mengasuh anak laki-laki, karena masyarakat menganggap kelakketika anak laki-laki telah dewasa dapat berbakti kepada ibu dengan menjaga dan mengawasinya serta menjadi tulang punggung bagi ibunya.
ENGLISH :
Hadlanah Practice a child care that must be performed by each parent.Parenting must be carried out under any conditions, including post-divorce. In Islamic law and KHI Article 105 of the consequences of divorce, explained that a child who has not attained the age mumayyiz mother is right, if the child has mumayyiz, then given the right to determine custody of him. This is different from hadlanah practice in the village of Tanjung Bumi. For the people of the village of Tanjung Bumi hadlanah post-divorce settlement based on the sex of the child.If the child is female then custody is in the hands of the father, whereas if the child is male, then handed over to the custody of the mother.
The main purpose of this study was to determine what factors are behind the village of Tanjung choose to hadlanah practice post-divorce by child's gender. Furthermore, to know how hadlanah perspective of Islamic law in view of the religious leaders and village community leaders Tanjung Earth.
In this study using this type of field research with a qualitative approach. Most of the primary data collected through interviews and field observations. Literature and documentation related to these issues are used as secondary data. After further collected were analyzed using descriptive methods.
Based on the analysis that had been done, it can be concluded that communities of village Tanjung Bumi choose hadlanah post-divorce practice is based on the child's gender, because if the girl cared for by the father, communities of village Tanjung Bumi assume that one day when the adult child can help father prepare all the needs of father, whereas for a nurturing mother who prefer boys, because people considered later when the boy had grown to devote to the mother as well as maintain and monitor the backbone for his mother.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hadlânah adalah Pengasuhan anak dibawah umur
yang wajib dilaksanakan oleh kedua orang tua, karena pada dasarnya seorang anak
dilahirkan tanpa memiliki pengetahuan apapun sehingga pengasuhan sangat
dibutuhkan oleh seorang anak. Hadlânah biasanya dilakukan kepada anak yang
masih kecil yang belum bisa menyiapkan segala kebutuhannya dengan sendiri, oleh
karena itu anak membutuhkan bantuan orang lain yaitu orang tuanya. Hadlânah
yang dimaksud adalah memberikan dan 2 menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan
anak, misalnya makan dan minum. Para ahli fiqh mendefinisikan hadlânah sebagai
melakukan pengasuhan anak-anak yang masih kecil, laki-laki ataupun perempuan
atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, tanpa perintah darinya, menyediakan
sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan
merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri
menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.1 Selain hadlânah, seorang anak
juga membutuhkan pendidikan dalam membentuk pribadi yang baik untuk anak.
Pendidikan terhadap anak bisa dilakukan secara langsung oleh orang tua seperti
pendidikan adab dan sopan-santun ketika bersosialisasi dengan lingkungan
sekitar atau adab-adab lainnya. Selain pendidikan mengenai adab dan
sopan-santun, seorang anak juga membutuhkan pendidikan keagamaan seperti
belajar sholat. Hal tersebut bisa langsung diajarkan sendiri oleh orang tua
atau melibatkan pihak lain yang lebih memahami agama. Dalam kaitannya dengan
pendidikan adab dan agama anak juga membutuhkan pendidikan tentang ilmu
pengetahuan, dalam pendidikan ini orang tua tidak dapat mendidik secara
langsung 1 Sayyid Sabiq, Fiqqih Sunnah Jilid 3, diterjemahkan Nor Hasanuddin (
Cet. I; Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), h. 237. 3 karena hal ini hanya akan
didapatkan di sekolah, selain itu dibutuhkan pula tenaga professional seperti
seorang guru. Hadlânah dan pendidikan tersebut akan berlangsung baik apabila
dilaksanakan oleh ibu dan bapak, karena hadlânah harus ada kerjasama yang baik
antara ibu dan bapak seperti tugas seorang ibu adalah menyiapkan segala
kebutuhan anak dan untuk mendapatkan kebutuhannya tersebut merupakan tugas
seorang bapak sebagai kepala keluarga dengan memberikan nafkah untuk memenuhi
kebutuhan hadlânah, hal tersebut termasuk pula pada pendidikan anak. Hadlânah
akan dianggap sukses apabila dalam pengasuhan tersebut terdapat adanya kerja
sama antara kedua orang tua, karena keluarga merupakan unsur yang sangat
penting dalam pengasuhan anak.2 Pecahnya rumah tangga kedua orang tua, tidak
jarang menyebabkan terlantarnya pengasuhan anak, itulah sebabnya menurut ajaran
Islam perceraian sedapat mungkin harus dihindari. 3 Meskipun begitu, Islam
tetap memberikan perhatian khusus dalam hadlânah yaitu dengan memberikan dua
periode terhadap anak yang harus diperhatikan periode tersebut adalah Periode
sebelum mumayyiz dan periode mumayyiz. Periode sebelum mumayyiz adalah dari
waktu lahir sampai menjelang umur tujuh 2 Fuaduddin, Pengasuhan Anak dalam
Keluarga Islam , ( Jakarta Pusat: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999.), h.
4. 3 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
(Jakarta: Prenada Media, 2004) h. 167. 4 atau delapan tahun. Pada masa tersebut
apabila seorang anak belum mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang
bermanfaat dan yang tidak bagi dirinya. Pada periode ini menunjukkan bahwa
pihak ibu lebih berhak terhadap anak untuk melakukan hadlânah apabila ibu
memenuhi syarat-syarat sebagai hadhin. 4 Hal ini diperjelas dalam hadits
Rasulullah yang diriwiyatkan ‘Amr bin Syuab dari ayahnya yang diterima dari
kakeknya: ُّس ُّسل َح ِل ا ٍد ِل ُم َح ا ْح ُم ْح ُم َح
ْح َح َح َّد َث َح ْح , ٍدر َح ِل َح ْح َح ْح ُم ِل ا َح اْح َح َح َّد َث َح - ِل ْح ع َح يَث ِل
َح ز ْح ٍد ألَحر - ْح َح ُم ع ُم ْح ِل ر ْح َح ِل َح َّد َح ْح ِل ر َح ْح ِل هلل
ْح ِل ب َح ِل ه ِّ َح ْح ج َح ِل ه ْح ِل َح ْح :
َح َّدن َح ة ُم ْحه ت َح ء َح َح ج َّدم َح َحس ر ِل ه ْح َح َح ِلهلل ِلهلل َحص
َّدى ُمل ُم َحس ْح : ى َح اَح ر , َحَث ِل ْح ِل َّدن ِلهلل إ ُمل ُم َحس ر َح ي ٌء
ء َح ِلر ُم اَحه ِل َح ْح َحن َح َح َح ِّ , ِل ُم َحه َح ْحز َث َح ْحن يَث َح َح َحر
َح ر ِل َح ُم طَح َّد ه َح ِل َّدن َح إ َح َح ر , َح َحل اَحه َحَث َّدم َح َحس ر ِل ه ْح
َح َح ِلهلل ِلهلل َحص َّدى ُمل ُم َحس ْحكِل ِل ر : َح تَث ْح اَحم َح ِل ه ِل ق ُّس َح ِل
َح َحن . ْح Artinya: Bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah
s.a.w. ia berkata: Hai Rasulullah ! Sesungguhnya anakku ini dulu dalam perutku
dimana dia bernaung didalamnya, tetekku ini tempat dia menyusu, dan pangkuanku
tempat dia berinduk. Dan kini bapaknya telah menceraikanku, dan dia bermaksud
akan merampasnya dariku. Lalu Rasulullah s.a.w berseabda kepadanya: engkau
lebih berhak padanya selama engkau tidak menikah lagi. ((HR Abu Daud dan
Hakim)) 4 Satria, Problematika, h. 170. 5 Abu Daud, Sunan Abu Daud bi tahqiq
Shidqi Muhammad Jamil, juz II (Cet. II; lebanon; Darul Fikr, 1994), h. 263 5
Periode mumayyiz adalah dari umur tujuh tahun sampai menjelang baligh berakal.
Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan antara yang
tidak bermanfaat dan yang bermanfaat bagi dirinya.6 Pada masa ini anak berhak
diberikan kesempatan untuk memilih apakah ia akan ikut ibu atau ikut ayah. Hal
ini diberlakukan agar anak dapat menentukan dengan mengikuti nuraninya bersama
siapakah ia akan merasa aman dan nyaman. Dalam penentuan ini anak tidak boleh
dipaksa dan tidak boleh mendapatkan ancaman dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Dan ketika anak menetapkan pilihannya maka semua pihak harus mendukung pilihan
anak tersebut. Dalam hadlânah sangat terkait dengan tiga hak yaitu: hak ibu
sebagai pengasuh, hak anak sebagai anak yang diasuh, dan hak bapak yang
menempati posisinya sebagai pemberi nafkah. Jika masing-masing hak tadi dapat
disatukan maka tidak ada masalah dalam pengasuhan anak. Namun jika
masing-masing hak saling bertentangan maka hak anak harus didahulukan dari pada
yang lain. Terkait dalam hal pengasuhan anak ada beberapa hal yang harus
diperhatikan: 7 6 Satria, Problematika, h. 171. 7 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid
Salim, Shahih Fiqh As-Sunnah Wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib Al-immah, terj.
Khairul Amru Harahap, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 667. 6 1.
Apabila tidak ada orang lain yang bisa mengasuh anak selain si ibu, maka
terpaksa hanya ibu yang harus mengasuh anak tersebut. 2. Apabila si ibu
mengalami suatu kondisi yang tidak memungkinkan untuk mengasuh anak maka ibu
dilarang mengasuh sebab masih ada mahram lain yang dapat mengasuh anak. 3.
Seorang ayah tidak berhak merampas dari orang yang lebih berhak mengasuhnya
lalu memberikan kepada wanita lain kecuali bila ada alasan syar’i yang
memperbolehkannya. 4. Jika ada wanita lain yang bersedia menyusui selain ibu si
anak, maka ia harus menyusui dan tinggal bersama dengan si ibu hingga tidak
kehilangan haknya mengasuh anak. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa dalam pengasuhan anak, seorang ibu harus menjalankan kewajibannya sebagai
pengasuh dengan memberikan segala kebutuhan anak. Sedangkan kewajiban seorang
bapak adalah memberikan nafkah kepada ibu agar kebutuhan anak terpenuhi. Namun
jika terjadi pertentangan antara ibu dan bapak mengenai pengasuhan anak maka
yang harus diutamakan adalah ibu karena pada dasarnya merupakan hak ibu. Bahkan
bapak pun tidak bisa merampas hak ibu sebagai pengasuhan anak selama ibu masih
bisa mengasuh. 7 Selain dalam hukum Islam, perkara hadlânah juga diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 105 dalam hal terjadinya perceraian yang
berbunyi sebagai berikut: a. Pemeiharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. Pengasuhan anak yang sudah mumayyiz
diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang
hak pemeliharaannya. c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Dalam pasal
105 dijelaskan bahwa apabila terjadi perceraian dan pasangan tersebut memiliki
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun maka hak asuh jatuh di
tangan ibu. Namun apabila anak tersebut sudah mencapai umur 12 tahun atau telah
mumayyiz, maka anak diberi hak untuk memilih dan menentukan siapakah yang
berhak untuk mengasuhnya. Apabila anak tersebut memilih ibu untuk menjadi
pengasuhnya maka biaya pemeliharaan tetap ditanggung oleh bapaknya. Jika
melihat pada KHI pasal 105 dan hukum Islam yang telah dijelaskan, maka perkara
hadlânah seharusnya tidak perlu harus diperebutkan di Pengadilan, karena
perkara tersebut sudah sangat jelas peraturannya. Namun pada kenyataannya
aturan yang telah ditetapkan dalam Hukum Islam/KHI pasal 105 tidak dijadikan
landasan hukum dalam perkara hadlânah oleh masyarakat desa Tanjung Bumi. 8
Dalam praktik hadlânah di desa Tanjung Bumi berdasarkan pada jenis kelamin
anak. Apabila terjadi suatu perceraian, maka jenis kelamin anak akan menentukan
siapakah yang berhak atas hak hadlânah. Apabila anak tersebut berjenis kelamin
laki-laki maka si ibu yang berhak mendapatkan hak asuhnya, hal ini akan menjadi
hukum dengan sendirinya dan tidak ada perlawanan dari pihak bapak, dengan kata
lain pihak si bapak harus merelakan dan harus menyadari bahwa begitulah yang
seharusnya. Berlaku sebaliknya, apabila anak tersebut berjenis kelamin
perempuan, maka pihak bapak yang memiliki hak hadlânah atas anak tersebut, dan
pihak ibu harus menerima hal tersebut. Konsep semacam ini memerlukan banyak
kajian dengan berbagai tinjauan hukum terutama Hukum Islam dan KHI yang berlaku
di Indonesia. Desa Tanjung Bumi adalah salah satu dari beberapa desa yang ada
di kabupaten Bangkalan. Tanjung Bumi terletak dibagian utara kota Bangkalan.
Secara umum masyarakat desa tersebut adalah masyarakat yang berkembang,
meskipun sebagian besar penduduknya memiliki perekonomian yang menengah ke
bawah. Selain itu tidak sedikit dari para remaja yang merantau untuk menuntut
ilmu, walaupun ada juga beberapa remaja lainnya yang merantau untuk bekerja.
Meski dikatakan desa yang berkembang, 9 hampir seluruh masyarakat desa Tanjung
Bumi sangat mempercayai dan menghormati adat dan tradisi yang ada. Penghormatan
yang tinggi terhadap adat dan tradisi tersebut menyebabkan hampir setiap
permasalahan yang ada di desa Tanjung Bumi diselesaikan berdasarkan pada adat
dan tradisi, misalnya dalam hal hadlânah pasca perceraian. Pada umumnya
Perkara-perkara hak hadlânah pasca perceraian diselesaikan oleh Pengadilan
agama dengan mengimplementasikan undang-undang lewat putusan-putusannya, namun
berbeda dengan masyarakat desa Tanjung Bumi, mereka lebih memilih untuk
menyelesaikannya berdasarkan pada tradisi yang dilakukan secara turun temurun.
Tradisi tersebut adalah praktik hadlânah pasca perceraian yang dilakukan
berdasarkan jenis kelamin anak. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, jika
anak dari pasangan yang bercerai adalah laki-laki maka hak asuh akan jatuh pada
ibu, sebaliknya jika anak tersebut perempuan maka hak asuh akan jatuh pada
ayah. Praktik ini tidak berdasarkan pada KHI dan hukum Islam, sehingga penulis
ingin mengetahui faktor apa yang menyebabkan masyarakat memilih untuk
mempraktikkan hadlânah berdasarkan jenis kelamin anak. Adanya praktik seperti
ini menyebabkan masyarakat desa Tanjung Bumi tidak memberikan kesempatan pada
anak untuk memilih ikut bapak atau ikut ibu. Padahal sudah jelas dalam KHI 10
disebutkan bahwa anak yang belum mumayyiz harus diasuh oleh ibu, dan apabila
dia telah mencapaui umur 12 tahun maka diberikan hak untuk memilih ikut bapak
atau ikut ibu. Praktik hadlânah tersebut sangat berbeda dengan hadlânah yang
diatur dalam KHI, ataupun hukum Islam, sehingga menarik perhatian penulis untuk
mengetahui bagaimana pandangan tokoh agama dan masyarakat desa Tanjung Bumi
mengenai hadlânah berdasarkan hukum islam dengan melakukan penelitian lebih
lanjut mengenai praktik hadlânah yang didasarkan jenis kelamin anak yang
dipraktik kan oleh masyarakat desa Tanjung Bumi . B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan pada latar belakang diatas maka timbul suatu permaslahan pokok
yaitu bagaimana praktik hadlânah berdasarkan jenis kelamin tersebut apabila
ditinjau dari segi hukum Islam. Dengan adanya masalah pokok diatas maka dapat
ditarik pula dua rumusan masalah yaitu: 1. Faktor apakah yang melatar belakangi
masyarakat desa Tanjung Bumi menerapkan hak hadlânah pasca perceraian
berdasarkan pada jenis kelamin anak ? 11 2. Bagaimana pandangan tokoh agama dan
tokoh masyarakat desa Tanjung Bumi mengenai penerapan hak hadlânah Pasca
Perceraian perspektif Hukum Islam ? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui faktor apakah yang melatarbelakangi masyarakat
mempraktikkan hadlânah berdasarkan jenis kelamin anak tersebut. Selanjutnya
utuk mengetahui bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap praktik hadlânah yang
telah dilakukan oleh masyarakat desa Tanjung Bumi, apakah praktik tersebut
telah sesuai dengan Hukum Islam dan KHI dan apakah telah memenuhi ketentuan
berdasarkan pendapat ulama atau belum. Kemudian untuk memahami bagaimana
pandangan tokoh masyarakat dan tokoh agama desa Tanjung Bumi tentang praktik
hadlânah yang berdasarkan pada hukum Islam. Untuk mengetahui semua itu penulis
menggunakan kajian teori yang terkait dengan hadlânah dalam perspektif hukum
Islam dan akan dibandingkan dengan praktik hadlânah di desa Tanjung Bumi. 12 D.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
mengembangkan fiqh munakahat sehingga urf yang dilakukan masyarakat khususnya
masyarakat desa Tanjung Bumi bisa dijelaskan dalam hukum Islam. 2. Manfaat
praktis. Selanjutnya manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini sebagai
berikut: a. Sebagai bahan kajian bagi mahasiswa yang mengadakan penelitian
lebih jauh terhadap masalah praktik hadlânah berdasarkan jenis kelamin ini. b.
Bagi penulis, hasil penelitian dapat digunakan sebagai salah satu persyaratan
dalam proses penyelesaian studi pada Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang. c. Serta dapat menghindari pola pikir sempit,
yang hanya fanatik pada satu pandangan hukum, serta mampu memberikan pandangan
bahwa tradisi adalah hukum tidak tertulis yang dipercaya lebih mengikat oleh masyarakat.
13 E. Sistematika Pembahasan Untuk mendapatkan pembahasan yang sistematis, maka
diperlukan sistematika pembahasan. Dalam penelitian ini penulis membagi
pembahasan ke dalam 5 bab sebagai berikut: BAB I berisi gambaran awal dalam
penelitian ini berisikan beberapa hal diantaraya yaitu latar belakang masalah
yang akan memaparkan alasan mengapa judul ini perlu untuk dibahas. Dari latar
belakang tersebut maka akan memunculkan pertanyaanpertanyaan yang akan di
jelaskan dalam rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
penelitian terdahulu dan sistematika pembahasan. BAB II dalam bab ini akan
dijelaskan mengenai penelitian terdahulu dan kerangka teori yang d ibutuhkan
sebagai penunjang dalam melakukan penelitian ini, diantaranya akan dibahas mengenai
hadlânah menurut fiqh yang mencakup definisi dan waktu hadlânah, dasar hukum
hadlânah, syarat-syarat hadhin, urutan bagi yang berhak atas hadlânah, dan
hadlânah menurut KHI. BAB III berisi metode penelitian yang didalamnya akan
dijelaskan beberapa hal tentang jenis penelitian yang dimaksudkan untuk
menjelaskan jenis dari penelitian ini, 8 pendekatan penelitian 8 Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah, (Malang: Fakultas Syari’ah UIN MALIKI Malang, 2012 ),
h. 45 14 yang berguna memudahkan peneliti dalam menguji dan menganalisis data
yang akan diuji, lokasi penelitian, metode penentuan subyek, jenis dan sumber
data baik primer dan sekunder, metode pengumpulan data dengan cara wawancara
dan observasi, metode pengolahan data melalui proses pemeriksaan data, klasisfikasi,
veivikasi, analisis, dan kesimpulan. BAB IV, berisi mengenai pemaparan hasil
penelitian dan pembahasan yang diperoleh yang disesuaikan dengan
literatureliteratur yang berkaitan dengan objek pembahasan untuk mengetahui
praktik hadlânah berdasarkan jenis kelamin anak perspektif Hukum Islam di desa
Tanjung Bumi Bangkalan Madura. Dalam BAB V merupakan bagian akhir dalam
penelitian yang berisikan mengenai kesimpulan dan saran terkait dengan
penelitian ini.
ntuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" :Penerapan hak hadlânah pasca perceraian berdasarkan jenis kelamin anak perspektif hukum Islam: Studi kasus pada masyarakat Desa Tanjung Bumi Kabupaten Bangkalan Madura.." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment