Abstract
INDONESIA:
Berdasarkan uraian tentang Fenomena Haji di Kalangan Masyarakat Petani (Studi di Kecamatan Panji Kabupaten Situbondo), sebagaimana yang telah dibahas dan dijelaskan. Setelah diamati dari jawaban para pelaku haji. Maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Masyarakat Desa Tenggir Barat Kecamatan Panji Kabupaten Situbondo ini terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama yaitu kelompok orang-orang yang benar-benar memahami akan makna haji, ini adalah golongan dari para kyae yang memang menjadi panutan bagi masyarakat. Mereka memandang bahwa ibadah haji itu adalah ibadah yang sangat sacral, dan balasan surga bagi yang hajinya mabrur. Akan tetapi bagi para kyae itu, persyaratan untuk berhaji harus tetap diperhatikan. Yaitu, ibadah haji menjadi wajib bagi yang mampu, akan tetapi bagi yang tidak mampu tidak perlu memaksakan diri sehingga menelantarkan kewajiban-kewajiban yang lainnya. Golongan yang kedua adalah golongan orang-orang awam, yang mana mereka tidak memahami sama sekali tentang haji. Sehingga syarat-syarat untuk berhaji banyak yang tidak memahaminya. Mereka beranggapan bahwa haji itu sangat penting sehingga dengan cara apapun tetap harus berangkat berhaji, walaupun dengan cara berhutang ataupun menjual barang-barang yang dimiliki. Padahal semua itu berakibat pada keluarga yang ditinggalkannya.
2. Untuk pelaksanaan haji yang dapat meningkatkan rasa empati pelaku haji terhadap sikap dan prilaku sosial lingkungan di Desa Tenggir Barat Kecamatan Panji ini tidak ada kesadaran sama sekali dari masyarakat untuk mengemban amanah sosial. Akan tetapi yang terjadi adalah mementingkan diri sendiri dengan alasan ingin selalu beribadah haji karena ingin dekat dengan Allah, padahal membantu sesama adalah lebih penting apalagi ibadah haji sudah pernah dilaksanakan. Selain itu juga kurang menyadari pentingnya kerjasama dengan yang lainnya tanpa membeda-bedakan titel haji yang dimilikinya. Cara pandang yang seperti ini adalah cara pandang orang yang tidak peka sosial, sehingga pemahaman mereka terhadap haji adalah legal formalistik individualistik. Yaitu fanatik terhadap fiqh yang diterapkan pada dirinya sehingga rasa individual yang didahulukan dari pada sosialnya.
3. Motivasi dari masyarakat petani Desa Tenggir Barat Kecamatan Panji ini adalah inginnya dihormati oleh yang lain sehingga sikap yang ditunjukkan adalah prestis sosial, yaitu bangga karena kehajiannya. Selain itu juga merasa gengsi karena yang lain sudah berhaji, jadi ingin mempunyai atribut sosial juga agar sama dengan yang lain jika sudah memiliki identitas haji.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Motivasi haji dalam konteks sosial
secara umum sangatlah bervariasi. Haji secara ideal ialah mendekatkan diri
kepada Allah dan membuahkan kesadaran sosial. Namun dalam tataran sosial haji
telah banyak bergeser kepada kepentingan yang sangat individual. Pelaksanaan
haji yang dilakukan pada umumnya hanya berorientasi kepada kepentingan diri sendiri
yaitu untuk mendapatkan pahala yang lebih banyak. Padahal jika dilihat pada
efek pelaksanaan haji secara teologis, ia memiliki makna yang tidak kecil.
Seseorang yang pernah melaksanakan haji akan menjadi lebih baik dan mengalami
perubahan sosial yang sangat signifikan. Sementara itu manusia diciptakan oleh
Allah SWT, selain untuk mengabdi kepada-Nya, juga untuk bersosial. Hanya saja
dua peran ganda itu acapkali 19 diabaikan salah satu di antaranya. Fenomena ini
menggambarkan adanya pergeseran makna substansial haji. Sikap individual ini
benar-benar terlihat pada seseorang yang telah berhaji berkali-kali, namun
minim kepekaan sosialnya. Indikasi ini bisa dilihat misalnya adanya
kecenderungan untuk berhaji secara terus menerus sekalipun di sekitarnya masih
banyak orang-orang miskin yang membutuhkan santunan dan bantuan dari orang yang
mempunyai harta lebih. Ketika sudah berhaji satu kali masih menginginkan untuk
melaksanakannya lagi walaupun harus menunggu untuk beberapa tahun ke depan demi
memenuhi keinginannya sendiri untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa melihat
masyarakat di sekitarnya. Keinginan menunaikan ibadah haji ini menjadi
kepentingan yang wajib dan menjadi rukun Islam pertama dibandingkan dengan
ibadah-ibadah yang lainnya, entah karena apa cara pandang seperti itu muncul di
kalangan masyarakat. Entah itu gengsi sosial atau karena faktor yang lain.
Menurut sebagian masyarakat mereka akan bersikap gengsi jika belum menunaikan
ibadah haji, dan bagi yang belum berhaji akan berusaha sekuat tenaga untuk
mengumpulkan materi agar bisa menunaikan ibadah haji, bahkan ada yang sampai
berhutang untuk menunaikannya. Selain itu pergeseran kepada kepentingan
individual dari motivasi haji juga berdampak pada pendidikan anak, yang
seharusnya pendidikan anak itu harus lebih diutamakan karena pendidikan itu
sangat penting untuknya kelak sebagai penerus bangsa. Hal ini sudah tidak
terpikir lagi karena yang diinginkan hanyalah berhaji dengan tujuan-tujuan
tertentu. Kondisi sosial masyarakat yang seperti ini terjadi di daerah Panji
Situbondo yang masyarakatnya adalah petani, lebih dari itu, 1Yusuf, Wawancara
(Situbondo, 22 Mei 2008). 20 mereka juga beranggapan bahwa orang yang
menunaikan ibadah haji akan dilebur dosa-dosanya.2 Selain itu mereka juga
berpedoman pada perkataan tokoh masyarakat yang mengatakan orang yang berhaji
itu seperti anak yang baru lahir dalam artian masih suci dan tidak memiliki
dosa apapun, dan juga beranggapan bahwa orang yang sudah menunaikan ibadah haji
mempunyai kadar keimanan yang lebih baik daripada mereka yang belum menunaikan
ibadah haji. Oleh karena itu mereka berlomba-lomba untuk menunaikan ibadah haji
sebanyakbanyaknya tanpa memikirkan keadaan sekitar yang membutuhkan bantuan dan
pertolongan.3 Karena anggapan mayoritas masyarakat tentang haji demikian maka
haji beralih orientasi menjadi sebuah strata sosial seseorang di masyarakat
terangkat karena haji. Fakta ini terlihat ketika masyarakat berkumpul dalam
suatu komunitas tertentu atau acara-acara tertentu. Bagi yang sudah menunaikan ibadah
haji akan mendapatkan fasilitas yang lebih dan berbeda dari orang-orang yang
belum berhaji. Penghormatan kepada para haji tidak hanya pada pelayanan yang
istimewa saja, akan tetapi juga berdampak pada panggilannya. Misalnya, jika
sebelum berhaji seorang laki-laki menjadi pengajar di TPQ maka dia akan
dipanggil ustadz, akan tetapi ketika sudah berhaji maka akan dipanggil dengan
pak haji. Begitupun dengan guru-guru ngaji yang belum berhaji dipanggil kyae,
maka setelah berhaji berubah menjadi ke ajji. Namun tidak selamanya orang yang
sudah menunaikan ibadah haji memperoleh stratifikasi sosial dan perlakuan
istimewa dari masyarakat, hal ini terjadi apabila orang yang sudah menunaikan
ibadah haji itu melakukan sikap-
sikap arogansi sosial. Mereka akan mendapat cibiran yang lebih keras
daripada orang yang belum menunaikan ibadah haji, seperti halnya dalam
bersedekah. Jika sebelum berhaji mereka gemar bersedekah akan tetapi ketika
sudah menunaikan ibadah haji semakin pelit dan kikir sampai tidak mau
bersedekah lagi. Padahal masyarakat beranggapan bahwa salah satu tanda
kemabruran haji seseorang adalah prilaku sesudah haji harus lebih baik dari
sebelum haji. Semua ini sangatlah menyimpang dari anggapan masyarakat tersebut
sehingga cibiran dan perkataan tidak enak yang akan diterima dari masyarakat
karena setelah berhaji semakin kikir. Kemabruran haji seseorang terlihat jika
tingkat kesadaran sosial bagi orang yang sudah menunaikan ibadah haji bertambah
tinggi. Hal ini tidak bisa di sangsikan lagi karena balasan atas ibadah haji
yang mabrur adalah surga. Sebagaimana hadits Nabi: ن الج\ةِ Artinya: Menceritakan kepada
kami Yahya bin Yahya. Dia berkata, “Saya membaca hadits kepada Malik yang
diriwayatkan dari Sumayyah, budaknya Abu Bakar bin Abdurrahman dari Abi Sholeh
as-Samman, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “dari satu
ibadah umrah ke umrah yang lain, terdapat pengampunan dianatara keduanya. Dan
bagi haji yang mabrur tiada balasan baginya kecuali surga.” Mabrur secara
bahasa berarti baik dan dianggap sah, tidak saja cukup terkumpul rukun dan
syarat, akan tetapi yang lebih penting adalah memiliki implikasi sosial
terhadap pelakunya dalam suatu pengabdian (al-Ibadah). Selain 4Abi Husain
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusairy an-Naisabury, Shohih Muslim, Juz 1 (Bairut: Dar
alFikr, 1992), 620. 22 itu juga terdapat tiga aspek didalamnya yang meliputi:
niat, praktek dan pengaruh/hikmah (sosial). Cara pandang ini berarti suatu
keharusan untuk melibatkan tiga aspek tersebut, agar tidak keliru dalam
pemaknaannya sehingga hanya memaknai ibadah haji secara parsial. Ibadah haji
bukanlah produk budaya yang bisa dianggap sahih atas kebiasaan kebanyakan
orang. Ibadah haji bukan pula sekedar perolehan gelar atau rihlah (bepergian)
spiritual, dan juga bukan hanya untuk melihat aura ka'bah dan jejak-jejak
peninggalan para teladan sepanjang zaman. Akan tetapi ia memiliki
pertanggungjawaban ukhrowi sekaligus mengemban amanah sosial.5 Mempunyai
tanggung jawab untuk mengemban amanah sosial ini harus dimiliki oleh semua
orang terutama orang yang sudah menunaikan ibadah haji. Haji bukanlah gengsi
maupun prestasi sosial semata, melainkan kesadaran sosial yang tinggi bagi
orang yang sudah melaksanakannya. Ia menjadi puncak kedewasaan mental-spiritual
seorang manusia. Karenanya, hampir dalam setiap ibadah tidak terkecuali haji,
tujuannya adalah meraih ketakwaan, sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 21 yang berbunyi: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang
telah menciptakanmu dan orangorang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.
Melaksanakan ibadah haji tidak saja terjebak pada simbol-simbol budaya dan
keinginan individual. Melainkan sebuah dorongan murni peningkatan kualitas
kemanusiaan seseorang baik secara individu maupun sosial. Selain itu haji juga
sebagai rukun terakhir bagi kesempurnaan seorang muslim, yaitu kewajiban 5
http://www.pesantrenvirtual.com/hikmah/002.shtml 23 individual sekaligus amanah
sosial. Inilah perdikat haji mabrur yang pahalanya diterima di sisi Allah.6
Haji merupakan Ibadah ritual, yaitu hubungan antara hamba dengan Tuhan yang
berawal sejak berabad lamanya dalam bentuk personal dengan model persembahan
dan penyembelihan hewan. Bentuk pengabdian ini secara mendasar memiliki nilai
ketuhanan, begitu juga dengan penyembelihan hewan yang merupakan bentuk
perwujudan secara konkret untuk mendekatkan diri kepada Allah. Upacara yang
dilakukan dalam tempat khusus ini merupakan bentuk ibadah personal.7 Secara
individual calon jamaah haji adalah seorang muslim yang memiliki niat
menunaikan ibadah haji dan mempunyai kemampuan secara fisik untuk menjalani
ritual peribadatan dan menyediakan pembiayaan perjalanannya. Menunaikan ibadah
haji merupakan kewajiban dan harus dilakukan oleh setiap muslim yang mampu
(istitha’ah) mengerjakan sekali seumur hidup. Kemampuan yang harus dipenuhi
untuk melaksanakan ibadah haji dapat digolongkan dalam dua pengertian, yaitu:
Pertama, kemampuan personal (internal), harus dipenuhi oleh masingmasing
individu mencakup antara lain kesehatan jasmani dan rohani, kemampuan ekonomi
yang cukup baik bagi dirinya maupun keluarga yang ditinggalkan dan didukung
oleh pengetahuan agama, khususnya tentang manasik haji. 6Umar Zein, Kesehatan
Perjalanan Haji (Jakarta: Prenada Media, 2003), 25. 7Muhammad Syahrur, Prinsip
dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: Sukses Offset,
2007), 77-78. 24 Kedua, kemampuan umum (eksternal), harus dipenuhi oleh
lingkungan negara dan pemerintah mencakup antara lain peraturan
perundang-undangan yang berlaku, keamanan dalam perjalanan, fasilitas,
transportasi.8 Selain kewajiban untuk istitha’ah, bagi orang yang sudah
menunaikan ibadah haji juga harus memiliki kesadaran sosial karena manusia
selain sebagai pribadi juga sebagai makhluk sosial. Seseorang secara pribadi
tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, melainkan memerlukan jasa orang
lain. Seorang kaya memerlukan si miskin, begitu pula sebaliknya. Hal ini sangat
penting karena tidak layak memikirkan kepentingan diri sendiri akan tetapi
harus ada peran timbal balik antara pribadi dan masyarakat. Dalam hal ini Islam
mengajarkan keserasian antara kehidupan pribadi dan kehidupan sosial. Dalam surat
al-Imran ayat 112 dinyatakan bahwa: Ĩ$¨Ψ9$# zÏiΒ 9 ≅ö6ymuρ «!$# zÏiΒ 9 ≅ö6pt¿2
āωÎ) (#þθàÉ)èO $tΒ tør& èπ © 9Ïe%!$# ãΝÍκön=tã
ôMt/ÎàÑ Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali
mereka berpegang kepada hablum min Allah dan hablum minan nas. Di sini terlihat
bahwa untuk mempertahankan kesucian diri setelah berhaji melalui peningkatan
tauhid, ibadah ritual, dan penanaman sifat-sifat luhur. Melalui ini
memungkinkan kesadaran dari individu untuk menjalankan tugastugas sosial yang lebih
besar yakni tugas melaksanakan amal shaleh.9 Teori haji sebagaimana tertera di
atas itu sangatlah berbeda dengan fenomena haji yang terjadi di masyarakat
petani Panji Situbondo, yang mana sudah banyak terjadi penyimpangan berkenaan
dengan kesadaran sosialnya, yang 8Abdul Aziz dan Kustini, Ibadah Haji Dalam
Sorotan Publik (Jakarta: Depag RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, 2007), 12. 9Ghufran Ajib Mas’adi, Haji Menangkap Makna Fisikal dan
Spiritual (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 204-206. 25 lebih
mementingkan kepentingan individu daripada kepentingan sosial. Mereka hanya
mementingkan ibadah haji berkali-kali padahal satu kali saja sudah cukup
apalagi di sekitarnya masih banyak orang-orang yang memerlukan bantuan. Bersedekah
semakin pelit, padahal jika dilihat dari ritual haji yang sangat bermakna,
tidaklah demikian dan kurangnya pemahaman tentang istitha’ah sehingga masih
banyak yang berhutang untuk menunaikan ibadah haji karena gengsi jika tidak
berhaji, dan Islam tidak pernah menghendaki yang seperti itu. Berangkat dari
permasalahan di atas peneliti ingin mengkaji lebih dalam mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan fenomena haji yang banyak terjadi di kalangan petani Panji
Situbondo sehingga dapat mengetahui permasalahanpermasalahan yang terjadi dalam
fenomena tersebut. C. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah dengan cara
menganalisis permasalahan dengan berbagai teori dan penyelesaiannya dengan
berbagai teori tersebut. Analisis juga dapat dilakukan dengan cara menganalisis
permasalahan tersebut kaitannya dengan berbagai masalah lain yang berhubungan
dengan permasalahan yang akan dikaji. Jika pada cara pertama analisis masalah
dilakukan dengan cara memberikan interpretasi keterkaitan masalah dengan
berbagai teori, maka pada cara kedua ini dapat dilakukan dengan cara
menggunakan analisis pohon masalah.10 Dalam hal ini peneliti menggunakan
analisis pohon masalah yang di antaranya adalah: 10Fakultas Syari’ah
Universitas Islam Negeri Malang, Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Cet.I,
Malang: t.p., 2005), 8. 26 1. Bagaimana persiapan pelaksanaan haji yang
dilakukan oleh masyarakat petani di Panji Situbondo. 2. Bagaimana pelaksanaan
haji di masyarakat petani Panji Situbondo. 3. Apakah yang memotivikasi
masyarakat petani Panji Situbondo untuk berhaji. 4. Apakah yang membedakan
sebelum dan sesudah haji terkait dengan kesadaran sosialnya. 5. Apakah
pelaksanaan haji dapat meningkatkan rasa empati pelaku haji terhadap sikap dan
prilaku sosial lingkungannya? 6. Bagaimana pandangan masyarakat tentang haji
yang berkaitan dengan tugas sosial D. Batasan Masalah Ruang lingkup pembahasan
atau batasan masalah dimaksudkan untuk memberikan penjelasan keterbatasan
masalah secara teoritis atau objek operasional, bukan penjelasan judul atau pengungkapan
permasalahan yang lain.11 Agar dalam pembahasan ini tidak terlalu meluas dan
melebar, maka dalam hal ini peneliti membatasi penelitian ini di Desa Tenggir
Barat Kecamatan Panji Kabupaten Situbondo, yang meliputi bahasan pandangan
masyarakat tentang haji kaitannya dengan tugas-tugas sosial, pelaksanaan haji
yang dapat meningkatkan rasa empati pelaku haji terhadap sikap dan prilaku
sosial lingkungannya, dan motivasi untuk melaksanakan haji bagi masyarakat
petani di Panji Situbondo. 11Ibid., 9. 27 E. Rumusan Masalah Berdasarkan latar
belakang yang telah peneliti ungkapkan di atas, maka perlu untuk mengungkapkan
rumusan masalah yang berkaitan dengan penelitian ini untuk menjawab segala
permasalahan yang ada. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan masyarakat petani Panji Situbondo
tentang haji? 2. Apakah pelaksanaan haji dapat meningkatkan rasa empati pelaku
haji terhadap sikap dan prilaku sosial lingkungannya? 3. Apakah yang memotivasi
masyarakat petani di Panji Situbondo untuk melaksanakan haji? F. Tujuan
Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan
untuk: 1. Mengetahui pandangan masyarakat Panji Situbondo tentang haji. 2.
Menjelaskan pelaksanaan haji dapat meningkatkan rasa empati pelaku haji
terhadap sikap dan prilaku sosial lingkungannya. 3. Mendeskripsikan motivasi
dari masyarakat petani di Panji Situbondo dalam melaksanakan ibadah haji. G.
Kegunaan Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah,
memperdalam dan memperluas khazanah keilmuan bagi umat Islam mengenai haji agar
bisa memberikan catatan tentang ideal haji. Selain itu hasil dari penelitian
ini juga 28 dapat digunakan sebagai landasan bagi penelitian selanjutnya yang
sejenis di masa yang akan datang. Secara praktis, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat Islam, khususnya masyarakat di
wilayah Situbondo tentang kaitan fenomena haji dengan kesadaran sosial. Selain
itu juga dapat digunakan sebagai bahan atau referensi dalam menyikapi hal-hal
di masyarakat tentang fenomenafenomena haji yang tidak sesuai dengan hukum
Islam.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Fenomena haji di kalangan masyarakat petani: Studi kasus di Kecamatan Panji Kabupaten Situbondo" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment