Abstract
INDONESIA:
Manusia diciptakan berbeda-beda oleh Allah, ada yang sempurna akalnya dan ada yang kurang akalnya (cara berpikir). Mereka semua diciptakan berpasang-pasangan (berjodoh) untuk dapat mengarungi hidup dengan membentuk sebuah keluarga melalui proses perkawinan, serta untuk melestarikan keturunan. Dalam perkawinan terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, salah satunya adalah berakal dan baligh. Akan tetapi hal ini akan menjadi kontradiktif dengan kondisi orang penyandang cacat mental, yang tidak sempurna akalnya seperti manusia normal pada umumnya. Kelemahan akal atau cara berpikirnya yang lamban menjadikan kendala untuk melakukan aktifitasnya sehari-hari. Walaupun demikian mereka juga punya hak dan punya hasrat sebagaimana lainnya untuk menyalurkannya dalam bingkai perkawinan. Penyandang cacat mental yang memiliki IQ di bawah 70 misalnya, mereka terkategori sebagai orang yang mengalami keterbelakangan mental dan cara berpikir.
Untuk itulah maka penelitian memfokuskan permasalahan pada bagaimana perkawinan penyandang cacat mental bila ditinjau dari hukum islam dengan berbagai kondisi yang ada pada diri cacat mental. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang hukum perkawinan yang dilakukan oleh para penyandang cacat mental utamanya mereka yang memiliki IQ antara 50-70, yang mana mereka termasuk dalam kategori cacat mental ringan.
Jenis penelitian ini termasuk dalam penelitan library research (kajian pustaka) dengan menggunakan pendekatan normatif. Yaitu pendekatan terhadap materi yang diteliti dengan mendasarkan pada norma dan aturan hukum islam serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun sifat penelitiannya adalah deskriptif analitik yaitu memberikan gambaran yang jelas tentang pelaksanaan perkawinan penyandang cacat mental sehingga akan mendapatkan pengertian yang jelas akan kedudukannya dalam hukum islam.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pernikahan penyandang cacat mental tidaklah dilarang, disebabkan tidak ada aturan hukum yang melarangnya untuk melakukan perkawinan. Terutama bagi mereka yang sudah sedemikian menuntutnya untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Agar terhindar dari perbuatan dosa besar dalam hal ini perzinaan atau kumpul kebo, maka sepatutnya pernikahan tersebut diperbolehkan, terutama bagi mereka yang mengalami cacat mental ringan. Karena pada kategori ini mereka masih bisa dididik lebih lanjut serta kebutuhan biologis mereka juga tumbuh secara normal. Untuk menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama seperti zina, demi pertimbangan kemaslahatan, maka hendaknya pernikahan mereka diperbolehkan asal dengan izin dari orang tua atau walinya serta terus untuk memberikan pengawasan pada mereka.
ENGLISH:
Man was created differently by God, there is a perfect minds and there is less minds (the way of thinking). They are all created in pairs (paired) to be able to navigate life by forming a family through marriage, as well as to preserve the lineage. In a marriage, there are several requirements that must be met, one of them is sensible and baligh. However, this would be contradictory with the condition of mentally handicapped people, which is not perfect like a normal human minds in general. The weakness of mind or way of thinking which makes constraints slow to perform daily activities. However, they also have the right and a desire to conduct such as other within the frame of marriage. Mental disabilities who have an IQ below 70 for example, those categorized as mentally retarded people and way of thinking.
For this reason the study focuses on how the marital problems of mental disabilities in terms of Islamic law with a variety of conditions that exist in themselves mentally handicapped. The purpose of this research is to know about legal marriage performed by people with mental disabilities especially those who have an IQ between 50-70, which they included in the category of mild mental disabilities.
This study was included in the research library research (literature review) using the normative approach. That approach to the material studied by basing on the norms and rules of Islamic law and legislation in force. The nature of the research is descriptive analytical that gives a clear picture of the implementation of marriage so that people with mental disabilities will gain a clear understanding of its position in Islamic law.
The results of this study indicate that marriage is not prohibited from mental disabilities, because there is no rule of law which forbade him to perform marriages. Especially for those who are in such demand it to channel his sexual desires. To avoid the major sins in this regard adultery or cohabiting, then the marriage should diporbolehkan, especially for those who have mild mental disabilities. Because in this category they can still be further educated as well as their biological needs also grow normally. To avoid the things prohibited by religion, such as adultery, for the consideration of the benefit, then their marriage should be allowed home with the permission of advisor or guardian as well as continue to provide oversight on them.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Tinjuan hukum Islam terhadap perkawinan penyandang cacat mental. " Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment