Abstract
INDONESIA:
Perkawinan adalah hal wajib yang harus dilakukan oleh seseorang jika memang sudah mampu dan mau untuk melangsungkannya. Merupakan suatu ketidakadilan manakala sesuatu yang telah dipersiapkan dalam waktu lama dengan berbagai persiapan, harus rela ditunda hanya karena sesuatu yang terjadi tanpa membutuhkan waktu yang lama. Begitu halnya dengan tradisi perkawinan kerubuhan gunung, yang mengharuskan seseorang untuk menunda perkawinannya hanya karena ada pihak keluarga yang meninggal dunia. Dua hal berbeda, namun harus dikaitkan antar satu dengan yang lain, merupakan suatu ketidakharusan yang harus dipenuhi saat mendapati hal tersebut.
Dalam penelitian ini, terdapat dua rumusan yaitu: 1) Bagaimana pandangan tokoh masyarakat Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang terhadap tradisi perkawinan kerubuhan gunung? 2) bagaimana relevansi tradisi perkawinan kerubuhan gunung Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang bagi perkembangan hukum perkawinan dalam Islam? Penelitian ini tergolong ke dalam jenis penelitian empiris-kualitatif, atau bisa juga disebut sebagai penelitian lapangan yang meneliti tradisi perkawinan kerubuhan gunung di Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Pendekatan fenomenologi dan paradigma alamiah yang menginginkan penelitian secara ilmiah tanpa ada rekayasa adalah sesuai dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini, sumber data utama yang digunakan adalah informasi dari para narasumber (data primer), dilengkapi dengan sumber data sekunder dan tersier. Pengumpulan data ditempuh dengan tiga jalan yakni observasi, wawancara dan dokumentasi. Begitu halnya dengan tekhnik analisa data yang menggunakan beberapa tahap yaitu editing, classifying, verifying dan analyzing.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sejauh ini pelaksanaan tradisi perkawinan kerubuhan gunung masih dilestarikan oleh masyarakat Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang karena dirasa memiliki makna terdalam, yakni menumbuhkan sikap toleransi antara sesama. Meskipun keduanya merupakan dua hal yang berbeda, tetapi pada kenyataannya mayoritas masyarakat Desa Dilem masih melakukan tradisi ini. Kerubuhan gunung adalah istilah untuk seseorang yang sedang mengalami becana besar atau duka besar, di mana perkawinan dan kematian harus saling mempengaruhi. Meskipun tidak jelas langsung termaktub dalam ajaran Islam, yang jelas makna tersirat di dalam tradisi ini juga sudah termuat dalam ajaran Islam di mana antar sesama harus saling peduli dan tolong menolong
ENGLISH:
Marriage is required to be done by a person if it has been able and willing to do so. An injustice when something that has been prepared with a long time with various preparations, must be willing to be postponed just because of something that happened without the need for a long time. So also with the tradition of marriage kerubuhan gunung which requires a person to postpone marriage just because there is one family member who died. Two different things, but it must be linked between one another, is a matter that must be met when there is no such thing.
In this research, there are two formulas, namely: 1) What does the Dilem village community leaders glued Kepanjen District of Malang on marriage traditions kerubuhan gunung? 2) How the relevance of marriage tradition kerubuhan gunung in Dilem village Kepanjen District of Malang Regency glued to the development of the law of marriage in Islam? This research is classified into type-qualitative empirical research, or it could be called as a field of research that examines the tradition of marriage kerubuhan gunung in Dilem village Kepanjen glued District of Malang. Phenomenological approach and want a natural paradigm of scientific research without engineering is in accordance with this research. In this research, the primary data source used is the information from the sources (primary data), supplemented with secondary and tertiary data sources. Data’s collection was taken by three roads that observation, interviews and documentation. data analysis technique that uses several stages of editing, classifying, verifying and analyzing.
The results of this study indicate that the implementation of the mountain kerubuhan marriage traditions are still preserved by the villagers glued Kepanjen District of Malang Regency because of perceived deepest meaning, namely foster tolerance among others. Although both of them are two different things, but in reality the majority of villagers glued still doing this tradition. Kerubuhan mountain is the term for someone who is experiencing grief becana big or large, where marriage and death should affect each other. Although it is not clear directly rooted in the teachings of Islam, which is clearly the meaning implied in this tradition also already contained in the teachings of Islam in which among others should be caring and helping
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan
adalah makhluk Allah SWT yang diciptakan secara berpasang-pasangan. Hubungan
antara pasang-pasangan itu menghasilkan keturunan, agar hidup di alam semesta
ini berkesinambungan. Dengan demikian, penghuni dunia ini tidak pernah sunyi
dan kosong, tetapi terus berkembang dari generasi ke generasi.1 Dalam al-Qur‟an
Allah SWT berfirman:2 Artinya : “Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT.” 1 M. Ali
Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam (Jakarta: Prenada Media Group,
2003), h. 1 2 QS. Adz-Dzaariyat (51): 49 2 Lebih khusus dinyatakan dalam
al-Qur‟an bahwa manusia juga diciptakan untuk saling berpasang-pasangan antara
kaum laki-laki dan perempuan, bercampurnya pasangan umat manusia tersebut biasa
dalam agama Islam diucapakan dengan lafadh nikah atau perkawinan. Hal ini
sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:3 Artinya: “dan bahwasanya Dialah
yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.” Manusia adalah makhluk
sosial yang memerlukan hubungan dengan sesama dan direalisasikan dalam bentuk
hidup bermasyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya terdapat keluarga
yang merupakan salah satu pembentuk dari masyarakat itu sendiri. Keluarga
merupakan masyarakat yang paling kecil dan dihuni oleh suami, istri dan
anak-anak yang sah diikat dengan adat atau agama. Pembentukan keluarga diawali
dengan perkawinan yang merupakan kebutuhan fithriyah manusia sebagai makhluk
fisik. Sebagai bagian dari makhluk hidup, manusia memerlukan pemenuhan
kebutuhan fisik dan rohani, yang salah satunya yakni memerlukan pemenuhan
kebutuhan biologis sehingga dapat mengembangkan keturunannya.4 Perkawinan ialah
ikatan lahir batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal 3 QS. An-Najm (53): 45
4 Siti Romlah, Karakteristik keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam dan
Pendidikan Umum (Jakarta: UI, 2006), h. 67 3 berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.5 Di samping itu pula, perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang
dan kesenangan, sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan
ikatan perkawinan tak lain adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Maka untuk menegakkan keluarga yang bahagia dan menjadi sendi dasar dari
susunan masyarakat, suami istri memiliki beberapa tanggung jawab dan kewajiban.
Perkawinan pada hakikatnya merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan
wanita dalam masyarakat di bawah suatu peraturan khusus dan hal ini sangat
diperhatikan baik oleh agama, negara maupun adat. Artinya bahwa, dari peraturan
tersebut bertujuan untuk mengumumkan status baru kepada orang lain sehingga
pasangan ini diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan yang sah menurut
hukum, baik agama, negara maupun adat dengan serangkaian hak dan kewajiban
untuk dijalankan oleh keduanya yang berstatus sebagai suami istri. Begitu
tingginya agama Islam menjunjung tinggi nilai-nilai dan kehormatan manusia
sebagai makhluk yang paling mampu di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah SWT
lainnya. Anjuran untuk berpasang-pasangan dengan ikatan perkawinan merupakan
tindakan yang sangat memuliakan derajat seorang manusia. Jika perkawinan yang
dilakukan oleh seorang pasangan telah memenuhi rukun dan syarat diadakannya
perkawinan, maka sudah sah hukumnya pasangan tersebut menyalurkan kebutuhan
fisik serta rohani terhadap pasangannya. Hal ini berlaku secara umum bagi
seluruh umat manusia yang ada di bumi, terutama umat muslim yang memang
memegang teguh ajaran Islam, baik itu daerah yang berada 5 Indonesia, Undang-undang
tentang Perkawinan UU No. 1 Tahun 1974, LN No.1 Tahun 1974 4 di belahan timur,
barat, selatan maupun utara. Semua manusia dianjurkan untuk segera menuju ke
jenjang perkawinan manakala sudah memenuhi rukun dan syarat yang ada, serta
khawatir akan terjerumus ke dalam perbuatan hina jika tidak segera menikah.
Ciri khas Jawa dengan berbagai macam tradisi. Misalnya saja tradisi dalam
perkawinan, mulai dari tahapan awal perkawinan yaitu tembungan (istilah Jawa).
Maksudnya adalah orang yang dipercaya dan diutus oleh pihak keluarga calon
pengantin laki-laki, agar mengadakan pembicaraan khusus dengan keluarga calon
pengantin perempuan terkait status, kesediaan serta kesepakatan kedua keluarga.
Setelah kedua keluarga sepakat, tahapan selanjutnya yakni nglamar (dalam Islam
dikenal dengan istilah khithbah atau peminangan), yang biasa disertai dengan
acara liru kalpika rukmi (tukar cincin) sebagai tanda pacangan (perjodohan).
Tujuh hari atau lima hari (sepasar) sebelum pelaksanaan perkawinan, biasanya
diadakan rapat keluarga, yang disebut dengan istilah kumbakarnan. Acara ini
diadakan di rumah keluarga yang akan menyelenggarakan hajatan dengan mengundang
para sesepuh, tokoh masyarakat, keluarga dan tetangga terdekat. Tiga hari
sebelum pelaksanaan hajatan perkawinan, biasanya diadakan berbagai kegiatan,
yakni pasang tarub (mempersiapkan tempat dilaksanakannya acara hajatan
perkawinan secara keseluruhan, baik diadakan di gedung ataupun di rumah
sendiri), siraman (diadakan khusus untuk calon pengantin perempuan dan disesuaikan
dengan hari kelahirannya), dipaes (bagian rambut pada dahi dan kening
disungging dengan warna hitam sebagai tanda siap melaksanakan perkawinan dan
secara mental siap menjadi ibu rumah tangga), sengkeran atau 5 pingitan
(tradisi di mana calon pengantin perempuan yang sudah melakukan ritual siraman
sudah tidak diperbolehkan keluar dari area rumah, sampai saat pelaksanaan
perkawinan), midodareni dan majemukan (dilaksanakan pada malam menjelang
dilaksanakannya perkawinan dengan menghadirkan para sesepuh, sekitar pukul
20.00-24.00 WIB).6 Jadi tidak diragukan lagi jika Jawa masih “kental” akan
tradisi-tradisi yang berkaitan dengan perkawinan khususnya, sehingga membuat
penelitian yang bertempatkan pada salah satu daerah di tanah Jawa semakin
menarik untuk diteliti lebih mendalam. Berlokasikan di Desa Dilem Kecamatan
Kepanjen Kabupaten Malang, sebuah tradisi perkawinan telah berkembang dalam
waktu yang cukup lama. Sebut saja Hana (nama samaran) dan Heru (nama samaran)
sebagai calon mempelai. Berpacaran hampir 5 tahun, membuat hubungan mereka
menjadi serius. Berawal dari tidak adanya restu dari salah satu orang tua calon
mempelai, membuat rencana perkawinan ini menarik untuk disimak, karena usaha
yang dilakukan oleh salah satu calon mempelai dalam mencari restu orang tua.
Hingga pada akhirnya, keluarlah kata sepakat dari kedua keluarga besar untuk
lebih serius menangani hubungan putra-putrinya. Rembugan mulai dilakukan oleh
kedua calon mempelai terkait keinginan mereka dan keluarga besar akan hubungan
yang sudah terjalin sekian lama. Akhirnya Heru memutuskan untuk meminang Hana,
dan Hana pun menyetujui keputusan tersebut. Selanjutnya keluarga besar Heru
menjalani berbagai rangkaian tradisi yang harus dilakukan sebagai orang Jawa,
mulai dari tembungan, nglamar, sepasar, kumbakarnan, pasang tarub, siraman,
paesan 6 Muhammad Sholikin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa (Yogyakarta: Narasi,
2010), h. 202-205 6 (untuk mempelai perempuan) hingga acara pingitan. Hari
perkawinan pun sudah dipersiapkan dengan sangat matang, di mana penetapan hari
perkawinan juga ditetapkan sesuai tradisi Jawa. Segala persiapan hajatan telah
diselesaikan oleh keluarga yang mengadakan walimah di mana keluarga besar
Hanalah yang mengadakan acara tersebut. Undangan perkawinan, emas dan alat
shalat sebagai mas kawin, sound system, kue-kue hingga souvenir telah dibuat
dengan semenarik mungkin. Kedua keluarga besar telah siap untuk menyambut acara
besar yang satu ini. Sekitar 5 bulan, segala persiapan telah usai dilakukan.
Semuanya bersuka cita menyambut kedatangan menantu baru yang tentunya akan
membawa warna baru dalam kehidupan keluarga mereka. Sehari menjelang
diadakannya walimah, tibatiba ayah dari mempelai laki-laki terjangkit serangan
jantung. Kejadian diawali saat beliau berbincang-bincang dengan para tamunya di
rumah, tiba-tiba Pak Sunyoto, orang tua Heru memegang dada sebelah kanannya dan
merintih kesakitan. Segera para penduduk yang saat itu tengah berbincang dengan
Pak Sunyoto segera melarikan ke rumah sakit terdekat. Semua orang sangat panik
menyaksikan kejadian tersebut, dan tak sampai lima menit tibalah Pak Sunyoto
beserta rombongan di rumah sakit terdekat. Segera pasien diarahkan menuju Unit
Gawat Darurat. Setelah lima belas menit berjalan, salah seorang dokter yang
memeriksa Pak Sunyoto keluar dari ruang UGD dan menyatakan bahwa Pak Sunyoto
sudah tidak bisa tertolong lagi. Beliau sudah meninggal karena penyakit stroke
yang selama bertahun-tahun telah dideritanya. Mendengar berita tersebut,
keluarga besar Heru merasa kaget dan syok hingga tak percaya kebenarannya.
Semua anggota keluarga merasa berduka atas musibah yang menimpanya kali ini. 7
Seorang utusan segera dikirim ke kediaman calon mempelai perempuan, yang
memberi kabar bahwa perkawinan antara Heru dan Hana tidak bisa dilaksanakan esok
hari dan harus ditunda hingga ada komunikasi lebih lanjut antara kedua
keluarga. Mendengar berita yang dibawa utusan tersebut, keluarga besar Hana tak
kalah terkejut. Semua menjadi linglung karena berita duka tersebut. Di sisi
lain, semuanya sudah tertata dengan sangat rapi, sedangkan di sisi yang lain
keluarga besar calon mempelai laki-laki sedang dilanda musibah yang begitu
menyedihkan. Peristiwa seperti inilah yang biasa dikenal dengan istilah
kerubuhan gunung. Meskipun tidak ada utusan yang dikirim oleh pihak calon
mempelai laki-laki, secara otomatis perkawinan yang telah direncanakan
sebelumnya haruslah ditunda pelaksanaannya. Bisa setahun, bisa juga lebih untuk
waktu penundaannya tergantung dengan kesepakatan kedua pihak keluarga. Yang
pasti, waktu minimalnya yaitu satu tahun dari musibah yang menimpa salah satu
pihak.7 Peristiwa serupa juga dialami oleh pasangan Elin dan Arfan yang
perkawinan keduanya sempat tertunda hingga 2 tahun lebih karena kejadian sama
yang dialami Heru dan Hana menimpa keluarga besar mereka. Bahkan pada tahun
1982, bisa dibilang lebih parah daripada kejadian yang dialami Heru dan Hana
karena perkawinan mereka hanya ditunda hingga 1 tahun. Sebab ditundanya
perkawinan Elin dan Arfan hingga 2 tahun karena memang saat itu, kedua keluarga
besar sama-sama ditimpa musibah dengan selisih waktu 1 tahun. Tak kalah
terkejut, pasangan ini sempat tidak ingin meneruskan perkawinannya karena
penundaan yang terlalu lama, sehingga menyebabkan masyarakat sekitar 7 Hana,
wawancara (Malang, 6 Januari 2015) 8 membuat pembicaraan yang tidak sesuai
dengan kenyataan. Ada yang bilang tidak cocok, ada yang bilang bahwa kelahiran
mereka tidak memperkenankan perkawinan ini, ada yang bilang rumah mereka saling
menghadap ke arah utara dan barat, hingga calon mempelai wanita hanya membawa
musibah terhadap keluarga besar yang akan dibinanya.8 Peristiwa ini menjadi
menarik untuk dikaji lebih dalam, karena pada kenyataannya setelah turun
lapangan secara langsung, tradisi yang memang sudah diyakini kebenarannya oleh masyarakat
ini, menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. Jika diperhatikan secara
kasat mata, persiapan yang telah ditata jauh-jauh hari harus direlakan untuk
pergi hanya karena kejadian yang tidak memakan waktu lama. Anggapan adanya
ketidakadilan tiba-tiba muncul, baik dari kalangan keluarga calon mempelai
ataupun masyarakat sekitar. Sehingga diharapakan penelitian ini mampu
memberikan informasi sedalam-dalamnya tentang tradisi yang telah mengakar di
masyarakat Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang khususnya dengan
jalan pengamatan dan observasi secara langsung pada objek penelitian. B.
Batasan Masalah Penelitian berdasarkan fakta lapangan ini, hanya sebatas daerah
yang telah disebutkan pada bagian latar belakang di atas, yaitu Desa Dilem Kecamatan
Kepanjen Kabupaten Malang. Begitu juga dengan tokoh masyarakat yang terdapat di
daerah ini, sesuai dengan definisi operasional yang akan penulis jabarkan pada
8 Elin, wawancara (Malang, 6 Januari 2015) 9 sub bab selanjutnya. Hasil akhir
yang diharapkan juga sesuai dengan pengetahuan dari para informan terkait
tradisi yang telah berkembang di masyarakat Desa Dilem Kecamatan Kepanjen
Kabupaten Malang. C. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang di
atas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah pandangan tokoh masyarakat Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten
Malang terhadap tradisi perkawinan kerubuhan gunung? 2. Bagaimanakah relevansi
tradisi perkawinan kerubuhan gunung Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten
Malang bagi perkembangan hukum perkawinan dalam Islam? D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penulisan penelitian skripsi
ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui pandangan tokoh masyarakat Desa
Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang terhadap tradisi perkawinan kerubuhan
gunung 2. Mengetahui relevansi tradisi perkawinan kerubuhan gunung Desa Dilem
Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang bagi perkembangan hukum perkawinan dalam
Islam 10 E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian
ini diharapkan mampu memberikan penjelasan merinci tentang tradisi perkawinan
kerubuhan gunung di Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang, sehingga
dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum
terutama syari‟ah serta sebagai bahan bacaan dan kepustakaan. Di samping itu,
penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan gambaran umum mengenai tradisi
yang telah berkembang di suatu daerah. 2. Manfaat Praktis Secara praktis,
penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan yang luas tentang tradisi
perkawinan yang telah berkembang di suatu daerah, sehingga mampu bersaing
dengan arus modernisme yang saat ini membutuhkan pembaharuan-pembaharuan guna
perbaikan dalam segala bidang kehidupan. F. Definisi Operasional Berdasarkan
judul yang diangkat oleh peneliti, maka dapat ditarik beberapa kata kunci yang
membutuhkan penjelasan untuk maksud yang ingin dicapainya. Beberapa kata kunci
yang menurut penulis memerlukan penjelasan yaitu : a. Tokoh masyarakat Tokoh
masyarakat dalam hal ini merujuk pada penduduk atau orang-orang yang berada di
Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Supaya 11 lebih terstruktur
dalam pembahasannya, maka penulis membedakan tiga golongan dari tokoh
masyarakat itu sendiri, yaitu : 1) Tokoh agama, yang meliputi seorang kyai,
Sarjana Hukum Islam atau IAIN, guru agama serta mudin di Desa Dilem Kecamatan
Kepanjen Kabupaten Malang 2) Tokoh adat, merupakan orang yang dianggap tahu
tentang tradisi kerubuhan gunung atau biasa dikenal dengan sebutan sesepuh.
Dalam hal ini umur tidak menjadi faktor utama, melainkan kadar pengetahuan
tentang tradisi tersebut adalah prioritas utama dalam penentuan tokoh adat 3)
Tokoh pemerintahan, merupakan pejabat pemerintah Desa Dilem yang mengetahui
pertumbuhan tradisi perkawinan ini. Meliputi Ketua RT, Ketua RW, Kepala Desa,
Pamong Desa, Kasun Desa dan Sekretaris Desa. b. Tradisi Tradisi adalah
kebiasaan turun temurun.9 Term tradisi secara umum dimaksudkan untuk menunjuk
kepada suatu nilai, norma dan adat kebiasaan yang lama dan hingga kini masih
diterima, diikuti bahkan dipertahankan oleh kelompok masyarakat tertentu.10
Hassan Hanafi memberikan pengertian tradisi (turats) sebagai semua warisan masa
lampau yang sampai kepada kita dan masuk ke dalam kebudayaan yang sekarang
berlaku. Tradisi berasal dari bahasa Inggris tradition, berasal dari kata latin
traditio atau tradire yaitu menyerahkan, menurunkan atau mengingkari. Tradisi
juga 9 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, h. 756 10
Soenarto Timoer, Mitos ura-Bhaya Cerita Rakyat sebagai Sumber Penelitian
Surabaya (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), h. 11 12 berarti intelek (bukan
intelegensi), sedangkan dalam ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan
metode-metode penelitian. Menurut Pranowo (2002:8) yang dikutip oleh Nur Syam,
tradisi adalah suatu yang diwariskan atau ditransmisikan dari masa lalu ke masa
kini. Sedangkan menurut Anton Rustanto tradisi adalah suatu perilaku yang lazim
orang lakukan dalam sebuah tatanan masyarakat tertentu secara turun menurun.
Hal ini dilakukan semata-mata karena sifat dari tradisi adalah kontinuitas,
dilakukan terus menerus sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para pendahulu
mereka.11 Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah
berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek
moyang. Tradisi dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan
mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan. c. Kerubuhan Gunung Kerubuhan
gunung termasuk paribasan Jawa yang memiliki pengertian „Wong nemoni kesusahan
sing gedhĂ© banget‟.12 Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, maka
istilah tersebut bermakna „seseorang yang sedang menghadapi masalah yang besar.
Seseorang dalam konteks ini dikaitan dengan calon mempelai, baik itu calon
mempelai perempuan ataupun laki-laki yang akan membangun rumah tangga bersama
pilihannya. Istilah kerubuhan gunung ini digunakan bila akan dilakukan
perkawinan terdapat keluarga dekat yang u
besar dan menjulang tinggi. Tentunya, rasa sakit yang dirasakan akan sangat
pedih jika dibandingkan dengan ditimpa dengan benda-benda lain yang ukurannya
lebih kecil daripada sebuah gunung. Jangankan ditimpa oleh gunung yang begitu
besar ukurannya, bila kita ditimpa dengan sebuah batu bata yang ukurannya tidak
sebanding dengan ukuran sebuah gunung, dapat dipastikan bahwa kita akan
merasakan sakit yang amat, karena keras dan beratnya batu bata tersebut.
Apalagi jika ditimpa dengan gunung yang ukurannya berkali lipat dari sebuah
batu bata. Tentunya rasa sakit yang dirasakan akan beribu kali lipat. Dengan
demikian istilah dalam Bahasa Jawa pun disebut dengan kerubuhan gunung. G. Sistematika
Pembahasan Penulisan penelitian skripsi ini terstruktur dalam lima bab. Antar
bab, memiliki kuantitas dan titik tekan materi masing-masing sebagaimana
diuraikan sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan, di mana bab ini memuat
beberapa elemen dasar penelitian ini, antara lain latar belakang yang
memberikan landasan berpikir pentingnya penelitian ini, rumusan permasalahan
yang menjadi titik fokus penelitian, tujuan penelitian yang mendeskripsikan
alasan-alasan atau statement diadakannya penelitian ini yang kemudian dirangkai
dengan manfaat penelitian 13 Alpha Savitri, “Sejarah Agama, Tradisi Tengger
Bromo”,
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/wpcontent/uploads/2010/02/sejarahAgamaTradisiTenggerBromo_AlphaSavitri_OK.pdf,
diakses 02 Februari 2010 14 baik secara teoritis maupun praktis, definisi
operasional, dan diakhiri dengan sistematika penulisan laporan penelitian.
Dengan mencermati bab ini, gambaran dasar dan alur penelitian akan dapat
dipahami dengan jelas. Kajian seputar teori dan penelitian terdahulu,
dipaparkan dalam Bab II. Bagian pertama dalam bab ini mengulas perihal mitos
dan tradisi orang Jawa. Sedangkan bagian kedua menjelaskan tentang makna,
hukum, rukun, syarat, tujuan dan hikmah perkawinan dalam pandangan orang Jawa.
Bab III merupakan bagian yang menjelaskan tentang metode penelitian. Metode
penelitian menjadi hal penting untuk sebuah penelitian karena hasil akhir yang
diperoleh sangat tergantung pada metode yang digunakan. Dalam penelitian ini,
metode yang digunakan lebih pada penelitian lapangan yang mendasarkan informasi
pada hasil wawancara, pengamatan dan dokumentasi. Informasi cukup mendalam
mengenai profil Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang dan pembahasan
penelitian terdapat dalam Bab IV. Profil lembaga ini dianggap penting karena
akan memberikan informasi dasar kepada pembaca perihal seluk beluk Desa Dilem
Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Paparan ini diharapkan akan menjadi
pijakan awal bagi pembaca untuk mengetahui lebih jauh tentang tradisi yang
berkembang di Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Selanjutnya akan
dibahas uraian informasi mengenai pandangan dan relevansi tradisi perkawinan
kerubuhan gunung dengan perkembangan hukum perkawinan dalam Islam saat ini.
Sebagai akhir dari penelitian, Bab V adalah penutup. Bab ini merupakan bagian
yang memuat dua hal dasar, yakni kesimpulan dan saran. Kesimpulan 15 merupakan
uraian singkat tentang jawaban atas permasalahan yang disajikan dalam bentuk
poin per-poin. Adapun bagian saran memuat beberapa anjuran akademik baik bagi
lembaga utamanya dalam hal ini masyarakat terkait maupun untuk peneliti
selanjutnya. 16
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" :Pandangan tokoh masyarakat terhadap tradisi perkawinan kerubuhan gunung: Studi perkawinan di Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment