Abstract
INDONESIA:
Permasalahan hukum kewarisan dalam Islam yang mengandung kontroversi adalah masalah radd. Masalah ini terjadi, apabila dalam pembagian harta waris terdapat sisa harta setelah ahli waris ash-hâb al-furûdl memperoleh bagiannya. Cara radd ditempuh untuk mengembalikan sisa harta kepada ahli waris ash-hâb al-furûdl. Diantara ulama yang menyetujui tentang adanya masalah radd dalam pembagian harta waris adalah Muhammad „Alî al-Shâbûnî. Ia berpendapat bahwa apabila dalam pembagian harta waris terdapat sisa harta setelah dibagikan kepada ahli waris ash- hâb al-furûdl menurut bagiannya masing-masing, dan tidak ada ahli waris „ashâbah, maka sisa harta tersebut diserahkan kepada seluruh ahli waris ash-hâb al-furûdl selain suami atau istri. Berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam, dengan memperhatikan pasal 193, menurut Kompilasi Hukum Islam sisa harta tersebut diberikan kepada seluruh ahli waris ash-hâb al-furûdl, tanpa terkecuali.
Adapun tujuan dari pembahasan masalah ini, antara lain; (1) Untuk mengetahui konsep ahli waris penerima radd menurut Muhammad „Alî al-Shâbûnî dan cara perhitungannya, (2) Untuk mengetahui konsep ahli waris penerima radd menurut Kompilasi Hukum Islam dan cara perhitungannya, (3) Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara Muhammad „Alî al-Shâbûnî dan Kompilasi Hukum Islam dalam konsep penerima radd.
Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) dengan cara mengkaji sumber pustaka sebagai sumber data, adapun sumber data yang penulis perlukan dalam pembahasan ini berupa buku-buku hukum kewarisan Islam tentang masalah radd secara umum dan buku-buku yang ada kaitannya dengan ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta dalam masalah radd menurut Muhammad „Alî al-Shâbûnî dan Kompilasi Hukum Islam.
Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa menurut Muhammad „Alî al-Shâbûnîahli ahli waris ash-hâb al-furûdl yang berhak mendapatkan sisa harta dalam masalah radd ada delapan orang yaitu; Anak Perempuan, Cucu Perempuan dari Anak Laki-laki, Saudara Perempuan Sekandung, Saudara Perempuan Seayah, Ibu, Nenek yang shâhih, Saudara Perempuan Seibu, Saudara Laki-laki Seibu. Cara penyelesaiannya yaitu, bagian suami atau istri diserahkan terlebih dahulu kemudian sisa harta setelah diserahkan kepada suami atau istri dikembalikan kepada ahli waris yang lain. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam ada dua belas yaitu suami atau istri, ayah, kakek keatas, Anak Perempuan, Cucu Perempuan dari Anak Laki- laki, Saudara Perempuan Sekandung, Saudara Perempuan Seayah, Ibu, Nenek yang shâhih, Saudara Perempuan Seibu, Saudara Laki-laki Seibu. Adapun cara penyelesaiannya yaitu, asal masalah diambilkan dari pembilangnya kemudian harta waris dibagi dengan pembilang, baru setelah itu diserahkan kepada ahli waris sesuai dengan bagiannya masing-masing.
ENGLISH:
The problem of hereditary law in Islam which contains a controversial is radd. This happens if there is a residuary in the division of the heir after the inheritor ash- hâb al-furûdl receives each part. The radd is taken up for giving the residuary back to the inheritor ash-hâb al-furûdl and is devided equally. Ulama that agrees about radd is Muhammad Ali Al-Shabuni. According to Al-Shabuni, if in there is a residuary in the division of the heir after the inheritor ash-hâb al-furûdl receiving each part, and there is no „ashâbah inheritor, so the residuary is given over to all inheritors ash-hâb al-furûdl except a husband or a wife. It is different from the Islamic Law Complation. By considering the section of 193, residuary is given to all inheritors ash-hâb al-furûdl without no exception.
However, the aim of the discussion are: (1) to know the concept of the receiver of radd Inheritor According to al-Shâbûnî and the calculation, (2) to know the concept of the receiver of radd Inheritor According to Islamic Law Compilation and the calculation, (3) to know the similarity and the difference betwen them.
By seeing the type, this research is included to the library research by examining the bibliography as a data sources. And the data sources which researcher needs in this research are Islamic hereditary law books about radd in general and many books which have relation with the residuary in radd according to al-Shâbûnî and Islamic Law Compilation.
Based on the research, the researcher acquires a conclusion that according to al-Shâbûnî, 8 inheritors ash-hâb al-furûdl who get the residuary in radd are daughters, granddaughters from the son, blood sisters, sisters from the same father, mother, grandmother, sisters from the same mother. The resolution is the heir part for the wife is given first to her and the residuary is given back to the other inheritors. Whereas, according to Law Compilation, there are 12 inheritors. Those are husband or wife, father, grandfather to the up, daughter, granddaughter from the son, blood daughter, daughter from the same father, mother, grandmother, daughter from the same mother, son from the same mother. The resolution is taking the numerator then the heir is divided by the numerator and is given to the inheritor accord with each part.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris
seringkali menjadi krusial yang terkadang memicu pertikaian dan menimbulkan
keretakan hubungan keluarga. Penyebab utamanya ternyata keserakahan dan
ketamakan manusia, di samping karena kekurangtahuan pihak-pihak yang terkait
mengenai hukum pembagian waris. Syariat Islam telah meletakkan sistem kewarisan
dalam aturan yang paling baik, bijak, dan adil. Agama Islam menetapkan hak
pemilikan benda bagi manusia, baik laki-laki maupun perempuan dalam petunjuk
syara‟, seperti memindahkan hak milik seseorang pada waktu masih hidup kepada
ahli warisannya atau setelah dia meninggal, tanpa melihat perbedaan antara anak
kecil dan orang dewasa. Ilmu waris termasuk ajaran ilmu syari‟at yang memiliki
kedudukan tinggi. Ilmu yang menangani tentang waris ini merupakan sebuah
disiplin ilmu yang Allah sendiri berkenan menjelaskan pembagiannya secara
tegas. Allah sendiri juga yang menjelaskan hukum-hukumnya dalam kitabNya,
secara langsung, tanpa perantara malaikat atau nabi. Hal itulah yang menguatkan
bahwa ilmu waris adalah ilmu yang amat mulia.2 Hukum kewarisan dalam Islam
memang tergolong hukum yang paling sedikit mengandung kontroversi, tetapi tetap
saja tidak steril dari silang pendapat. Karena hukum kewarisan dalam Islam
merupakan hukum yang dijabarkan sendiri oleh Allah SWT. dalam al-Qur‟an yang
berbunyi: Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagaian dua orang
anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian- 2Abu Umar Basyir, Warisan (Solo: Rumah Dzikir, 2006), 15. pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anakanakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.3
Ditambah beberapa hadits Nabi SAW. yang memperjelas kandungan ayat-ayat
tersebut. Dengan begitu mayoritas pembahasan hukum kewarisan dalam Islam tidak
keluar dari dua sumber pokok tersebut.4 Sir William John sebagaimana yang
dikutip Fatchur Rahman5 mengakui bahwa sistem hukum waris Islam mempunyai mutu
yang sangat tinggi dibanding dengan sistem hukum waris yang lain, beliau
mengatakan: “I am strongly disposed to believe that no possible question could
occur on the Muhammadan Law of succession which might not be rapidly and
correctly answered”. “saya cenderung untuk mempercayai bahwa tidak satu masalahpun
mungkin timbul dalam lapangan hukum waris Islam yang tidak dapat dijawab.”
Pengakuan beliau ini telah membuka mata kaum orientalis untuk mempelajari hukum
waris Islam yang pada akhirnya menyetujuinya. Di antara permasalahan hukum
kewarisan dalam Islam yang mengandung kontroversi adalah masalah radd. Masalah
ini terjadi, apabila dalam pembagian harta waris terdapat sisa harta setelah
ahli waris ash-hâb alfurûdl6 memperoleh bagiannya. Cara radd ditempuh untuk
mengembalikan sisa harta tersebut kepada ahli waris ash-hâb al-furûdl seimbang
dengan bagian yang diterima masing-masing secara proporsional. Caranya adalah
mengurangi angka asal masalah, sehingga sama besarnya dengan jumlah bagian yang
diterima oleh 3QS. an-Nisa‟ (4): 11. 4Basyir, Warisan, 18. 5 Fatchur Rahman,
Ilmu Waris, Cet. III; (Bandung: PT Al Ma'arif, 1994), 22. 6 ash-hâb al-furûdl
iyalah waris-waris yang mempunyai bagian yang telah ditentukan pada harta
peninggalan dengan nash atau dengan ijma‟. mereka. Apabila tidak ditempuh
dengan cara radd akan menimbulkan persoalan siapa yang berhak menerimanya,
sementara tidak ada ahli waris yang menerima „ashâbah. 7 Untuk mendeteksi
terjadinya masalah radd dapat diketahui apabila angka pembilang lebih kecil
daripada angka penyebut yang pada dasarnya adalah merupakan kebalikan dari
masalah 'aul, namun demikian penyelesaiannya tentu berbeda dengan masalah 'aul,
karena 'aul pada dasarnya kurangnya angka yang akan dibagi, sedangkan radd ada
kelebihan setelah diadakan pembagian.8 Masalah ini diperselisihkan oleh para
ulama, karena tidak ada nash yang shârih, baik dari al-Qur'an maupun al-Hadits,
yang mereka sepakati. Sehingga dalam hal ini ada beberapa ulama yang menolak
tentang adanya masalah tersebut dalam pembagian harta waris, diantaranya Zabit
ibn Tsabit, Imam Malik dan Syafi'i. Menurut mereka apabila terdapat sisa harta
setelah diambil bagiannya oleh ahli waris ash-hâb al-furûdl dan tidak terdapat
ahli waris „ashâbah, maka sisa harta tersebut diserahkan kepada Baitul Mal.9
Sedangkan Jumhur ulama menyetujui masalah tersebut dalam pembagian harta waris
hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan ahli waris ash-hâb
al-furûdl yang manakah yang berhak mendapatkan sisa harta tersebut. Diantara
ulama yang menyetujui tentang adanya masalah radd dalam pembagian harta waris
adalah Muhammad „Alî al-Shâbûnî. Ia berpendapat bahwa apabila dalam pembagian
harta waris terdapat sisa harta setelah dibagikan kepada ahli waris ash-hâb
al-furûdl menurut bagiannya masing-masing,. tidak ada ahli waris „ashâbah, maka
sisa harta tersebut diserahkan kepada seluruh ahli waris ash-hâb al-furûdl
selain suami atau istri karena, kekerabatan mereka berdua bukan didasarkan pada
hubungan nasabiyah, melainkan hubungan sababiyah, yakni semata-mata karena
sebab perkawinan yang dapat terputus karena kematian. Karena itu, suami atau
istri hanya berhak atas bagian pasti (fardl) saja, sedangkan sisa harta
tersebut diberikan kembali kepada ahli waris ash-hâb al-furûdl yang lain.10 Apa
yang dikemukakan oleh Muhammad „Alî al-Shâbûnî berbeda dengan Kompilasi Hukum
Islam, meskipun sama-sama menyetujui adanya masalah radd dalam pembagian harta
waris, hal ini sebagaimana termaktub dalam pasal 193 : “Apabila dalam pembagian
harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furudl menunjukkan bahwa angka
pembilang lebih kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris
„ashâbah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara radd, yaitu
sesuai dengan hak masingmasing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara
berimbang di antara mereka”. 11 Akan tetapi, dengan memperhatikan pasal
tersebut, menurut Kompilasi Hukum Islam sisa harta tersebut diberikan kepada
seluruh ahli waris ash-hâb alfurûdl, tanpa terkecuali.12 Dari uraian singkat di
atas, bahwa antara Muhammad „Alî al-Shâbûnî dengan Kompilasi Hukum Islam
sama-sama menyetujui adanya masalah radd dalam pembagian harta waris, akan
tetapi dalam menentukan ahli waris ash-hâb al-furûdl siapakah yang berhak
mendapatkan sisa harta dalam masalah tersebut antara keduanya terjadi perbedaan, karena itu
penulis merasa tertarik untuk menulis skripsi berjudul "Konsep Ahli Waris
Penerima Radd Menurut Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî Dan Kompilasi Hukum Islam".
B.
Rumusan
Masalah
Dalam membahas dan mengkaji
permasalahan diatas, kiranya penulis perlu memberi batasan-batasan pembahasan,
agar dalam mengkaji permasalahan ini tidak melebar terlalu luas sehingga maksud
dari pembahasan masalah ini tidak tercapai. Batasan-batasan tersebut terumus
dalam sebuah rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep ahli waris
penerima radd menurut Muhammad „Alî alShâbûnî dan bagaimana cara perhitungannya
? 2. Bagaimana konsep ahli waris penerima radd menurut Kompilasi Hukum Islam
dan bagaimana cara perhitungannya ? 3. Mengapa ada Persamaan dan perbedaan
antara Muhammad „Alî al-Shâbûnî dan Kompilasi Hukum Islam dalam konsep penerima
radd ?
C.
Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan dari
pembahasan masalah di atas, sesuai dengan tujuan penulis dalam rumusan masalah,
antara lain : 1. Untuk mengetahui konsep ahli waris penerima radd menurut
Muhammad „Alî al-Shâbûnî dan cara perhitungannya. 2. Untuk mengetahui konsep
ahli waris penerima radd menurut Kompilasi Hukum Islam dan cara perhitungannya.
3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara Muhammad „Alî alShâbûnî dan
Kompilasi Hukum Islam dalam konsep penerima radd.
D.
Kegunaan
Pembahasan
Adapun kegunaan yang diharapkan oleh penulis
dalam pembahasan ini adalah : 1. Secara teoritis Pembahasan skripsi ini
diharapkan menjadi tambahan informasi sebagai sumbangan pemikiran untuk
memperkaya khazanah keilmuan, khususnya dalam hukum kewarisan Islam terutama
tentang ahli waris yang berhak mandapatkan sisa harta dalam masalah radd
menurut Muhammad „Alî alShâbûnî dan Kompilasi Hukum Islam. 2. Secara praktis
Jika pembahasan skripsi ini selesai, maka diharapkan dapat memberikan wacana
keilmuan atau wawasan pengetahuan bagi ahli hukum maupun masyarakat umum
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Konsep ahli waris penerima radd menurut Muhammad Alî al-Shâbûnî dan Kompilasi Hukum Islam" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment