Abstract
INDONESIA:
Penelitian ini didasari oleh fenomena perzinahan yang semakin memprihatinkan. Lebih memprihatinkan lagi fenomena tersebut “didukung” oleh ketentuan kawin hamil dalam Kompilasi Hukum Islam, hal ini disebabkan Kompilasi Hukum Islam memberi legitimasi terhadap anak hasil kawin hamil atau anak hasil perzinahan. Mengingat fenomena perzinahan yang semakin parah, filosofi diberlakukannya ketentuan kawin hamil dalam KHI yang bertujuan menyelamatkan masa depan anak hasil hubungan seks pranikah yang sudah kehilangan relevansinya, dan juga putusan MK tentang perlindungan hak perdata bagi anak luar nikah. Maka penulis akan menyebutkan rumusan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana analisis mashlahah dan mafsadah ketentuan kawin hamil dalam Kompilasi Hukum Islam? (2) Bagaimana ketentuan kawin hamil yang relevan untuk zaman sekarang?
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu memaparkan dan menjelaskan tentang penerapan teori ketentuan kawin hamil dalam KHI sehingga bisa menghasilkan pemahaman yang konkret. Pola pikir yang digunakan adalah dengan pola pikir deduktif, yaitu mengemukakan teori yang bersifat umum dalam hal ini adalah ketentuan kawin hamil, kemudian ditarik pada permasalahan yang lebih khusus tentang mashlahah dan mafsadah diberlakukannya ketentuan kawin hamil yang ada dalam KHI.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penerapan ketentuan kawin hamil Pasal 53 dalam KHI dapat memberikan “fasilitas” terhadap pelaku perzinahan. Fasilitas tersebut dimanfaatkan oleh pelaku zina agar anak hasil perzinahan mereka memiliki implikasi hukum dan kualitas yang sama dengan anak hasil perkawinan yang sah menurut KHI. Oleh karenanya para pelaku zina merasa tidak ada masalah hukum dengan perbuatan mereka, begitu juga dengan anak yang dilahirkan kelak akan memiliki status hukum yang sama dengan anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari sini timbul suatu mafsadah melegitimasi perzinahan, sebab salah satu tujuan dari pernikahan yaitu memperoleh keturunan yang sah. Melalui ketentuan kawin hamil dalam KHI para pelaku zina mendapatkan kedudukan atau status hukum yang sama. Mashlahah dari ketentuan KHI tersebut adalah untuk menyelamatkan masa depan anak hasil kawin hamil sehingga memiliki status hukum anak sah beserta hak-haknya sebagai anak sah. Sejalan dengan kesimpulan tersebut, terhadap praktisi dan pemerhati KHI disarankan, bahwa sudah saatnya perlu diupayakan rekonsepsi ketentuan kawin hamil baik dengan cara mewawancara kembali kepada ulama’ seperti sejarah pembentukan KHI atau yang lainnya untuk kembali kepada pendapat ulama’ fikih yang lebih memperhatikan perzinahan dan hal-hal yang berkaitannya dengannya.
ENGLISH:
This study is based on an increasingly phenomenon of adultery. More concern about this phenomenon, because it is supported by the provision of a pregnant married in compilation of Islamic law, this is due to the Compilation of Islamic Law to give legitimacy to the child of a pregnant mate or child of adultery. Remembering the worsening phenomenon of adultery, the philosophy of the application of a pregnant married in KHI is to aim to save the child's future from premarital sex that has lost its relevance, and also the decision of the constitution court on the protection of civil rights for illegitimate children. So the author will mention formulation of the problem as follows: (1) how mashlahah and mafsadah analysis in mating pregnant provisions in the Compilation of Islamic Law? (2) How relevant provisions pregnant mate for today?
In this study, the authors used the descriptive analytical method, which describes and explains the application of theory in KHI provisions pregnant mate that can produce concrete understanding. It is used the deductive mindset, which put forward the theory of a general nature in this case is the provision mating pregnant, then pulled on the more specific issues about the Mashlahah and Mafsadah so the obtaining of the implementation of the provisions pregnant mate is in KHI.
The study concluded that the application of the provisions of mating pregnant in article 53 in the KHI can provide "facilities" to the doer of adultery. The facility is used by the perpetrator, to the child of adultery for getting the legal implications and the same quality as the child of a valid marriage according to KHI. Therefore the adultery has no law problem with their actions, as well as children who are born in the future will have the same legal status to children born as a result of a legal marriage. From this arises, Mafsadah legitimize adultery, because one of the purposes of marriage is procreation legitimate. Through the provisions of mating pregnant in KHI, the doer of adultery gets the same legitimate or status. Mashlahah of the KHI provision is to save the future of the child of a pregnant mate so they will have valid and legal status of children and their rights as legitimate children. In line with these conclusions, to the practitioners and observers of KHI is suggested, that it is the time to do re-concept the provisions of pregnant mate either by interviewing back to the scholars 'such as the history of the formation of KHI or others to return to the opinions of scholars of Fiqh that is more concerned with adultery and something that matters with it.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penelitian Sudah menjadi kodrat
manusia bahkan seluruh makhluk di jagad raya ini untuk eksis secara
berpasang-pasangan. Sebagai wujud makhluk Tuhan yang berakal dan bermartabat
maka dalam syariat Islam maupun hukum positif diatur tata cara berpasangan dan
segala hal yang meliputinya berikut tujuan perkawinannya. Tujuan perkawinan
atau pernikahan dalam Islam adalah untuk membentuk keluarga yang sâkinah,
mawaddah dan rahmah. Tujuan tersebut juga termaktub dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan pada pasal 1 disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah
“Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal 2 berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.1 Dengan demikian eksistensi manusia sebagai makhluk
Tuhan yang berakal dan bermartabat yang memiliki tatanan aturan dan etika.
Sudah seharusnya seorang manusia berperilaku dalam berpasang pasangan sesuai
hukum syara’, Undang-Undang dan norma yang berlaku. Begitu sakralnya pernikahan
dalam Islam sehingga dapat mengubah hukum. Hubungan intim antara seorang laki
laki dan seorang perempuan yang mulanya sangat dilarang dalam syariat Islam
namun setelah adanya pernikahan antara keduanya maka menjadi dibolehkan bahkan
perbuatan tersebut bernilai ibadah. Sedangkan hubungan intim tanpa adanya
ikatan suci pernikahan atau perzinahan hukumnya haram dan merupakan perbuatan
dosa besar, bahkan terkadang perzinahan tersebut mengakibatkan pada kehamilan yang
tidak diharapkan dan berujung pada pernikahan kawin hamil, demikian juga anak
yang dihasilkan dari perzinahan memiliki legalitas yang berbeda dengan anak
yang dilahirkan sebagai akibat adanya pernikahan. Islam memandang begitu
penting kehadiran anak yang terhormat sebagai hasil dari sebuah perkawinan
antara ayah dan ibunya. Dalam Al Qur’an, anak dipandang dari berbagai macam
sisi. Yang pertama, anak dipandang sebagai perhiasan kehidupan di dunia. Dalam
artian ini, anak adalah kebanggan orang tuanya sama dengan kebanggaan seseorang
akan hartanya, hal ini sesuai dengan firman Allah yang termaktub dalam surat al
Kahfi ayat 46 yang berbunyi : 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1. 3
$\/#uθrO y7În/u‘ y‰ΖÏã î öyz àM≈ysÎ=≈¢
Á9$# àM≈uŠÉ)≈t7ø9$#uρ ( $u‹÷Ρ ‘ ‰9$# Íο4θuŠysø9$# èπuΖƒÎ— tβθãΖt6ø9$#uρ ã $yϑø9$#
∩⊆∉∪ W ξtΒr& î öyzuρ harta dan
anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalanamalan yang kekal lagi
saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan.2 Yang kedua, anak dipandang sebagai cobaan. Hal ini termaktub
di dalam AlQuran sebagai berikut : ∩⊄∇∪ Ò
ΟŠÏàtã í ô_r& ÿ…çνy‰ΨÏã © !$# ā χr&uρ × πuΖ÷GÏù öΝä.߉≈s9÷ρr&uρ
öΝà6ä9≡uθøΒr& !$yϑ¯ Ρr& (#þθßϑn=÷æ$#uρ Dan ketahuilah, bahwa hartamu
dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah
pahala yang besar.3 Penjelasan mengenai anak sebagai cobaan adalah anak dapat
menjadi tolok ukur ketakwaan orang tuanya kepada Allah SWT, sebagaimana halnya
harta dapat menjadi tolok ukur ketakwaan pemiliknya kepada-Nya. Baik ketika
anak tersebut menjadi kebanggaan orang tuanya atau anak tersebut dalam kondisi
memalukan atau menyengsarakan orang tuanya. Bagaimana orang tua menyikapi
kondisi anak tersebut, apakah semakin mendekatkan diri kepada Tuhannya atau
justru sebaliknya semakin jauh dengan Tuhannya, disitulah letak anak sebagai
cobaan. Dalam kajian hukum, dilihat dari segi legalitasnya muncul istilah anak
sah dan anak yang tidak sah atau anak zina. Anak sah secara umum dapat
didefinisikan 2 QS. al Kahfi (18): 46. 3QS. al Anfal (8): 28. 4 sebagai anak
yang dilahirkan dari adanya perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya.
Sebaliknya, anak yang tidak sah adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat dari
adanya hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak
diikat dalam perkawinan yang sah. Lebih khusus lagi, dalam khazanah pemikiran
hukum Islam, terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama fikih tentang batasan
anak sah. Sebagai contoh, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa anak sah adalah
anak yang dilahirkan minimal usia enam bulan sejak akad pernikahan.4 Apabila
usia masa pernikahan kurang dari enam bulan dan anak yang di dalam kandungan
lahir, maka anak yang dilahirkan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai
anak sah. Dalam penentuan anak sah, para ulama fikih berbeda dengan hukum Islam
yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini dikhususkan dalam Kompilasi Hukum
Islam (selanjutnya disebut sebagai KHI). Menurut KHI, "anak sah adalah
anak yang dilahirkan sebagai akibat atau dalam perkawinan yang sah5 ” seperti
yang tercantum dalam pasal 99. Jadi di dalam KHI tidak mengatur usia kehamilan
pasca menikah. Dengan kata lain, jika kemarin ia melangsungkan akad nikah dan
hari ini ia melahirkan maka status anak yang dilahirkan dapat dikategorikan
sebagai anak sah, hal ini sebagai konsekwensi adanya ketentuan kawin hamil
seperti yang diatur dalam pasal 53 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut: 1.
Seorang wanita hamil diluar kawin, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya; 4 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, Juz X
(Dimasyq:Dâr al-Fikr, 1985), h. 7250. 5 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 99. 5 2.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan
tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya; 3. Dengan dilangsungkannya
perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah
anak yang dikandung lahir. Jadi ketentuan kawin hamil dalam KHI bahwa wanita
yang sedang hamil dapat melangsungkan akad nikah tanpa harus melahirkan
terlebih dahulu dan anak yang dilahirkan tersebut dapat dinasabkan kepada ayah
biologisnya. Hal ini sedikit berbeda dengan pendapat Imam Al Syafi’i dan Abu
Hanifah yang menyebutkan bahwa wanita pezina tidak memiliki ‘iddah sebab ‘iddah
hanya untuk menjaga nasab dan pezina laki-laki terputus nasabnya dengan janin
yang dikandung wanita tersebut.6 Abu Hanifah menambahkan bahwa apabila
laki-laki lain yang menikahinya maka nikahnya tetap sah akan tetapi tidak boleh
mencampurinya sampai isterinya tersebut melahirkan. Imam Malik dalam hal ini
berpendapat bahwa apabila laki-laki selain yang menghamili tidak boleh
menikahinya sampai wanita tersebut melahirkan, hanya laki-laki yang
menghamilinya dapat menikahinya.7 Pendapat Imam Malik tersebut berdasarkan
surat an Nur ayat 38 sebagai berikut: tΠÌhãmuρ 4 Ô 8Îô³ãΒ ÷ρr& Aβ#y— āωÎ) !$yγßsÅ3Ζtƒ Ÿω èπu‹ÏΡ#¨ “9$#uρ Z πx.Îô³ãΒ ÷ρr& ºπuŠÏΡ#y— āωÎ) ßxÅ3Ζtƒ Ÿω ’ÎΤ#¨ “9$# ∩⊂∪ tÏΖÏΒ÷σßϑø9$# ’n?tã y7Ï9≡sŒ 6 Sayyid Sâbiq, Fiqh as Sunnah, Juz
II (Cet. IV; Beirut: Dâr al Fikr, 1983), h. 282-283. 7 Hasbullah Bakry, Pedoman
Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: UI Press, 1988), h. 202. 8 QS. An Nûr
(24): 3. 6 Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. Sedangkan menurut Imam Ahmad Ibn
Hanbal bahwa wanita hamil tidak boleh dinikahi oleh siapa saja termasuk yang
menghamilinya sampai wanita tersebut melahirkan.9 Selain itu dalam ketentuan
anak hasil kawin hamil menurut pandangan ulama fikih dan KHI memiliki perbedaan
dalam usia kehamilan pasca menikah. Dengan kata lain menurut KHI tentang
ketentuan anak hasil kawin hamil yang dilahirkan pasca menikah tersebut dapat
dipastikan sebagai anak sah sedangkan menurut pandangan ulama fikih belum tentu
dapat dikatakan sebagai anak sah. Sebagai contoh pendapat Imam Abu Hanifah
berlandaskan pada nash al Qur’an pada surat al Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
ÏŠθä9öθpRùQ$# ’n?tãuρ 4 sπtã$|ʧ 9$# ¨ ΛÉãƒ
βr& yŠ#u‘r& ôyϑÏ9 ( È÷n=ÏΒ%x. È÷,s!öθym £ èδy‰≈s9÷ρr& z÷èÅÊöムßN≡t$Î!≡uθø9$#uρ $yδÏ$s!uθÎ/ 8 οt$Î!≡uρ § ‘!$ŸÒè? Ÿω 4 $yγyèó™ãρ
āωÎ) ë §ø'tΡ ß# ¯ =s3è? Ÿω 4 Å∃ρã÷èpRùQ$$Î/ £ åκèEuθó¡Ï.uρ £ ßγè%ø—Í‘ …ã&s! $uΚåκ÷]ÏiΒ <
Ú#ts? tã »ω$|ÁÏù #yŠ#u‘r& ÷βÎ*sù 3 y7Ï9≡sŒ ã≅÷VÏΒ Ï^Í‘#uθø9$# ’n?tãuρ 4 ÍνÏ$s!uθÎ/ …çµ © 9 × Šθä9öθtΒ Ÿωuρ
#sŒÎ) ö/ä3ø‹n=tæ yy$uΖã_ Ÿξsù ö/ä.y‰≈s9÷ρr& (#þθãèÅÊ÷tIó¡n@ βr& öΝ › ?Šu‘r& ÷βÎ)uρ 3 $yϑÍκön=tã yy$oΨã_ Ÿξsù 9 ‘ãρ$t±s?uρ ∩⊄⊂⊂∪ × ÅÁt/ tβθè=uΚ÷ès? $oÿÏ3 © !$# ¨ βr& (#þθßϑn=ôã$#uρ © !$# (#θà) ¨
?$#uρ 3 Å∃ρá÷èpRùQ$$Î/
Λäø‹s?#u !$¨Β ΝçFôϑ¯ =y™ 9 Hasbullah, Pedoman, h. 202. 7 Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara baik. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha
melihat apa yang kamu kerjakan.10 Ayat ini menjelaskan tentang masa menyusui
yang sempurna dan ayat ini secara eksplisit menjelaskan masa minimal kehamilan
yang juga disebut dalam surat al-Ahqaaf ayat 15 sebagai berikut : u…çµè=≈|ÁÏùuρ
…çµè=÷Ηxquρ ( $\ δöä. çµ÷Gyè|Êuρuρ $\ δöä. …çµ •Βé& çµ÷Fn=uΗxq ( $·Ζ≈|¡ômÎ) ϵ÷ƒy‰Ï9≡uθÎ/ z≈|¡ΣM}$#
$uΖøŠ ¢ ¹ρuρ tä3ô©r& ÷βr& ûÍ_ôãΗ÷ρr& Éb>u‘ tΑ$s% Z πuΖy™
zŠÏèt/ö‘r& x:n=t/uρ …çν £ ‰ä©r& x:n=t/ #sŒÎ) # ¨ Lym 4 #·öκy− tβθèW≈n=rO ’Îû ’Í< ôxÎ=ô¹r&uρ çµ9|Êös? $[ sÎ=≈|¹ Ÿ≅uΗùår&
÷βr&uρ £ “t$Î!≡uρ 4’n?tãuρ ¥ ’n?tã |Môϑyè÷Ρr& ûÉL © 9$# y7tFyϑ÷èÏΡ ∩⊇∈∪ tÏΗÍ>ó¡ßϑø9$# zÏΒ ’ÎoΤÎ)uρ y7ø‹s9Î) àMö6è? ’ÎoΤÎ) ( ûÉL −
ƒÍh‘èŒ Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia
berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang
telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat
berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) 10QS. Al Baqarah (2): 233. 8 kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri".11 Dalam ayat diatas dikatakan masa
mengandung dan menyapih (menyusui) adalah tiga puluh bulan, sedangkan dalam
Surat al-Baqarah ayat 233 sudah dijelaskan bahwa masa menyusui adalah dua tahun
atau dua puluh empat bulan, dengan demikian maka diperoleh pemahaman bahwa masa
kehamilan minimal adalah enam bulan. Dalam realitas kehidupan sehari-hari
banyak ditemukan berbagai macam permasalahan sosial yang timbul khususnya yang
berkaitan dengan masalah pernikahan. Fenomena pergaulan muda mudi masa kini
banyak ditemukan terjadinya kasus-kasus perzinahan yang berujung kepada
terjadinya pernikahan dimana mempelai wanitanya dalam kondisi hamil dan setelah
itu terlahirlah anak yang kemudian dipertanyakan statusnya apakah anak yang
dilahirkan dapat dikategorikan anak sah atau anak tidak sah walau menurut KHI
anak yang dilahirkan sebagai akibat kawin hamil sudah dipastikan sebagai anak
sah. Hal ini mungkin banyak dianggap sepele oleh sebagian kalangan yang
notabenenya kurang memperhatikan masalah agama sehingga tidak mempersoalkan
lagi masalah status anak sah menurut pandangan agama serta menganggap hal
tersebut merupakan hal yang benar dan biasa terjadi dikalangan mereka. Apabila
berpedoman pada KHI, maka akan memberikan legitimasi kepada para remaja untuk
melakukan hubungan seks pranikah dan memberi celah bagi mereka untuk melakukannya.
Mereka tidak akan “siap” menikah 11QS. Al Ahqâf (46): 15. 9 apabila belum
terjadi kehamilan terlebih dahulu atau yang dikenal oleh para remaja dengan
istilah married by accident. Berbeda dengan pendapat ulama fikih, apabila di
dalam KHI menggunakan pendapat para ulama khususnya mengenai keabsahan anak
yang dilahirkan dari kawin hamil, maka mereka akan lebih terbatasi dan berfikir
mengenai risiko yang timbul akibat dari hubungan seks pranikah. Menurut
Abdurrahman bahwa ketentuan kawin hamil yang terdapat di dalam KHI ini
dipandang sebagai “ketentuan baru” dalam hukum perkawinan di Negara kita dalam
menetapkan kepastian persoalan yang selama ini banyak diperdebatkan. Akan
tetapi, masih belum jelas pengaturannya bagaimana kalau yang mengawini itu bukan
laki-laki yang menghamilinya sebagaimana banyak terjadi dalam praktik di Negara
kita, selanjutnya yang masih belum terinci dan masih berkaitan dengan ketentuan
kawin hamil adalah tentang keabsahan janin atau nasab dari janin yang
dikandungnya yang mana telah dibenihkan di luar perkawinan dan tidak mengatur
batasan masa usia kehamilan sebelum atau sesudah perkawinan.12 Dengan demikian
apabila KHI mangadopsi pemikiran para ulama klasik seperti Imam Malik tentang
ketentuan kawin hamil, maka selain sepasang pelaku zina dapat melangsungkan
niat baiknya dalam bertobat dengan pernikahan juga menjaga kepastian nasab
terhadap anak hasil kawin hamil. Berangkat dari sinilah penulis ingin mengkaji
ketentuan KHI tentang kawin hamil dan implikasinya terhadap kepastian 12
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992) h. 73. 10 nasab anak yang dilahirkan serta meneliti dampak
positif dan dampak negatif dari ketentuan kawin hamil tersebut sehingga
penelitian ini kami beri judul: “Analisis Mashlahah dan Mafsadah Terhadap
Ketentuan Kawin Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam” B. Batasan Penelitian Kajian
masalah dalam penulisan ini dibatasi pada ketentuan kawin hamil dalam Kompilasi
Hukum Islam yang dikaitkan dengan dampak positif dan dampak negatif yang
ditimbulkan dari ketentuan tersebut terutama dari sisi penetapan nasab dan
moralitas pergaulan para remaja pada zaman sekarang. C. Rumusan Penelitian 1.
Bagaimana analisis mashlahah dan mafsadah ketentuan kawin hamil dalam Kompilasi
Hukum Islam ? 2. Bagaimana ketentuan kawin hamil yang relevan pada zaman
sekarang ? D. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui analisis mashlahah dan mafsadah
ketentuan kawin hamil dalam Kompilasi Hukum Islam. 2. Mengetahui ketentuan
kawin hamil yang relevan pada zaman sekarang. E. Manfaat Penelitian 1. Akademis
Penulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah pemikiran hukum, khususnya
dalam hal implikasi ketentuan kawin hamil dalam KHI. 11 2. Praktis Penulisan
ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya yang
berkaitan dengan kawin hamil dan status keabsahan anak yang dilahirkan akibat
kawin hamil. F. Definisi operasional Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan
untuk menghindari akan terjadinya kesalahpahaman atau kekeliruan dalam memahami
maksud yang terkandung dalam judul skripsi: “Analisis Mashlahah dan Mafsadah
terhadap Ketentuan Kawin Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam” maka perlu penulis
uraikan sebagai berikut; Analisis mashlahah dan mafsadah adalah penyelidikan
terhadap dampak kebaikan dan kerusakan sebagai akibat ketentuan kawin hamil
dalam KHI untuk mengetahui implikasi dari ketentuan kawin hamil tersebut.13
Ketentuan kawin hamil adalah suatu ketentuan atau aturan tentang perkawinan
dengan wanita dalam keadaan hamil yang dilangsungkan sesuai dengan pasal 53
Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam adalah peraturan
perundang-undangan yang dirangkum dari berbagai pendapat hukum yang diambil
dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama’ fiqih yang biasa dipergunakan
sebagai referensi pada 13 http://kbbi.web.id/analisis 12 Pengadilan Agama untuk
diolah dan dikembangkan serta dihimpun kedalam satu himpunan berdasarkan Inpres
Nomor 1 Tahun 1991.14 G. Penelitian terdahulu Penelitian tentang konsep kawin
hamil yang dikaitkan dengan hukum positif dan hukum Islam sudah pernah diteliti
oleh peneliti terdahulu diantaranya adalah : Skripsi pada tahun 2012 yang
berjudul “Kompilasi Fatwa Ulama’ tentang ‘Iddah Wanita Hamil Karena Zina dan
Kebolehan Menikahinya (Studi Komparatif Madzhab Syafi’iyyah Dan Madzhab
Hanabilah)” oleh Hartono mahasiswa fakultas Syari’ah UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang. Persamaan penelitian saudara Hartono dengan penelitian penulis adalah
mengkaji konsep kawin hamil menurut madzhab syafi’iyyah dan madzhab hanabilah.
Perbedaan penelitian saudara Hartono dengan penelitian penulis adalah dari sisi
dimensi ketentuan kawin hamil, adapun saudara Hartono dalam penelitiannya
membahas ketentuan kawin hamil perspektif Kompilasi Fatwa Ulama’, sedangkan
penulis disini membahas ketentuan kawin hamil perspektif Kompilasi Hukum Islam
dan menganalisa mashlahah dan mafsadah implikasi ketentuan kawin hamil dalam
KHI. Skripsi pada tahun 2008 yang berjudul “ ’Iddah Perempuan yang Berzina
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hanbal” oleh Husnul Arifin, mahasiswa
fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Disini dijelaskan 14
Abdurrahman, Kompilasi, h. 14. 13 tentang perbedaan konsep Imam Syafi’i dan
Imam Ahmad ibnu Hanbal dalam masalah ‘iddah perempuan hamil yang berzina. Persamaan
penelitian saudara Husnul Arifin dengan penelitian penulis adalah sama-sama
mengkaji konsep kawin hamil dengan menggunakan pendekatan komparatif. Perbedaan
antara penelitian yang telah dilakukan Husnul Arifin dengan penelitian penulis
adalah berbeda dari sisi perspektif dalam memandang konsep kawin hamil. Penulis
memandang konsep kawin hamil yang ada di dalam KHI dari perspektif ulama’ fiqih
sedangkan penelitian Husnul Arifin memandang konsep kawin hamil perspektif Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad ibnu Hanbal. H. Metode Penelitian Untuk menjawab
persoalan yang sudah dirumuskan dalam rumusan penelitian, maka penelitian ini
membutuhkan data-data deskriptif yang berupa datadata tertulis dan bukan
angka-angka. Jenis penelitian sebagaimana yang diterangkan dalam buku pedoman
karya tulis ilmiah fakultas Syariah UIN Maliki Malang adalah menjelaskan
tentang jenis penelitian yang dipergunakan dalam melakukan penelitian. Jika
dilihat dari jenis penelitiannya, penelitian ini termasuk dalam kategori
penelitian normatif. Penelitian normatif, sebagaimana dijelaskan oleh Soerjono
Soekanto dan Sri Mamuji adalah penelitian hukum normatif yang diteliti hanya
bahan pustaka atau data sekunder.15 Penelitian ini juga tergolong kedalam
penelitian 15 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1983), h. 23 14 kepustakaan,
karena penelitian ini cara mengakses data penelitiannya banyak diambil dari
bahan-bahan pustaka. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library
research) yaitu menghimpun data yang berasal dari buku-buku referensi dan
naskah-naskah yang berkaitan dengan kawin hamil dan batasan konsep kawin hamil
menurut Kompilasi Hukum Islam. 1. Data yang dikumpulkan Data yang dikumpulkan
dalam studi ini meliputi: a) Data tentang deskripsi kawin hamil. b) Data
Kompilasi Hukum Islam. c) Data tentang pendapat para ulama fiqh terhadap konsep
kawin hamil. 2. Bahan Hukum Sumber data dalam penelitian ini dari buku-buku
yang berkaitan dengan penelitian. Sumber data yang diambil dari penelitian ini
terdiri atas sumber primer dan sekunder, yaitu: a. Bahan Hukum Primer Merupakan
bahan hukum atau data penelitian yang bersifat utama dan penting dalam
pembahasan penelitian untuk mendapatkan sejumlah informasi yang diperlukan
dalam penelitian, yaitu: a) Al-Qur’an al-Karim dan al-Sunnah; b) Kompilasi
Hukum Islam. 15 b. Bahan Hukum Sekunder Merupakan bahan hukum atau data
penelitian yang bersifat sebagai pembantu atau pendukung dalam memperkuat serta
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu: a. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan; b. Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqhu
al-Islâmiy wa ‘Adillatuhu; c. Al Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah; d. Abdurrahman,
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia; e. Hasbullah Bakry, Pedoman Islam Di Indonesia;
f. Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia; g. Muhammad Nurul Irfan,
Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam; h. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al
Mishbah; i. Subekti, Pokok-pokok hukum perdata; j. Ibnu Anshori, Perlindungan
Anak dalam Agama Islam. c. Bahan Hukum Tersier Merupakan bahan hukum atau data
penelitian yang bersifat sebagai penunjang dalam penyusunan penelitian sehingga
dapat mempermudah dalam memahami istilah yang digunakan dalam penelitian ini,
yaitu: Kamus Besar Bahasa Indonesia 3. Teknik Pengumpulan Data 16 Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan cara pembacaan teks (text reading) yaitu
dengan membaca tulisan-tulisan yang ada dan yang berhubungan dengan masalah
yang dibahas dalam penelitian ini, setelah itu penulis mengkaji, mencatat,
menukil tulisan-tulisan dan karya-karya yang selanjutnya disusun menjadi
kerangka pembahasan yang kemudian dianalisis untuk memperoleh suatu kesimpulan
mengenai analisis tentang ketentuan kawin hamil dan status anak yang dihasilkan
dari kawin hamil perspektif Kompilasi Hukum Islam, apakah memberikan dampak
positif atau negatif terhadap pembangunan moralitas bangsa. 4. Teknik Analisis
Data a) Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis, yaitu
menggambarkan, memaparkan dan menjelaskan tentang kawin hamil.16 b) Pola pikir
yang digunakan adalah dengan pola pikir deduktif, yaitu mengemukakan ketentuan
yang bersifat umum, dalam hal ini adalah ketentuan kawin hamil yang kemudian
ditarik pada permasalahan yang lebih khusus tentang mashlahah dan mafsadah
penerapan ketentuan kawin hamil menurut KHI dan menurut pendapat ulama fiqh. I.
Sistematika Pembahasan Penulisan skripsi ini dibagi atas IV bab, yang
rinciannya adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN 16 Peter Mahmud Marzuki,
Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007) h. 33 17
Merupakan gambaran umum yang memuat pola dasar bagi kerangka pembahasan skripsi
yang di dalamnya terdiri atas; latar belakang penelitian ketentuan kawin hamil
dalam KHI yang menjadi kegelisahan penulis. Setelah memaparkan latar belakang
penelitian selanjutnya menyusun rumusan masalah dan batasan masalah agar
semakin fokus dan jelas batasan penelitian sehingga memudahkan dalam mencapai
tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Temuan dalam penelitian diharapkan
memberikan kontribusi positif dalam ranah teoritik maupun praktik. Untuk
menguji orisinalitas penelitian, pada bagian ini juga dicantumkan
penelitianpenelitian terdahulu, dan diakhiri dengan sistematika pembahasan. BAB
II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas tentang dasar hukum ketentuan
kawin hamil dalam KHI dan perbedaan pandangan ulama fiqih tentang dibolehkannya
kawin hamil dengan syarat-syarat tertentu atau tidak boleh sama sekali.
Selanjutnya tentang status anak hasil kawin hamil apakah dapat dinasabkan
kepada suami atau hanya kepada ibunya saja. batasan-batasan dari ketentuan
kawin hamil dan akibat hukum dari adanya ketentuan kawin hamil baik dari segi
hak-hak si anak maupun dampak sosial dengan dibolehkannya kawin hamil. BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai hasil
penelitian analisis mashlahah dan mafsadah atau analisis dampak kebaikan dan
kerusakan dari ketentuan kawin 18 hamil yang terdapat dalam KHI dan pendapat
para ulama’ fiqih, serta kaitannya dengan fenomena kehamilan pranikah masa
sekarang. BAB IV PENUTUP Pada bab terakhir ini terdiri dari kesimpulan dan
saran. Kesimpulan sebagai intisari dari penelitian ini, kesimpulan memberikan
gambaran singkat yang merupakan simpulan dari penelitian yang telah dilakukan,
selanjutnya saran yang berkaitan dengan pengembangan pembahasan pasca
penelitian ini. Saran yang membangun adalah saran yang mengarahkan pada
kebaikan bersama demi keagungan khazanah keilmuan.A
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Analisis maslahah dan mafsadah terhadap ketentuan kawin hamil dalam Kompilasi Hukum Islam.." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment