Abstract
INDONESIA:
Pasal 105 KHI menyebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya. Sedagkan jika anak yang telah mumayyiz atau berusia 12 tahun, diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Akibatnya anak usia 6 tahun yang telah mampu memahami apa yang terjadi disekitarnya dan cakap terhadap hukum, tidak dapat ikut serta dalam penentuan hadhanah anak tersebut. Terlebih lagi jika pilihan anak usia 6 tahun itu cenderung memilih ayahnya sebagai orang yang berhak atas pemeliharaanya. Padahal dalam pasal 10 UndangUndang No. 23 Tahun 2002 telah dijelaskan tentang adanya kebebasan terhadap anak untuk berpendapat. Oleh sebab itu masalah ini perlu dikaji lebih mendalam agar nantinya tidak terjadi kesalahan dalam penentuan hak asuh anak.
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah tentang Alasan ilmiah penetapan usia mumayyiz 12 tahun menurut KHI Implikasi yuridis terhadap Anak yang belum Mumayyiz dalam Penentuan Hadhanah dan Analisis Hukum menurut KHI dan UndangUndang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Terhadap Anak yang Belum Mumayyiz Menentukan Hadhanah Atas Pilihannya Kepada Ayah Kandung.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan Pendekatan PerundangUndangan (Statute Approach) dan pendekatan komparatif (comparative approach). Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berbentuk buku maupun jurnal.
Anak usia 6 tahun yang dalam segi perkembangan pola pikir telah mampu untuk membedakan mana yang baik dan buruk dalam KHI belum diberikan haknya untuk memilih ayah atau ibunya sebagai orangtua asuh. Tetapi dalam pandangan hukum Islam anak usia 6 tahun yang telah cakap terhadap apa yang terjadi disekelilingnya, telah memahami khitab Allah, maka anak tersebut dapat dikatakan telah mumayyiz sehingga anak tesebut dapat menggunakan hak pilihnya sekalipun pilihannya ditujukan kepada ayah, selama ayahnya memenuhi syarat syarat yang dimaksud dan ibu tidak memenuhi syaratsyarat Hadhanah. Dan hal ini telah diperkuat dengan pasal 10 UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tantang Perlindungan Anak, yang menjelaskan bahwa setiap anak dapat mengungkapkan pendapatnya sesuai dengan tingkat kecerdasan yang ia miliki.
ENGLISH:
In the chapter of 105 KH stated that the protection of children which is not mumayiz yet is mother’s right. While, if children have already mumayiz or he/she is 12 years old, it is ceded to the children to choose mother or father as her/his right. As a consequence, children in 6 years old have understood what occurs in her/his surrounding and knows toward right, is not be able to partake in determine children’s hadhanah. Moreover, if children’s choice in the age of 6 chooses her/his father as the people who has a right on hers/ his, whereas in chapter 10 of law number 23, 2002 have been explained about free toward children to give their opinion. Therefore, this problems need to be researched more detail in order there is no misunderstanding in determine the children’s right next time.
The problem which will be studied in this research is about scientist reason of decision 12 years old of mumayiz based on implication juridical KHI towards the children which is not mumayiz yet in determine hadhanah and law analysis based on KHI and law number 23, 2002 about children protection towards children which is not mumayiz yet determine Hadhanah in choosing of his/her father.
This research uses normative law research by using statute approach and comparative approach. Law substance used is primer and secondary law substance in journal or book form.
Children in the age 6 in terms of the development paradigm have been able to distinguish the good thing and the bad one in KHI have not been given the right to choose his father or his mother as a foster parent. But in the view of Islamic law, children in the age of 6 who have been capable of what is happening around them, had understood the God’s book, then the child can be said to have been mumayyiz so that proficiency level in these children can use their rights to vote even if the choice is addressed to the father, as long as his father can fulfill the requirements and the mother did not fulfill the stipulated requirements of Hadhanah. This has been reinforced by Article 10 of Law No. 23 Year 2002 for Child Protection, which explains that each child can express their opinions.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Anak adalah makhluk sosial yang harus diakui keberadaannya,
dihargai harkat dan martabatnya sebagaimana orang dewasa, karena anak adalah
aset yang dan harta kekayaan yang sangat berharga di bandingkan dengan harta
kekayaan lainnya, dalam membentuk keluarga, masyarakat, dan negara. Anak juga
merupakan amanah, nikmat dan anugerah serta karunia yang Allah berikan kepada
manusia. Dan orang tua adalah orang pertama yang bertanggung jawab untuk
memelihara, merawat, mendidik serta membiayai keperluan anak dengan sebaik
mungkin.3 Namun tidak jarang kewajiban tersebut tidak dapat terlaksana dengan
baik ketika kedua orang tuanya berpisah. Perpisahan yang terjadi antara kedua
orangtua, seringkali menimbulkan masalah- masalah baru khususnya di Indonesia
ketika pasangan Suami Istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur
untuk berpisah dari ibunya. Dan masalah tersebut terkadang menimbulkan dampak
yang tidak baik bagi anak, seperti masalah Hadhanah 4 . Hadhanah atau yang
lebih dikenal dengan pengasuhan anak merupakan salah satu permasalahan besar
yang sering terjadi di Pengadilan Agama, Karena hal tersebut berhubungan dengan
perkembangan anak. Sehingga dalam menentukannya membutuhkan suatu kehati-hatian
agar tidak terjadi kesalahan yang berakibat buruk bagi anak. Baik buruknya
tingkah-laku anak dapat tercermin dari siapa yang mendidik dan merawatnya.
Terlebih lagi dalam suatu perkawinan anak diharapkan dapat mengambil alih
tugas, perjuangan dan ide-ide yang pernah tertanam di dalam jiwa suami atau
istri, serta diharapkan dapat menyelamatkan orang tuanya 3Ali Ghufron, Lahirlah
dengan Cinta, Fikih Hamil & Melahirkan (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2007),61-63. 4Hadhanah adalah Merawat dan mendidik seorang anak kecil untuk di
didik dan memperbaiki kepribadiannya oleh orang-orang yang berhak mendidiknya
pada usia tertentu yang ia tidak sanggup melakukannya sendiri. Andi Syamsu Alam
dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta: Prenada Media
Group, 2008), 114 (nenek moyang) sesudah meninggal dunia dengan panjatan doa
kepada Allah,5 walaupun pada akhirnya pernikahan tersebut berakhir dengan
perceraian. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa adanya permasalahan Hadhanah
adalah karena adanya perceraian antara pasangan suami istri yang telah memiliki
anak. Permasalahan hadhanah ini akan semakin besar manakala antara suami dan
istri masing- masing berkeinginan untuk mengasuh dan merawat anaknya, sehingga
tidak menuntut kemungkinan jika dalam penyelesaian perkara tersebut memerlukan
waktu yang sangat lama, karena hakim membutuhkan beberapa bukti terkait dengan
kedua orang suam-istri tersebut, agar nantinya hakim tidak keliru dalam
memutuskannya. Permasalahan hadhanah yang pada saat ini sering terjadi di
Indonesia, seringkali berbeda dengan apa yang telah diatur secara jelas baik
dalam Hukum Islam maupun Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia,
khususnya landasan hukum yang digunakan dan proses perkara hadhanah tersebut.
Karena dalam memutuskan perkara yang terjadi di Pengadilan Agama hakim juga
dapat menggunakanYurisprudensi6 yang merupakan salah satu sumber hukum formil,
dan kitab-kitab fiqh yang merupakan sumber hukum Materil yang digunakan untuk
mencari kemaslahatan pada anak maupun orang tua. Berdasarkan apa yang telah
peneliti ketahui, terhadap perkara-perkara hadhanah yang putusannya berbeda
dengan aturan hukum yang berlaku di 5M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga
dalam Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2006),14 -16. 6 Yurisprudensi adalah
kumplan atau sari keputusan Mahkamah agung tentang berbagai vonis beberapa
macam jenis kasus perkara berdasarkan pemutusan kebijaksanaan para hakim
sendiri yang kemudian dianut oleh para Hakim lainnya dalam memutuskan
kasus-kasus perkara yang (hampir) sama. Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi
Lengkap Bahasa Belanda,Indonesia, Inggris (Semarang: Aneka Ilmu, tth),927-928
Indonesia, peneliti menemukan beberapa kasus yang terkait dengan hal tersebut.
Seperti perkara No.899/Pdt.G/2008/PA.Pas yang terjadi di Pengadilan Agama
Pasuruan, maupun kasusu-kasus para artis indonesia yang mempermasalahkan hak
asuh anak dan telah diputus oleh pengadilan Agama setempat. Seperti perkara
hadhanah yang peneliti temukan di Pengadilan Agama Pasuruan pada bulan Agustus
2009, dalam perkara No.899/Pdt.G/2008/PA.Pas. Pada perkara tersebut hakim
memberikan keputusan bahwa hak asuh kedua orang anak yang masih belum mumayyiz
7 di serahkan kepada ayah kandungnya. Karena dalam memutuskan perkara tersebut,
hakim lebih mengedepankan kemaslahatan bagi kedua anak tersebut, khususnya
untuk mempertahankan akidah kedua anak tersebut. Putusan Hakim tehadap Pekara
hadhanah No.899/Pdt.G/2008/PA.Pas diputus karena ibu kedua anak tersebut adalah
seorang muallaf (orang yang baru memeluk agama Islam) yang tidak pernah
menjalankan kewajibannya sebagai umat Islam, seperti sholat dan sebagainya dan
bahkan dalam kesehariannya kedua anak tersebut tidak diberikan kebebasan untuk
menjalankan pendidikannya baik pendidikan Umum maupun pendidikan Agama. Selain
itu terdapat beberapa kemungakinan bahwa ibu kandungnya akan kembali kepada
agamanya terdahulu. Selain perkara di atas, peneliti juga menemukan beberapa
perkara yang sama dan terjadi di Pengadilan Agama dan bahkan sangat populer
dikalangan 7Pasal 105 KHI mendefinisikan anak yang mumayyiz adalah anak yang
telah mencapai usia 12 tahun, namun di dalam hukum Islam mumayyiz adalah
Seorang anak yang sudah dapat membedakan antara sesuatu yang baik dan sesuatu
yang buruk yakni ketika ia berusia tujuh tahun. Abdul Aziz Dahlan (ed) et.al.,
Enslikopedi Hukum Islam Juz 4. (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 2003), 1225
masyarakat. Seperti kasus perceraian para artis di Indonesia yang sering
menyita perhatian masyarakat, khususnya masalah perebutan hak asuh anak mereka,
karena kasu tersebut seringkali menjadi perdebatan-perdebatan yang sangat hebat
di mana masing- masing pihak antara suami dan istri, sama-sama menginginkan
anak tersebut diasuh olehnya. Konflik yang sering terjadi dalam sebuah rumah
tangga, sudah lazim jika keinginan dan kepentingan anak menjadi korban. Tak
terkecuali dalam konflik pasangan selebritis indonesia, sepeti Tamara
Bleszynski dengan mantan suaminya Teuku Rafli Pasya, yang telah bercerai pada
tahun 2007 dan kemudian memperebutkan hak asuh putra semata wayangnya yang
bernam Teuku Rasya Islamy Pasha. Pada kasus perebutan hak asuh anak ini
perkaranya telah sampai ke MA (Mahkamah Agung) dan hak asuh Rasya tetap
diberikan kepada Rafli sebagai ayah kandungnya, karena Rasya tidak ingin
tinggal bersama ibunya (Tamara) yang pernah berbuat kasar kepadanya dan
berprilaku buruk dihadapannya. Sikap Rasya yang tidak ingin tinggal dan di asuh
oleh ibunya dapat dibuktikan dengan adanya surat permohonan yang dikirim Rasya
ke Mahkamah Agung yang berisi tentang keinginannya untuk memilih tetap tinggal
bersama Rafly. Sehingga hal tersbut semakin menjadi bukti yang kuat oleh hakim
dalam memberikan keputusan hak asuh rasya tersebut. Hal ini terbukti dengan
adanya respon baik dari ketua Mahkamah Agung.8 Dengan demikan putusan perkara
hak asuh Rasya diserahkan kepada ayah kandungnya (Rafli) sebagai hak penuh atas
pengasuhan Rasya. Walaupun memiliki hak utuh dalam pengasuhan Rasya, Rafli
tetap memberikan hak kepada Tamara untuk dapat bertemu dengan anaknya tanpa ada
halangan. Sehingga dalam perkara ini dapat disimpulkan bahwa hakim lebih
mementingkan kemaslahatan bagi Rasya dan mengedepankan apa yang diinginkan oleh
Rasya. Selain itu terdapat kasus yang tidak jauh bedanya dengan kasus Tamara
dan Rafli yang juga mempermasalahkan hak asuh anak, yaitu Kasusnya Krisdayanti
denga suaminya Anang Hermansyah. Dalam kasus ini hak asuh kedua anaknya yang
bernama Titania Aureli Nurhermansyah (11 tahun) dan Azriel Akbar Hermansyah (9
tahun) diserahkan kepada Anang karena sejak awal keduanya sudah memiliki
kesepakatan bahwa jika terjadi perceraian maka yang berhak mengasuh anak-anak
mereka adalah Anang. Selain dari adanya kesepakatan antara Krisdayanti dan
Anang dalam masalah hak asuh kedua anaknya, di lain kesempatan kedua buah
hatinya telah menyatakan untuk tidak ingin tinggal bersama Ibunya karena salah
satu anaknya telah mengetahui perbutan buruk yang telah ibunya lakukan.9 Selama
ini Aurel dan Azriel juga lebih dekat dengan Anang karena dalam kesehariannya
Aurel dan Azriel lebih sering bersama dengan Anang daripada dengan Krisdayanti
karena Krisdayanti sangat sibuk dengan pekerjaannya akibatnya waktu untuk
bersama dengan kedua anaknya sangat sedikit.9 jam 11:30 WIB ) Beberapa kasus di atas telah menimbulkan fenomena
baru dalam perkara hadhanah, di mana adanya seorang anak yang belum mumayyiz
memilih sendiri siapa yang berhak mengasuh dirinya, yaitu ayah kandungnya atau
ibu kandungnya. Selain itu juga adanya kecendrungan seorang anak untuk memilih
ayah sebagai hak penuh dalam pengasuhannya. Fenomena ini jelas menimbulkan
suatu perbedaan yang sangat mendasar karena di dalam ajaran Islam telah
dijelaskan bahwa seorang anak yang belum mumayyiz yang berhak mengasuhannya
adalah ibunya bukan kepada ayahnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang
berbunyi Abdullah bin Amr R.A: Bahwasanya seorang wanita berkata: ” ya
Rasulullah, sesungguhnya anak saya ini perut sayalah yang mengandungnya dan
susu sayalah minumannya, dan pangkuan sayalah jadi penjaganya; sedangkan
ayahnya telah menceraikan saya, dan ia bermaksud hendak memisahkan dia daripada
saya”. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya; ” engkau lebih berhak pada
anakmu selama engkau belum kawin”. Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad dan
disahkan oleh Hakim. Dari hadits tersebut dapat diketahui bahwa ketika terjadi
perceraian, maka yang berhak atas hak asuh anak adalah ibu kandungnya. Karena
ibu adalah orang yang lebih utama dan lebih berhak untuk melakukan hadhanah
selama tidak ada suatu alasan yang mencegahnya, dan ia lebih mengetahui dan
lebih mampu 11 Al-Imam Muhammad Bin Isma’il Al-Amir Al-Yamani Ash-Shon’ani,
Subulus As-Salam Syarah Bulughul Maram Min Jam’I Adallati al-Ahkami juz 3
(Beirut: Darl al- Kotob Al- Ilmiyah, 2006), 234 mendidiknya, selain itu ibu
juga mempunyai rasa kesabaran yang sangat besar untuk melakukan tugas ini yang
mana ayah tidak dapat melakukan hal tersebut.12 Namun pendapat mengenai ibu
lebih memahami anak sepenuhnya, tidaklah dapat dijadikan sebuah pegangan karena
melihat pada beberapa kasus yang ada dan kondisi pada saat ini dimana ibu juga
memiliki aktifitas diluar rumah yang berakibat sulitnya memberikan waktu luang
untuk bersama anak-anak mereka. Sementar itu di dalam Kompilasi Hukum Islam (
selanjutnya disebut KHI) memberikan kepada anak yang mumayyiz hak pilih atas
kepengasuhan. Artinya anak yang belum mumayyiz di dalam KHI masih diserahkan
kepada orangtuanya dalam menentukan hak pengasuhan anak. Banyak fakta di
lapangan menyebutkan, kasus yang sering muncul terkait dengan perebutan
hadhanah khususnya bagi anak yang belum mumayyiz, banyak dimenangkan oleh pihak
ayah. Dan bagaimana dengan adanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang di dalamnya mengatur masalah anak secara rinci
khususnya masalah kebebasan anak untuk berpendapat, termasuk memilih hak
pengasuhan kepada salah satu dari orangtuanya. Berdasarkan fenomena-fenomena
yang ada, maka peneliti merasa penelitian ini sangat penting untuk dilakukan
penelitian, yang lebih mendalam terhadap masalah penentuan hadhanah anak yang
belum mumayyiz. Untuk itu dalam kesempatan ini, judul yang diangkat dalam
penelitian ini adalah ” HAK HADHANAH ANAK YANG BELUM MUMAYYIZ KEPADA AYAH 12
Sayyid
B.
Batasan
Masalah
Penelitian ini hanya dibatasi pada masalah Hak hadhanah anak yang
belum mumayyiz kepada ayah kandung dalam perspektif KHI dan Undang-undang No 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak terhadap kebebasan anak dalam
mengungkapakan apa yang diinginkan oleh anak. Dan di dalamnya mencakup tentang
pemahaman usia Tamyiz menurut KHI dan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak, implikasi yuridis terhadap anak yang belum mumayyiz dalam
penentuan hadhanah, khususnya yang menentukan pilihannya kepada ayah kandung.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana alasan ilmiah penetapan Usia tamyiz Menurut KHI? 2.
Bagaimana Implikasi Yuridis terhadap Anak yang belum Mumayyiz dalam Penentuan
Hadhanah? 3. Bagaimana Analisa Hukum Menurut KHI dan Undang-Undang No 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak Terhadap Anak yang Belum Mumayyiz Menentukan Hadhanah
Atas Pilihannya Kepada Ayah Kandung?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian
sebagaimana tercermin dalam latar belakang masalah dan sesuai dengan rumusan
masalah di atas, maka hal-hal yang ingin dicapai penulis dari hasil penelitian
ini adalah: 1. Untuk Mengetahui alasan ilmiah penetapan Usia tamyiz Menurut KHI
2. Untuk Mengetahui Implikasi Yuridis terhadap Anak yang belum Mumayyiz dalam
Penentuan Hadhanah 3. Untuk Mengetahui Analisa Hukum Menurut KHI dan
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Terhadap Anak yang
Belum Mumayyiz Menentukan Hadhanah Atas Pilihannya Kepada Ayah Kandung.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Secara teoritik penelitian
ini bermanfat bagi proses pengembangan hukum di Indonesia, khususnya
Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 terhadap adanya kebebasan
seorang anak dalam mengungkapkan pendapatnya, terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan masalah kehidupan keluarga dan masalah pengasuhan terhadap anak. Serta
memberikan tambahan ilmu pengetahuan hukum, tentang masalah hadhanah akibat
perceraian anak yang belum mumayyiz yang memilih ayah kandung sebagai orang
yang berhak mengasuhnya dalam perspektif KHI dan Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Sebagai
tambahan ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat dikemudian hari dan dapat
digunakan oleh peneliti dalam memberikan pengertian kepada masyarakat terhadap
malalah hadhanah, baik akibat perceraian maupun akibat meninggalnya salah satu
dari orang tua. b. Bagi Masyarakat Diharapkan dapat memberikan sumbangan
pikiran kepada masyarakat agar senantiasa mempertahankan dan memperjuangkan hak
anak dalam pendidikan, pengasuhan dan kebebasan anak ketika orang tuanya
bercerai. Agar nantinya anak tidak menjadi korban kesalahan orang tua dan salah
pendidikan dari yang berhak mengasuh atas dirinya sehingga berdampak buruk bagi
anak. c. Bagi Lembaga Peradilan Agama Dari penelitian ini diharapkan para hakim
berhati- hati dalam memutuskan perkara hadhanah, dan lebih mementingkan
kepentingan anak, serta memberikan kebebasan anak untuk ikut serta dalam
memberikan keterangan dipersidangan yang berhubungan dengan perkara hadhanah,
agar keputusan tersebut tidak merugikan anak dan tidak menyalahi apa yang ada
dalam hukum Islam.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Hak hadhanah anak yang belum mumayyiz kepada ayah kandung menurut pasal 105 kompilasi hukum Islam dan pasal 10 Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan a" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment