Abstract
INDONESIA :
Sistem perkawinan pada masyarakat Tengger bersifat eksogami, yaitu masyarakat Tengger tidak melarang siapapun untuk menikah dengan masyarakat luar Tengger atau daerah lainnya. Perkawinan beda agama sudah dianggap wajar oleh masyarakat Tengger karena banyak orang yang melakukan hal tersebut. Sehingga dari sini, peneliti bermaksud mengkaji yang berkaitan dengan bagaimana prosedur pelaksanaan perkawinan beda agama pada masyarakat suku Tengger, bagaimana pandangan tokoh masyarakat dan pelaku mengenai perkawinan beda agama pada masyarakat suku Tengger, dan bagaimana pandangan dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam tentang perkawinan beda agama pada masyarakat suku Tengger.
Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini meliputi penelitian Empiris dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data yang peneliti lakukan dengan cara wawancara dan observasi. Data tersebut didapatkan oleh data primer yang didapat peneliti secara langsung. Analisis data adalah bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena yang terjadi dilapangan.
Kesimpulan penelitian ini adalah : prosedur pernikahan beda agama pada masyarakat suku Tengger yaitu tahap pertama melakukan penentuan waktu kapan dilaksanakan perkawinannya oleh dukun, tahap kedua melakukan perkawinan secara adat, dan tahap ketiga melakukan perkawinan secara islami. Dalam perkawinan beda agama ini tidak terjadi suatu masalah yang rumit, hal ini berdasarkan pandangan tokoh masyarakat dan pelaku yakni, pertama sikap saling menghormati dan toleransi yang sangat tinggi antar umat beragama, kedua adanya Hak Asasi Manusia yang memberikan kebebasan terhadap masyarakat dalam memilih sesuatu yang dikehendaki. Perkawinan beda agama dalam Undang-Undang maupun hukum islam memang dilarang, hal ini tetap dilakukan karena mereka beranggapan bahwa perkawinan itu merupakan bentuk dari toleransi antar umat beragama. Adapun saran untuk warga desa Wonokerto diharapkan untuk lebih meningkatkan pendidikan, lebih mendalami ilmu agama dan tetap menjaga serta melestarikan adat kebudayaan yang sudah ada. Kepada pemerintah daerah diharapkan untuk bisa lebih mengawasi tingkat kesejahteraan pada masyarakat. Dan untuk masyarakat luar Tengger diharapkan mencontoh toleransi antar umat beragama yang ada di suku Tengger, sehingga timbul sikap saling menghormati antar umat beragama di Indonesia.
ENGLISH :
Marriage system on Tengger ethnic is exogamy, Tengger people do not forbid anyone to marry outside their community or other areas. Interfaith marriage that occurred in the tribal Tengger tribe itself in general never became a problem, because Tengger people already has an open mind about the marital problems. Interfaith marriage has been deemed reasonable by their community because many people are doing it. So from that case, the researcher intends to study how the procedure relating to the implementation of interfaith marriage on society Tengger tribe, how the views of community leaders and perpetrators of the interfaith marriage on society Tengger tribe, and how the views of Act No. 1 of 1974 and the Islamic ruling on interfaith marriage on society Tengger tribe.
The measures used in this study include empirical research with qualitative approach. The data collection that researchers do is by interviews and observations. The data obtained of the primary data which obtained directly from researcher during the research. Descriptive data analysis is intended to describe a phenomenon that occurs in the field.
The conclusion of this research is: procedure interfaith marriage on society Tengger tribe which is the first stage of making the determination of when the marriage conducted by a shaman, the second stage did the marriage customs, and the third stage to marriage Islamically. In interfaith marriage is not the case a complex problem, it is based on the views of community leaders and actors, ie first mutual respect and a very high tolerance among religions, both the Human Rights providing freedom to the people in choosing something desired , Interfaith marriage in the Constitution nor the law of Islam is prohibited, it is still being done because they think that marriage is a form of inter-religious tolerance. The advice to villagers Wonokerto expected to further improve education, more deep religious knowledge and maintaining and preserving the indigenous culture that already exists. To local governments is expected to be greater control over the level of welfare of the community. And to the outside community Tengger expected to follow the example of religious tolerance in the Tengger tribe, so that the resulting mutual respect among religions in Indonesia.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah
yang berlaku umum pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun
tumbuhtumbuhan.1 Sayuti Thalib menjelaskan dalam bukunya Hukum Kekeluargaan
Indonesia bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian suci dalam membentuk
keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.2 Kemudian Mahmud
Yunus menegaskan bahwa perkawinan merupakan akad 1M. Karsayuda, Perkawinan Beda
Agama Menakar Nilai-nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Total
Media Yogyakarta, 2006), h. 4 2 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia
(Jakarta: UI Press, Cet 5, 1986), h. 47. 21 antara calon mempelai laki-laki dan
perempuan untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang telah diatur oleh
syariat.3 Jadi notabene perkawinan itu sendiri terjadi melalui proses, yang
mana pada kedua belah pihak saling menyukai dan dirasa akan mampu jika hidup
bersama dalam sebuah rumah tangga yang diliputi adanya rasa ketentraman serta
kasih sayang dengan cara yang ma‟ruf dan diridhai Allah SWT. Bangsa Indonesia
terdiri dari berbagai macam Suku, golongan, ras, budaya, dan agama.
Heteroginitas masyarakat Indonesia ini sangat memungkinkan terjadinya
perkawinan antar Suku, golongan, bahkan antar agama. Namun, hal terakhir ini
merupakan hal yang sangat peka, sehingga oleh Nasaruddin Baidan dikatakan bahwa
perkawinan beda agama adalah sesuatu yang amat peka dan pada tahun 80-an
dipandang sebagai sesuatu yang sangat merisaukan umat Islam di Indonesia.4 Peka
karena menyangkut agama sebagai sesuatu absolut sebab kebenaran agama adalah
kebenaran absolut. Untuk agama dan kebenarannya, manusia bersedia berkorban apa
saja yang dimiliknya, bahkan rela mengorbankan nyawanya sekalipun.5 Masalah perkawinan
beda agama bukan merupakan masalah yang mudah untuk dipecahkan begitu saja,
karena permasalahan agama dan permasalahan perkawinan adalah masalah yang tidak
bisa dipisahkan dengan 3Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam (Jakarta: PT
Hidakarya Agung, Cet 12, 1990), h. 1 4Nasaruddin Baidan, Tafsir Maudhu’I :
Solusi Qur’ani atas Masalah Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) h.
23. 5 Ichtiyanto, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia (Jakarta:
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI,2003) h. vii. 22 cara yang
mudah diperlukan berbagai macam cara untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Dikarenakan pada persoalan perkawinan telah diatur hukumnya oleh masing-masing
agama, dan setiap agama mempunyai aturan yang berbeda-beda mengenai persoalan
perkawinan. Dalam Hukum di Indonesia Undang-Undang Dasar No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pada pasal 2 ayat 1 yang berbunyi “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Didalam Al-qur‟an adanya pelarangan mengenai perkawinan beda agama, yang
sebagaimana dalam salah satu firman Allah SWT., pada surat Albaqarah (2): 221
sebagai berikut. anganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak
ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.6 6QS.
Al-baqarah (2): 221 23 Kemudian hal ini diperkuat oleh salah satu hukum positif
di Indonesia yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai acuan, kodifikasi, dan
unifikasi hukum nasional yang berlaku untuk umat Islam diIndonesia. Terkait
perkawinan sudah diatur, akan tetapi pada kenyataanya masih saja terdapat
masyarakat yang telah melanggar aturan-aturan hukum tersebut. Didalam pasal 3
Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tujuan dari perkawinan yaitu “perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah.7 . Jika sebuah keluarga mengerti akan tujuan dari perkawinan seperti
itu maka adanya kesesuaian, keselarasan, dan kesejahteraan dalam pandangan
hidup antara suami dan isteri. Karena timbulnya suatu konflik tidak hanya dari
perkawinan beda agama saja, melainkan perbedaan budaya, perbedaan Suku, dan
bahkan perbedaan tingkat pendidikan antar suami isteri juga bisa mengakibatkan
kegagalan dalam suatu perkawinan. Sementara larangan menikah beda agama bagi
wanita muslimah diatur didalam pasal 44 KHI bahwa: “Seorang wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam”. Pada
pasal 4 KHI juga disebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan”. Adapun isi dari pada pasal 2 ayat 1 ialah “Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing 7 Intruksi Presiden
RI Nomor 1 Tahun 1991, agamanya dan kepercayaannya itu”.
Jika melihat Hukum Islam dan KHI sebagaimana tersebut jelas melarang perkawinan
beda agama. Pada saat pasangan beda agama yang salah satunya beragama Islam
terjadi, kajian hukum mengenai hal itu menjadi menarik. Terutama apabila pihak
laki-lakinya yang beragama Islam, pernikahan dengan wanita kitabiyah
diperbolehkan.9 Didalam surah Al-maidah ayat 5 sebagai berikut: نDan dihalakan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orangorang yang diberi al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang
yang diberi al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalnnya dan ia di hari akhirat
termasuk orang-orang merugi.10 Dari dalil ini ulama menganggap pernikahan beda
agama memang tidak memiliki ganjalan dan ayat ini menjadi suatu keterangan yang
membolehkannya. 8M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama, h. 8 9 Tutik Hamidah,
Perkawinan Beda Agama dalam Lintas Sejarah Prespektif Muslim (Malang:
UIN-Malang Press, 2008), h. 23 10QS. al-Maidah (5): 5 25 Pada kenyataan ini,
sering menimbulkan pertanyaan yang salah satunya menyangkut rasa keadilan.
Hukum dianggap baik apabila mengandung nilai-nilai keadilan. Keadilan adalah
sebuah norma manusia, bila tatanan masyarakat mengatur tingkah laku
anggota-anggotanya dengan cara yang dapat memuaskan semua orang, maka nilai
keadilan itu telah tercapai dan mereka menemukan kebahagiaan didalam tantanan
tersebut. Khusus berkenaan dengan pria muslim yang oleh Al-qur‟an dibolehkan
menikahi wanita kitabiyah namun oleh Kompilasi Hukum Islam hal itu dilarang. 11
Perkawinan beda agama ini banyak dijumpai diberbagai wilayah Indonesia, salah
satunya yang akan dijadikan objek oleh peneliti yaitu pada masyarakat Suku
Tengger yang terdapat di daerah lereng gunung bromo tepatnya di Desa Wonokerto
Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Keadaan disana masih sangat kental
sekali mempertahankan adat istiadat dan tradisi lokal yang berlaku. Selain itu,
masyarakatnya juga masih memegang teguh nilai, norma, dan aturan-aturan yang
berlaku. Dalam sistem perkawinan Suku Tengger mempunyai keunikan tersendiri
yang menarik untuk dibahas. Pada perkawinan beda agama menjadi hal yang umum terjadi
pada masyarakat Tengger di Desa Wonokerto. Tidak ada larangan perkawinan warga
asli dengan penduduk dari Desa lain dengan status sosial dan agama yang
berbeda. Masyarakat Tengger khususnya di Desa Wonokerto menjunjung tinggi sikap
toleransi agama. Perayaan hari besar keagamaan mereka jalankan sesuai dengan
adat tradisi yang telah berlaku tanpa ada gangguan dari pemeluk 11M. Karsayuda,
Perkawinan Beda Agama, h. 9 26 agama lain di Suku Tengger itu sendiri. Mereka
saling mempersilahkan kepada para pemeluk agama masing-masing untuk merayakan
hari besarnya atau melaksanakan ritual-ritual yang biasanya mereka jalankan.
Dari permasalahan inilah peneliti akhirnya tertarik untuk meneliti perkawinan
beda agama yang ada di masyarakat Suku Tengger. Nantinya akan dikupas oleh
peneliti bagaimana prosedur pelaksanaanya, bagaimana problematika
pelaksanannya, bagaimana pandangan tokoh masyarakat dan pelakunya, serta
bagaimana pandangan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam tentang
perkawinan beda agama pada masyarakat Suku Tengger. Oleh karena itu peneliti
mengambil judul “Perkawinan Beda Agama Pada Masyarakat Suku Tengger (Studi
Kasus di Desa Wonokerto Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo)”. B. Rumusan
Masalah 1. Bagaimana Prosedur Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Pada Masyarakat
Suku Tengger ? 2. Bagaimana Pandangan Tokoh Masyarakat dan Pelaku Terhadap
Perkawinan Beda Agama Pada Masyarakat Suku Tengger ? C. Tujuan Penelitian 1.
Untuk Mengetahui Prosedur Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Pada Masyarakat Suku
Tengger 2. Untuk Memahami Pandangan Tokoh Masyarakat dan Pelaku Terhadap
Perkawinan Beda Agama Pada Masyarakat Suku Tengger 27 D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan keilmuan
tentang perkawinan beda agama pada masyarakat Suku Tengger. Dan diharapkan
dapat menambah referensi bahan kajian ilmu, khususnya berguna sebagai sumbangan
pemikiran bagi fakultas Syari‟ah jurusan AlAhwal As-Syakhsiyyah. 2. Manfaat
Praktis Memberikan pemahaman kepada pembaca dan masyarakat tentang pentingnya
agama dan sebuah komitmen dalam sebuah perkawinan karena berpengaruh kepada
keharmonisan didalam rumah tangga, kenyamanan, serta pendidikan terhadap anak
dan cucunya nanti, akan tetapi kita juga mempunyai hak dalam pembebasan memilih
agama yang kita percayai diharapkan pula saling menghargai terhadap perbedaan
agama untuk meminimalisir angka perceraian
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Perkawinan beda agama pada masyarakat Suku Tengger: Studi kasus di Desa Wonokerto Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment