Abstract
INDONESIA:
Dalam penulisan skripsi ini, Penulis membahas tentang tradisi perkawinan adat yang ada di wilayah Kelurahan Hutaimbaru Kecamatan Padangsidempuan Hutaimbaru Kota Padangsidempuan.Hal ini dilatar belakangi pentingnya menyambung tali silaturrahmi sehingga tidak putus.
Rumusan masalah yang dikaii dalam skripsi ini adalah: Pandangan Hukum Islam terhadap tradisi perkawinan Manyonduti. Penelitian mengenai tradisi Manyonduti ini menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) dan pendekatannya yakni kualitatif.Adapun sumber datanya adalah primer dan sekunder. Metode pegumpulan datanya adalah wawancara dan dokumentasi. Sedangkan metode analisis datanya adalah metode analisis isi (Content Analysis).
Berdasarkan hasil penelitian, tedapat tradisi perkawinan yang turun-temurun oleh masyarakat Batak dari semua kalangan dan diyakini dapat menyambung dan mempererat tali silaturrahmi kekeluargaan.Tradisi ini merupakan tradisi yang baik karena menganjurkan agar tetap menjalin silaturrahmi.Akan tetapi seiring berkembangnya zaman, tradisi ini sudah jarang dilakukan.
Adapun hukum Manyonduti adalah boleh, karena menganjurkan untuk tetap mempererat tali silaturrrahmi dan selama tidak ada tekanan dan paksaan dalam mengadakan perkawinan Manyonduti.
ENGLISH:
The author writing this thesis, discusses the tradition of marriage customs in the Village District Hutaim baru Padang sidempuan Hutaim baru Padang si dempuan City. This is the background of the importance of connecting strap so it does not break silaturrahmi.
Formulation of the problem studied in this thesis are: Views of Islamic law on marriage traditions Manyonduti. Manyonduti tradition of research on this using the type of empirical research and the qualitative approach. The data source is the primary and secondary. Data collection methods are interviews and documentation. While the methods of data analysis is a method of content analysis.
Based on this research, artifacts marriage traditions passed down through generations by the Batak people of all circles and is believed to be able to connect and strengthen family ties. This tradition is a tradition which is good because it suggests that having a social call. However, as the development of the times, this tradition is rarely done.
The Manyonduti law is allowed, as suggested to tighten the relationship and stay as long as there is no pressure and coercion in marriage Manyonduti hold.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pernikahan
dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dalam undang undang No. 1
Tahun 1974 dinyatakan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang wanita dan seorang pria sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”1
1Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1. Sedang dalam Kompilasi Hukum Islam
“perkawinan yang sah menurut hukum Islam merupakan pernikahan, yaitu akad yang
kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.”2 Dari pengertian di atas, pernikahan memiliki tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sehingga baik suami maupun isteri
harus saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.3 Hal ini sejalan
dengan firman Allah: artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi orang kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21) Ayat di atas
menjelaskan bahwa dalam Islam perkawinan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunannya dalam suasana
saling mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami isteri.
Jadi, pada dasarnya perkawinan merupakan cara penghalalan terhadap hubungan
antar kedua lawan jenis, yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk,
mencium dan hubungan intim. Dalam ilmu pengetahuan, perkawinan memiliki multi
dimensi diantaranya 2 Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun
1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000) hal. 14. 3
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
cet, I,1995) hal. 56 dimensi sosiologis dan psikologis, secara sosiologis
perkawinan merupakan cara untuk melangsungkan kehidupan umat manusia di muka
bumi, karena tanpa adanya regenerasi, populasi manusia di bumi ini akan punah.
Sedangkan secara psikologis dengan adanya perkawinan, kedua insan suami dan
isteri yang semula merupakan orang lain kemudian menjadi satu. Mereka saling
memiliki, saling menjaga, saling membutuhkan, dan tentu saja saling mencintai
dan saling menyayangi, sehingga terwujud keluarga yang harmonis.4 Begitu jelas
Islam menjelaskan tentang hakekat dan arti penting perkawinan, bahkan dalam
beberapa undang-undang masalah perkawinan diatur secara khusus. Seperti,
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam,
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan lain-lain. Dalam hukum perkawinan
Islam dikenal sebuah asas yang disebut selektivitas.5 Artinya bahwa, seseorang ketika
hendak melangsungkan pernikahan terlebih dahulu harus menyeleksi dengan siapa
ia boleh menikah dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah. Hal ini untuk
menjaga agar pernikahan yang dilangsungkan tidak melanggar aturan-aturan yang
ada. Terutama bila perempuan yang hendak dinikah ternyata terlarang untuk
dinikahi, yang dalam Islam dikenal dengan istilah mahram (orang yang haram
dinikahi). Dalam hal larangan perkawinan, al-Qur’an memberikan aturan yang
tegas dan terperinci. Dalam surat Al-Nisa ayat 22-23 Allah SWT dengan tegas
menjelaskan 4Masykuri Abdillah, “Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa
Kini”, dalam Mimbar Hukum No. 36 Tahun IX 1998, hal. 74. 5 Amiur Nuruddin,
Hukum Perdata Islam di Indonesia,Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih,UU
no. 1/1974 sampai KHI (Jakarta:Prenada Media, 2004) hal. 144 siapa saja
perempuan yang haram untuk dinikahi. Perempuan itu adalah Ibu tiri, Ibu
Kandung, Anak Kandung, Saudara Kandung, seayah atau seibu, bibi dari ayah, bibi
dari ibu, keponakan dari saudara laki-laki, keponakan dari saudara perempuan,
ibu yang menyusui, saudara sesusuan, mertua, anak tiri dari isteri yang sudah
diajak berhubungan intim, menantu, ipar (untuk dimadu) dan perempuan yang
bersuami. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam, masalah larangan perkawinan
diatur dalam pasal 39-44. Pasal 39 menyebutkan bahwa: “Dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan: Karena
pertalian nasab Yaitu dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang
menurunkannya atau keturunannya, seorang wanita keturunan ayah atau ibu., Dan
dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. Karena pertalian kerabat
semenda Yaitu dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas
istrinya, dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya, dengan
seorang wanita keturunan isteri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla aldukhul, dan dengan seorang wanita
bekas isteri keturunannya. Karena pertalian sesusuan Yaitu dengan wanita yang
sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke atas, dengan seorang wanita
sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah, dengan seorang wanita
saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah, dengan seorang wanita bibi
sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas, dengan anak yang disusui oleh
istrinya dan keturunannya”. Di dalam hukum adat dikenal juga adanya larangan
perkawinan, bahkan lebih spesifik dari apa yang diatur oleh agama dan hokum
formal. Dalam adat Jawa bila calon jodoh (isteri) berasal dari kelompok saudara
ipar, orang Jawa menyebutnya dengan istilah kerambil sejanjang. Menurut
anggapan, perkawinan bentuk ini merupakan pantangan atau larangan. Apabila
pantangan itu dilanggar akan mengakibatkan salah satu diantara mereka meninggal.
Perkawinan antar saudara kandung juga dilarang. Bahkan bila calon jodoh itu
tidak sesuai dengan hari kelahirannya, orang Jawa menyebutnya dengan istilah
neptune ora cocok, ini juga dilarang. Selain itu apabila calon isteri adalah
anak saudara laki-laki ayah. Orang awa menyebutnya dengan istilah sedulur
pancer wali atau pancer lanang Perkawinan jenis ini harus dihindari.6 Dalam
adat Batak, yang bersifat patrilineal dan bersendi “dalihan natolu (tungku
tiga) berlaku larangan perkawinan semarga, pria dan wanita dari satu keturunan
(marga) yang sama dilarang melangsungkan perkawinan. Jika pria Batak akan kawin
harus mencari wanita lain dari marga yang lain pula, begitu juga wanitanya.
Sifat perkawinan demikian disebut asymetris comnubium di mana ada marga pemberi
bibit wanita (marga hulahula), ada marga dengan sabutuha (marga sendiri yang
satu turunan) dan ada marga penerima wanita (marga boru). Antara ketiga tungku
marga ini tidak boleh melakukan perkawinan tukar menukar (ambil beri). 7 .
Prinsip perkawinan ini terdapat pada masyarakat Batak Toba. Sementara di dalam
masyarakat Minang, berlaku eksogami suku dan endogamy kampung. Ini berarti
bahwa orang yang sesuku di dalam satu negari tidak boleh kawin, demikian pula
orang yang sekampung tidak dapat kawin di dalam kampung sendiri, walaupun
sukunya berlainan. Perkawinan sesuku dianggap tidak baik karena itu berarti
kawin seketurunan dan merupakan kejahatan daerah atau incest.8 Dalam perkawinan
adat masyarakat batak khususnya di Kelurahan Hutaimbaru Kecamatan
Padangsidempuan Hutaimbaru Kota Padangsidempuan, terdapat suatu perkawinan
manyonduti. Manyonduti artinya perkawinan kembali ke pangkal 6 Purwadi, Upacara
Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005) hal. 156 7Amiur Nuruddin,Op. Cit., hal. 144-145. 8 Ibid. keluarga. Tujuan
perkawinan seperti ini adalah memperkuat tali kekerabatan sesama keluarga.
Perkawinan ini terjadi, berdasarkan adat istiadat masyarakat setempat tidak
membenarkan perkawinan semarga, akan tetapi di luar suku (bukan semarga) meski
masih dalam keluarga dekat. Bagi masyarakat Hutaimbaru kekerabatan dan
kekeluargaan merupakan hal terpenting dalam hidup bertetangga, terkadang di
satu desa tersebut terdapat keluarga yang satu sama lain merupakan kakak beradik,
sehingga untuk menjaga silaturrahmi antara mereka kelak tetap terjalin
dianjurkan dan bahkan disuruh oleh keluarga yang bersangkutan menjodohkan
anak-anak mereka. Sehingga jika suatu saat orang tua mereka masing-masing sudah
meninggal hubungan kelurga itu tetap ada seperti sedia kala. Meski demikian
perkawinan baru bisa disebut dengan istilah manyonduti apabila anak laki-laki
dari kelurga bapak atau ibu menikah dengan anak perempuan saudaranya yang
laki-laki maupun perempuan, baik dia itu sebagai adik maupun kakak. Fenomena
tersebut menarik perhatian penulis, untuk meneliti lebih jauh. Karena baik
dalam hukum Islam, undang-undang maupun Kompilasi Hukum Islam, perkawinan
bentuk ini tidak diatur secara detail. Fenomena perkawinan manyonduti , sebenarnya
banyak terjadi di masyarakat batak, karena mereka menganggap dari pada menikah
dengan orang lain, yang berbeda marga/keturunan, lebih baik dengan keluarga
sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis merasa ada yang perlu dikaji
lebih mendalam tentang perkawinan bentuk ini terutama dari perspektif adat..
Dalam penelitian ini penulis memberi judul: Tradisi Manyonduti dalam Adat
Perkawinan Masyarakat Batak Perspektif Tokoh Elit B. Rumusan Masalah Adapun
rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini ialah bagaimana
pandangan hukum Islam terhadap tradisi Perkawinan Manyonduti C. Tujuan
Penelitian Untuk melakukan analisis pandangan hukum Islam terhadap Perkawinan
Manyonduti, sehingga ditemukan pola pemikiran hukum D. Manfaat Penelitian 1.
Secara Teoritis: a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dalam menyikapi realita yang ada dalam
masyarakat b. Sebagai kontribusi kajian dan pemikiran bagi mahasiswa fakultas
Hukum, Khususnya fakultas Syari’ah dalam menyikapi tradisi dan adat yang masih
berkembang di tengah-tengah kehidupan Masyarakat. c. Untuk pengembangan
keilmuan fiqih munakahat. 2. Secara Praktis: a. Diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dan pemberian pengertian bagi masyarakat Kelurahan
Hutaimbaru, Kecamatan Padangsidempuan Hutaimbaru, Kota Padangsidempuan.
Khususnya mengenai adat yang sesuai dengan Islam dan adat yang tidak sesuai
dengan Islam. E. Sistematika Pembahasan Agar penulisan skripsi ini lebih
terarah dan mudah ditelaah, maka sistematika pembahasan dalam skripsi ini
dibagi menjadi lima bab. Adapun bab-bab tersebut adalah sebagai berikut: Bab I
Menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah. Sebagai landasan untuk
menemukan faktor perkawinan manyonduti. Dalam bab ini juga terdapat tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan skripsi, sehingga
penulisan karya ilmiah ini dalam kajian hukum Islam akan diketahui secara
jelas. Bab II Kajian Puataka yang berisi tentang penelitian terdahulu, serta
kerangka teori penulisan yang mengkaji tentang konsep-konsep yang mendukung
bagian pembahasan, konsep-konsep tersebut antara lain membahas tentang
pengertian tradisi, perkawinan menurut hukum adat dan hukum Islam, yang
meliputi pengertian perkawinan, dasar hukum perkawinan, syarat dan rukun
perkawinan, macam-macam system perkawinan, dan kriteria perempuan yang boleh
dinikahi. Bab III Pada umunya dalam penelitian lapangan meteodologi penelitian
diletakkan setelah kajian pustaka berupa paradigma penelitian, jenis dan pendekatan
penelitian, lokasi penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, metode
pengolahan data dan metode analisis data. Bab IV Paparan dan Analisis data
merupakan kajian analisis atau jawaban dari rumusan permasalahan dalam
penelitian ini. Di dalamnya menganalisis tentang kondisi objek masyarakat
kelurahan Hutaimabaru, deskripsi kelurahan Hutaimbaru, kondisi penduduk,
kondisi keagamaan, kondisi ekonomi serta deskripsi tradisi Manyonduti dan
pendapat tokoh agama MUI terhadap tradisi Manyonduti di kelurahan Hutaimbaru
Kota Padangsidempuan. Bab V Adalah penutup yang berisi kesimpulan, saran dan
penutup dari uraian - uraian yang telah dibahas dalam keseluruhan penelitian.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Tradisi manyonduti dalam adat perkawinan masyarakat Batak perspektif tokoh elit" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment