Abstract
INDONESIA:
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 170 ayat (2) merumuskan bahwa (2) Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) sesungguhnya telah mengatur perlunya masa berkabung (ihdad) bukan hanya bagi istri, melainkan juga suami. Gagasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sangat progres melampaui ketentuan kitab fiqih. Hanya saja, ketentuan itu belum dilaksanakan secara konkret di masyarakat. Sebab, masyarakat masih mengacu kepada ketentuan fiqh yang hanya menyebutkan ihdad bagi istri, bukan suami.
Terkait dengan informasi yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 170 ayat (2), maka peneliti merasa tertarik untuk menelaan bagaimana pelaksanaan dan pandangan tokoh masyarakat terkait ihdad suami, dengan tujuan: (1) Untuk menemukan konsep kepatutan dalam budaya masyarakat yang sudah melaksanakan ihdad, yang ada di Desa Banjarejo Kecamatan Pagelaran Kabupaten Malang. (2) Untuk mengetahui pandangan tokoh masyarakat dan para suami yang ditinggal mati istrinya terkait nilai dan konsep kepatutan dalam pelaksanaan ihdad yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 170 (2).
Jenis penelitian ini merupakan penelitian field research (penelitian lapangan) yang menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, serta menggunakan observasi dan wawancara sebagai metode pengumpulan datanya. Sedangkan metode pengolahan data melalui beberapa tahap hingga menghasilkan data yang akurat, yaitu: editing, classifiying, verifying, analyzing.
Hasil penelitian ini memperoleh kesimpulan bahwa walaupun hukum Islam tidak mengatur adanya ihdad bagi suami, namun suami yang ditinggal mati oleh istrinya di desa banjarejo secara tidak langsung melakukan masa berkabungnya dengan cara tidak keluar rumah untuk beberapa hari, meninggalkan pekerjaannya untuk sementara waktu, dan tidak seketika memikirkan pernikahan baru. Hal ini dengan tujuan untuk menjaga perasaan anak, keluarga istri dan menghormati kematian istri. Selain itu suami sebagai anggota masyarakat juga menjaga nilai- nilai yang tertanam di masyarakat tersebut. Hal ini untuk menghindari adanya anggapan- anggapan negatif yang akan mengarah kepada dirinya ataupun keluarganya. Sedangkan pandangan tokoh masyarakat terkait kepatutan yang di maksud dalam KHI pasal 170 ayat (2) adalah bersifat nilai. Artinya, ihdad atau masa berkabung dimaksudkan untuk menjaga keharmonisan keluarga dan kenyamanan masyarakat sekitar atau menghindari adanya klaim- klaim negatif terhadap suami yang ditinggal mati istrinya. Sedangkan pandangan para suami terkait masa berkabung bagi suami terbagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama, menganggap perlu untuk dilakukan untuk menjaga keharmonisan keluarga dan menghindari timbulnya fitnah. Sedangkan golongan kedua, menganggapnya tidak perlu karena tidak terdapat dalam ketentuan hukum Islam.
ENGLISH:
Compilation of Islamic Law (KHI) Article 170 paragraph (2) formulates that (2) “A husband whose wife has just been died, does a mourning period for propriety”. The Islamic Law Compilation (KHI) has actually set up the importance of the mourning period (ihdad) not only for the wife, but the husband as well. The notion of Islamic Law Compilation (KHI) really progresses beyond the provisions of fiqh. However, that provision has not been implemented concretely in the sociaty because people still refer to the provision of fiqh which only mentions ihdad for the wife, not the husband.
Related to the information contained in the Compilation of Islamic Law (KHI) Article 170 paragraph (2), the researcher was interested to examine how the implementation and society perceptions about the husband’s ihdad, with the aims: (1) To find the concept of propriety in public culture that already carries ihdad in Banjarejo Pagelaran District of Malang. ( 2 ) To know the views of the community and the husbands whose wifes have just been died related to the value and the concept of decency in ihdad implementation as stated in the Compilation of Islamic Law Article 170 (2).
The type of this research was a field research that used qualitative descriptive approach, as well as the use of documentation, observation and interviews as the data collection method. While the method of data processing was conducted through several stages to produce accurate data, ie : editing, classifying, verifying, analyzing.
The result of this study showed that in Banjarejo, although the Islamic law does not regulate the ihdad for the husband, they whose wives have just been died indirectly did the mourning period by not going out of the house for several days, leaving his job for a while, and not thinking immediately of getting marriage again. These were all done to keep the child’s feelings, his wife’s family in honor of his wife’s death. In addition, the husband as the member of the community also maintained the values embedded in the community. This was to avoid any negative assumptions that will probably come to him or his family. Regarding to the propriety as stated in the KHI Article 170 paragraph (2), the public figures assumed that this was considered as a normative value. This meant that Ihdad or mourning period was done for the purpose of maintaining the family harmony and comfort of the people around or avoiding the negative claims against the husband whose wife has already been died. In the eyes of the husbands about the mourning period, it was found two groups. The first group considered that it was necessary to do the mourning period to maintain family harmony and avoid libel. Meanwhile, the second group thought it was not necessary because it was not contained in the provisions of Islamic law.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Suatu
perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal.1 Putus ikatan bisa
berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan
wanita sudah bercerai, dan salah seorang diantara keduanya pergi ke tempat yang
jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan
sudah meninggal. Berdasarkan semua itu, dapat berarti ikatan perkawinan suami
istri sudah putus dan/atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang
wanita yang diikat oleh tali perkawinan.2 1Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat, (Jakarta: PT.Rajawali Pers, 2010), h. 229. 2Zainuddin, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 73 2 Secara sederhana
putus artinya tidak tersambung lagi atau tidak ada hubungan lagi dari yang
sebelumnya tersambung atau terhubung. Dalam konteks perkawinan maka putusnya
perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam Undang-Undang perkawinan
untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara
seorang lakilaki dengan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri.
Untuk maksud perceraian itu fiqih menggunakan istilah furqah. 3 Tidak dapat
dipungkiri bahwa untuk mempertahankan suatu mahligai perkawinan yang sesuai
dengan tujuan perkawinan dan ketentuan pergaulan suami istri seperti yang
diharapkan oleh agama Islam itu tidaklah mudah. Sebab di dalam berumah tangga
akan banyak terjadi cobaan dan rintangan laksana perahu yang dihadang oleh
berbagai gelombang. Begitu pula didalam ajaran syari’at Islam bahwa seseorang
yang hidup tidak terlepas dari cobaan Allah SWT. Salah satu bentuk cobaan
terberat dalam sebuah perkawinan adalah dengan adanya kematian orang yang
tersayang, sebab kematian adalah pintu yang harus dilewati oleh seseorang yang
hidup dan bernyawa. Putusnya perkawinan karena kematian terjadi karena salah
satu pihak dalam perkawinan meninggal dunia apakah itu suami atau istri.
Putusnya perkawinan karena kematian merupakan kejadian yang berada di luar
kehendak atau kuasa dari para pihak dalam perkawinan. Tidak terdapat campur
tangan dari pasangan yang hidup lebih lama ataupun campur tangan 3Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
UndangUndang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 189 3 dari pengadilan.
Putusnya perkawinan karena kematian sepenuhnya merupakan kehendak atau kuasa
dari Tuhan. Putusnya perkawinan karena kematian lazim disebut dalam masyarakat
kita dengan istilah cerai mati.4 Hal ini merupakan tazkiyah bagi seluruh
manusia bahwa tidak ada seorangpun yang terus hidup di muka bumi ini. Ketika
kematian menjemput salah seorang keluarga yang dicintai seperti istri atau
suami, tentunya hal ini membuat suami atau istri sangat terpukul, selain faktor
psikologis dan mental, seorang suami sangat membutuhkan peran istri sebagai
pendamping hidupnya, dan seorang istri juga membutuhkan peran suami sebagai
pendamping hidup dan juga sebagai kepala rumah tangga. Meninggalnya seorang
istri, suami maupun orang-orang terdekat yang dikasihi jelas menggoreskan luka
dan duka di dalam hati. Dalam hukum Islam, seorang istri diwajibkan ber-iddah
ketika ditinggal mati oleh suaminya. Bagi istri yang tidak dalam keadaan hamil
baik sudah pernah berkumpul dengan suaminya atau belum, maka ia diwajibkan
ber-iddah selama empat bulan sepuluh hari. Bagi istri yang ditinggal mati
suaminya dalam keadaan hamil, maka iddah-nya sampai ia melahirkan, meskipun
waktu antara ditinggal mati dan melahirkan kurang dari empat bulan sepuluh
hari.5 Di samping perempuan yang ber-iddah, seorang perempuan yang ditinggal
mati suaminya juga harus melaksanakan ihdad. Ihdad merupakan suatu kondisi
seorang istri harus menahan diri atau 4Asevi Sobari, “Putusnya Perkawinan”,
http://Asevysobari.Blogspot.Com/2014/11/PutusnyaPerkawinan.Html?M=1, Diakses
Tanggal 25 Januari 2015. 5 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: Al Ma’arif,
1987), h. 139-140. 4 berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa
itu, istri hendaknya menyatakan dukanya dengan meninggalkan harum-haruman,
perhiasan, celak mata, dan minyak, baik minyak yang mengharumkan maupun tidak.6
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 170 merumuskan (1) Istri yang ditinggalkan
mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai
tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah. (2) Suami yang
ditinggal mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan. Dalam
perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI), secara substansial, dilakukan dengan
mengacu kepada sumber Hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Dan secara
hirarkial mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping
itu, perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI) memperhatikan perkembangan yang
berlaku secara global serta memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis
(terutama hukum Eropa Kontinental) dan tatanan hukum Adat, yang memiliki titik
temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal,
maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan demikian, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia atau dengan kata
lain, Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan wujud hukum Islam yang bercorak
keindonesiaan.7 6 Tihami dan Sohari, Fikih, h. 343. 7Muhammad Daud Ali, Roihan
A Rasyid, Yahya Harahap, Taufiq, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: PT.Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 9. 5 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) sesungguhnya telah mengatur perlunya masa berkabung (ihdad) bukan hanya
bagi istri, melainkan juga suami. Gagasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sangat
progres, ini jauh melampaui ketentuan kitab fiqih. Hanya saja, ketentuan itu
belum dilaksanakan secara konkret di masyarakat. Sebab, masyarakat masih
mengacu kepada ketentuan fiqh yang hanya menyebutkan ihdad bagi istri, bukan
suami. Sedangkan dalam hukum Islam kewajiban ber-ihdad hanya di peruntukkan
kepada seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, tidak ditemukan
keterangan bahwa seorang suami juga harus melakukan ihdad ketika ditinggal mati
oleh istrinya.8 Dari pemahaman ihdad di atas, maka dalam konteks wilayah
Indonesia, ihdad tidak hanya diatur untuk seorang istri yang ditinggal mati
oleh suaminya melainkan juga kepada seorang suami yang ditinggal mati oleh
istrinya, sebagaimana yang telah tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 170 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Suami yang ditinggal mati oleh
istrinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan”. Oleh karena itu, perlu
menelaah dan memperhatikan antara ketetapan yang ada dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dan juga kitabkitab fiqh, khususnya fiqih munakahah. Dalam kitab
fiqh telah diatur secara jelas dan gamblang bagaimana dan apa saja yang
dilarang dan yang harus dilakukan oleh seorang istri yang sedang ber-ihdad,
namun dalam kitab fiqh tidak diatur bagaimana dan apa 8 Sulistyowati Irianto,
Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006). h. 171 6 yang harus dilakukan oleh
seorang suami yang ditinggal mati oleh istrinya, karena ihdad bagi suami hanya
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terkait dengan informasi yang
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa seorang suami yang ditinggal
mati oleh istrinya juga melakukan ihdad secukupnya, maka peneliti tertarik
untuk menelaah bagaimana pandangan tokoh masyarakat dan pelaksanaan ihdad bagi
suami yang ditinggal mati oleh istrinya. Dalam hal ini peneliti mengambil Desa
Banjarejo Kec. Pagelaran Kab. Malang sebagai lokasi yang akan menjadi objek
penelitian. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang tersebut
di atas, maka penulis membuat rumusan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana pelaksanaan ihdad bagi suami yang ditinggal mati istrinya di
masyarakat Desa Banjarejo Kecamatan Pagelaran Kabupaten Malang? 2. Bagaimana
pandangan tokoh masyarakat dan para suami yang ditinggal mati istrinya terkait
ihdad dalam konsep menurut kepatutan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 170 (2)? 7 C. Tujuan Penelitian 1. Untuk menemukan konsep kepatutan
dalam budaya masyarakat yang sudah melaksanakan ihdad, yang ada di Desa
Banjarejo Kecamatan Pagelaran Kabupaten Malang. 2. Untuk mengetahui pandangan
tokoh masyarakat dan para suami yang ditinggal mati istrinya terkait nilai dan
konsep kepatutan dalam pelaksanaan ihdad yang terdapat dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 170 (2). D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Pembahasan
skripsi ini diharapkan menjadi tambahan informasi sebagai sumbangan pemikiran
untuk memperkaya khazanah keilmuan dengan memberikan hal-hal yang bersifat
konseptual tentang masalah kepatutan ihdad yang terdapat dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI). 2. Manfaat secara praktis a. Bagi Peneliti: Menambah wawasan dan
khazanah keilmuan terkait permasalahan perkawinan, khususnya dalam hal ihdad
yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). b. Bagi masyarakat: 8
Memberikan masukan terhadap penjelasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 170
ayat (2) tentang kepatutan dalam perspektif tokoh masyarakat dan budaya lokal.
E. Definisi Operasional 1. Ihdad adalah halangan atau larangan memakai
wewangian, perhiasan dan pakaian bermotif selama berkabung. Dalam fiqih berarti
keadaan wanita yang tidak menghias dirinya sebagai tanda perasaan berkabung
atas kematian suami atau keluarganya.9 2. Sosial adalah sebuah konsep ambisius
untuk mendefinisikan seperangkat disiplin akademik yang memberikan perhatian
pada aspek-aspek kemasyarakatan manusia.10 3. Budaya adalah daya dari budi yang
berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta,
karsa dan rasa itu.11 F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan merupakan
rangkaian urutan dari beberapa uraian suatu sistem pembahasan dalam suatu
karangan ilmiah. Dalam kaitannya dengan skripsi ini. 9 “Ihdad,” Dalam Abdul
Azis Dahlan (Ed.) Et. Al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2001), h. 645. 10“Sosial,” Dalam Haris Munandar (Ed.) Et. Al.,
Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Pt. Rajagrafindo Persada, 2000), h.
999. 11Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Cet VIII, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1990), h. 181. 9 BAB I merupakan gambaran awal dalam penelitian
ini berisikan beberapa hal antaranya yaitu latar belakang masalah yang akan
memaparkan alasan mengapa judul tentang pelaksanaan ihdad bagi suami yang
ditinggal mati oleh istrinya perlu untuk dibahas. Dari latar belakang tersebut
maka akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang akan dijelaskan dalam rumusan
masalah yang menjadi inti dalam penelitian ini. Setelah mengetahui inti dari
penelitian ini maka perlu diketahui tentang tujuan penelitian untuk mengetahui
poin-poin penting yang ingin diraih. Setelah itu perlu diketahui pula apa
manfaat dari penelitian baik secara teoritis untuk dijadikan referensi
penelitian tentang ihdad, maupun manfaat penelitian secara praktis untuk
peneliti sendiri dan lembaga. Sub bab terakhir dalam BAB I ini yaitu
sistematika pembahasan yang menginformasikan tentang arah penelitian yang akan
dilakukan. BAB II, dalam bab ini akan menjelaskan tentang penelitian terdahulu
yang akan memaparkan beberapa penelitian yang berhubungan dengan tema penelitian
dalam skripsi ini, namun dengan fokus yang berbeda yang akan dijadikan bahan
perbandingan dan juga referensi oleh peneliti. Sub bab selanjutnya dalam bab
ini adalah kajian teori, yang mana dibutuhkan sebagai alat analisia dalam
penelitian ini, diantaranya pembahasan tentang definisi ihdad, dasar hukum
ihdad, tujuan ihdad dan pandangan ulama’ tentang ihdad. Pembahasan ini
diletakkan di BAB II karena pembahasan tentang ihdad suami yang ditinggal mati
oleh istrinya sebagaimana yang ada dalam 10 KHI Pasal 170 ayat (2) maka perlu
diketahui terlebih dulu apa yang dinamakan ihdad dan beberapa penjelasan
terkait ihdad. BAB III, dalam bab ini akan menjelaskan tentang metode
penelitian yang merupakan langkah-langkah yang akan digunakan untuk mempermudah
jalan penelitian. Dalam hal ini, akan dipaparkan tentang jenis penelitian,
pendekatan penelitian, lokasi penelitian, bahan hukum, metode pengumpulan data
dan metode pengolahan data. BAB IV, setelah mengetahui beberapa penjelasan
terkait ihdad maka dalam bab IV akan dipaparkan data-data yang diperoleh dengan
menggunakan alat analisa atau kajian teori yang telah ditulis dalam bab II.
Selain itu penjelasan atau uraian yang ditulis dalam bab ini, juga sebagai
usaha untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah. Dalam bab ini, akan
diuraikan tentang paparan data yang terdiri dari pelaksanaan ihdad bagi suami
yang ditinggal mati oleh istrinya di masyarakat Desa Banjarejo Kec.Pagelaran
Kab.Malang dan bagaimana pandangan tokoh masyarakat terkait nilai dan konsep
kepatutan dalam pelaksanaannya. Bab ini adalah jawaban atas rumusan masalah
yang terdapat pada bab I. BAB V, sebagai penutup yang merupakan rangkaian akhir
dari penelitian. Pada bab ini, terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan
dimaksudkan sebagai hasil akhir dari penelitian. Hal ini sebagai penegasan
terhadap hasil yang diperoleh dari penelitian. Sedangkan saran merupakan
harapan penulis terhadap penelitian yang telah dilakukan agar dapat memberikan
kontribusi secara maksimal.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Pelaksanaan ihdad suami yang ditinggal mati istrinya: Study sosial-budaya konsep kepatutan di Desa Banjarejo Kec. Pagelaran Kab. Malang." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment