Abstract
INDONESIA:
Hak nafkah iddah merupakan hak yang diatur oleh undang-undang agar diberikan kepada istri, dan suami dalam hal ini berkewajiban menjalankannya. Tidak ada kata tidak mau, karena sejatinya nafkah iddah diberikan berdasarkan besaranya penghasilan suami. Keseimbangan, bahkan Pengadilan Agama yang berkuasa menentukan besaran jumlahnya pun tidak boleh menekan suami untuk memberikan nafkah yang tidak dapat untuk dijalankan olehnya.
Penelitian ini kemudian menggunakan jenis penelitian sosiologis, yang harapannya kelak dapat memberi satu ruang pencerahan baru bagi masyarakat yang awam dan para penentu kebijakan untuk memberikan putusan yang benar-benar adil dan tidak memihak. Dengan melihat hubungan timbal balik antara hukum dengan kenyataan sosial di dalam masyarakat, akan ditarik satu kesimpulan sehingga dapat memberi solusi atas masalah yang diangkat.
Temuannya adalah kurangnya pengetahuan dari masyarakat akan adanya hak dan kewajiban suami-istri dalam masa iddah. Tidak adanya pengawasan dari Pengadilan Agama selaku lembaga yang memberi keputusan, sehingga permasalahan kemudian tertutupi seperti tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Harapannya, simpulan dari penelitian ini menjadi acuan untuk membenahi kembali masyarakat kita yang belum sadar hukum. Disadari atau tidak, hukum tidak dapat dilaksanakan sebelum hokum tersebut sampai kepada masyarakat terlebih dahulu. Pengadilan Agama selaku lembaga pengadil juga diharapkan benar-benar menjadi mengawasi putusan yang diberikan. Dan bagi pembuat undang-undang, setelah melihat ketimpangan yang ada di masyarakat, sudah selayaknya untuk merapatkan barisan untuk kemudian membuat satu undang-undang atau peraturan yang mengatur atau membebankan bahwa nafkah iddah benar-benar suatu kewajiban yang harus dijalankan.
ENGLISH:
Right livelihood of iddah. This is a right governed by law to be given to the wife. As husband in this case is obliged to run it. However, as the development of the times, right livelihood iddah not executed properly, is due to a lack of understanding of the parties litigant, also supported the efforts of the absence of legal institutions, or people who are responsible for delivering it to the public. Thus, when the litigants, the public is more dominant listen and follow only what is decide by the court (judge).
This research was later used sociological research type, which hopes one day to give a new dominant enlightenment for the public and policy makers to make a decision that is really fair and impartial. By looking at the interrelationship between law with social reality in society, will be drawn one conclusion from that can provide solutions to the issues raised.
The finding were lack of knowledge of the community in the right and obligations of husband and wife in the iddah. The lack of supervision of the religious court as an institution who make a decision, so that the problem then covered like no party feels aggrieved.
The hope, the conclusion from this study to be a reference to fix our society who have not realized the law yet. Realizing or not, the law can not be implemented before the law comes the people first. Religious courts as an institution of law is also expected to watch the verdict given by indeed. And for those lawmakers, after seeing that there is inequality in society, it is proper to close ranks to then make a law or regulation that governing or charge that a living iddah really an obligation that must be executed.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di Pengadilan Agama (PA)
Kota Malang banyak pengajuan kasus perkawinan khususnya dalam kasus
penyelesaian nafkah iddah. Dimana norma-norma dan kaidah-kaidah yang ada dan
mengatur masalah ini sudah dikesampingkan. Dan hukum-hukum yang mengatur hal
ini, sepertinya sudah tidak diindahkan 2 (dipedulikan) lagi. Walaupun ini hanya
terjadi di kota-kota besar khususnya seperti yang terjadi di Bandung, Jakarta,
dan daerah kota Malang. Pada prinsipnya, perkawinan bertujuan untuk selama
hidup dan untuk mencapai kebahagiaan yang kekal (abadi) bagi suami istri yang
bersangkutan. Sehingga Rasulullah melarang keras terjadinya perceraian antara
suami istri, baik itu dilakukan atas inisiatif pihak laki-laki (suami) maupun
pihak perempuan (istri). Karena semua bentuk perceraian itu akan berdampak
buruk bagi masing-masing pihak. Suatu perceraian yang telah terjadi antara
suami istri secara yuridis memang mereka itu masih mampunyai hak dan kewajiban
antara keduanya, terutama pada saat si istri sedang menjalani masa iddah. Iddah
adalah waktu menunggu bagi mantan istri yang telah diceraikan oleh mantan
suaminya, baik itu karena talak atau diceraikannya. Ataupun karena suaminya
meninggal dunia yang pada waktu tunggu itu mantan istri belum boleh
melangsungkan pernikahan kembali dengan laki-laki lain.1 Sedangkan dalam fiqh
diartikan masa menunggu yang harus dijalani seorang mantan istri – yang ditalak
dan ditinggal mati suaminya – sebelum ia dibolehkan menikah kembali.2 Pada saat
iddah inilah antara kedua belah pihak yang telah mengadakan perceraian,
masing-masing masih mempunyai hak dan kewajiban antara keduanya. Bila suami
melalaikan kewajibannya maka akan timbul berbagai permasalahan, 1 Muhammad Daud
Ali, (tt) Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet. 6, PT. Raja Grafindo,
Pustaka Pelajar, Jakarta. Hal. 125 2 Muhammad Bagir al-Habsyi (2002) Fiqh
Praktis (Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat para Ulama). Bandung :
Mizan. Hal. 221 3 misalnya si anak putus sekolahnya, sehingga anak tersebut
menjadi terlantar atau bahkan menjadi gelandangan. Sedangkan mantan istrinya
sendiri tidak menutup kemungkinan akan terjerumus ke lembah hitam. Masalah
tidak berhenti di sini saja, semula kebutuhan istri tercukupi dengan adanya
suami, ketika bercerai di masyaarakat kita pada umumnya seorang mantan suami
melupakan kewajiban untuk ikut serta memberikan nafkah selama masa iddah. Yang
terjadi kemudian istri menjadi single parent yang harus mengurus dirinya
sendiri serta anak-anaknya. Inilah fenomena-fenomena yang sering timbul dari
perceraian yang mana suami tidak melaksanakan kewajibannya terhadap hak istri
dan anak pada masa iddah. Setelah terjadi perceraian pada hakikatnya si suami
harus memberikan minimal perumahan pada mantan istri dan anaknya. Inilah yang
disebut dengan nafkah iddah. Suami tidak lepas tanggung jawab terhadap tugas
sucinya. Berkenaan dengan kewajiban suami tersebut, dalam Kompilasi Hukum Islam
pasal 18 ayat 1 menugaskan pada suami untuk ikut bertanggung jawab penuh selama
masa iddah pada istri dan anaknya, pasal tersebut berbunyi “Suami wajib
menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau mantan istrinya
yang masih dalam masa iddah”.3 Dari bunyi di atas sudah jelas bagi suami yang
telah menceraikan istrinya wajib untuk menyediakan tempat tinggal, ataupun
membolehkan istrinya bertempat tinggal di rumahnya sampai batas masa iddah
habis (berakhir). Bila suami melalaikan kewajiban ini, maka istri dapat
mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama. Gugatan tersebut dapat diajukan
bersama-sama sewaktu istri mengajukan berkas gugatan atau dapat pula gugatan
tersebut diajukan di kemudian hari. Akan tetapi kewajiban tersebut tidak dapat
dibebankan kepada mantan suami saja, misalnya pada waktu terjadi perceraian
tersebut yang disebabkan karena istri murtad atau sebab-sebab lainnya yang
menjadi sebab suami tidak wajib menunaikan hak istri, dan bila telah ada
kemufakatan bersama atas putusan Pengadilan Agama tentang nafkah anak tersebut,
maka dapat pula nafkah si anak ditanggung bersama antara keduanya
(suami-istri). Ada beberapa hal yang selama ini kurang diperhatikan oleh
beberapa pihak yang melakukan perceraian, di antaranya: baik suami atau istri
tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata demi
kepentingan anak, suami bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak. Bilamana suami dalam kenyataannya tidak dapat
memenuhi kewajiban itu, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul
biaya tersebut. Dan, pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan
istri.4 4 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio (2004) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. Hal. 549-550 5 Pengadilan Agama adalah
lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan masalah nafkah iddah. Namun untuk
menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas para pencari keadilan yang
selalu agresif mengajukan permasalahannya ke Pengadilan Agama. Bila tidak
mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum sudah barang tentu pengajuan perkara
haruslah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang yang
berlaku. Dalam lalu lintas hukum, tidak semua masyarakat tahu dan mengerti hak
dan kewajiban hukum, termasuk di dalamnya adalah hak dan kewajiban hukum bagi
wanita (istri) yang menjalani masa iddah. Kenyataan dalam masyarakat banyak
menunjukkan bahwa suami-istri langsung berpisah tempat tinggal sesaat setelah
terjadi perceraian atau bahkan suami-istri berpisah badan jauh sebelum terjadi
perceraian, sehingga hak-hak dan kewajiban yang berkaitan dengan masa iddah
istri sering terabaikan. Padahal dalam pasal 34 ayat (3) Undang Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan, kelalaian atas suatu kewajiban dalam hukum
perkawinan oleh salah satu pihak memberikan hak kepada yang lain untuk dapat
menuntut di pengadilan. Maka permasalahan ini perlu mendapatkan jawaban sejauh
mana proses peradilan atas hakhak istri dan problematikanya dalam masa iddah.
Pengadilan selaku badan tertinggi dalam agama Islam yang mengurusi
keberlangsungan rumah tangga, bertanggung jawab penuh untuk ikut andil
mengurusi masalah nafkah iddah suami terhadap istri dan anak-anaknya.
Pengadilan juga punya 6 tugas untuk memberikan pengertian berupa penyuluhan
kepada masyarakat mengenai aturan hukum yang belum mereka ketahui. Bertitik
tolak dari realitas yang ada ini penyusun merasa terpanggil untuk membahas
lebih mendalam tentang penyelesaian nafkah iddah. Dengan pembahasan tersebut
diharapkan akan mendapatkan suatu gambaran, dan jawaban yang konkrit dalam
implikasi Pengadilan Agama dan Undang-Undang kehidupan masyarakat. Peneliti
mencoba mengangkat permasalahan ini menjadi bahan yang pantas untuk diteliti
dan dikaji secara mendalam, dengan judul "Problematika Pemenuhan HakHak
Istri dalam Masa Iddah (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kota Malang).
B.
Batasan
Masalah
Dalam sebuah penelitian mestinya diberikan batasan masalah agar
lebih terfokus pada persoalan yang sedang diteliti. Membatasi masalah adalah
kegiatan melihat bagian demi bagian dan mempersempit ruang lingkupnya, sehingga
dapat dipahami betul-betul. Pembatasan masalah ini bertujuan untuk menetapkan
batas-batas masalah dengan jelas sehingga memungkinkan penemuan faktor-faktor
yang termasuk kedalam ruang lingkup masalah dan yang tidak. 5 Batasan materi
yang akan dibahas oleh peneliti adalah meliputi : 1. Problematika yang sering
muncul selama masa iddah. 2. Upaya-upaya yang dilakukan istri untuk menuntut
haknya dalam masa iddah. Proses penerimaan, pemeriksaan, putusan dan
pelaksanaan putusan sehubungan hak iddah bagi istri
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah bertitik
tolak dari latar belakang serta ruang lingkup permasalahan tersebut di atas
maka masalah-masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah : 1.
Problematika apa saja yang sering muncul dalam masa iddah? 2. Upaya apa saja
yang dilakukan istri untuk menuntut haknya dalam masa iddah? 3. Bagaimana
proses penerimaan, pemeriksaan, putusan dan pelaksanaan putusan sehubungan hak
iddah bagi istri?
C.
Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengidentifikasi problematika yang sering muncul dalam masa iddah. 2.
Untuk mengidentifikasi upaya yang dilakukan istri untuk menuntut haknya dalam
masa iddah. 3. Untuk mencermati proses penerimaan, pemeriksaan, putusan dan
pelaksanaan putusan sehubungan hak iddah bagi istri. 8 E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi yang besar
dalam tataran teoritis dan praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dalam
penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan akan
mampu memberikan kontribusi positif dalam bidang hukum, khususnya hukum islam
yang berkaitan dengan bahasan penelitian yakni problematika dalam masa iddah.
Peneliti memiliki harapan besar bahwa nantinya penelitian ini akan mampu
memberikan kejelasan hukum, yang nantinya penelitian ini bisa memberikan
kontribusi pada bidang keilmuan bagi kemajuan dunia akademik. 2. Manfaat
Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
pada umumnya dan para pembaca penelitian ini dan sebagai sumbangan pikiran dari
peneliti bagi kemajuan hukum islam yang hingga kini masih berkembang seirama
dengan perkembangan zaman.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Problematika pemenuhan hak-hak istri dalam masa iddah: Studi kasus di Pengadilan Agama Kota Malang Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment