Abstract
INDONESIA:
Salah satu kewenangan dari Pengadilan Agama antara lain adalah mengadili, menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara isabt nikah bagi pasangan suami istri yang belum tercatatkan atau dilegalkan. Hal yang berbeda jika isbat nikah yang dilakukan adalah untuk istri kedua (Isbat poligami) dengan menjadikan istri terdahulu sebagai pihak termohon, sebagaimana yang pernah terjadi di Pengadilan Agama kota Probolinggo. Namun yang menjadi menarik dari kajian ini adalah adanya 2 perkara yang sama yaitu tentang (Isbat poligami) dengan perkara No.306/Pdt.G/2012/P.A.Prob dan No.141/Pdt.G/2013/P.A.Prob, Namun menghasilkan putusan yang berbeda dimana perkara yang pertama No.306/Pdt.G/2012/P.A.Prob Hakim mengabulkan permohonan pemohon, sedangkan perkara berikutnya No.141/Pdt.G/2013/P.A.Prob) Hakim menolak permohonan yang diajukan. Berangkat dari permasalahan tersebut, Maka kajian ini difokuskan pada pertimbangan hakim dalam mengabulkan dan menolak perkara isbat poligami yang terjadi, yang dianalisis dengan pendekatan komparatif. Yang tujuan utama dari kajian ini adalah untuk memahami secara komprehensif dasar pertimbangan putusan hakim Pengadilan Agama kota probolinggo dalam mengabulkan dan menerima perkara isbat poligami.
Penelitian ini tergolong dalam penelitian empiris (Field research) dimana sebagian besar datanya diperoleh dari sumber data primer berdasarkan hasil wawancara langsung dengan para hakim terkait. Adapun pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis komparatif yaitu dengan membandingkan persamaan dan perbedaan terkait putusan dan pemahaman hakim tentang perkara isbat poligami ini. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dasar pertimbangan hakim pengadilan Agama kota probolinggo dalam mengabulkan perkara isbat poligami berdasarkan pada ketentuan Hukum islam, Kemaslahatan (Maslahah al-Murslah) tentang terjaminya setatus anak juga istri dan UU.No.1 Tahun 1974 pasal 2, adapun pertimbangan hakim yang menolak perkara isbat poligami ini didasarkan pada UU.No.1 Tahun 1974 pasal 3 tentang perizinan poligami , peraturan pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang adanya izin poligami secara administrasi Hukum kepada Pengadilan Agama terlebih dahulu, Surat edaran dari Mahkamah agung No.7 Tahun 2012 dan kontrol sosial masyarakat.
ENGLISH:
One authority from the religious court among them were judge, received, examine and decide isabt marriage for married couple who have not written or legality. Different things if isbat marriage executed is to the second wife (isbat polygamy) by taking wife old as the party defendant. As that ever happened in the religious court city probolinggo. But really the draw from this review are the same 2 matter which was about (isbat polygamy) with matter number 306/Pdt.G/2012/P.A.Prob and the Case Number 141/Pdt.G/2013/P.A.Prob, but produce decisions are different and that matter first number 306/Pdt.G/2012/P.A.Probjudge answer the applicant, while matter next number 141/Pdt.G/2013/P.A.Probthe judge refused petition filed. Depart from these problems, so the focused is on consideration of a the judge in case that receive and refuse isbat polygamy occurring, analyzed by comparativeapproach.That the main purpose of this study is to assess comprehensively basis of consideration judicial decisions the religious court city probolinggoin said and receive matter isbat polygamy.
This research are classified as a part empirical research (field research) where most of the data obtained from primary sources of data based on the results of direct interview with the judges related.The approach that is used is qualitative with comparative analysis that is by comparing similarities and differences related decisions and judges in understanding the matter of this isbat polygamy. The results of the study can be concluded that basis of consideration court judge religion city probolinggo in case receive isbat polygamy based on to the islamic law, (maslahah al-mursalah) side of the secured of the status children are the wife and Regulation Number 1 of 1974 article 2, as for consideration the best refuse matter isbat polygamy is based on Regulation Number 1 of 1974 article 3 regarding licensing of polygamy, government regulation number 9 of 1975 of the existence of the permission polygamy is done law to the religious court first, circulation letter from the supreme court number 7 of 2012 and control community social.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah
satu kewenangan absolut Pengadilan Agama antara lain adalah menerima,
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara isbat nikah bagi pasangan suami
istri yang tidak mempunyai akta nikah. Aturan pengesahan perkawinan atau Isbat
nikah, pengaturan ini dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan
berdasarkan agama namun tidak dicatat pada pihak yang berwenang.2 2 Mahkamah
Agung RI, Pedoman Tehnis Administrasi dan Tehnis Peradilan Agama, Buku II Edisi
2009, hlm. 207. 2 Hal ini diatur dalam penjelasan pasal 49 angka 22
Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang pada awalnya perkawinan yang
disahkan hanya perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakuknya UndangUndang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, akan tetapi pasal 7 Kompilasi Hukum
Islam memberikan peluang untuk pengesahan perkawinan yang tidak dicatat oleh
PPN yang dilangsungkan sebelum atau sesudah berlakunya UndangUndang Nomor 1
tahun 1974 untuk kepentingan perceraian, bahkan dalam perkembangannya juga
untuk melegalkan pernikahan dengan istri kedua, ketiga dan seterusnya dengan
mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Menurut Pasal 3 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri.
Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Ini artinya bahwa dalam
suatu perkawinan seorang suami hanya boleh mempunyai seorang isteri, begitu
juga sebaliknya seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami, selanjutnya
pada penjelasan pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa
undang-undang ini menganut asas monogami. Akan tetapi sekalipun demikian asas
yang dianut oleh Undang-undang perkawinan sebenarnya bukan asas monogami mutlak
tetapi adalah monogami yang tidak bersifat mutlak, karena pada bagian lain dari
Undang-undang ini dinyatakan bahwa seorang suami boleh beristeri lebih dari
seorang perempuan apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (istri
pertama memberi 3 izin) dan juga mendapat izin dari Pengadilan (Pasal 3 (2), 4,
dan 5 UU No. 1 Tahun 1974).3 Hal inilah yang menjadi pedoman dalam praktik
poligami di Indonesia, secara umum diatur secara ketat dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menganut asas monogami. Tetapi jika
ada hal-hal yang menghendaki suami beristeri lebih dari satu, ia dapat
mengajukan izin poligami kepada Pengadilan Agama dengan syarat-syarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tersebut.4 Melaksanakan suatu ikatan perkawinan merupakan hak asasi setiap
warga Negara sebagaimana yang telah tercantum pada pasal 28 B ayat (1)
UndangUndang Dasar 1945 hasil perubahan kedua bahwa: (1) Setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Akan
tetapi sebagai warga Negara yang hidup dalam sebuah kehidupan berbangsa dan
bernegara, dalam melaksanakan suatu pernikahan tentu harus mengikuti aturan
peraturan perundangan yang berlaku di Negara Indonesia, Maka peranan Pengadilan
Agama dalam hal ini sangat penting demi terciptanya perkawinan yang sah secara
tertulis. Sementara fenomena yang banyak terjadi saat ini adalah banyaknya
praktek kawin dengan jalur kawin siri dengan berbagai macam alasan dan latar
belakang. Padahal fakta berbicara bahwa dalam kawin sirri banyak menimbulkan 3
Kitab Undang-undang No. 1 pasal 3 (2), 4 dan 5 Tahun 1974 tentang Peraturan
poligami 4 Mursalin, Supardi, Menolak poligami, Studi tentang Undang-Uundang
Perkawinan dan Hukum Islam, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm 15 4
permasalahan bagi keluarga itu sendiri, mengenai status, Nafkah, harta warisan
ataupun harta kebendaan. Bagi istri misalnya, perkawinan sirri tersebut bisa
menjadi masalah saat terjadi perselisihan antara suami dan istri dimana Hak-hak
istri tidak bias terpenuhi dan tidak sah dihadapan hukum, belum lagi dampak
bagi sang anak bila lahir tentu perlu Akta kelahiran untuk keperluan sekolah,
kerja dan sebagainya, sementara bagi yang belum tercatatkan tidak akan
diberikan haknya hingga berdampak pada pembagian harta waris keluarganya. Dan
ketika mereka terdesak demi kepastian hukum atas perkawinannya serta kepastian
hukum tentang status anaknya, keduanya mengajukan perkara Permohonan Itsbat
Poligami di Pengadilan Agama. Yang hal tersebut merupakan hal yang sudah biasa
dalam sebuah perkara perkawinan, Akan tetapi jika itsbat Nikah untuk isteri
kedua, ketiga, atau keempat (Istri Poligami) di ajukan ke Pengadilan Agama,
dengan menjadikan isteri terdahulu menjadi pihak Termohon adalah hal yang
istimewa, hal ini karena kekhawatiran suami pada umumnya, terhadap istri
terdahulu jika dimintai persetujuannya untuk isbat nikah, hampir pasti
keberatan. Kecuali jika diluar persidangan istri terdahulu telah menyatakan kerelaannya,
untuk dimadu, baik karena terpaksa dari pada dicerai suami, atau memang
betul-betul rela suami mengajukan perkara Isbat Poligami. Seperti yang pernah
terjadi di Pengadilan Agama kota probolinggo. Realita yang terjadi di
Pengadilan Agama Kota Probolinggo, dari beberapa Isbat Poligami yang hanya
berupa permohonan untuk menetapkan kekuatan hukum atas pernikahan bawah
tangan/sirri, terdapat beberapa Isbat Poligami yang 5 dilakukan oleh masyarakat
kabupaten Probolinggo. Diantara kasus yang menarik Permohonan Isbat Poligami
dengan kasus yang sama namun menghasilkan dua putusan yang berbeda, Pertama
pada perkara No. 306/Pdt.G/2012/PA.Prob. tahun 2012 tentang permohonan Isbat
poligami, dimana putusan hakim menerima permohonan Isbat Poligami tersebut dan adapun
yang kedua perkara No.141/Pdt.G/2013/PA.Prob tentang Isbat Poligami dimana
putusan Hakim menolak dalam putusannya. Dari sinilah Peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang Isbat Poligami Menurut Pertimbangan putusan Hakim
Pengadilan Agama Kota Probolinggo yang berbeda tentang Isbat Poligami, yang
kemudian peneliti membandingkan dan menganalisis dua putusan tersebut dengan
pendekatan komparatif, sehingga menjadi jelas dasar pertimbangan apa yang
dijadikan putusan hakim dalam menerima dan menolak perkara Isbat Poligami, dan
apa sajakah perbedaan dan persamaan dari pertimbangan putusan hakim tersebut
dalam memutus perkara Isbat poligami. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kesimpulan yang objektif atas kedua putusan berbeda tersebut. sehingga,
penelitian akan bermanfaat bagi para akademisi di bidang hukum perdata islam
ataupun praktisinya untuk memberikan pertimbangan yang lebih dalam memberikan
putusan. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim PA. Kota
Probolinggo dalam Menerima Isbat Poligami dalam Perkara
No.306/Pdt.G/2012/PA.Prob? 6 2. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim PA. Kota
Probolinggo dalam Menolak Isbat Poligami dalam Perkara
No./141/Pdt.G/2013/PA.Prob? C. Tujuan Penelitiaan 1. Untuk Memahami dasar
pertimbangan Hakim Kota PA. Probolinggo dalam Menerima Isbat Poligami dalam
Perkara No.306/Pdt.G/2012/PA.Prob. 2. Untuk Memahami dasar pertimbangan Hakim
Kota PA. Probolinggo dalam Menolak Isbat Poligami dalam Perkara
No./141/Pdt.G/2013/PA.Prob. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan
untuk memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis sebagai berikut: 1.
Secara Teoritis: a. Untuk memperkaya wacana keislaman dalam bidang hukum, baik
hukum islam maupun hukum positif. b. Memberikan kontribusi ilmiah bagi fakultas
syari’ah jurusan al-ahwal alsyakhshiyyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
c. Memberikan sumbangan referensi bagi peneliti selanjutnya dan bahan tambahan
pustaka bagi siapa saja yang membutuhkannya. 2. Secara Praktis a. Memberikan
tambahan pertimbangan terhadap para praktisi hukum, khususnya hakim dalam
memutuskan perkara isbat poligami
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Isbat poligami menurut pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Kota Probolinggo: Studi komparatif perkara No.306/Pdt.G/2012/P.A.Prob dan Perkara No.141/Pdt.G/2013/P.A.Prob." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment