Abstract
INDONESIA:
Penelitian ini mengambil judul Keadilan Gender dalam Produk Hukum Islam di Indonesia (Telaah atas Perkawinan Poligami dalam Undang-undang No.1 dan Kompilasi Hukum Islam) bertujuan untuk menelusuri sejauh mana produk perundang-undangan mengenai perkawinan poligami menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan gender yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan yang luar biasa antara yang mendukung dan yang menolak.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi literatur. Sumber data diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Pengolahan data dilakukan secara sistematis yaitu membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut dengan memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum, membuat sistematika kemudian dianalisis secara deskriptif.
Pelaksanaan poligami menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam memiliki ketentuan persyaratan-persyaratan dan tujuan yang sama, yaitu menghendaki terwujudnya keluarga (rumah tangga) yang bahagia, rukun, dan kekal selamanya.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa perkawinan poligami ditolak menurut perspektif Gender. Penolakan ini semata-mata karena poligami tidak mengandung unsur-unsur yang menguntungkan bagi perempuan. Sedangkan esensi dari Undang-undang No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam pada dasarnya memberi pintu darurat terhadap suami yang akan beristri lebih dari seorang. Pintu tersebut diberikan apabila cukup alasan, terpenuhi semua persyaratan dan dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur-prosedur tersebut dibuat semata-mata untuk mewujudkan tujuan utama dari perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UU Perkawinan No.1 tahun 1974 dan Pasal 4 KHI.
Sebagai warga negara yang taat hukum, hendaknya menggunakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terutama bagi umat Islam, karena telah ada peraturan perundang-undangan yang memberikan aturan khususnya dalam perkawinan poligami. Disamping itu, sudah sepatutnya Departemen Agama, Pengadilan Agama dan lembaga-lembaga terkait secara terpadu melakukan sosialisasi dan pengawasan secara ketat terhadap pelaksanaan undang-undang tersebut, khususnya masalah yang paling sensitif yaitu poligami.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Islam menetapkan dan memandang pentingnya perkawinan,
sehingga suatu perkawinan hendaknya harus melalui dan mempertimbangkan dasar
agama, moral dan sosial. Perkawinan dalam Islam dipandang sebagai sebuah ikatan
yang kuat dan komitmen yang mutlak terhadap kehidupan sosial dan untuk menjadi
manusia terhormat.1 Selain mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, juga tidak
terlepas dari tujuan untuk mendapatkan keturunan dan kebahagiaan. Perkawinan
diharapkan menjadi suatu perkawinan yang bahagia apabila pelaku perkawinan
memiliki rasa saling mencintai serta menyayangi (mawaddah warrahmah) yang
direalisasikan dalam bentuk pelaksanaan segala bentuk kewajiban masing-masing.
Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya dan dijadikannya diantara rasa kasih sayang.
Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir” (Q.S. Ar-Ruum : 21).3 Perkawinan menurut ajaran Islam ialah akad yang
menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.
Dalam sudut pandang yang lain, perkawinan diartikan sebagai suatu
perjanjian yang suci kuat dan kokoh (mitsaqan ghalidzan) untuk hidup bersama
secara sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk keluarga
yang kekal, santun-menyantuni, kasih mengasihi, tenteram, dan bahagia.5
Disebutkan dalam pasal 2 dan pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi :
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaaqan ghaliidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
sebagi su bahagia da Da
dikutib ole Artinya: Da melangsun bertujuan Karena pe adanya tuj Jad batin anta
rumah tan syari’at Is 7 Sudarhana 8 Zakiyah D 9 Abd. Rahm 10 Zahry Ha (Yogyaka
dangkan d Perkawinan uami istri d an kekal ber alam kaitan eh Zakiah D “Akad ya
hubungan mengadaka pemiliknya ari pengerti ngkan perk mengadak erkawinan t juan
atau m di pada int ara seorang ngga dan lam”.10 a, F.X., Hukum Daradjat, Ilmu
man Ghazaly, amid, Pokok-p arta: Bina Cipt dalam Unda ialah ikata dengan tuju
rdasarkan K ini, Muham Darajat, yait ng membe keluarga an tolonga serta peme an
tersebut kawinan iala kan hubung termasuk pe maksud meng tinya perkaw laki-laki
d untuk berk m Perdata I (J Fiqh (Yogya , Fiqh Munaka pokok Hukum ta, 1978),1.
ang-undang an lahir bath uan membe Ketuhanan Y mmad Abu tu : erikan faed (suami
is -menolong enuhan kew t, perkawin ah saling m gan pergaul elaksanaan
gharapkan k winan atau an perempu keturunan y Jakarta: PT. P akarta: Dana B
ahat (Bogor: K Perkawinan d g Nomor 1 hin antara s entuk kelua Yang Maha Ishrah
mem dah hukum stri) antara dan mem wajiban bagi an mengan mendapatkan lan yang
d agama, ma keridhaan A u pernikaha uan untuk h yang dilaks Prehalindo, 200
Bhakti Wakaf, Kencana, 200 dan Undang-u 1 Tahun 1 seorang pria arga (ruma Esa.7
mberikan de m keboleha a pria da mberikan b i masing-ma ndung aspek n hak dan
dilandasi to aka di dalam Allah SWT.9 an ialah,”Su hidup bersa sanakan me 01),
88. 1995). 3), 9. undang Perka 1974 dinya a dengan w ah tangga) efinisi, yang
an mengad an wanita batas hak asing”.8 k akibat hu kewajiban olong-meno mnya
terkan 9 uatu ikatan ama dalam enurut keten awinan di Ind 3 atakan wanita yang
g juga dakan dan bagi ukum, serta olong. ndung lahir suatu ntuan donesia
Adapun bentuk perkawinan yang diperbolehkan Islam ada dua macam,
yaitu perkawinan monogami dan poligami. Dalam antropologi sosial, poligami
merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai
dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat. Berlawanan
dengan monogami, dimana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada
suatu saat. Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria
memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa
suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage,
yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut
ditemukan dalam sejarah, namun poligini merupakan bentuk yang paling umum
terjadi dan secara umum penggunaan kata poligami di Indonesia bermakna poligini
dan bentuk inilah yang diperbolehkan Islam. Dewasa ini, wacana mengenai poligami
kembali menjadi isu sentral di setiap kondisi, waktu, dan tempat. Tidak saja
pada lingkup akademisi, lembaga pengajian, pondok pesantren, khotbah di
masjid-masjid, ataupun kultum di mushola-mushola tetapi juga di warung-warung
kopi, pangkalan ojek, ataupun di kerumunan ibu-ibu dan bapak-bapak. Kasus
poligami da’i selebritis kondang dan menjadi idola ibu-ibu KH. Adullah
Gymnastiar yang lebih dikenal dengan sebutan Aa’ Gym telah menguak kembali
polemik lama mengenai eksistensi poligami dalam Islam. Masalah menjadi semakin
panas lagi [walaupun tidak ada kaitan langsung] ketika adegan panas Yahya Zaini
sebagai wakil rakyat dengan Maria Eva terkuak sebagai “borok norma agama,
susila, dan sosial”.11 5 Islam pada dasarnya memperbolehkan seorang pria beristri
lebih dari satu (poligami). Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga
empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap
seluruh istrinya. Allah berfirman dalam Surat An-Nisa’ (4) ayat 3: Artinya:
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang
saja” (QS. An-Nisa’ 4:3).
Di Indonesia, Kompilasi
Hukum Islam (HKI) dan Undang-undang No.1 tahun 1974, apabila dilihat dari
perspektif kesetaraan dan keadilan gender, masih banyak menyisakan persoalan
gender, yakni mengukuhkan pandangan dominan fikih yang menempatkan perempuan
sebagai “urutan kedua” setelah laki-laki. Hal ini terwujud dalam
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam kedua Undangundang tersebut.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-undang No.1 tahun 1974 memiliki
pasal-pasal yang kurang mendukung semangat keadilan dalam relasi perempuan dan
laki-laki, yaitu salah satunya adalah masalah poligami.13 Pasal-pasal yang
kurang mendukung semangat keadilan dalam relasi perempuan dan laki-laki dalam
masalah poligami antara lain, pertama:pasal 3 ayat 11
http://id.wikipedia.org/wiki/Poligami 12 Departemen Agama, Al-Qur’an dan
Terjemahnya (Semarang: CV. As-Syifa’, 1992), 115. 13 Counter Legal Draft KHI
https://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/28/swara/1583826.htm 6 (2)
Undang-undang No.1 tahun 1974 yang berbunyi: “Pengadilan dapat memberikan izin
kepada suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
fihak-fihak yang bersangkutan”. Masih pada Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal
4 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: “dalam hal seorang suami akan beristri lebih
dari seorang, sebagaimana disebutkan pada pasal 3 ayat (2) undang-undang ini,
maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya”.
Undang-undang No.1 tahun
1974 pasal 4 ayat (2) berbunyi “Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari
seorang apabila : a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c.
Istri tidak dapat melahirkan keturunan.” Undang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 5
ayat (1) berbunyi “Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan,
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Adanya persetujuan dari
istri/istri-istri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; c. Adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka”14 14
Departemen Agama RI Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Bahan
Penyuluhan Hukum (Undang-undang No.1/Th 1974 tentang Perkawinan), 210-211. 7
Kedua: Kompilasi Hukum Islam pada pasal 55 ayat (1), yang berbunyi “beristri
lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat
orang istri” (2), yang berbunyi “syarat utama beristri lebih dari seorang,
suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya” dan (3)
yang berbunyi “apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin
dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang” Pasal 56 ayat (1)
berbunyi: ”suami yang ingin beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin
dari Pengadilan Agama” ayat (2) berbunyi: “pengajuan permohonan izin dimaksud
pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara sebagaimana yang diatur dalam Bab VIII
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975” ayat (3) berbunyi: “perkawinan yang
dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan
Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum” Pasal 57 Pengadilan Agama hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri; b. Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Istri tidak
dapat melahirkan keturunan. Pasal 58 ayat (1) KHI berbunyi: “selain syarat
utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan
Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pasal 5 Undang-undang
No.1/Th 1974” Ayat (2) berbunyi: “dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41
huruf b PP. No.9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan
secara tertulis atau dengan lesan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan
tertulis 8 persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada
sidang Pengadilan Agama” Ayat (3) berbunyi: “persetujuan yang dimaksud pada
ayat (1) huruf a tidak diperlukan seorang suami apabila istri atau
istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya
sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian
Hakim” Pasal 59 berbunyi: “dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan,
dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah
satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat
menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri
atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi”.15 Untuk kasus poligami,
berbagai respon diberikan. Dari yang dingin (acuh) sampai yang emosional.
Respon datang dari berbagai kalangan, tidak saja yang berstatus ibu
rumah tangga, karyawan kantoran, LSM perempuan bahkan politisi dan akademisi
pun lantang bersuara. Persoalan poligami telah membuat heboh dari mulai warung
angkringan sampai ke meja istana negara. Pelaku poligami menjadi pesakitan,
dihujat banyak orang dari banyak kalangan. Mereka dianggap terdakwa yang siap
untuk diadili sepihak dengan tekanan psikis yang berlebihan. Kebenaran tidak
lagi dilihat dari sisi kaidah dan hukum kebenaran itu sendiri, tetapi dilihat
dari kesepakatan kolektif masyarakat yang didasarkan atas nilai suka atau tidak
suka perorangan.
Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami
ditentang oleh sebagian kalangan terutama kaum feminis, karena mereka
menganggap poligami sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita. Isu
gender/feminis sendiri muncul pada akhir abad XX. Namun istilah maupun konsep
gender itu sendiri belum banyak dipahami oleh masyarakat.16 Meskipun istilah
gender bukan suatu perkataan yang asing lagi, dan kata-kata itu telah memasuki
ruang diskusi masalah sosial sejak dua puluh tahun terakhir ini, dan selalu
menjadi pembahasan yang menarik, tetapi untuk memahaminya perlu keseriusan agar
tidak terjadi kerancuan. Secara etimologi, kata gender berasal dari bahasa
Inggris gender yang berarti jenis kelamin.17 Mansour Fakih mengatakan, gender
adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural.
Sedangkan Oakley mengatakan
bahwa gender adalah bihavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang
social contructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan,
melainkan diciptakan oleh baik laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial
budaya yang panjang.19 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gender bukanlah
suatu given yang tidak bisa dipertukarkan, akan tetapi merupakan sebuah konsep
yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat
dari aspek sosial budaya, dan bukan dilihat dari sisi biologis.
Dalam Islam, masalah gender masih menjadi kontroversi, ada pihak
yang pro dan kontra. Di antara kaum muslimin ada kelompok yang memandang tidak
ada masalah gender dalam Islam, bahkan mereka memberi label negatif pada halhal
yang berhubungan dengan gerakan perempuan. Ada pula kelompok lain yang
berpendapat bahwa memang ada masalah gender dalam Islam. Salah satu contoh
adanya masalah gender dalam Islam, banyak kritik yang ditujukan kepada buku
atau kitab, tafsir dan fikih klasik yang masih bias gender, sehingga banyak
pendapat yang mengatakan bahwa, kitab-kitab fikih itu harus direkonstruksi
bahkan didekonstruksi ulang agar tidak bias gender. Dalam kitab kuning
misalnya,perempuan dipandang memiliki harga separo dibanding lakilaki.Hal ini
terlihat dalam ketentuan fikih yang dianut hampir oleh selurh madzab. Pada
hakikatnya perbedaan gender tidak akan menjadi masalah selama tidak menimbulkan
ketidak-adilan, seperti marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan sebagainya.
Namun dalam kenyataannya perbedaan gender tersebut justru melahirkan
ketidak-adilan, maka muncullah gerakan gender/feminisme yang berusaha untuk
mengakhiri ketidak-adilan, menghapuskan penindasan dan eksploitasi terhadap
perempuan.
Perbedaan gender, yang
kemudian melahirkan ketidak-adilan pada dasarnya merupakan konstruksi sosial
dan budaya yang terbentuk melalui proses panjang. Namun karena konstruksi
sosial budaya semacam itu telah menjadi sebuah tradisi dalam waktu yang sangat
lama, maka perbedaan gender tersebut menjadi keyakinan dan ideologi yang
mengakar dalam kesadaran masing-masing individu, 20 Masdar Farid Mas’udi,
Perempan di antara Lembaran Kitab Kuning, Dalam Membincang Feminisme, Dikursus Gender
Perspektif Islam, 169.
masyarakat, bahkan negara.
Perbedaan gender dianggap sebagai ketentuan-ketentuan Tuhan yang tidak dapat
diubah dan bersifat kodrati, dan tidak dapat disangkal bahwa salah satu
penyebab yang melanggengkan konstruksi sosial budaya yang mengakibatkan
ketidak-adilan gender tersebut adalah pemahaman agama.21 Kebanyakan argumentasi
tentang poligami didasarkan kepada teks ayat Al-Qur’an QS. An-Nisa:3.
Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami yang sebenarnya tidak
mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami.
Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan
janda korban perang. Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang pro poligami
dipelintir menjadi “hak penuh” laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka,
perbuatan itu untuk mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan
ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang,
semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik posisi keagamaannya. Atau,
semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya.
Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, “poligami membawa berkah”, atau
“poligami itu indah”, dan yang lebih populer adalah “poligami itu sunnah”.
Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan “poligami itu
sunnah” juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki
berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau
kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunnah, mubah (boleh), atau sekedar
diizinkan. Bahkan Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, menyatakan,
nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi
hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya
dengan poligami.
Begitu juga Undang-undang
No.1 Tahun 1974 dan KHI seakan-akan melegitimasi perkawinan poligami yang
dianggap bentuk penindasan terhadap perempuan. Namun, tidak semua keluarga yang
melakukan poligami bernasib malang. Meskipun dalam kasus poligami, dengan
dukungan argumentasi agama, sering membuat keluarga berantakan, dan perempuan
baik sebagai anak maupun sebagai istri dibuat tidak berdaya menghadapi
superioritas laki-laki yang bisa menentukan berapa jumlah perempuan yang akan
dinikahi. Mengapa poligami mendapat penolakan dari masyarakat? Sementara di
sisi lain, perselingkuhan dan perzinahan dianggap hal biasa dan lumrah dari
masyarakat. Bagaimana hukum poligami dalam ajaran Islam? Jika hal tersebut
dibenarkan, mengapa banyak orang, yang sebagian besar muslim, menolak
poligami?23 Berangkat dari latar belakang di atas, dimana terdapat perdebatan
terhadap poligami bagi mereka yang pro dengan yang kontra. Bagi kalangan yang
kontra dengan poligami adalah mereka yang sebagian besar aktifis gender atau
yang populer disebut kaum feminis dengan alasan poligami bentuk nyata
penindasan terhadap perempuan yang jauh meninggalkan nilai-nilai keadilan
gender.
Sedangkan, undang-undang perkawinan di Indonesia sendiri mengatur
juga adanya perkawinan poligami. Maka untuk menelusuri lebih jauh ada tidaknya
keadilan gender yang terkandung dalam produk hukum Islam di Indonesia yang
mengatur perkawinan poligami, peneliti mengambil judul “Keadilan Gender dalam
Produk Hukum Islam di Indonesia (Telaah atas Perkawinan Poligami dalam
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Kompilasi Hukum Islam). B. Identifikasi Masalah
Melihat dari banyaknya bentuk perkawinan yang berhasil dihimpun oleh sejarah
dunia, maka peneliti akan melakukan identifikasi bentuk perkawinan tersebut.
Adapun bentuk perkawinan yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah bentuk
perkawinan poligami. Dengan demikian, penelitian ini hanya akan membahas
masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan poligami yang
diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
Perkawinan poligami menjadi pilihan peneliti dalam melakukan penelitian, karena
dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini.
Dengan maraknya pemberitaan perkawinan poligami yang dilakukan oleh salah satu
da’i terkemuka Abdullah Gymnastiar sepertinya telah menguakkan kembali polemik
lama mengenai eksistensi poligami dalam Islam. Banyak kalangan yang
mengapresiasi perkawinan poligami yang dilakukan oleh Aa’ Gym dan tidak sedikit
pula golongan yang merespon negatif.
Respon negatif muncul dari gerakan feminisme yang mempersoalkan
keadilan gender yang terkandung dalam produk 14 hukum Islam di Indonesia
mengenai perkawinan poligami. Oleh karena itu, dengan diberlakukannya
Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam adalah suatu keniscayaan
keadilan gender terkandung di dalamnya.
B.
Batasan
Masalah
Agar pembahasan lebih fokus dan jelas, maka dalam melakukan
penelitian ini, peneliti merasa perlu untuk memberikan batasan-batasannya.
Adapun batasanbatasan permasalahan yang akan dikaji dan dibahas di dalam
penelitian ini adalah: 1. Tinjauan yuridis normatif pembentukan Undang-undang
No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan mengenai
perkawinan poligami? 2. Pemberlakuan Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan poligami untuk memenuhi unsur-unsur
keadilan gender?
C.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, masalah-masalah yang akan
diteliti di dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah tinjauan yuridis normatif pembentukan Undang-undang
No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan mengenai
perkawinan poligami?
2. Bagaimanakah pemberlakuan
Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan
poligami untuk memenuhi unsur-unsur keadilan gender?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan
masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui tinjauan yuridis normatif pembentukan
Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan
mengenai perkawinan poligami.
2. Untuk menjelaskan pemberlakuan Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan poligami untuk memenuhi unsur-unsur
keadilan gender.
F. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik
secara teoritis maupun praktis, antara lain :
1. Hasil penelitian dapat
digunakan sebagai bahan rujukan bagi penelitianpenelitian berikutnya yang
membahas Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tentang
perkawinan poligami;
2. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai sumbangan informasi
pemikiran serta bahan masukan dan wacana yang bersifat ilmiah, yang diharapkan
bermanfaat bagi masyarakat secara umum, pemerhati, peneliti, dan paktisi hukum;
3.
Sebagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat umum mengenai ketentuanketentuan
tentang perkawinan poligami yang berkeadilan gender.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Keadilan gender dalam produk hukum Islam di Indonesia: Telaah atas perkawinan poligami dalam Undang-undang no.1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment