Abstract
INDONESIA:
Pernikahan adalah ikatan suci antara lakilaki dan perempuan sebagai suami istri, yang dengannya diperbolehkan hubungan intim. Sebagai kepala keluarga, suami wajib mencari nafkah untuk keluarga. Sebagai ibu rumah tangga, seorang istri dibutuhkan untuk mendidik dan merawat anakanak disamping suami. Bagi seorang istri yang sudah dikaruniai anak, hal tersebut akan menjadi permasalahan ketika ia ikut bekerja atau sebagai wanita karir. Ketika suamiistri sibuk bekerja tentunya akan sulit untuk menjalankan kewajiban rumah tangga dan bias berdampak pada keharmonisan keluarga. Fenomena yang demikian terjadi pada dosen Wanita yang ada di Fakultas Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Dari fenomena tersebut muncul pertanyaan bagaimana pemahaman dosen wanita yang ada di Fakultas Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang tentang keluarga sakinah serta bagaimana upaya yang mereka lakukan untuk menciptakan keluarga sakinah dalam keluarga karir.
Dengan pendekatan deskriptif kualitatif, skripsi ini akan menggambarkan beberapa data yang diperoleh dari lapangan, baik dengan wawancara, observasi, maupun dokumentasi sebagai metode pengumpulan data. Kemudian dilanjutkan dengan proses editing, diklasifikasikan, kemudian dianalisa. Selain itu, proses analisa tersebut juga didukung dengan kajian pustaka sebagai referensi untuk memperkuat data yang diperoleh dari lapangan. Sehingga dengan proses semacam itu, dapat diperoleh kesimpulan sebagai jawaban atas dua pertanyaan diatas.
Dari pertanyaan yang ada, muncul jawaban tentang bagaimana pemahaman dosen wanita yang ada di Fakultas Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang tentang keluarga sakinah yaitu sebuah keluarga dimana kondisi keluarga tersebut yang harmonis, tenang, bahagia, nyaman, damai, rukun, tenteram, tidak pernah tengkar, serta semua perbuatan atau aktifitas dalam keluarga tersebut didasarkan pada syari’ah atau aturanaturan dan ajaran agama Islam. Sedangkan upaya yang mereka lakukan untuk mewujudkan keluarga sakinah diantaranya menjaga komunikasi, instropeksi diri, menyamakan persepsi, saling terbuka, mengalah, memahami, dan menghargai, peningkatan suasana kehidupan keberagamaan dalam rumah tangga, peningkatkan intensitas romantisme dalam rumah tangga, suami mendukung terhadap karir istri, tetap kosentrasi, mengatur waktu dengan baik, serta bisa menempatkan diri.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam adalah agama yang sempurna.
Islam adalah agama pelengkap atau agama yang melengkapi aturan atau syariat
dari agama sebelumnya. Agama Islam banyak mengatur tentang aturan-aturan
(syariat) dalam kehidupan yang belum pernah ada atau belum pernah diatur oleh
agama sebelum Islam. Seperti dalam hal pernikahan, Islam mengaturnya bertujuan
agar kehidupan sosial masyarakat menjadi tenteram. Sebelum datangnya agama
Islam beserta syari’atnya yang dibawa Nabi Muhammad saw, di zaman jahiliyah
berlaku pernikahan yang unik yang sangat merendahkan martabat dan derajat
seorang perempuan. Misalnya seorang laki-laki mengirim istrinya untuk digauli
laki-laki lain agar mendapatkan keturunan yang xviii berkualitas, tukar-menukar
istri, dan lain sebagainya. 1 Namun setelah masa Rasulullah saw, atas firman
dari Allah swt, maka Islam mengatur pernikahan dengan cara- cara yang baik atau
”memanusiakan” perempuan dan hilang pula kebiasaan atau adat jahiliyah
tersebut. Perempuan pada zaman dahulu memang seperti barang dagangan,
diperlakukan seperti binatang, dikasari, dipukuli, karena dianggap sebagai kaum
yang lemah. Ketika rumah tanggapun demikian, tidak ada bedanya sekalipun sudah
menikah dan ada suami. Selalu didiamkan di rumah, tidak boleh keluar rumah,
apalagi bekerja.
Selain itu, perempuan juga sebagai tempat
untuk memperbanyak keturunan. Karena hanya berfungsi sebagai alat untuk
memperbanyak anak, ketika melahirkan anak dan anak tersebut cacat atau lemah,
tidak mampu dijadikan tentara yang kuat, maka anak tersebut akan dibunuh. Tidak
ada bedanya antara bangsa barat dengan jaman jahiliyah. Ketika agama Islam
datang, sedikit demi sedikit kebiasaan yang ada pada jaman dahulu atau pada
jaman jahiliyyah segera hilang. Kondosi masyarakatnya menjadi beradab kembali
setelah aturan-aturan agama Islam diterapkan. Perempuan dilindungi, dihormati
derajat dan martabatnya, hak dan kewajibannya dijamin oleh agama Islam sehingga
tidak ada lagi yang merampasnya. Demikian pula dalam hal kedudukannya di dalam
rumah tangga, diberikan porsi yang sama dengan suami sesuai tugas dan tanggung
jawabnya. Hal ini semua tidak pernah dilakukan oleh agama atau syari’at sebelum
Islam. Allah swt melihat kedudukan hamba-Nya hanya melalui ketaatan ibadah atau
ketaqwaan kepada-Nya.2 1 Fajar al-Qalami, Abu, Tuntunan Jalan Lurus Dan Benar (
Gita Media Press: 2004 ), 416. 2 Gymnastiar, Abdulloh, Meraih Bening Hati
Dengan Manajemen Qalbu, ( Jakarta: Gema Insani, 2002), 66. xix xix Sebagai
contoh persoalan yang amat membedakan antara jaman jahiliyyah dengan masa pasca
Islam adalah pembagian hak dan kewajiban. Sebalum syariat Islam ada, peran
seorang laki-laki atau suami sangat dominan atau terlalu superrior terhadap
perempuan atau istri, lebih-lebih soal urusan rumah tangga. Salah satu yang
merupakan hak dan kewajiban manusia, baik perempuan atau laki-laki adalah
perkawinan. Perkawinan merupakan sunatulloh yang umum dan berlaku bagi semua
makhluk, baik manusia, tumbuhan ataupun hewan.3 Allah swt telah menciptakan
semua yang ada di bumi berpasang-pasangan, manusia antara lakilaki dan
perempuan yang melakukan pernikahan dan menjadi suami istri secara sah. Dalam
Islam, penikahan diartikan sebagai suatu aqad atau perjanjian yang mengikat
antara laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan badan antara kedua
belah pihak dengan sukarela.4 Penikahan itu sendiri merupakan sarana untuk
menyambung generasi atau menjaga keturunan. Dalam al-Qur’an surat an- Nisa’
ayat 1 Allah swt berfirman ]t/ur ”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya
Allah swt menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Alloh swt
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah
kepada Allah swt yang dengan (mempergunakan) nama- Nya kamu saling meminta satu
sama lain, dan (jagalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah swt selalu
mengawasi kamu ”.
Pernikahan merupakan pintu gerbang
munculnya hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, antara suami dan
istri.5 Mereka telah terikat satu sama lain dan mempunyai hak dan kewajiban
yang tidak dapat dilepaskan. Setelah menikah, mereka akan mempunyai hak dan
kewajiban masing-masing. Suami wajib memenuhi kebutuhan keluarga, istri dan
anak-anaknya sesuai dengan kemampuannya. Kewajiban semacam ini dinamakan
kewajiban memberi nafkah. Para Fuqoha’ menegaskan bahwa pemenuhan nafkah
keluarga merupakan kewajiban suami. 6 Kewajiban tersebut merupakan kompensasi
dari kewajiban istri memberikan pelayana seks kepada suami. Dalam bahasa yang
lain, hak istri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya merupakan nilai tukar
dari hak suami untuk menikmati tubuh istrinya (an-nafaqoh fi muqobalat
al-istimta’). 7 Termasuk kewajiban suami terhadap istri dan anak-anaknya
diantaranya adalah menyediakan sandang, pangan, dan papan. Adapun dalil
normatif yang digunakan para fuqaha’ tentang kewajiban suami dalam memberikan
nafkah diantaranya: 1) al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233 Artinya:”Para ibu
hendaklah menyusukan anak- anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah
kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.” 2) Surat al- Thalaq ayat 6-7 `.
Artinya :”Tempatkanlah mereka (para
isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-
anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di
antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” Memberikan nafkah oleh
seorang suami kepada seorang istri telah menjadi suatu kelaziman dan merupakan
kenyataan umum atau menjadi adat dalam masyarakat sejak dahulu hingga kini.
Nafkah tersebut merupakan yang bersifat meteri. Sedangkan nafkah yang bersifat
non-materi atau nafkah batin diantaranya kasih sayang, kebutuhan biologis, dan
lain sebagainya. xxii Disamping itu semua yang merupakan kewajiban suami atau
yang menjadi hak istri, istri juga mempunyai kewajiban atau sesuatu yang
menjadi hak suami. Diantaranya istri mempunyai kewajiban taat atau patuh
terhadap suami, menjaga harta suami, mengurus rumah tangga serta mendidik anak
dan mengasuhnya. Dari penjelasan singkat yang telah dipaparkan tersebut, dapat
difahami bahwa suami bertugas mencari dan memenuhi nafkah sedangkan istri
bertugas untuk mengaturnya. Sebagai penata ekonomi keluarga istri harus
mempunyai kecakapan, ketrampilan, kreatifitas agar penerimaan dan penggunaan
nafkah dapat mengarah pada peningkatan ekonomi keluarga. Sebuah tugas yang
tidak kalah pentingnya bagi seorang suami adalah menjadi pemimpin dalam
keluarga. Agama Islam mengakui betapa pentingnya keberadaan seorang pemimpin
dalam sebuah kelompok, seperti kepemimpinan dalam keluarga. Suami adalah
nahkoda rumah tangga bagi istri dan anak-anaknya. Dalam sebuah hadits,
Rasulullah saw bersabda yang artinya : ”sekiranya ada tiga orang atau lebih
dalam sebuah perjalanan, hendaklah salah seorang diantaranya bertindak sebagai
kepala rombongan (pemimpin)”. Bila dihubungkan dengan hadits yang lain, Nabi
mengisyaratkan bahwa rekomendasi menjadi pemimpin selayaknya jatuh kepada
mereka yang mampu mengantar kelompoknya pada tujuan yang ingin dicapai.8
Rekomendasi menjadi pemimpin dalam rumah tangga atau keluarga jatuh kepada
suami. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 34: `B
#q)xÿRr& $yJ/u r Ùèt/ ’n?tã OgÒèt/ !# @Òsù $yJ/ ä$|¡Y9# ’n?tã cqBºqs% A%y`
9# !# xáÿym $y J/ =‹tó=9 M»sàÿ»ym M»tGZ»s% M»ys=»Á9$sù 4 Ng9ºuqBr& 8
Mulyati, Sri, Op. Cit., 41. xxiii Artinya: ”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh karena Alloh swt telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalehah
ialah yang taat kepada Allah swt lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada
oleh karena Allah swt telah memelihara (mereka)”. Dari sini dapat diambil
sebuah pengertian bahwa agama Islam telah mensyari’atkan tugas atau kewajiban
utama seorang suami adalah mencari nafkah di luar rumah. Selain itu, ia juga
menjadi seorang pemimpin bagi keluaarga atau rumah tangganya. Sedangkan tugas
atau kewajiban bagi seorang istri kebanyakan bersifat domestik atau di dalam
rumah diantaranya mengatur dan mengurus rumah serta merawat dan mendidik anak.
Dalam penjelasan diatas telah disebutkan bahwa kewajiban memberikan nafkah bagi
keluarga adalah tugas utama seorang suami. Kewajiban suami memberikan nafkah
berupa sandang dan pangan kepada istri adalah logis karena berkaitan dengan
pemenuhan hak hidup istri sebagai anggota dalam suatu rumah tangga. Keberadaan
istri dalam relasinya dengan suami mengantarnya dalam relasi ibu dengan anaknya
sehingga istri memiliki status tugas ganda yaitu sebagai istri dan ibu. Namun
demikian apabila tugas dalam sebuah rumah tangga dibebankan kepada suami,
tentulah sangat memberatkan. Suami juga manusia yang mempunyai kekurangan dan
kelebihan. Oleh karena itu, tugas-tugas dalam rumah tangga hendaknya ditanggung
bersama antara suami dan istri. xxiv Allah swt menciptakan laki-laki dan wanita
masing-masing lengkap dengan software dan hardware.9 Laki-laki dengan ototnya
yang mempunyai kekuatan lebih dari perempuan. Sedangkan wanita diciptakan
dengan perasaannya yang lemah lembut, kegemarannya bersolek, dan lain
sebagainya. Semakin hari berjalan dan bertambah, ikut pula mempengaruhi perubahan
strata sosial, kemajuan peradaban dan IPTEK, serta permasalahan atau realita
sosial semakin kompleks ikut membawa dampak dalam kehidupan rumah tangga.
Dimana kebutuhan ekonomi keluarga semakin bertambah atau semakin banyak. Ketika
kebutuhan rumah tangga semakin kompleks, maka sebuah keluarga tidak akan cukup
jika hanya mengandalkan nafkah kepada suami yang memiliki penghasilan kurang
dari cukup. Akhirnya semakin banyak pula para wanita atau istri ikut bekerja
membantu suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Banyak pula dalam sebuah
keluarga yang akhirnya dalam hal ekonomi atau nafkah keluarga banyak yang
ditopang oleh istri dari pada pihak suami. Fenomena seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya, dimana istri ikut menanggung beban ekonomi keluarga
semakin nyata. Sehingga pada akhirnya perempuan atau istri harus menerima
konsekuensi logis, tugas atau kerja ganda sebagai istri. Disamping harus
mengurusi suami dan anak-anaknya, mereka juga harus ikut bekerja. Sudah barang
tentu jika hal ini dilakukan oleh seorang istri, maka akan berdampak pada
kekuatan atau tenaganya yang semakin terkuras, membuat ia lemas karena
perempuan diciptakan tidak sama dengan laki-laki atau suami. 9 Gymnastiar,
Abdulloh, Loc. Cit., 65. xxv Sebuah fakta atau realita sosial dimana perempuan
atau para istri ikut bekerja membantu ekonomi keluarga seperti halnya seorang
laki-laki atau suami dalam Agama Islam diperbolehkan. Ketidakmampuan seorang
suami memenuhi kewajiban nafkah lazimnya memaksa istri ikut serta melakukan
tugas-tugas produktif secara ekonomis. Ketentuan diperbolehkannya istri ikut
membantu suami dalam mencari nafkah sekiranya dalam kondisi darurat. Syarat
tersebut juga disebutkan oleh para fuqoha’. 10 Agama Islam memang tidak
melarang perempuan atau para istri untuk bekerja. Hanya saja persoalan tersebut
juga tidak dianjurkan. Agama Islam membenarkan perempuan atau istri bekerja
diluar rumah dengan catatan dalam keadaan darurat. Darurat diartikan sebagai
suatu pekerjaan atau keadaan yang sangat perlu, mendesak, atas dasar kebutuhan
pribadi karena tidak ada yang membiayai atau yang menanggung biaya hidup (suami
atau ayah) tidak mampu untuk mencukupi.11 Ketika perempuan atau wanita ikut
bekerja, juga ada syarat yang lain diantaranya adanya mahram yang menemani,
tidak berbaur atau bercampur dengan laki-laki. Keterlibatan seorang istri dalam
mencari nafkah atau bekerja untuk membantu suami dalam mencukupi kehidupan
runah tangga, akan membawa dampak positif. Dengan istri ikut bekerja, maka
beban suami akan lebih ringan. Namun disisi lain, ada akibat negatif yang
sangat fatal apabila tidak dipikirkan dengan matang. Kesibukan istri bekerja
atau berkarir akan membawa konsekuensi waktunya di rumah akan semakin
berkurang. Dengan begitu, akan berdampak pula dengan persoalan yang lain. Kasih
sayang terhadap anak yang berkurang, anak menjadi liar 10 Mulyati, Sri, Loc.
Cit., 48. 11 Ibid., 50. xxvi atau bandel, nakal karena kurang perhatian dari
orang tua, pendidikan anak terlantarkan. Yang lebih parah lagi bila istri sibuk
dengan karirnya, maka dikhawatirkan terjerumusnya anak-anak kepada hal yang
negatif karena kurangnya perhatian dari oarang tua seperti tindak kriminal atau
narkoba.12 Hal lain yang ditakutkan adalah perceraian antara suami dan istri.
Jika hal ini benar-benar terjadi, maka tentunya dampak negatif yang ditimbulkan
bagi anak akan semakin mengkhawatirkan atau lebih parah lagi. Dampak tersebut
wajar terjadi bilamana sering terjadi cekcok atau pertengkaran antara suami dan
istri yang tidak mau mengalah. Padahal tujuan utama dalam sebuah pernikahan
adalah membentuk keluarga yang langgeng, dipenuhi dengan kasih sayang,
ketenangan, suasana nyaman, dan tidak sampai terjadi perceraian. Permasalahan
perempuan yang bekerja atau berkarir di ranah sosial dan ekonomi akan semakin pelik
bilamana harus dihadapkan pada permasalahan aurat dan didampingi oleh mahram.
Persoalan pembentukan keluarga sakinah, juga termasuk permasalahan yang tidak
dapat dihindarkan oleh perempuan atau para istri yang ingin berkarir. Apapun
motifasi atau alasannya, ketika wanita atau istri ikut bekerja akan membawa
dampak negatif bagi rumah tangga seperti urusan anak yang terlantarkan,
terjerumus pada hal-hal negatif, dan memungkinkan terjadinya perceraian. Jika
semua itu sampai terjadi, maka akan sulit mewujudkan keluarga yang sakinah.
Melihat fenomena yang telah dijelaskan sebelumnya, muncul pertanyaan bagaimana
pandangan dosen Fakultas Humaniora dan Budaya Universitas Islam 12 Fanani,
Bahrudin, Wanita Islam Dan Gaya Hidup Modern ( Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993),
199. xxvii Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang tentang keluarga sakinah serta
bagaimana upaya yang dilakukan untuk mewujudkan sakinah dalam keluarga karir.
Melihat realitas sosial yang terjadi sebagaimana telah disebutkan, penulis
merasa tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan judul ”UPAYA
MEWUJUDKAN KELUARGA SAKINAH DALAM KELUARGA KARIR ( Studi pada Dosen Wanita
Fakultas Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang )”.
B.
Batasan
Masalah
Menurut hemat penulis, obyek penelitian atau
permasalahan yang dibahas disini perlu dibatasi dan ditegaskan agar dalam
penelitiannya bisa lebih fokus dan terarah sehingga nantinya hasil yang
diharapkan dari penelitian berkualitas dan jelas. Pada penelitian ini, penulis
memfokuskan pada dua hal pokok permasalahan yang akan diteliti. Pertama
berkaitan dengan pandangan beberapa dosen Fakultas Humaniora dan Budaya
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang tentang keluarga sakinah.
Kedua berhubungan dengan upaya yang dilakukan oleh dosen Fakultas Humaniora dan
Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang untuk mewujudkan
keluarga sakinah dalam keluarga karir
C.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latarbelakang masalah yang telah
diungkapkan oleh penulis, maka perlu dibuat rumusan masalah yang berhubungan
dengan penelitian ini. Hal ini dimaksudkan untuk menjawab semua permasalahan
yang ada. Adapun rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut : xxviii 1. Bagaimana pandangan dosen wanita yang ada di Fakultas
Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
tentang keluarga sakinah ? 2. Bagaimana upaya dosen wanita di Fakultas
Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
untuk mewujudkan keluarga sakinah dalam keluarga karir ?
D.
Tujuan
Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan yang
diungkapkan oleh penulis didalam latar belakang, maka tujuan dalam penelitian
ini adalah: 1. Untuk mengetahui pandangan dosen wanita yang ada di Fakultas
Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
tentang Keluarga Sakinah. 2. Untuk mendeskripsikan upaya beberapa dosen wanita
yang ada di Fakultas Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang mewujudkan keluarga sakinah dalam keluarga karir. E.
Kegunaan Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut : 1. Teoritis a. Dapat menambah wawasan atau pengetahuan
tentang cara- cara bagaimana mewujudkan keluarga yang sakinah sekalipun
keluarga itu, suami-istri sama-sama berkarir atau bekerja. b. Dengan hasil yang
diperoleh dalam penelitian ini diharapkan oleh penulis dapat memberikan
kontribusi pengetahuan atau teori bagi Fakultas Syari’ah Jurusan al-Ahwal
al-Syakhsiyyah. xxix xxix c. Sebagai bahan pustaka atau referensi bagi
penelitian selanjutnya. 2. Praktis a. Dapat dijadikan bahan acuan atau rujukan
bagi siapa saja yang ingin menciptakan keluarga yang sakinah sekalipun antara
suami dan istri sama-sama mempunyai kesibukan bekerja. b. Sebagai sumber
pengetahuan untuk memecahkan permasalahan dalam sebuah rumah tangga ketika
terjadi pertentangan atau pertengkaran yang disebabkan oleh keduanya,
suami-istri yang mempunyai kesibukan bekerja
No comments:
Post a Comment