Abstract
INDONESIA:
Penolakan dari pihak KUA tentang janda hamilyang akan melakukan pernikahan dengan alasan bahwa masih dalam masa iddah hamil.Akibatnya ialah, calon pengantin mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama untuk mencabut surat penolakan KUA dan memberikan perintah kepada KUA untuk menikahkannya. Setelah dilakukan pemeriksaan majelis hakim menetapkan dengan mengabulkan permohonan calon pengantin yang ditolak pernikahannya tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kenapa pihak KUA menolak menikahkan janda hamil padahal hamilnya bukan dengan suaminya, selain itu untuk meneliti dan meninjau dari kemaslahatan penetapan Pengadilan Agama yang mencabut surat penolakan pernikahan yang kelurakan olehpihak KUA, apakah sudah sesuai baik secara hukum Islam maupun hukum Positif dan sesuai dari segi kemaslahatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan data yang dikumpulkan berupa datar primer dan data skunder yang dilakukan dengan teknik wawancara dan dokumentasi yang kemudian data tersebut diedit, diperiksa, dan disusun secara cermat serta diatur sedemikian rupa yang kemudian dianalisis.
Dalam penelitian ini diperoleh dua kesimpulan. Pertama, Pihak KUA tidak berniat untuk menikahkan karena ingin lebih-hati dan tidak ingin mengambil resiko dengan menikahkan wanita sudah hamil yang ketika masih dalam proses perceraian di Pengadilan supaya tidak melanggar hukum Islam maupun hukum Positif yang berlaku di Republik Indonesia.Kedua, penetapan Pengadilan Agama Tulungagung yang mencabut penolakan pernikahan dari Kantor Urusan Agama (KUA) memang sudah sesuai dengan landasan- landasan hukum yang ada, baik berupa hukum Positif maupun hukum Islam. Di dalamnya juga terdapat suatu kemaslahatan yaitu untuk menyelamatkan hak-hak keperdataan janin yang dikandung supaya nanti memperoleh akta kelahiran, akta keluarga dan kartu tanda penduduk karena dengan demikian akan mendapat perlindungan hukum dari pemerintah Republik Indonesia.
INGGRIS:
The Religious Affairs Officerefusesthe marriage application of pregnant widow due to the reason that she is in her ‘iddah. Itleads the prospective spouse to submit anapplication to Religious Court to revoke the refusal of religious affairs office and to order the office to marry the couple. Finally, after a set of examination,apanel of judge makes a decision and grant the application.
The purpose of this research is to find outthe reason ofReligious Affairs Office in refusing to marry the pregnant widow whose pregnancy is not with her husband. In addition, it tries to study and reviewthe decision of Religious Courts that revoke the refusal of Religious Affairs Office, whether it is in accordance with Islamic law, positive law and its benefit. The research employs a qualitative approach. The data consists of primary and secondary data collected using interview and documentation. The data are edited, checked and arranged then analyzed.
The research has two conclusions. First, The Religious Affairs Office refuses themarriageapplication because it tries to be careful and avoid the risk of marrying pregnant woman who is in the divorce process. The step is taken to obey the Islamic law and positive law in Indonesia. Second, the decision of The Religious Court of Tulungagung which revokes the refusal of the Religious Affairs Officeis in accordance with existing laws, such as Islamic law and positive law. It alsoconsiders the benefit (mashlahah) to save the right of the unborn baby to get the birth certificate, family identity card, and identification card in order to have a legal protection from Indonesia government.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Suatu
perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal.1 Putus ikatan bisa
berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan
wanita sudah bercerai, dan salah seorang diantara keduanya pergi ke tempat yang
jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan
sudah meninggal. Berdasarkan semua itu, dapat berarti ikatan perkawinan suami
istri sudah putus dan/atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang
wanita yang diikat oleh tali perkawinan.2 1Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat, (Jakarta: PT.Rajawali Pers, 2010), h. 229. 2Zainuddin, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 73 2 Secara sederhana
putus artinya tidak tersambung lagi atau tidak ada hubungan lagi dari yang
sebelumnya tersambung atau terhubung. Dalam konteks perkawinan maka putusnya
perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam Undang-Undang perkawinan
untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara
seorang lakilaki dengan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri.
Untuk maksud perceraian itu fiqih menggunakan istilah furqah. 3 Tidak dapat
dipungkiri bahwa untuk mempertahankan suatu mahligai perkawinan yang sesuai
dengan tujuan perkawinan dan ketentuan pergaulan suami istri seperti yang
diharapkan oleh agama Islam itu tidaklah mudah. Sebab di dalam berumah tangga
akan banyak terjadi cobaan dan rintangan laksana perahu yang dihadang oleh
berbagai gelombang. Begitu pula didalam ajaran syari’at Islam bahwa seseorang
yang hidup tidak terlepas dari cobaan Allah SWT. Salah satu bentuk cobaan
terberat dalam sebuah perkawinan adalah dengan adanya kematian orang yang
tersayang, sebab kematian adalah pintu yang harus dilewati oleh seseorang yang
hidup dan bernyawa. Putusnya perkawinan karena kematian terjadi karena salah
satu pihak dalam perkawinan meninggal dunia apakah itu suami atau istri.
Putusnya perkawinan karena kematian merupakan kejadian yang berada di luar
kehendak atau kuasa dari para pihak dalam perkawinan. Tidak terdapat campur
tangan dari pasangan yang hidup lebih lama ataupun campur tangan 3Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
UndangUndang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 189 3 dari pengadilan.
Putusnya perkawinan karena kematian sepenuhnya merupakan kehendak atau kuasa
dari Tuhan. Putusnya perkawinan karena kematian lazim disebut dalam masyarakat
kita dengan istilah cerai mati.4 Hal ini merupakan tazkiyah bagi seluruh
manusia bahwa tidak ada seorangpun yang terus hidup di muka bumi ini. Ketika
kematian menjemput salah seorang keluarga yang dicintai seperti istri atau
suami, tentunya hal ini membuat suami atau istri sangat terpukul, selain faktor
psikologis dan mental, seorang suami sangat membutuhkan peran istri sebagai
pendamping hidupnya, dan seorang istri juga membutuhkan peran suami sebagai
pendamping hidup dan juga sebagai kepala rumah tangga. Meninggalnya seorang
istri, suami maupun orang-orang terdekat yang dikasihi jelas menggoreskan luka
dan duka di dalam hati. Dalam hukum Islam, seorang istri diwajibkan ber-iddah
ketika ditinggal mati oleh suaminya. Bagi istri yang tidak dalam keadaan hamil
baik sudah pernah berkumpul dengan suaminya atau belum, maka ia diwajibkan
ber-iddah selama empat bulan sepuluh hari. Bagi istri yang ditinggal mati
suaminya dalam keadaan hamil, maka iddah-nya sampai ia melahirkan, meskipun
waktu antara ditinggal mati dan melahirkan kurang dari empat bulan sepuluh
hari.5 Di samping perempuan yang ber-iddah, seorang perempuan yang ditinggal
mati suaminya juga harus melaksanakan ihdad. Ihdad merupakan suatu kondisi
seorang istri harus menahan diri atau 4Asevi Sobari, “Putusnya Perkawinan”,
http://Asevysobari.Blogspot.Com/2014/11/PutusnyaPerkawinan.Html?M=1, Diakses
Tanggal 25 Januari 2015. 5 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: Al Ma’arif,
1987), h. 139-140. 4 berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa
itu, istri hendaknya menyatakan dukanya dengan meninggalkan harum-haruman,
perhiasan, celak mata, dan minyak, baik minyak yang mengharumkan maupun tidak.6
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 170 merumuskan (1) Istri yang ditinggalkan
mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai
tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah. (2) Suami yang
ditinggal mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan. Dalam
perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI), secara substansial, dilakukan dengan
mengacu kepada sumber Hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Dan secara
hirarkial mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping
itu, perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI) memperhatikan perkembangan yang
berlaku secara global serta memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis
(terutama hukum Eropa Kontinental) dan tatanan hukum Adat, yang memiliki titik
temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal,
maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan demikian, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia atau dengan kata
lain, Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan wujud hukum Islam yang bercorak
keindonesiaan.7 6 Tihami dan Sohari, Fikih, h. 343. 7Muhammad Daud Ali, Roihan
A Rasyid, Yahya Harahap, Taufiq, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: PT.Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 9. 5 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) sesungguhnya telah mengatur perlunya masa berkabung (ihdad) bukan hanya
bagi istri, melainkan juga suami. Gagasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sangat
progres, ini jauh melampaui ketentuan kitab fiqih. Hanya saja, ketentuan itu
belum dilaksanakan secara konkret di masyarakat. Sebab, masyarakat masih
mengacu kepada ketentuan fiqh yang hanya menyebutkan ihdad bagi istri, bukan
suami. Sedangkan dalam hukum Islam kewajiban ber-ihdad hanya di peruntukkan
kepada seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, tidak ditemukan
keterangan bahwa seorang suami juga harus melakukan ihdad ketika ditinggal mati
oleh istrinya.8 Dari pemahaman ihdad di atas, maka dalam konteks wilayah
Indonesia, ihdad tidak hanya diatur untuk seorang istri yang ditinggal mati
oleh suaminya melainkan juga kepada seorang suami yang ditinggal mati oleh
istrinya, sebagaimana yang telah tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 170 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Suami yang ditinggal mati oleh
istrinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan”. Oleh karena itu, perlu
menelaah dan memperhatikan antara ketetapan yang ada dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dan juga kitabkitab fiqh, khususnya fiqih munakahah. Dalam kitab
fiqh telah diatur secara jelas dan gamblang bagaimana dan apa saja yang
dilarang dan yang harus dilakukan oleh seorang istri yang sedang ber-ihdad,
namun dalam kitab fiqh tidak diatur bagaimana dan apa 8 Sulistyowati Irianto,
Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006). h. 171 6 yang harus dilakukan oleh
seorang suami yang ditinggal mati oleh istrinya, karena ihdad bagi suami hanya
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terkait dengan informasi yang
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa seorang suami yang ditinggal
mati oleh istrinya juga melakukan ihdad secukupnya, maka peneliti tertarik
untuk menelaah bagaimana pandangan tokoh masyarakat dan pelaksanaan ihdad bagi
suami yang ditinggal mati oleh istrinya. Dalam hal ini peneliti mengambil Desa
Banjarejo Kec. Pagelaran Kab. Malang sebagai lokasi yang akan menjadi objek
penelitian. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang tersebut
di atas, maka penulis membuat rumusan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana pelaksanaan ihdad bagi suami yang ditinggal mati istrinya di
masyarakat Desa Banjarejo Kecamatan Pagelaran Kabupaten Malang? 2. Bagaimana
pandangan tokoh masyarakat dan para suami yang ditinggal mati istrinya terkait
ihdad dalam konsep menurut kepatutan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 170 (2)? 7 C. Tujuan Penelitian 1. Untuk menemukan konsep kepatutan
dalam budaya masyarakat yang sudah melaksanakan ihdad, yang ada di Desa
Banjarejo Kecamatan Pagelaran Kabupaten Malang. 2. Untuk mengetahui pandangan
tokoh masyarakat dan para suami yang ditinggal mati istrinya terkait nilai dan
konsep kepatutan dalam pelaksanaan ihdad yang terdapat dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 170 (2). D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Pembahasan
skripsi ini diharapkan menjadi tambahan informasi sebagai sumbangan pemikiran
untuk memperkaya khazanah keilmuan dengan memberikan hal-hal yang bersifat
konseptual tentang masalah kepatutan ihdad yang terdapat dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI). 2. Manfaat secara praktis a. Bagi Peneliti: Menambah wawasan dan
khazanah keilmuan terkait permasalahan perkawinan, khususnya dalam hal ihdad
yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). b. Bagi masyarakat: 8
Memberikan masukan terhadap penjelasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 170
ayat (2) tentang kepatutan dalam perspektif tokoh masyarakat dan budaya lokal.
E. Definisi Operasional 1. Ihdad adalah halangan atau larangan memakai
wewangian, perhiasan dan pakaian bermotif selama berkabung. Dalam fiqih berarti
keadaan wanita yang tidak menghias dirinya sebagai tanda perasaan berkabung
atas kematian suami atau keluarganya.9 2. Sosial adalah sebuah konsep ambisius
untuk mendefinisikan seperangkat disiplin akademik yang memberikan perhatian
pada aspek-aspek kemasyarakatan manusia.10 3. Budaya adalah daya dari budi yang
berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta,
karsa dan rasa itu.11 F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan merupakan
rangkaian urutan dari beberapa uraian suatu sistem pembahasan dalam suatu
karangan ilmiah. Dalam kaitannya dengan skripsi ini. 9 “Ihdad,” Dalam Abdul
Azis Dahlan (Ed.) Et. Al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2001), h. 645. 10“Sosial,” Dalam Haris Munandar (Ed.) Et. Al.,
Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Pt. Rajagrafindo Persada, 2000), h.
999. 11Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Cet VIII, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1990), h. 181. 9 BAB I merupakan gambaran awal dalam penelitian
ini berisikan beberapa hal antaranya yaitu latar belakang masalah yang akan
memaparkan alasan mengapa judul tentang pelaksanaan ihdad bagi suami yang
ditinggal mati oleh istrinya perlu untuk dibahas. Dari latar belakang tersebut
maka akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang akan dijelaskan dalam rumusan
masalah yang menjadi inti dalam penelitian ini. Setelah mengetahui inti dari
penelitian ini maka perlu diketahui tentang tujuan penelitian untuk mengetahui
poin-poin penting yang ingin diraih. Setelah itu perlu diketahui pula apa
manfaat dari penelitian baik secara teoritis untuk dijadikan referensi
penelitian tentang ihdad, maupun manfaat penelitian secara praktis untuk
peneliti sendiri dan lembaga. Sub bab terakhir dalam BAB I ini yaitu
sistematika pembahasan yang menginformasikan tentang arah penelitian yang akan
dilakukan. BAB II, dalam bab ini akan menjelaskan tentang penelitian terdahulu
yang akan memaparkan beberapa penelitian yang berhubungan dengan tema penelitian
dalam skripsi ini, namun dengan fokus yang berbeda yang akan dijadikan bahan
perbandingan dan juga referensi oleh peneliti. Sub bab selanjutnya dalam bab
ini adalah kajian teori, yang mana dibutuhkan sebagai alat analisia dalam
penelitian ini, diantaranya pembahasan tentang definisi ihdad, dasar hukum
ihdad, tujuan ihdad dan pandangan ulama’ tentang ihdad. Pembahasan ini
diletakkan di BAB II karena pembahasan tentang ihdad suami yang ditinggal mati
oleh istrinya sebagaimana yang ada dalam 10 KHI Pasal 170 ayat (2) maka perlu
diketahui terlebih dulu apa yang dinamakan ihdad dan beberapa penjelasan
terkait ihdad. BAB III, dalam bab ini akan menjelaskan tentang metode
penelitian yang merupakan langkah-langkah yang akan digunakan untuk mempermudah
jalan penelitian. Dalam hal ini, akan dipaparkan tentang jenis penelitian,
pendekatan penelitian, lokasi penelitian, bahan hukum, metode pengumpulan data
dan metode pengolahan data. BAB IV, setelah mengetahui beberapa penjelasan
terkait ihdad maka dalam bab IV akan dipaparkan data-data yang diperoleh dengan
menggunakan alat analisa atau kajian teori yang telah ditulis dalam bab II.
Selain itu penjelasan atau uraian yang ditulis dalam bab ini, juga sebagai
usaha untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah. Dalam bab ini, akan
diuraikan tentang paparan data yang terdiri dari pelaksanaan ihdad bagi suami
yang ditinggal mati oleh istrinya di masyarakat Desa Banjarejo Kec.Pagelaran
Kab.Malang dan bagaimana pandangan tokoh masyarakat terkait nilai dan konsep
kepatutan dalam pelaksanaannya. Bab ini adalah jawaban atas rumusan masalah
yang terdapat pada bab I. BAB V, sebagai penutup yang merupakan rangkaian akhir
dari penelitian. Pada bab ini, terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan
dimaksudkan sebagai hasil akhir dari penelitian. Hal ini sebagai penegasan
terhadap hasil yang diperoleh dari penelitian. Sedangkan saran merupakan
harapan penulis terhadap penelitian yang telah dilakukan agar dapat memberikan
kontribusi secara maksimal.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Penetapan Pengadilan Agama Tulungagung Nomor 0113/Pdt.P/PA.TA tentang pencabutan penolakan Kantor Urusan Agama atas kehendak pernikahan janda hamil ditinjau dari segi masalah: Studi di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kauman Tulungagung dan Pengadilan Agama Tulungagung" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment