Abstract
INDONESIA:
Pernikahan adalah suatu tahapan dalam suatu kehidupan, dimana setiap orang pasti ingin melewati tahapan tersebut. Selain itu dalam agama juga terdapat perintah dan anjuran untuk melaksanakan pernikahan, sebagai salah satu pelaksanaan ibadah yakni sunnah Rasul. Namun perintah tersebut ditujukan kepada seorang hamba yang dipandang telah siap dan mampu secara lahir dan batin untuk melaksanakannya. Ini dilakukan demi kebaikan dan untuk lebih menjaga kehormatan kedua belah pihak dari perbuatan zina.
Namun dalam tradisi Kawin Boyong sendiri yaitu ketika seseorang akan melakukan perkawinan, dalam hal ini sebelum calon mempelai akan melakukan ritual Ijab Qabul, terlebih dahulu calon suami tinggal dalam satu rumah dengan calon istri (calon suami boyongan kerumah keluarga calon istri). Tinggal bersama dalam satu rumah ini tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak, yakni ada yang hanya satu minggu, satu bulan atau bahkan sampai tiga bulan Menariknya dari tradisi ini adalah ketika kedua calon mempelai ini sudah tinggal dalam satu rumah, kemungkinan terjadi hubungan badan diluar nikah sangat besar, meskipun tidak semua pasangan melakukannya sebelum ada ikatan yang sah menurut islam. Istilah dalam kasus hubungan diluar nikah ini adalah “Ambruk” yaitu dimana calon istri sudah disetubuhi terlebih dulu sebelum ada ikatan resmi menurut Islam.
Untuk itu penulis merumuskan masalahnya yaitu bagaimana pemahaman masyarakat Gesikan sendiri terhadap tardisi Kawin Boyong serta bagaimana tradisi Kawin boyong bila ditinjau dari Fiqih Syafi’iyah. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan alasan terjadinya pernikahan dan pandangan masyarakat Gesikan tentang tradisi Kawin Boyong dalam perkawinan adat, serta bila tradisi ini ditinjau dari Fiqih Syafi’iyah. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis dengan jenis penelitian deskriptip kualitatif. Dalam pengumpulan data yang diperoleh tersebut akan dianalisis oleh penulis secara induktif (metode analisis yang tertumpu dari kaidah khusus ke umum).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa memang adanya persyaratan- persyaratan bagi pelaksanaan pernikahan ini sebenarnya tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Karena persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam masyarakat Desa Karang Duren itu tidak sampai menjadikan batalnya pernikahan, dan tidak mengurangi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam syari’at Islam. Adanya persyaratan itu lebih untuk ungkapan rasa hormat dari seorang adik (yang nglangkahi) kepada saudara perempuannya yang dilangkahi. Namun adanya persyaratan ini tetap harus dilaksanakan sebagai hukuman bagi adik yang nglangkahi. Dan timbulnya dampak sosio-psikologis yang dialami oleh saudara perempuan yang dilangkahi.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Ikatan perkawinan adalah suatu ikatan erat yang menyatukan
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Dalam ikatan perkawinan,
suami dan istri diikat dengan komitmen untuk saling memenuhi berbagai hak dan
kewajiban yang telah ditetapkan.1 Pernikahan adalah awal terbentuknya sebuah
keluarga baru yang didambakan akan membawa pasangan suami istri untuk
mengarungi kebahagiaan, cinta dan kasih sayang. Sebuah keluarga merupakan
komunitas masyarakat terkecil dan sebuah keluarga diharapkan akan menjadi
sumber mata air kebahagiaan, cinta dan kasih sayang seluruh anggota keluarga.
Salah satu tujuan utama dari pernikahan adalah untuk 1 Syamsuddin Arif, dkk,
Wanita Dan Keluarga Citra Sebuah Peradaban (Jakarta: Lembaga Kajian dan
Pengembangan Al-Insan, 2006), 17. 1 2 menciptakan sakinah (ketentraman hidup),
mawaddah (rasa cinta), rahmah (kasih sayang), memiliki keturunan,
tolong-menolong dan mempererat silaturahim. Ketentraman hidup dapat diperoleh
seseorang, manakala orang itu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik itu
kebutuhan lahiriah maupun kebutuhan batiniah. Kebutuhan hidup yang diperoleh
melalui pernikahan ada beberapa macam: kebutuhan biologis (syahwat), kebutuhan
materi (kebendaan), kebutuhan psikologis (kejiwaan), kebutuhan keturunan,
kebutuhan ibadah dan pahala, kebutuhan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Dalam membentuk sebuah keluarga tentu tidak terlepas dari yang
namanya tanggung jawab, baik itu tanggung jawab suami terhadap istrinya maupun
sebaliknya. Yang pertama adalah tanggung jawab suami terhadap istri, baik
tanggung jawab secara moril maupun material. Seorang suami berkewajiban pula
menggauli istrinya dengan baik dan layak. Jadi, seorang suami wajib menggauli
istrinya dengan baik, penuh kasih sayang, memberi nafkah lahiriah dan batiniah
secara baik dan layak, serta selalu lemah lembut dalam berbicara. Kaum lelaki
tidak berhak melakukan sesuatu apapun kepada istri, kecuali hal-hal yang baik.
Mereka baru diperbolehkan berbuat sesuatu apabila sang istri melakukan
perbuatan maksiat. Misalnya, kembali kerumah orang tua tanpa sepengetahuan
suami atau melakukan pembangkangan terhadap suami secara terangterangan. Kedua
kewajiban istri. Seorang istri mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap
suami ditengah kehidupan berumah tangga. Didalam Al-Qur’an Allah telah 2Umay
menegaskan: “Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain
(wanita). Dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang shalihah adalah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri dibalik “pembelakangan” suaminya (ketika suaminya tidak ada),
oleh karena Allah telah memelihara mereka. ”Wanita-wanita yang dikhawatiri
nusyuznya, maka nasehatilah mereka, pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi
Maha Besar.” (QS. An-Nisa’: 34).3 Setelah suami-istri memahami hak dan
kewajibannya, kedua belah pihak masih harus melakukan berbagai upaya yang dapat
mendorong kearah terciptanya cita-cita mewujudkan keluarga sakinah. yaitu: 1.
Mewujudkan harmonisasi hubungan antara suami-istri. 2. Membina hubungan antara
anggota keluarga dan lingkungan. 3. Melaksanakan pembinaan kesejahteraan
keluarga. 4. Membina kehidupan beragama dalam keluarga.4 Pada dasarnya
masyarakat adalah sekumpulan manusia yang dimana satu sama lain saling
membutuhkan, karena manusia memiliki sifat social yang tidak pernah lepas dari
peran orang lain di dalam kehidupan sehari-harinya.
Pola-pola perilaku ini merupakan salah satu cara masyarakat
bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh anggota masyarakat
yang kemudian diakui dan mungkin juga diikuti oleh orang lain. Kebisaan dan
budaya memang tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan
Haji, 2003, 25. 4 didalam hubungannya dengan orang lain, masyarakat berhubungan
erat dengan namanya budaya dan adat istiadat, hubungan ini tidak mungkin dapat
dipisahkan karena didalam masyarakat tumbuh dan berkembang yang namanya budaya.
Tiap masyarakat tentu ada budayanya dan tiap budaya tentu ada masyarakatnya,
karena keduanya satu kesatuan, dua diantara yang satu dari tunggal membentuk
sosial budaya masyarakat.5 Budaya atau kebudayaan merupakan tata melakukan dan
hasil kelakuan masyarakat, sedangkan masyarakat merupakan tempat manusia
melakukan tindakan atau perbuatan-perbuatan. Oleh karena itu, perbuatan atau
prilaku masyarakat tersebut tidak lepas dari sebuah aturan atau norma yang
berlaku di dalam masyarakat itu sendiri. Dalam setiap masyarakat disamping
terdapat pola-pola budaya yang nyata-nyata merupakan kebiasaan, juga terdapat
pola-pola budaya ideal, yaitu hal-hal yang menurut warga masyarakat harus
dilakukan, atau norma-norma. Dalam kenyataannya norma dalam banyak hal tidak
sesuai dengan prilaku aktual6 Setiap daerah memilki keunikan kreasi dan budaya
yang mengkristal menjadi sebuah tradisi, salah satu tradisi khusus yang masih
sering dipraktekan di Indonesia adalah perkawinan adat.
Hal ini pun yang terjadi dikalangan masyarakat Gesikan Kec.Grabagan
Kab.Tuban yang masih kental memegang tradisi dalam hal proses pernikahan.
Secara kultur masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Tuban khususnya masih
memegang adat tradisi nenek moyang mereka yang mereka anggap sebagai
peninggalan tradisi secara turun-temurun yang harus mereka lestarikan dan tidak boleh ditinggalkan apalagi dihapus.
Meskipun secara kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Tuban sekarang
pada umumnya mengalami perkembangan yang cukup signifikan seiring dengan
kemajuan zaman, akan tetapi didaerah pelosok desa, khususnya di desa Gesikan
peneliti menemukan satu tradisi yang masih dipegang teguh oleh masyarakat
sekitar daerah tersebut dan masih dilaksanakan hingga sekarang yaitu dalam hal
perkawinan yang dalam tradisinya disebut kawin boyong.
Tradisi kawin boyong yaitu ketika seseorang akan melakukan
perkawinan, dalam hal ini sebelum calon mempelai akan melakukan ritual Ijab
Qabul, terlebih dahulu calon suami tinggal dalam satu rumah dengan calon istri
(calon suami boyongan kerumah keluarga calon istri). Tinggal bersama dalam satu
rumah ini tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak, yakni ada yang hanya
satu minggu, satu bulan atau bahkan sampai tiga bulan. Tujuan dari ritual
boyongan ini adalah: 1. Untuk menghindari ”sial” diantara calon suami, calon
istri atau dari pihak wali. 2. Saling mengenal dan beradaptasi dengan keluarga
calon mempelai perempuan. 3. Menentukan hari perkawinan antara calon mempelai
laki-laki dengan wali calon mempelai perempuan. Akibat dari tidak dilaksanakan
ritual boyongan ini, menurut kepercayaan masyarakat sana, adalah puncaknya bisa
berakibat kematian. Menariknya dari tradisi ini adalah ketika kedua calon
mempelai ini sudah tinggal dalam satu rumah, kemungkinan terjadi hubungan badan
diluar nikah sangat besar, meskipun tidak semua pasangan melakukannya sebelum
ada ikatan yang sah menurut islam. Istilah dalam kasus hubungan diluar nikah
ini adalah “Ambruk” yaitu dimana calon istri sudah disetubuhi 6 terlebih dulu
sebelum ada ikatan resmi menurut Islam. Selain dari si calon istri sudah tidak
perawan lagi, lebih menyedihkan lagi ada yang bahkan sampai ditinggal oleh
calon suami sebelum mereka melakukan ritual Ijab dan Qabul.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tradisi kawin
boyong secara kultur masyarakat disana masih dianggap sebagai sesuatu yang
sakral yang harus dijalankan sebagai suatu proses orang yang akan menjalani
perkawinan, karena kalau tidak dijalankan ritual ini bisa berakibat buruk,
tidak hanya bagi kedua mempelai, akan tetapi juga bagi keluarga kedua mempelai.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas dapat diindentifikasikan pokok permasalahan yang dijadikan
sebagai rumusan masalah adalah sebagai berikut :
a) Bagaimana pandangan masyarakat Gesikan tentang tradisi Kawin
Boyong?
b) Bagaimana tradisi Kawin
Boyong ditinjau dari Fiqih Syafi’iyah?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan
yang telah dikemukakan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut
: 1. Untuk mendeskripsikan pandangan masyarakat Gesikan tentang
tradisi Kawin Boyong dalam perkawinan adat masyarakat Gesikan kec.Grabagan
kab.Tuban.
2. Untuk mendeskripsikan
tradisi Kawin Boyong bila ditinjau dari Fiqih Syafi’iyah.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari
penelitian ini adalah:
1.
Secara
teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam
rangka mengembangkan wacana keilmuan, khususnya yang berkaitan dengan tradisi
perkawinan di Indonesia.
2.
.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan penilaian
sosial (social value) yang sifatnya informatif kepada masyarakat Jawa
khususnya, dan masyarakat (bangsa) Indonesia umumnya, tentang tradisi Kawin
Boyong Dalam Perkawinan Adat Masyarakat Gesikan.
E. Definisi
Operasional
Untuk memperjelas maksud dan tujuan dari penelitian ini maka perlu
adanya defenisi operasional sebagai berikut:
1 Fenomena adalah penampakan
realitas dalam kesadaran manusia, suatu fakta dan gejala-gejala, peristiwa adat
serta bentuk keadaan yang dapat diamati dan dinilai lewat kaca mata ilmiah.
2 Tradisi adalah kebiasaan
turun temurun atau prilaku yang telah mengakar kuat yang ada dalam suatu
kelompok tertentu baik itu masyarakat atau individu8 .
3 Kawin Boyong adalah si
calon suami terlebih dahulu boyongan kerumah calon istri sebelum Ijab Qabul
dengan batas waktu yang telah disepakati kedua belah pihak. 4 Perkawinan adalah
terciptanya kelestarian dan kesinambungan kehidupan manusia, serta tumbuhnya
rasa cinta dan kasih sayang diantara suami istri9
F. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Sistematika pembahasan merupakan rangkaian urutan dari beberapa
uraian suatu sistem pembahasan dalam suatu karangan ilmiah. Dalam kaitannya
dengan penulisan ini secara keseluruhan terdiri empat bab, yang disusun secara
sistematis sebagai berikut :
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang didalamnya memuat tentang
latar belakang, rumusan masalah, definisi operasional, penelitian terdahulu,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika pembahasan.
BAB II : Merupakan kajian pustaka yang didalamnya memuat tentang
pengertian perkawinan, macam-macam perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri,
serta hikmah perkawinan Dan juga memuat tentang pengertian tradisi perkawinan,
ruang lingkup tradisi perkawinan, macam-macam tradisi perkawinan. serta
diakhiri dengan tradisi perkawinan ditinjau dari Fiqih Syafi’iyah.
BAB III : Merupakan metode penelitian yang didalamnya memuat
tentang paradigma penelitian, pendekatan penelitian, sumber data dan tekhnik
pengumpulan data, dan diakhiri dengan bagaimana teknik analisis data.
BAB IV : Merupakan paparan data dan analisis data yang memuat
bagaimana tradisi Kawin Boyong dalam perkawinan adat masyarakat Gesikan serta
bagaimana hubungannya dengan Fiqih Syafi’iyah.
BAB V : Penutup, penulis akan mengakhiri
seluruh penelitian ini dengan suatu kesimpulan dan tidak lupa untuk menyertakan
saran.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Tradisi kawin boyong dalam perkawinan adat masyarakat Gesikan: Studi kasus di Desa Gesikan Kec.Grabagan Kab.Tuban"" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment