Abstract
Naskh adalah sebuah teori dalam ushul fiqih. Hakikatnya ialah jika seorang mujtahid mendapati dua dalil yang bertentangan yang dia tidak mungkin lagi mampu untuk mengkompromikan antara keduanya dan dia mengetahui tertib turunnya dalil tersebut maka dalil yang pertama turun dinasakh dengan dalil yang lebih terkemudian masa pewahyuannya yang Allah wahyukan pada Rasul-Nya Saw. Setiap mujtahid dan mufassir butuh kepada ilmu ini. Dan para ulama melarang seseorang menafsirkan kitab Allah dan mengistinbath hukum darinya kecuali setelah ia paham akan ilmu nasikh dan mansukh.
Dan di dalam pembahasan ilmu ushul fiqih orang yang hendak mengistinbath hukum lebih membutuhkannya lagi. Karena, ia terkait dengan dalil apa yang sah digunakan dan dalil mana yang tidak sah ditarik hukum darinya. Sebab keabsahan sebuah hasil ijtihad sangat tergantung pada keabsahan dalil-dalil yang digunakan oleh mujtahid.
Naskh baru muncul setelah wafatnya Rasulullah Saw. Menurut ulama ushul, naskh terjadi karena perbedaan kemashlahatan yang dituntut oleh umat dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu kondisi ke kondisi berikutnya atau dari satu masa ke masa berikutnya.
Sejak zaman dahulu, para ulama-dalam melihat teori naskh ini-telah terbagi ke dalam dua golongan. Segolongan dari mereka menerima kehadiran teori naskh dan segolongan yang lain menolaknya. Tetapi jumhur ulama menerima kehadian teori naskh sebagai bagian dari ilmu ushul fiqih. Dua golongan ini berlanjut sampai saat ini.
Dan Imam As-Syafi'i adalah salah satu imam yang menerima adanya teori naskh tersebut. Imam As-Syafi'i adalah imam madzhab dalam fiqih dan ushulnya. Dia memiliki sebuah kitab yang ia beri judul "Ar-Risalah". Kitab ini mencakup keseluruhan pembahasan tentang ilmu ushul fiqih.
Sedang pembaharuan hukum Islam ialah sebuah pemikiran yang berkembang di zaman kita sekarang. Inti pemikiran ini ialah melakukan usaha-usaha agar hukum Islam itu berlaku efektif di masyarakat. Imam As-Syafi'i adalah seorang imam yang besar di bidangnya, imam madzhab di dalam fiqih dan orang yang pertama kali mengusahakan sistematisasi tentang ilmu ushul fiqih. Ilmunya luas dan dalam. Keluasan ilmunya bagaikan air yang sejuk. Didalamnya terkandung rahasia-rahasia ilmu tentang ushul fiqih. Dan berkecimpung (tabahhur) dalam lautan ilmunya dalah kesempatan yang berharga bagi orang yang hendak memetik ilmu dan bertafaqquh dalam ilmu ushul fiqih.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum dan perubahan masyarakat adalah suatu hal yang sangat menarik dan
layak ditekuni apalagi bagi seorang, badan, atau lembaga yang selalu berkecimpung
di bidang hukum. Apabila diperhatikan citra hukum yang selalu ingin mencari dan
memberikan kepastian hukum maka banyak sekali aspek keterlibatan hukum itu
mempengaruhi masyarakat. Sebaliknya bila terjadi perubahan dalam masyarakat
maka perubahan turut membentuk perkembangan hukum, karena hukum itu
berkembang dan berubah maka masyarakat turut berubah dan berkembang.
Rangkaian perubahan itu dapat ditinjau dari beberapa segi, misalnya ada
perubahan-perubahan pada hukum dari luar. Akan tetapi, bisa juga perubahan itu dari
dalam sendiri. Keduanya bisa diamati terpisah yang datang dari luar mengandung
sifat-sifat sosiopolitis, sedangkan perubahan yang datang dari dalam banyak
kaitannya dengan masalah-masalah teknis hukum.1
Tuntutan adanya perubahan hukum dalam bangunan hukum Islam adalah
salah satu fenomena sosial kontemporer yang harus direspon oleh para pemikir
hukum Islam kontemporer. Misalnya saja tuntutan akan perubahan hukum kewarisan
Islam ke arah yang lebih “adil” yang selama ini dianggap menempatkan wanita
dalam posisi marginal. Selama ini, sudah menjadi hal yang paten di kalangan para
ulama hukum Islam bahwa bagian seorang wanita dalam hal hukum kewarisan Islam
adalah 2:1. Lelaki memperoleh bagian harta warisan dua kali lebih besar dari
bagiannya wanita. Bagian dua wanita sebanding dengan bagian satu lelaki.
Di zaman kontemporer, metode ini dianggap oleh sebagian pemikir hukum
Islam tidak sesuai lagi dengan semangat kehidupan kontemporer yang menghendaki
adanya prinsip emansipasi wanita dalam semua bidang kehidupan. Tidak terkecuali
dalam agama. Adanya dalil-dalil hukum atau penafsiran terhadap satu ayat hukum
yang dianggap bias gender sering menjadi sorotan. Masalah poligami, waris, iddah,
muamalah adalah contoh-contoh cabang hukum Islam yang sangat mungkin berubah
akibat tuntutan zaman. Paham-paham pemikiran yang berkembang di masyarakat
tidak bisa dipungkiri merupakan satu faktor yang cukup besar peranannya dalam
mempercepat proses perubahan hukum. Paham pemikiran emansipasi wanita
misalnya, yang berkembang pesat di dunia modern, harus diakui sebagai paham
pemikiran yang cukup gigih memperjuangkan persamaan derajat antara laki-laki dan
1Mohd Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan
Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 84
wanita yang pastinya bisa mempengaruhi bangunan hukum apapun yang eksis di
dunia ini.
Penafsiran-penafsiran yang selama ini sudah dianggap final pun tak luput dari
sorotan. Sampai ke ranah agama sekalipun pengaruh paham pemikiran ini tidak bisa
diabaikan peranannya dalam membentuk pola pikir satu masyarakat. Masalah iddah
misalnya, jika wanita ditetapkan beriddah jika ditinggal cerai oleh suaminya (baik
cerai mati atau cerai hidup) maka kenapa pihak lelaki juga tidak diberi beban
kewajiban untuk menjalankan ketentuan ini. Ini terdengar sebagai sebuah pernyataan
aneh karena sebelumnya tidak pernah ada “model” berfikir yang seperti ini.
Para pemikir hukum Islam modern sebenarnya bukan tidak merespon dan
mengapresiasi tuntutan perubahan ini. Munawir Sjadzali adalah salah seorang
pemikir hukum Islam di Indonesia yang menyuarakan pentingnya melakukan
pembaharuan hukum Islam di bidang kewarisan. Ia memandang-seperti dalam
pendapatnya yang terkenal-kalau sudah seharusnya bagian waris dalam hukum Islam
disamakan saja antara laki-laki dan wanita. Ia berdalil tuntutan kemashlahatan di
dunia modern menghendaki metode pembagian yang seperti itu.
Pendapat ini tentu saja sangat bertentangan dengan pemikiran para ulama
sebelumnya yang memandang bahwa penunjukan hukum (dilalah) ayat-ayat hukum
mawarits adalah qhat’i. Pemikiran yang juga mencoba untuk melakukan kajian ulang
terhadap posisi wanita dalam bangunan hukum Islam juga tidak jarang menghasilkan
pemikiran yang kontroversial dan aneh jika ditinjau dari bangunan hukum Islam
klasik yang telah mapan dan bertahan selama beratus tahun sejak pertama kali
dirumuskan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi muslim berikutnya.
Semisal pemikiran batasan waktu minimal yang harus dilalui oleh suami jika ia
ingin menikah lagi setelah ditinggal oleh isterinya (baik cerai hidup atau cerai mati).
Ini adalah contoh-contoh terkini tentang perkembangan pemikiran dalam
hukum Islam yang berkembang oleh hanya satu dari sekian paham pemikiran yang
berkembang di bumi ini. Paham pemikiran yang mengedepankan HAM misalnya,
menganggap hukum-hukum pidana Islam sangat tidak relevan dengan semangat
hidup modern.
Perubahan-perubahan yang dialami oleh umat Islam juga berpengaruh dalam
pembentukan hukum Islam. Perubahan-perubahan seperti ini bukan hanya dialami
oleh umat Islam kontemporer saja, bahkan juga telah dialami oleh Nabi Saw dan
sahabatnya sejak Islam pertama kali muncul 14 abad yang lampau. Teori nasikh
mansukh adalah satu bukti nyata akan hal ini. Perubahan di masyarakat
mempengaruhi proses pembentukan, penetapan dan bahkan pembatalan satu hukum
dalam sejarah pembentukan hukum Islam.
Mayoritas ulama ushul menyepakati kemungkinan terjadinya naskh dalam
syariat. Baik naskh dalam pengertian penghapusan satu syariat Nabi terdahulu oleh
syariat Nabi yang diutus terkemudian. Namun, mereka memberi satu batasan tegas
dalam hal ini bahwa walaupun mungkin terjadi naskh (penghapusan) satu syariat
Nabi terdahulu oleh syariat Nabi yang diutus terkemudian namun dalil-dalil yang
dihapus tersebut murni masalah-masalah yang mengatur sosial kemasyarakatan
(muamalah) antar sesama manusia bukan masalah-masalah aqidah. Karena mereka
berpandangan, konsep aqidah dari satu Nabi ke Nabi berikutnya adalah satu dan
tidak mungkin berubah-ubah dari masa ke masa.
Demikian pula, naskh mungkin terjadi dalam satu syariat tertentu. Dalam
pandangan ulama ushul adalah mungkin pula naskh itu terjadi dalam satu syariat
tertentu tanpa melibatkan syariat-syariat sebelumnya. Misalnya, naskh mungkin
terjadi antar dalil dalam syariat Islam.
Ulama ushul memberikan hujjah (argumen) untuk membuktikan kebolehan
terjadinya naskh dalam syariat. Menurut mereka naskh itu terjadi karena adanya
tuntutan kemashlahatan yang berbeda-beda dan berubah-ubah dari satu umat ke umat
yang lain, dari satu kondisi ke kondisi yang lain atau dari satu periode ke periode
yang lain. Mereka memberikan sebuah gambaran bahwa kemashlahatan yang
dibutuhkan oleh umat Nabi Musa As sangat mungkin berbeda dengan kemashlahatan
yang dibutuhkan oleh umat Nabi Muhammad Saw yang hidup berabad abad
kemudian. Oleh karena itu sangatlah logis dan wajar dalam wacana pemikiran
mereka jika syariat Nabi Muhammad Saw menasakh sebagian syariat nabi-nabi
terdahulu karena adanya perbedaan tuntutan kemashlahatan tersebut. Dan dalam
syariat Islam sendiri naskh itu mungkin terjadi karena adanya perbedaan situasi dan
kondisi antara masa awal pewahyuan dengan masa akhir pewahyuan yang dialami
oleh Nabi dan sahabatnya.
Para ulama menguatkan pendapat ini dengan mengajukan satu ayat yang
memang secara jelas mengatakan bahwa Allah Swt menciptakan beragam syariat
untuk masing-masing umat. Allah berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 48;
( ϵø‹n=tã $ΨÏϑø‹yγãΒuρ É=≈tGÅ6ø9$# zÏΒ Ïµ÷ƒy‰tƒ
š
÷t/ $yϑÏj9 $
]
%Ïd‰|ÁãΒ Èd,ysø9$$Î/ |=≈tGÅ3ø9$# y ø‹s9Î) !$uΖø9t“Ρr&uρ
$oΨù=yèy_ 9e≅ä3Ï9 4 Èd,ysø9$# zÏΒ x8u!%y` $£ϑtã öΝèδu!#uθ÷δr& ôìÎ6
®
Ks? Ÿωuρ
(
ª
!$# tΑt“Ρr& !$yϑÎ/ ΟßγoΨ÷t/ Νà6÷n$$sù
!$tΒ ’Îû öΝä.uθè=ö7uŠÏj9 Å3≈s9uρ
Z
οy‰Ïn≡uρ
Z
π
¨Βé& öΝà6n=yèyfs9 ª
!$# u!$x© öθs9uρ 4 %[`$yγ÷ΨÏΒuρ
Z
πtã÷Å° öΝä3ΖÏΒ
ϵŠÏù óΟçGΨä. $yϑÎ/ Νä3ã∞Îm6t⊥ãŠsù $Yè‹Ïϑy_ öΝà6ãèÅ_ötΒ «!$# ’n<Î) 4 ÏN≡uöy‚ø9$# (#θà)Î7tFó™$$sù
( öΝä38s?#u
tβθà#Î=tFøƒrB
Artinya: “Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain
itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara
kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali
kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.
Sebabnya ialah syariat itu sendiri disyariatkan oleh Allah sebagai Syari’
(pembuat hukum) untuk mewujudkan kemashlahatan bagi manusia. Maka jika
kemashlahatan yang dibutuhkan masyarakat telah berubah maka syariat atau hukum
yang dibutuhkan untuk mewujudkan kemashlahatan itu menjadi berubah pula.
Disinilah letak penalaran logis ulama untuk membuktikan kemungkinan terjadinya
naskh dalam syariat.
Oleh karena syariat itu di syariatkan oleh Allah Swt adalah untuk
mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia, maka naskh itu pun menjadi
wewenang mutlaq Allah karena hanya Dia-lah Dzat yang benar-benar mampu
mengetahui dengan tepat mashlahat apa yang dibutuhkan hamba-Nya. Maka
berkembanglah satu kaidah dalam ushul fiqih bahwa tidak ada naskh setelah
sempurnanya agama Islam atau setelah berakhirnya masa pewahyuan dan kenabian.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 15;
Îöxî Aβ#uöà)Î/ ÏMø.$# $tΡu!$s)Ï9 tβθã_ötƒ Ÿω š
Ï%
©
!$# tΑ$s% ;
M≈oΨÉit/ $uΖè?$tƒ#u óΟÎγøŠn=tæ 4’n?÷Gè? #sŒÎ)uρ
#
yrθム$tΒ āωÎ) ßìÎ7
¨
?r& ÷βÎ)
( ûŤø#tΡ Ç›!$s)ù=Ï? ÏΒ …ã&s!Ïd‰t/é& ÷βr& þ’Í< Üχθä3tƒ $tΒ ö≅è% 4 ã&ø!Ïd‰t/ ÷ρr& !#x‹≈yδ
5
Ο‹Ïàtã BΘöθtƒ z>#x‹tã ’În1u‘ àMøŠ|Átã ÷βÎ) ß∃%s{r& þ’ÎoΤÎ)
(
†n<Î)
Artinya: “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang nyata, orangorang
yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata:
"Datangkanlah Al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia".
Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku
sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.
Sesungguhnya Aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang
besar (kiamat)”.
Secara aqliyah, jika Nabi Muhammad Saw saja tidak mempunyai hak dan
wewenang untuk mengganti-ganti Al-Qur’an dari dirinya sendiri maka lebih tidak
boleh lagi umat setelahnya. Demikianlah kesimpulan penalaran mereka.
Dari sisi kesejarahan, adanya nasikh mansukh itu sebenarnya juga
menunjukkan dialektika antara wahyu dan realitas sosial dan si penerima pesan
wahyu (manusia). Dari ilmu nasikh mansukh kita dapat mengetahui tahapan-tahapan
panjang penetapan hukum Islam sebelum hukum itu benar-benar mencapai
bentuknya yang final pada akhir masa pewahyuan dan kenabian. Karena itu, teori
nasikh mansukh tidak dikenal pada masa pewahyuan (masa ketika Nabi Muhammad
Saw masih aktif menerima wahyu). Pada saat itu wahyu diturunkan secara bertahap
sehingga memungkinkan para sahabat untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan hukum
secara bertahap pula. Salah satu hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap
adalah untuk mewujudkan kemashlahatan bagi para sahabat agar mereka tidak
merasa berat dan terbebani untuk menjalankan perintah agama dan agar perintah-
perintah agama itu tertanam kuat dalam hati mereka. Allah berfirman dalam AlQur’an
surat Al-Furqan ayat 32;
( x8yŠ#xσèù ϵÎ/ |MÎm7s[ãΖÏ9 y Ï9≡x‹Ÿ24 Z
οy‰Ïn≡uρ
\
's#÷Ηäd ãβ#uöà)ø9$# ϵø‹n=tã tΑÌh“çΡ Ÿωöθs9 (#ρãx#x. tÏ%
©
!$# tΑ$s%uρ
W
ξ‹Ï?ös? çµ≈oΨù=¨
?u‘uρ
Artinya: “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak
diturunkan kepadanya sekali turun saja?". Demikianlah supaya kami
perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur
dan benar).”
Teori naskh memang menarik karena ia menyangkut masalah yang sangat
penting dalam istinbath hukum karena terkait dengan “apa yang berlaku dan apa
yang tidak”. Namun di lain sisi ia justru baru muncul setelah wafatnya Nabi
Muhammad Saw. Teori naskh baru muncul setelah berakhirnya masa kenabian.
Pengakuan ada-tidaknya nasikh-mansukh dalam Al-Qur'an memiliki
implikasi yang sangat serius bagi kehidupan manusia sehari-hari. Tidak bisa
dipungkiri, bagaimana umat Islam bersikap kepada orang-orang non-muslim,
misalnya, sangat mungkin dipengaruhi oleh konsep nasikh-mansukh ini. Mereka
yang mengatakan bahwa umat Islam boleh memerangi orang-orang non-muslim
dengan tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan boleh jadi dipicu adanya ayat
"Dan perangilah orang-orang kafir dimana pun mereka kamu temui" (Qs AlTawbah
[9]: 5) yang dianggap oleh banyak kalangan mufassir tradisional menjadi
nasikh (penghapus) atas ayat-ayat lain yang menyerukan toleransi, memberi maaf,
bersikap sabar dan lain-lain. Pandangan seperti ini sangat banyak kita temukan dalam
kitab-kitab tafsir klasik. Permasalahannya sederhana saja, yaitu karena adanya
pengakuaan akan eksistensi naskh dalam Al-Qur'an.
Demikian pula sebaliknya, orang yang tidak mengakui adanya nasikhmansukh
boleh jadi akan beranggapan bahwa memerangi orang kafir tidak bisa
dilakukan tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Sebab Islam, menurut mereka, hanya
diperbolehkan untuk memerangi mereka sebagai cara untuk mempertahankan diri,
sebagai cara defensif bukan ofensif. Oleh karena itulah, bukan tidak mungkin konsep
nasikh mansukh bisa sangat mempengaruhi cara berfikir umat Islam bukan saja
mengenai hubungan antar-agama, melainkan juga dalam berbagai bidang kehidupan
yang lain.2
Ini benar, karena memang dengan ilmu nasikh mansukh-lah diketahui mana
ayat yang masih berlaku ketetapan hukumnya dan mana yang sudah dibatalkan masa
pemberlakuannya. Teori nasikh mansukh adalah teori kontroversial dalam literatur
hukum Islam. Ada yang menerima ada juga yang menolak. Dan ini terjadi sejak
dahulu di kalangan para pemikir hukum Islam. Bagi para penerima teori naskh,
nasikh mansukh dianggap sebagi sebuah bentuk kebijaksanaan Allah kepada
makhluk-Nya yang mengandung hikmah yang tidak selamanya dapat ditangkap oleh
pikiran manusia. Sedangkan bagi para penolak teori naskh, teori nasikh mansukh
dianggap menjadi bumerang bagi hukum Islam karena justru menghalangi hukum
Islam untuk berdialektika dengan dunia kontemporer yang senantiasa berubah-ubah.
Menurut mereka yang menolak teori nasikh mansukh, teori naskh adalah satu
teori yang turut membuat hukum Islam menjadi statis dan beku. Mereka yang
menolak teori nasikh mansukh sering berargumen dengan mengajukan argumen
sebagai berikut; Statisnya fikih antara lain disebabkan problem penafsiran yang
2Ahmad Baidowi, Mengenal Thabathaba'i: Dan Kontroversi Nasikh Mansukh (Bandung: Nuansa,
2005), 10
kurang hirau menyoroti dialektika-dinamis antara teks-teks keagamaan dengan
realitas. Teks-teks keagamaan yang dulu membumi secara gradual, kontekstual dan
dialektik, kini tidak mampu lagi berdialog secara lentur dengan kenyataan hidup
yang terus bergerak karena dipenjara oleh konsep nasikh-mansukh. Konsep nasikhmansukh
pun mengakibatkan meluncurnya hukum-hukum penebar anarkisme ajaran
Islam, yang sejatinya mentitahkan nilai humanisme dan toleransi, spontan berubah
menjajakan terorisme dan intoleransi, lantaran ayat pedang dianggap
mengamandemen ayat-ayat lain yang mengajarkan toleransi. Dampaknya kronis,
jihad yang mula-mula hanya instrumen mempertahankan kebebasan beragama,
kemudian berubah menjadi alat bagi ekspantor untuk memaksakan Islam kepada
pihak lain. Jihad tidak lagi dipahami defensif, melainkan direduksi menjadi perang
ofensif oleh sebagian kalangan. Teori nasikh-mansukh sejatinya muncul pasca era
kenabian. Kemapanan teori ini didorong faktor sosial-politik yang menghegemoni
pengembangan fikih menuju zona ijtihad yang cenderung ahistoris. Latar belakang
kehadiran teori tersebut ialah ‘kebingungan’ ulama klasik ketika berhadapan dengan
kontradiksi antar teks-teks keagamaan; teks-teks universal makkiyyah dengan teksteks
partikular madaniyyah. Nasikh-mansukh menunjukkan nihilnya kesadaran
ulama bahwa masing-masing teks-teks keagamaan yang diasumsikan kontradiktif
sebenarnya memiliki konteks spesifik. Dengan dioperasikannya nasikh-mansukh,
teks-teks universal makkiyyah menjadi tidak berfungsi, lantaran dianulir oleh teksteks
partikular madaniyyah. Hukum fiqih pun akhirnya terbangun di atas teks-teks
partikular. Konsekuensinya, hukum Fikih tidak mampu lagi mencerminkan
elastisitas. Ironisnya, konsep ini masih menjadi acuan ijtihad mayoritas fuqaha,
meskipun secara teoretis sangatlah rapuh.3
Bagi mereka yang menerima teori naskh, mereka juga mengajukan argumen
yang berusaha menyanggah argumen para penolak teori nasikh mansukh diatas.
Mereka mengajukan argumen sebagai berikut; Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 106;
&óx« Èe≅ä. 4’n?tã
©
!$# ¨
βr& öΝn=÷ès? öΝs9r& 3 !$yγÎ=÷WÏΒ ÷ρr& !$pκ÷]ÏiΒ 9ösƒ¿2 ÏNù'tΡ $yγÅ¡ΨçΡ ÷ρr& >πtƒ#u ôÏΒ ô‡|¡ΨtΡ $tΒ
í
ƒÏ‰s%
Artinya: “Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”.
Asbabun nuzul ayat ini adalah sebagai berikut: “Dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa turunnya wahyu pada Nabi Saw kadang-kadang pada malam
hari tapi beliau lupa siang harinya. Maka Allah turunkan ayat ini sebagai jaminan
bahwa wahyu Allah tidak akan mungkin terlupakan.4
Ayat ini-dalam pandangan ulama yang menerima adanya naskh dalam AlQur’an–menunjukkan
kebolehan terjadinya naskh dalam Al-Qur’an hingga tidak ada
keraguan bahwa naskh memang benar dan telah terjadi dalam syariat.
Di dalam syariat telah dinyatakan kemungkinan dilakukannya naskh,
menghapus suatu hukum yang tidak efektif dan menggantikan dengan hukum baru.
Naskh terjadi sebagai bentuk kasih sayang Tuhan kepada hamba-hamba-Nya, sebagai
3
Irwan Masduqi, "http://bp8.blogger.com/_ErBYsDi-, (Diakses pada 13 April 2008), 1
4
Jalaluddin As-Suyuti, Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul (tt: tp, t.thn) diterjemahkan oleh Qamaruddin
Shaleh, HAA. Dahlan dan M.D. Dahlan dengan judul Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur'an (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), 36
dispensasi dari Allah kepada perhatian atas kepentingan yang dibebankan bagi
mereka. Firman Allah taala: “Tiadalah kami menghapus (sebagian) dari suatu ayat
atau kami menghapusnya (kecuali) kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau
yang sepertinya”.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh secara umum berlaku, baik bagi
Al-Qur’an maupun bagi hadits. Namun yang terdapat dalam Al-Qur’an masuk ke
dalam tafsir-tafsirnya, sedangkan yang khusus bagi hadits tetap kembali ke ilmuilmunya.
Apabila terdapat dua keterangan (khabar) saling bertentangan-yang satu
meniadakan berlakunya suatu hukum dan yang lain menetapkan-dan tidak
dimungkinkan terjadinya persesuaian antara keduanya melalui suatu takwil, tapi
diketahui mana yang datang lebih dahulu, maka ditetapkanlah bahwa keterangan
(khabar) yang datang terakhir merupakan penghapus (nasikh) atas berlakunya hukum
yang sebelumnya.5
Fiqh (hukum Islam) bisa dipahami dan diartikan sebagai kelanjutan logis atau
produk jadi dari ushul al-fiqh (metodologi hukum Islam). Ketika kita ingin
mengetahui seluk beluk hukum Islam maka menoleh kembali pada kajian metodologi
ini menjadi satu keniscayaan.
Pada dataran empiris, sebuah teori yang diidealkan rumusannya seringkali
gagal pada tingkat aplikasi, sehingga apa “yang seharusnya” menjadi lumpuh dan tak
berdaya di depan apa “yang senyatanya”. Begitu juga implikasi yang ditimbulkan
oleh metode dan pola pikir umat Islam selama ini. Dalam hal ini, historiografi Islam
telah menunjukkan bahwa kemunduran dan skeptisisme intelektual telah melanda
umat ini sejak abad pertengahan. Lebih dari itu, sejarah hukum Islam bahkan telah
5
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003) 553-554
mencatat satu istilah popular, yakni tertutupnya pintu ijtihad (insidad bab al-ijtihadclosing
the gate of ijtihad) sebagai fenomena yang hampir disepakati keberadaannya.
Ini merupakan suatu bukti malaise intelektual di dalam struktur keilmuwan (hukum)
Islam secara keseluruhan.
Implikasi yang ditimbulkan oleh fenomena tertutupnya pintu ijtihad adalah
kemunduran umat Islam di hampir seluruh bidang kehidupan.
Memasuki ranah atau domain hukum Islam, cara berpikir yang demikian itu
pada akhirnya membentuk karakteristik pola fiqh klasik, yang kajiannya lebih
mengarah pada law in book daripada law in action. Hal inilah, dalam pandangan
Coulson, yang telah melahirkan semacam “konflik dan ketegangan” antara teori dan
praktik dalam sejarah hukum Islam. Semua bisa dikatakan berakar dari krisis
metodologi hukum Islam (ushul al-fiqh) yang memberikan penekanan dan perlakuan
berlebihan pada teks-teks wahyu, dan sebaliknya, kurang memperhatikan realitas
yang ada disekitarnya. Akhirnya, studi hukum Islam seolah menjadi semata-mata
studi teks. Implikasi kontra produktif dari hal ini adalah ketika fiqh (hukum Islam),
dan juga ilmu-ilmu keislaman yang lain dituntut untuk merespons perubahan dan
persoalan sosial riil.
Jika diamati lebih cermat, kekurangan metodologi inilah, diantaranya, yang
telah menggelisahkan para penggagas tema-tema pemikiran hukum Islam di
Indonesia. Dari kegelisahan ini, mereka kemudian mencoba mendesain ulang dan
membangun pola atau metode-metode penemuan hukum Islam. Upaya
kontekstualisasi fiqh madzhab (klasik) dan rekonstruksi penafsiran dengan ragam
derivasinya adalah wujud dan artikulasi nyata dari kegelisahan mereka semua.6
Akan tetapi, kekurangan tersebut tidak mungkin bisa ditutup/diganti hanya
dengan pola menerapkan ilmu-ilmu sosial modern Barat. Hal ini karena metode dan
pendekatan ilmu-ilmu sosial modern Barat juga tengah mengalami krisis
epistemologis yang tidak kalah akutnya. Jika metode dan pendekatan keilmuwan
Islam terjebak pada analisis tekstual dan kurang mengapresiasi dimensi sosialempiris,
maka sebaliknya, keilmuwan Barat terjebak pada positivisme yang tidak
pernah memperhitungkan dimensi normatif (wahyu) dalam metode dan
pendekatannya.
Dengan melihat kenyataan seperti itu, maka yang diperlukan dalam studi
hukum Islam saat ini adalah sebuah upaya mendekatkan aspek epistemologis dari
dua karakteristik keilmuwan tersebut sehingga bisa melahirkan sintesa positif yang
diharapkan bermanfaat bagi keduanya, dalam arti bahwa dimensi normatif akan bisa
masuk dalam analisis sosial keilmuwan Barat, sementara bagi ilmu-ilmu keislaman,
hal itu dapat membantu memasukkan fakta-fakta sosial empiris di dalam analisis
tekstualnya.7
Melihat kontroversi teori nasikh mansukh ini-ada yang menerima dan ada
pula yang menolak-maka penelitian ini berupaya menelusuri pemikiran Imam AsSyafi’i
mengenai teori nasikh mansukh dalam metodologi hukum Islam (ushul alfiqh).
6Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris
(Yogyakarta: LKiS, 2005), 254-255
7
Ibid., 261
Satu diantara para Imam Mujtahid mazhab itu ialah Imam As-Syafi’i. Imam
As-Syafi'i menduduki posisi yang penting dalam khazanah keilmuwan Islam
khususnya dalam bidang hukum, karena disamping ia sebagai Imam mazhab fiqih
syafi’iyah, ia juga menjadi perumus ilmu ushul fiqih yang pertama. Walaupun bukan
orang pertama yang mengembangkan fiqih namun ia diakui oleh para ulama secara
luas sebagai orang yang pertama kali merumuskan ilmu ushul fiqih sehingga menjadi
bidang ilmu tersendiri yang sebelumnya belum terspesialisai menjadi satu cabang
ilmu tertentu.
Perkembangan fiqih juga diikuti dengan perkembangan ushulnya. Bukan
berarti sebelum Imam As-Syafi’i ushul fiqih itu tidak ada. Ushul fiqih itu sudah ada
sebelum Imam As-Syafi’i lahir namun belum terspesialisasi dalam fan ilmu tertentu.
Ini tak lain karena ushul fiqih itu sebenarnya adalah metode (manhaj) berpikir yang
dipakai untuk menarik sebuah hukum. Tingkat kepentingan terhadap ushul fiqih dan
qaidah-qaidah fiqhiyyah semakin bertambah seiring semakin rumitnya persoalan
hukum yang dihadapi masyarakat Islam.
Imam As-Syafi’i, sebagai perumus ushul fiqih yang pertama, tak ketinggalan
pula membahas topik nasikh mansukh ini. Disamping ia mengkaji masalah-masalah
fiqih ia juga mendalami persoalannya ushulnya. Dalam ushul fiqihnya, ia
menjelaskan posisi qur’an, hadits serta ijma’, qiyas dalam penarikan hukum. Teori
maslahah, nasikh mansukh pun tak luput dari kajian ushulnya. Tercatat dalam
sejarah, Imam As-Syafi'i lah yang pertama kali menulis sebuah buku yang khusus
membahas tentang ushul fiqih yang ia beri judul Ar-Risalah.
Alasan utama Peneliti melakukan penelitian ini ialah karena naskh
menyangkut hal yang paling fundamental dalam penggunaan dalil yaitu apa yang
berlaku dan apa yang tidak berlaku sehingga keabsahan sebuah hasil ijtihad sangat
bergantung pada keabsahan dalil yang digunakan. Karena ia merupakan hal yang
sangat fundamental maka mengetahui akibat-akibat hukum yang ditimbulkan oleh
teori ini tentulah merupakan hal yang sangat menarik.
Sebagai pendiri ilmu ushul fiqih yang juga membahas topik nasikh mansukh
dalam ushulnya, maka penelitian ini hendak mengkaji pendapat-pendapat Imam AsSyafi’i
sendiri tentang teori nasikh mansukh. Penelitian ini menjadi menarik karena
dengan mengetahui pandangan-pandangan beliau tentang teori nasikh mansukh akan
menjadi pengetahuan yang berharga bagi ilmu ushul fiqih. Disisi lain juga, seperti
yang telah dipersyaratkan oleh para ulama ushul, mengetahui nasikh mansukh adalah
syarat untuk menafsirkan qur’an dan sebagai syarat pula untuk menarik
(mengistinbat) hukum. Dengan penelitian ini tentu persyaratan itu dapat dipenuhi.
Sebagai founding father ushul fiqih, mengetahui pandangan-pandangan beliau
tentang nasikh mansukh yang dipersyaratkan oleh para ulama ushul tersebut tentu
memiliki nilai kajian yang tinggi karena mengetahui nasikh mansukh itu sendiri
sudah merupakan satu hal yang cukup penting. Imam As-Syafi’i dipilih dalam
penelitian ini karena mayoritas pemeluk agama Islam di Indonesia ini bermazdhab
syafi’iyah. Oleh karena itulah penelitian ini kami beri judul: TEORI NASIKH
MANSUKH IMAM AS-SYAFI’I DAN RELEVANSINYA DALAM
PEMBAHARUAN FIQIH DI INDONESIA (Sebuah Kajian Ushul Fiqih). B. Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Bagaimana teori nasikh mansukh Imam As-Syafi’i?
2. Apa relevansi teori nasikh mansukh Imam As-Syafi’i dalam pembaharuan fiqih di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui gambaran pemikiran Imam As-Syafi’i tentang topik nasikh mansukh
2. Untuk mengetahui relevansi teori nasikh mansukh Imam As-Syafi’i dalam pembaharuan fiqih di Indonesia
. D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini ada
dua jenis yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah dengan mengetahui pemikiran Imam As-Syafi’i tentang teori nasikh mansukh akan memperkaya dan memperluas pengetahuan kita tentang teori nasikh mansukh serta relevansinya dalam pembaharuan fiqih (hukum Islam) di Indonesia. Manfaat lainnya adalah penelitian ini akan berguna dalam menyajikan pengetahuan mendasar yang harus diketahui seseorang sebelum ia menarik atau menyimpulkan satu hukum. Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: penelitian ini akan bermanfaat praktis bagi mereka yang berkecimpung dalam proses penarikan (istinbath) hukum Islam karena penelitian ini akan menyajikan salah satu syarat yang harus dipenuhi dan diketahui oleh seseorang jika ia ingin melakukan istinbath hukum
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : ATeori nasikh mansukh Imam As-Syafi'i dan relevansinya dalam pembaharuan fiqih di Indonesia: Sebuah kajian ushul fiqih." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
Download
No comments:
Post a Comment