Abstract
INDONESIA:
Undang-Undang Perkawinan merupakan sebuah aturan khusus yang mengatur pernikahan masyarakat Indonesia. Dalam undang-undang ini terdapat pasal yang menjelaskan mengenai batas minimal usia kawin. Batas usia ini merupakan unifikasi dari beberapa literatur fikih. Adanya perumusan batas usia ini bertujuan untuk meminimalisir pernikahan dini dan perceraian yang ada di masyarakat. Namun, saat ini batas usia tersebut tidak dapat megakomodir masyarakat. Karena seiring berkembangnya zaman kedewasaan seseorang selalu mengalami perubahan. Di tambah lagi saat ini banyak kasus perceraian yang disinyalir sebab pernikahan di usia muda.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendapat Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang dan Dosen Psikologi UIN Malang mengenai batas usia kawin yang ada pada undang-undang tersebut. Dan juga untuk mengetahui apakah batas minimal usia kawin yang ada pada UU Perkawinan masih relefan untuk diterapkan saat ini. Melihat bahwa perumusan batas usia kawin ini dilakukan pada tahun 1974. Berjalan sekitar 40 tahun hingga saat ini. Di sisi lain berdasarkan teori psikologi perkembangan bahwa tahap perkembangan manusia baik secara boilogis maupun psikis selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun.
Penelitian ini tergolong dalam penelitian empiris, pemaparan datanya berbentuk deskreptif kualitatif. Sedangkan data yang dikumpulkan berupa datar primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara kepada beberapa Hakim Pengadilan Agama dan Dosen Psikologi. Sedangkan data sekunder berasal dari literatur-literatur buku dan skripsi. Kemudian data tersebut diedit, diklasifikasi, diverifikasi, kemudian dianalisis.
Dalam penelitian ini diperoleh dua kesimpulan. Pertama, batas usia kawin yang ada pada UU Perkawinan dianggap kurang relevan untuk saat ini. Dengan mempertimbangkan pendapat para Hakim Pengadilan Agama dan dosen Psikologi dapat disimpulkan bahwa hendaknya batas usia kawin tersebut dinaikkan. Kedua, dengan mensintesakan teori-teori psikologi, pendapat-pendapat para hakim, dan dosen Psikologi dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa batas usia kawin yang relevan untuk saat ini adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Dengan pertimbangan bahwa pada usia 21 lelaki telah memiliki kematangan emosional dan pekerjaan, sedangkan pada usia 18 tahun perempuan telah memiliki kesiapan untuk menikah pasca lulus dari pendidikan SMA.
ENGLISH:
Marriage Regulation is the Special regulation that regulate Indonesian marriage. In this regulation. This limitation is unification from some fikih literature. This limitation is to minimize early marriage and divorce in societies. But now this limitation can’t accomodate societies. As way goes the maturity of human always change. And now many divorce case caused by early marriage.
The purpose of this research is to describe the judge’s opinion and psychology lecturer’s opinion about the minimum limitatition of age for marriage in Marriage Regulation and describe the relevance of this regulation. Consider that the minimum limitation of age for marriage was formulated at 1974. This regulation was running for 40 years until now. In the other side according the theory of developmental psychology that step of human development biological and psychologycal always change.
This research including to empirical research, the data explanation is descriptive qualitative. The collecting data methode is primary and secondary. The primary data got from judge’s and psychology lecturer’s interview. And the secondary data got from some literature and thesis. Then that data edited, clasifiyed, verifiyed, and analized.
The conclution of this research are: The first, the minimum limitation in Marriage Regulation is not relevant for society now. By considering the judge’s and the lecturer’s opinion the minimum limitation of marriage must be increased. The second, by synthesized the psycologycal theory, judge’s and lecturer’s opinion concluded that the minimum limitation of age for marriage thet relevant for now is 21 for man and 18 for woman. By considering that the man have a emotional maturity and profession in 21 years old and the woman have readiness for marriage in 18 years old after she had garduated from Senior High School.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkawinan merupakan ketetapan Allah
sebagai jalan untuk berkembang biak dan melestarikan keturunan bagi manusia.
Dalam tatanan zIslam kawin tidak hanya semata-mata untuk melestarikan
keturunan, kawin akan menjadi ritual ibadah bila didahului dengan akad nikah
yang sah. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bab II pasal 2 dijelaskan bahwa
pernikahan merupakan akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.1 1 Kompilasi Hukum Islam,
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 2 Dalam pasal 1 Undang-undang nomor 1
tahun 1974, sebagai hukum positif perkawinan di Indonesia mendefenisikan
perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Perkawinan bukan hanya ikatan perdata antara laki-laki
dan perempuan. Banyak esensi-esensi yang lain yang terkandung dalam perkawinan.
Selain sebagai sarana untuk legitimasi terhadap hubungan laki-laki dan
perempuan perkawinan juga merupakan sarana untuk beribadah kepada Tuhan. Allah
menganjurkan kepada hamba-hambanya untuk melakukan perkawinan melalui
firman-Nya. م Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
(Q.S. An-Nisa’: 1) 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Lembar Negara Nomor 1 Tahun 1974 3Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Ar-Rum: 21) Firman Allah di atas
menunjukkan bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang sakral. Karena sakralitas
pernikahaan maka pernikahan diatur dengan konsep dan syarat tertentu
sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab turats dan literatur fikih yang lain.
Perkawinan membentuk suatu keluarga yang merupakan elemen terkecil dalam
kerangka sosial masyarakat. Keluarga yang harmonis akan mencetak dan membentuk
bibit unggul bagi bangsanya. Keluarga harmonis dapat terbetuk jika pasangan
telah matang dan siap untuk melakukan pernikahan. Kematangan emosi, fisik,
pendidikan, dan ekonomi berpengaruh besar terhadap tingkat keharmonisan
keluarga. Disamping itu faktor usia juga sangat berpengaruh, karena usia
berbanding lurus dengan kematangan psikologi dan emosi. Semakin dini usia calon
pengantin semakin rendah pula kematangan psikologi dan kontrol emosinya,
sehingga dapat mengakibatkan disfungsi keluarga yang berujung pada keretakan
rumah tangga. Bagi seorang pemuda, untuk memasuki gerbang perkawinan dan
kehidupan berumah tangga pada umumnya dititikberatkan pada kematangan 4 jasmani
dan kedewasaan pikiran orang serta kesanggupannya untuk memikul tanggung jawab
sebagai suami dalam rumah tangganya. Hal itu merupakan patokan kematangan umur
bagi para pemuda kecuali ada faktor lain yang menyebabkan harus dilaksanakannya
pernikahan lebih cepat.3 Bagi sorang gadis usia perkawinan itu berkaitan dengan
kematangan fisik dan kehamilan. Disamping itu kematangan rohani juga dianggap
penting, yang memungkinkan ia dapat menjalankan tugas sebagai seorang istri dan
sekaligus sebagai seorang ibu yang sebaik-baiknya. Jika diambil patokan yang
paling bagus bagi seorang gadis untuk menjalankan perkawinan yang sesuai dengan
keadaan di Indonesia batas terendah bagi bagi seorang gadis adalah 18 tahun,
karena pada umur 18 seorang wanita sudah mencapai tingkat kematangan biologis
seorang wanita.4 Islam tidak memberikan batasan minimal usia kawin secara gamblang.
Batasan usia kawin hanya didasarkan pada standar usia baligh saja. Beberapa
ulama’ mengemukakan pendapatnya mengenai usia baligh. Menurut Imam Abu Hanifah
dapat dikatakan baligh bagi seorang laki-laki apabila telah ihtilam yaitu
bermimpi nikmat sehingga keluar mani dan bagi seorang wanita jika sudah
mengeluarkan darah haid. Pendapat Abu Hanifah ini sangat relevan dengan zaman
saat ini karena usia belum tentu dapat menentukan kapan seseorang mengalami
ihtilam (mimpi basah) bagi seorang laki-laki dan belum tentu keluar haid bagi
seorang perempuan. Terkadang umur 12 sudah mengalami mimpi 3 Sutan Marajo
Nasaruddin Latif, Problematika Seputar keluarga dan Rumah Tangga, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2001), h.23. 4 Sutan Marajo Nasaruddin Latif, Problematika,
h.23. 5 basah bagi laki-laki dan umur 9 tahun seorang perempuan sudah
mengeluarkan darah haid. Hukum Islam memberi ketentuan bahwa kedewasaan
laki-laki ditandai dengan keluar mani dan perempuan dengan keluarnya darah
haid.5 Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7 ayat
(1) dinyatakan bahwa: “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas)
tahun.” Limitasi minimum usia kawin pada undang-undang perkawinan ini merupakan
unifikasi usia kawin dari beberapa sumber dan literatur sebagai acuan tetap
hakim untuk memutus perkara kawin. Karena sebelum terbentuknya undang-undang
ini hakim merujuk pada kitab-kitab turats yang sangat varian dalam memberikan limitasi
minimum usia kawin. Angka 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan
ini juga berdasar pada kultur dan kondisi masyarakat Indonesia. Angka ini
dianggap sesuai dengan masyarakat Indonesia. Yusuf Hanafi dalam bukunya
“Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur” menjelaskan bahwa India merupakan
negara dengan jumlah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tertinggi. Hal ini
disebabkan banyaknya wanita mereka yang menikah di usia muda / di bawah batas
usia layak nikah.6 Data statistik yang diperoleh dari situs resmi Pengadilan
Agama Kabupaten Malang menyatakan bahwa Jumlah perkara yang diterima di
Pengadilan Agama Kabupaten Malang adalah 5736 kasus. 1677 berupa kasus 5 Wahbah
Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (t.t.: Dar al-fikr, t.th.), h. 423-424.
6 Yusuf, Kontroversi Perkawinan Anak Di Bawah Umur, (Cet. I; Bandung: CV.
Mandar Maju, 2011), h. 89. 6 cerai talak, 3219 berupa kasus cerai gugat, dan
sisanya adalah kasus lain. Hampir 80% kasus yang ada di Pengadilan Agama
Kabupaten Malang adalah kasus cerai.7 Disinyalir terdapat korelasi antara angka
perceraian tersebut dengan limitasi minimum usia kawin pada undang-undang
perkawinan yang relatif rendah. Angka tersebut dianggap terlalu rendah, karena
pada usia ini seseorang hanya matang dalam segi fisik saja. Belum dapat
dikatakan matang secara psikis, ekonomi, dan emosi. Lubab, Dosen Fakultas
Pikologi UIN Malang menyatakan bahwa kematangan biologis dan psikis berbanding
terbalik saat ini. Saat ini kematangan biologis seseorang relatif lebih cepat,
sebaliknya kematangan psikis seseorang (termasuk didalamnya aspek emosi,
tanggung jawab, dan ekonomi) justru semakin lambat, hal ini disebabkan oleh
kultur yang ada di masyarakat saat ini. M. Nur Syafiuddin, Hakim Pengadilan
Agama Kabupaten Malang menyatakan bahwa dari 10 kasus permohonan dispensasi
kawin 8 diantaranya kembali lagi ke Pengadilan Agama untuk mengajukan cerai.
Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan calon pengantin sangat dibutuhkan dalam
perkawinan. Dari statemen-statemen di atas dapat ditarik sebuah sebuah konklusi
bahwa batas minimal usia kawin yang ada pada Undang-undang Perkawinan nampaknya
tidak dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat saat ini. Atas 7 “Jenis Perkara
yang diterima di Pengadilan Agama Kabupaten Malang tahun 2014”, http://www.pamalangkab.go.id/index.php/sjp2,
diakses pada hari jumat tanggal 2 Januari Jam 00.05. 7 dasar itu peneliti
tertarik untuk mengkat penelitian dengan judul “BATAS MINIMAL USIA KAWIN DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERSPEKTIF HAKIM PENGADILAN
AGAMA KABUPATEN MALANG DAN DOSEN PSIKOLOGI UIN MALANG”. B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimana pandangan Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang dan Dosen Fakultas
Psikologi UIN Malang mengenai batas minimal usia kawin? 2. Bagaimana relevansi
batas minimal usia kawin yang ada pada UndangUndang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan untuk diterapkan saat ini? C. Tujuan 1. Mengetahui batas minimal
usia kawin menurut pandangan Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang dan Dosen
Fakultas Psikologi UIN. 2. Mengetahui relevansi batas minimal usia kawin yang
ada pada UndangUndang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan untuk diterapkan
saat ini.. D. Manfaat Penelitian 1.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis
diharapkan penelitian ini dapat memberi penjelasan tentang relevansi batas
minimum usia kawin dalam undang-undang perkawinan. Sehingga dapat dijadikan
sebagai sarana untuk menambah khazanah keilmuan, khususnya bagi mahasiswa
jurusan Al-Ahwal AlSyakhshiyyah fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang. 8 1.2 Manfaat Praktis Penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangsih
pemikiran dan juga sebagai sarana untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi
masyarakat luas. Tulisan ini juga dapat dijadikan sebagai bahan reverensi bagi
civitas akademika, masyarakat, dan para peneliti. E. Definisi Operasional Batas
minimal usia perkawinan: Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan batas
minimal usia perkawinan adalah batas usia minimal seseorang diperkenankan
melakukan pernikahan sesuai dengan pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974,
yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Perspektif: Memiliki
arti pandangan atau tinjauan, dalam hal ini adalah pandangan Hakim Pengadilan
Agama Kabupaten Malang dan Dosen Psikologi UIN Malang terhadap ketentuan batas
minimal usia pernikahan menurut pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Hakim: Memiliki arti orang yang diangkat oleh penguasa untuk
meyelesaikan dakwaan-dakwaan karena penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri
semua tugas itu. Dalam penelitian ini yang hakim yang dimaksud adalah hakim
Pengadilah Agama Kabupaten Malang. Psikologi: merupakan suatu bidang ilmu yang
berbicara mengenai jiwa dan tingkah laku manusia yang diasumsikan sebagai
gejala jiwanya. 9 F. Sistematika Pembahasan Agar penyusunan skripsi ini
terarah, sistmatis, dan koheren antara satu bab dengan yang lainnya, maka
penulis akan memberi gambaran sususan skripsi ini secara umum sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian, defenisi
operasional dan sistematika pembahasan. Penulisan bab ini bertujuan agar
permasalahan yang akan dibahas tidak melebar serta untuk menegaskan tujuan dari
penelitian. Bab kedua, berisi tinjauan pustaka. Bab ini memiliki sub bab yang
berupa penelitian terdahulu dan kerangka teori / landasan teori. Penelitian
terdahulu yang penulis angkat adalah Tinjauan Hukum Islam Dan Psikologi
Terhadap Batas Usia Minimal Perkawinan dan Batas Usia Perkawinan Menurut Pasal
7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Perspektif Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak. Sedangkan dalam kerangka teori penulis akan
mendeskripsikan tentang gambaran umum Undang-undang Perkawinan, batas minimal
usia perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan dan perspektif psikologi, serta
teori pemberlakuan hukum. Bab ketiga, berisi tentang metode penelitian yang
digunakan dalam penulisan skripsi. Jenis metode penelitian yang digunakan pada
penulisan skripsi ini adalah metode penelitian empiris. Pendekatan penelitian
yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, karena pendekatan kualitatif lebih
bersifat deskriptif dan terdapat interaksi langsung antara penulis dan sumber
data. Dalam 10 pendekatan ini peneliti menjadi instrumen kunci karena berperan
sebagai tokoh kunci untuk mencari makna dari hasil penelitian. Untuk
mendapatkan data, penulis melakukan wawancara terhadap hakim Pengadilan Agama
Kabupaten Malang dan Dosen Psikologi UIN Malang. Dengan demikian sumber data
yang akan menjadi dasar penulisan skripsi berasal dari hasil wawancara dengan
disertai beberapa literatur buku, ataupun literatur lainnya. Bab keempat,
berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan. Pada bab ini penulis akan
mendiskripsikan hasil wawancara terhadap hakim Pengadilan Agama Kabupaten
Malang dan Dosen Psikologi UIN Malang mengenai batas minimal usia perkawinan
pada Undang-undang Perkawinan, kemudian penulis akan menganalisis dengan
teori-teori yang ada. Bab kelima, bab ini meupakan penutup dari penulisan skripsi.
Berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan juga saran-saran untuk
menjadi bahan penelitian selanjutnya. Setelah bab kelima akan dicantumkan
lampiran-lampiran dan daftar pustaka sebagai kelengkapan dan pembuktian atas
penelitian yang dilakukan.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Batas minimal usia kawin dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan perspektif hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang dan dosen Psikologi UIN Malang." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment