Abstract
INDONESIA:
Salah satu wewenang yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi adalah melakukan judicial review (uji materil) Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Semua putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi bersifat final, mengikat serta tidak memiliki upaya hokum untuk di tinjau kembali. Pada tanggal 17 Februari 2012 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor: 46/PUU-VIII/2010 tentang kedudukan anak diluar perkawinan. Putusan ini mengundang kontroversi di kalangan masyarakat. Di satu sisi putusan ini melegakan sebagian pihak akan tetapi di sisi yang lain dampak putusan ini menimbulkan permasalahan yang baru yang meresahkan masyarakat.Yang menjadi perhatian masyarakat dari isi putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Bunyi pasal ini diubah dengan penambahan kalimat yaitu “serta dengan laki-laki sebagai ayahnya, yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Hal yang sangat menarik dari adanya putusan ini adalah reaksi dari Majelis Ulama Indonesia yang mengeluarkan fatwa nomor: 11/MUNAS VIII/MUI/3/2012 tentang kedudukan anak zina dan perlakuan terhadapnya. Fatwa ini merupakan reaksi penolakan dari Majelis Ulama’ Indonesia terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ini dengan melakukan kajian sesuai Syariat Islam.
Adapun tujuan dari pembahasan penelitian ini adalah untuk mengetahui persamaan, perbedaan dan dasar hukum yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dan Majelis Ulama Indonesia dalam setiap mengambil suatu keputusan hukum dalam hal ini berkenaan dengan kedudukan anak di luar perkawinan.
Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk penelitian hukum normative atau yuridis normatif dengan menggunakan dua pendekatan yaitu Conceptual approach (pendekatan konseptual) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Dengan cara mengkaji bahan hukum sebagai sumber data. Adapun bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 tentang kedudukan anak di luar perkawinan dan bahan hukum yang yang berkeitan dengan pembahasan di atas.
Dari hasil penelitian diperoleh sebuah kesimpulan bahwa persamaan antara putusan Mahkamah Konstitusi nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan fatwa MUI nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 adalah pertimbangan hukum dikeluarkan putusan tersebut yaitu anak yang lahir di luar perkawinan harus dilindungi sebagai wujud perlindungan terhadap hak asasi manusia sedangkan perbedaannya antara keduanya adalah mengenai dasar hukum yang digunakan sehingga menghasilkan produk hukum yang berbeda, selain itu perbedaan juga terletak pada fokus yang dipertimbangkan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah anak luar perkawinan yang berkaitan dengan tidak adanya “ pencatatan perkawinan “ dan “ sengketa perkawinan, Berbeda halnya dengan fatwa Nomor: 11/Munas VIII/MUI/3/2012 fokus pertimbangan yang menjadi pembahasan dalam isi fatwa tersebut menyinggung tentang anak di luar perkawinan atau anak hasil zina.
ENGLISH:
One of the authority given to the Constitutional Court is conducting a judicial review (material testing) Act against the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945. All decisions made by the Constitutional Court are final, binding and not have a remedy for the review. On February 17, 2012, the Constitutional Court issued a ruling number: 46/PUU- VIII/2010 about the position of children outside the marriage. This ruling invites controversy among the community. On the one hand the verdict was a relief, but on the other hands, the effects of this verdict raise new problems troubling the people. A certain which is become concern to the public is the contents of the Constitutional Court verdict that declared section 43 subsection (1) of ACT No. 1 of 1974 about marriage that reads born outside marriage has civil relations with her mother and her mother's family. The sound of this section was modified with the addition of the sentence with a man as his father, who can be proven based on Science and technology and/or other proof according to law had blood relations, including relations with his father's family in civil. And a very interesting of this ruling is the reaction of the Indonesia Ulema Council issued a fatwa number: 11/CONGRESS VIII/MUI/3/2012 about the position of children of adultery and the treatment of him. This Fatwa is a reaction to the rejection of The Ulama Indonesia against the verdict of the Constitutional Court in reviewing appropriate Islamic jurisprudence.
The discussion aim of this research is to find out; similarities, differences and basic law used by the Constitutional Court and Majelis Ulama Indonesia in any take a legal decision in this respect with a child out of wedlock.
Viewed from its kind, this research including research normative position or juridical law normative by using two approaches is concep approach ( approach conceptual ) and approach comparison ( comparative approach ). By the way of assessing law as data sources. The verdict which is used by the writer in this research is the constitutional court ruling number: 46 PUU-VIII / 2010 and a fatwa was Majelis Ulama Indonesia number: MUNASVIII MUI / 11 /03 / 2012 about a child out of wedlock and materials laws pertaining to discussion over.
From the research obtained a conclusion that equation between the award the constitutional court number:/46PUU-VIII/2010 and MUI FATWA number: /11/MUNASVIIIMUI3/ /2012 is judicial consideration issued the ruling namely children born out of wedlock to be covered as form of protection of human rights while the difference between two is concerning basic law used thus producing legal products different besides the difference also lies in focus consideration. The award the constitutional court was child outer marriage pertaining to absence of marriage registration and dispute marriage, it is different thing with fatwa number: / 11 MUNAS VII / MUI 3 / / 2012 focus consideration of its being discussed in the contents of the fatwa talked about child out of wedlock or child results fornication.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam
pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan
lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.1 Berdasarkan 24C ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi
mempunyai empat wewenang.Adapun kewenangannya adalah : 1. Menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 1 Bambang
Sutiyoso,Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi,
(Yogyakarta , UII press, 2009), 5. 2 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga
Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. 3. Memutus
pembubaran partai politik. 4. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum.2
Melalui Kewenangan yang diberikan kepadanya, Mahkamah Konstitusi sebagai suatu
lembaga peradilan yang memiliki peran yang teramat penting dalam menentukan
arah hukum sekaligus memutuskan ada tidaknya pelanggaran konstitusi yang
terjadi, baik yang dilakukan oleh individu atau lembaga negara ataupun yang
terdapat di dalam suatu produk Undang- Undang. Kehadiran Mahkamah Konstitusi
sebenarnya juga merupakan jawaban nyata atas diperlukannya suatu mekanisme
pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (constitutional
review) yang sebelumnya sama sekali tidak terdapat ruang geraknya. Padahal
Indonesia sebagai penganut prinsip supremasi konstitusi menitik beratkan
kondisi dimana seluruh produk awal konstitusi (the guardian of constitution),
Mahkamah Konstitusi juga berusaha untuk menegakkan segala aspek kehidupan
bermasyarakat dan bernegara sesuai dengan semangat dan nilai-nilai yang
terkandung di dalam konstitusi melalui empat wewenang tersebut.3 Dari empat
wewenang tersebut, wewenang yang paling sering digunakan oleh Mahkamah
Konstitusi adalah wewenang dalam menguji 2Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi(Jakarta,Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
2007), 41. 3Moh.Mahfud MD, Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum dan
Demokrasi di Indonesia, (Jakarta, Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia,2009),4-5. 3 Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini
terbukti dengan perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
tahun 1945 yang diterima Mahkamah Konstitusi lebih banyak dibandingkan dengan
perkara yang lainnya. Secara keseluruhan sejak tahun 2003 sampai 2013 Mahkamah
Konstitusi telah menerima 773 Perkara pengujian Undang-Undang4 . Dalam putusan
perkara pengujian Undang-Undang dapat diketahui apakah suatu ketentuan
Undang-undang yang dimohonkan bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang
Dasar 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan suatu permohonan
pengujian Undang-Undang dengan sendirinya mengubah ketentuan suatu Undang-Undang
yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang tahun 1945 tersebut dan tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Pada 17 Februari 2012 Mahkamah
Konstitusi telah menetapkan keputusan yang cukup mengejutkan banyak kalangan,
yaitu dikeluarkannya Putusan nomor: 46/PUU-VIII/2010 tentang kedudukan hukum
bagi anak di luar perkawinan. Di satu sisi putusan ini melegakan sebagian
Masyarakat terutama pihak yang diterima permohonannya oleh majelis hakim
Mahkamah Konstitusi yang berperkara, akan tetapi disisi yang lain putusan ini
kemudian menimbulkan permasalahan baru yang bisa meresahkan banyak pihak.
Permasalahan itu mengenai kedudukan 4Lihat di situs
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU 4 anak di luar
perkawinan dengan ayah biologis dan keluarganya, serta kedudukanya terhadap
pewarisan. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal 43 ayat
(1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”. Bunyi pasal ini diubah dan menjadi “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya, yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.5 Adanya
putusan ini memastikan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hak
keperdataan dengan ayah biologisnya. Ini yang kemudian menjadi titik terang
akan status anak tersebut. Hal ini didasarkan bahwa hukum harus memberi
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang
dilahirkan dan hakhak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan
meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan. Sesaat setelah Putusan
nomor: 46/PUU-VIII/2010 dibacakan tanggal 17 Februari 2012, langsung mendapat
sambutan yang beragam, dari yang mengapresiasi, sampai yang khawatir terhadap
Implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi ini. Putusan Mahkamah Konstitusi ini
tidak hanya bersentuhan dengan kebutuhan publik semata akan tetapi juga
menyinggung sebagian yang dianggap otoritas dari eksistensi ajaran agama yang
mempunyai pandangan yang berbeda. Majelis Ulama’ 5 Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 17 Februari 2012, Tentang Uji Materiil
Undang-undang Perkawinan Pada Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1). 5
Indonesia (MUI), yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zua’ma, dan
cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia adalah
lembaga paling berkompeten dalam menjawab dan memecahkan setiap masalah sosial
keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah mendapat
kepercayaan penuh dari masyarakat dan pemerintah.6 Dalam kaitanya dengan
putusan Mahkamah Konstitusi nomor: 46/PUU-VIII/2010, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) merupakan lembaga keagamaan yang pertama kali yang merespon dan
menyatakan dengan tegas menolak putusan Mahkamah Konstitusi ini karena dianggap
telah menyimpang dari ajaran agama Islam. Dalam merespon putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, MUI telah melakukan kajian sesuai Syariat Islam dan hasil
kajian tersebut kemudian dikeluarkannya fatwa nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012
tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakukan Terhadapnya. Fatwa tersebut
menepis berbagai syubuhat (kerancuan) di tengah umat Islam dan menyatakan
dengan tegas kedudukan anak hasil zina dalam Islam, sehingga ummat Islam tidak
perlu lagi merasa ragu berpegang terhadap aturan syari'at Islam yang telah
ditetapkan oleh Allah dan bukan aturan yang lain yang dibuat manusia. Majelis
Ulama Indonesia menyatakan tidak akan mencabut fatwa tentang kedudukan anak
hasil perzinaan dan kedudukan mereka dalam hukum Islam. Majelis Ulama 6Ma’ruf
Amin, Pengantar dalam Himpunan Fatwa MUI 2003, (Jakarta: MUI Pusat, 2003), vi.
6 Indonesia, tetap berpendirian anak di luar nikah tidak dapat memiliki
hubungan perdata dengan ayah kandungnya. Syariat Islam mengatakan bahwa anak
hasil zina hanya memiliki hubungan dengan ibunya. Pandangan Majelis Ulama
Indonesia itu tidak akan berubah kecuali Mahkamah Konstitusi dapat memberikan
bukti lain berdasarkan hukum Syariat Islam. Berbeda dengan fatwa itu, putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VII/I2010 menyebutkan, anak lahir luar nikah
memiliki hubungan perdata dengan lelaki yang dapat dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan sebagai ayah biologisnya. Majelis Ulama Indonesia memandang,
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki konsekwensi yang sangat luas,
termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak hasil
zina dan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, dimana hal demikian tidak
dibenarkan oleh ajaran Islam.Majelis Ulama Indonesia menilai putusan itu tidak sesuai
syariat Islam karena didasarkan pertimbangan pemikiran manusia tanpa
mempertimbangkan hukum agama. Berkenaan dengan permasalahan di atas, terdapat
perbedaan pandangan antara putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUUVIII/2010
dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 tentang
kedudukan anak di luar perkawinan. Di satu sisi Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga peradilan tertinggi di Indonesia telah mengeluarkan putusan yang
intinya menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata 7 dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya. Putusan Mahkamah Konstitusi ini bersifat final dan telah
berkekuatan hukum tetap. Di sisi yang lain Majelis Ulama Indonesia sebagai
lembaga keagamaan yang mempunyai kompetensi dalam menyelesaikan permasalahan
ummat Islam dan juga mempunyai tugas memberikan kontrol terhadap setiap
permasalahan agama yang menyimpang dari ajaran Islam telah mengeluarkan fatwa
yang intinya menolak putusan Mahkamah Konstitusi dan menyatakan bahwa anak di
luar nikah tidak dapat memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya akan
tetapi anak hasil zina hanya memiliki hubungan dengan ibunya. Dari uraian
singkat di atas, bahwa antara putusan Mahkamah Konstitusi nomor:
46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa MUI nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 tentang kedudukan
anak di luar perkawinan keduanya terjadi perbedaan. B. Rumusan Masalah Dalam
membahas dan mengkaji permasalahan di atas, perlu kiranya penulis memberikan
batasan-batasan pembahasan, agar dalam mengkaji permasalahan ini tidak melebar
terlalu luas sehingga maksud dari pembahasan masalah ini tidak tercapai.
Batasan-batasan tersebut terumus dalam sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
8 1. Bagaimana dasar hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 46/PUU-VIII/2010
dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/MUNASVIII/ MUI/3/2012 tentang
kedudukan anak di luar perkawinan? 2. Bagaimana persamaan dan perbedaan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 tentang kedudukan anak di luar perkawinan? C.
Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari pembahasan masalah diatas, sesuai dengan
tujuan penulis dalam rumusan masalah, antara lain : 1. Untuk mengetahui dasar
hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Nomor:11/MUNASVIII/ MUI/3/2012 tentang kedudukan anak di luar
perkawinan. 2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor:
11/MUNASVIII/MUI/3/2012 tentang kedudukan anak di luar perkawinan D. Manfaat
Penulisan Adapun kegunaan yang diharapkan oleh penulis dalam penelitian ini
adalah memberikan kontribusi keilmuan baik secara teoritis maupun praktis : 9
1. Teoritis Pembahasan penelitian ini diharapkan menjadi tambahan informasi
sebagai sumbangan pemikiran untuk memperkaya khazanah keilmuan hukum, khususnya
dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 tentang kedudukan anak di luar
perkawinan. 2. Praktis Dapat menghindari pola pikir sempit, yang hanya fanatik
pada satu pandangan hukum, serta mampu memberikan sumbangsih keilmuan dan
wawasan hukum bagi ahli hukum maupun masyarakat umum. E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian
ini adalah merupakan jenis penelitian hukum normatif atau yuridis normatif
yaitu penelitian yang mengkaji terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum,
taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.7 Sedangkan yang
mendasari penelitian ini adalah perbedaan antara Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 46/PUU-VIII/2010 7Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian
Hukum Normatif dan Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),153. 10 danFatwa
Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 tentang kedudukan anak
di luar perkawinan. Sehingga penelitian yang sesuai adalah jenis penelitian
yuridis normatif dengan pertimbangan bahwa penulis ingin membandingkan antara
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama
IndonesiaNomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 tentang kedudukan anak di luar
perkawinan 2. Pendekatan Penelitian Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan
masalah terhadap legal issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara
pendekatan (Approuch) yang digunakan. jika cara pendekatan tidak tepat, maka
bobot penelitian tidak akurat dan kebenarannya pun dapat digugurkan. Demikian
pula dalam suatu penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan berbeda,
kesimpulannya pun akan berbeda.8 Sehubung dengan jenis penelitian yang
digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, maka dalam
membandingkan antara Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 tentang kedudukan
anak di luar perkawinan, penulis menggunakan dua pendekatan yang dilakukan 8
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang,
Bayumedia Publishing, 2007), 299. 11 yaitu Conceptual approach (pendekatan
konseptual) dan Comparative approach (pendekatan perbandingan). Pendekatan
konseptual digunakan untuk memahami konsepkonsep tentang Mahkamah Konstitusi
baik mengenai sejarah, wewenang, serta dasar-dasar hukum dalam memutuskan
perkara kemudian tentang Majelis Ulama Indonesia baik mengenai sejarah,
wewenang serta dasar-dasar hukum dalam menetapkan fatwa serta konsep tentang
kedudukan anak di luar pekawinan menurut hukum positif dan hukum Islam.
Sedangkan pendekatan perbandingan digunakan untuk membandingkan antara Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 dengan membandingkan dasar-dasar hukum yang di
gunakan kedua putusan di atas serta menganalisis apa yang sama dan apa yang
berbeda dalam kedua putusan di atas. 3. Bahan Hukum Bahan hukum sebagai bahan
penelitian diambil dari bahan kepustakaan yang berupa bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier.9 a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum
primer terdiri atas peraturan PerundangUndangan, Yurispudensi atau keputusan
pengadilan (lebih-lebih 9Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian
Hukum,157.. 12 bagi penelitian yang berupa studi kasus) dan perjanjian
internasional. Menurut Peter Mahmud Marzuki,10 bahan hukum primer ini bersifat
otoritatif, artinya mempunyai otoritas yaitu merupakan hasil tindakan atau
kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Bahan hukum
primer dalam penelitian ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor:
11/MUNASVIII/MUI/3/2012 tentang kedudukan anak di luar perkawinan. b. Bahan
Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa rancangan
perundang-undangan, hasil penelitian, bukubuku teks, jurnal ilmiah, surat kabar
(koran), pamflet, lefleat, brosur, dan berita internet yang berkaitan langsung
dengan penelitian.11 Pada penelitain ini, bahan hukum sekunder meliputi
buku-buku tentang Mahkamah Konstitusi, Majelis Ulama Indonesia dan kedudukan
anak di luar perkwinan menurut hukum positif dan ajaran Islam serta artikel
dari internet yang terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 10Peter Mahmud
Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana 2005), 139. 11Mukti Fajar dan
Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum, 157-158. 13 11/MUNASVIII/MUI/3/2012
tentang kedudukan anak di luar perkawinan. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum
tersier juga merupakan bahan hukum yang dapat menjelaskan baik bahan hukum
primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum ini berupa Kamus dan
Ensiklopedi. 4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian Hukum normatif
atau kepustakaan, teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka
terhadap bahanbahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
maupun bahan hukum tersier. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat
dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun dengan melalui media
internet.12 Dalam kaitanya dengan penelitian ini penulis mengadakan pengumpulan
terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
dengan cara penelusuran bahan hukum tersebut dengan cara membaca, mendengar,
maupun penulusuran terhadap situs resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Majelis Ulama’ Indonesia ataupun situs lain yang berkaitan dengan pembahasan
penelitian ini. 12Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum,
160. 14 5. Metode Penglolahan Bahan Hukum Setelah bahan hukum dikumpulkan,
tahap selanjutnya adalah melakukan pengolahan bahan hukum tersebut yaitu
mengelola bahan hukum sedemikian rupa sehingga bahan hukum tersebut tersusun
secara rruntut, sistematis, sehingga memudahkan peneliti melakukan analisis.13
Terkait dengan penelitian ini, pengolahan bahan hukum dilakukan dengan cara
mengadakan sistematika terhadap bahan-bahan hukum tertulis berupa putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 kemudian melakukan seleksi bahan hukum sekunder
yang terkait dengan pembahasan di atas, setelah itu melakukan klasifikasi
menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data tersebut dengan sitematis
dan logis untuk mendapat gambaran umum dari hasil penelitian. 6. Analisis Bahan
Hukum Analisis bahan hukum merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa
melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan bahan hukum yang dibantu
dengan teori-teori yang telah di dapatkan sebelumnya. Secara sederhana analisis
bahan hukum ini disebut sebagai kegiatan memberikan telaah yang dapat berarti
menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan 13Mukti
Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum,180. 15 kemudian membuat
suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan
teori yang telah dikuasainya.14 Dalam penelitian ini setelah penulis
mendapatkan bahan hukum yang di peroleh dan mengolahnya, penulis melakukan
analisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 dengan menggunakan
analisis secara ADeskriptif Komparatif. Analisis Komparatif digunakan untuk
meberikan gambaran atau pemaparan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi nomor:
46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa MUI nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 tentang kedudukan
anak di luar perkawinan kemudian membandingkan antara kedua putusan tersebut
sehingga mendapatkan kesimpulan yang jelas tentang persamaan dan perbedaan
keduanya. F. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu diperlukan untuk
menegaskan, melihat kelebihan dan kelemahan berbagai teori yang digunakan
penulis lain dalam pengkajian tema yang sama. Sebagai upaya merekontruksi dan
mengetahui orisinalitas penelitian sehingga mempermudah pembaca melihat dan
menilai perbedaan teori yang digunakan penulis dengan penulis lainnya dalam
pengkajian tema yang sama. Hal tersebut agar dapat mengetahui dan lebih memperjelas
kembali bahwa penelitian ini memiliki 14Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad,
Dualisme Penelitian Hukum, 183. 16 perbedaan yang subtansial dengan hasil
penelitian yang lain. Adapun penelitian terdahulu yang dilakukan mahasiswa
jurusan Al-Ahwal AlSyakhshiyyah fakultas Syari’ah Universitas Islam Negri
Maulana Malik Ibrahim Malang antara lain sebagai berikut : Pertama, penelitian
yang dilakukan oleh M. Nahya Sururi al-Khaq dengan judul ”Kedudukan Anak Di
Luar Nikah Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan KUHPerdata (BW)”, skripsi
pada jurusan AlAhwal Al-Syakhshiyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang Tahun 2007. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian Kepustakaan (library research) atau juga dikenal penelitian
yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini
memaparkan tentang kedudukan anak di luar pernikahan menurut Kitab
Undang-Undang hukum Perdata (B.W.) bahwa anak di anggap sah apabila ada
pengakuan dari kedua orang tuanya.Namun menurut kompilasi hukum Islam (KHI)
walaupun sudah dapat pengakuan dari kedua orang tuanya, anak di luar nikah
tidak bisa diakui secara sah, karena di Indonesia tidak mengenal adanya lembaga
pengesahan anak.15 Kedua, penelitian yang dilakukan Ramadhita dengan judul
”Status Keperdataan Anak Di Luar Nikah Dari Nikah Sirri Melalui Penetapan Asal
Usul Anak (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kabupaten Malang)”, skripsi pada
jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang Tahun 2011. Penelitian ini termasuk 15M. Nahya Sururi al-Khaq, Kedudukan
Anak Diluar Nikah Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (B.W), Skripsi (Malang : UIN Malang, 2007) 17 dalam kategori
penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Dalam penelitian ini memaparkan tentang pandangan hakim di pengadilan agama
kabupaten Malang bahwa penetapan asal usul anak dapat digunakan sebagai upaya
hukum agar anak dari nikah sirri memiliki kedudukan yang sama dengan anak yang
sah jika perkawinan sirri orang tuanya memenuhi rukun dan syarat sah perkawinan
sebagai mana yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) undang-undang nomor 1 tahun
1974.16 Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Handi Rohman dengan judul penelitian
“Status Kenasaban Anak Hasil Perkosaan Incest Perspektif Fiqh Islam”, skripsi
pada jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang Tahun 2001.Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian Kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Penelitian hanya fokus terhadap nasab anak baik dari aspek
perkosaan dan anak hasil zina. Dari penelitian ini mengahasilkan sebuah
analisis bahwa anak yang dilahirkan akibat perkosaan tersebut merupakan anak
yang sah sebagaimana perkawinan yang sah, serta hak-hak dan kewajibannya yang
melekat pada diri anak tersebut. Hal ini dikarenakan perkosaan bukan merupakan
zina dalam artian yang sesungguhnya, dari seseorang yang baligh, berakal sehat,
sadar bahwa yang dilakukkanya itu perbuatan haram, dan tidak dipaksa. Apabila
perbuatan tersebut dilakukan bukan atas dasar 16Ramadhita, Status Keperdataan
Anak Di Luar Nikah Dari Nikah Sirri Melalui Penetapan Asal Usul Anak (Studi
Kasus di Pengadilan Agama Kabupaten Malang), Skripsi (Malang: UIN Malang, 2011)
18 tersebut maka dapat di golongkan sebagai perbuatan syubhat. Sehingga tidak
adanya hukum had bagi orang yang di paksa.17 Keempat, penelitian yang dilakukan
oleh Luthfiatin dengan judul penelitian “Pengaruh Hasil Test DNA terhadap
Kewarisan Anak Yang Dihasilkan dari Perbuatan Zina”, skripsi pada jurusan
Al-Ahwal AlSyakhshiyyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Tahun 2002. Penelitian ini memfokuskan pada kewarisan anak yang dilahirkan dari
perbuatan zina. Dari penelitian ini dinyatakan bahwa keakuratan test DNA antara
ayah dan anak yang dihasilkan dari perbuatan zina secara muthlaq dapat
menghubungkan nasab mereka. Dengan demikian mereka dapat saling mewarisi.Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Kepustakaan
(library research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif.18 Kelima
Penelitian yang dilakukan oleh Ririn Rahmawati dengan judul “Pengabsahan Anak
yang Dilahirkan dari Perkawinan Sirri Ditinjau dari UU No. 1 Tahun 1974”,
skripsi pada jurusan Al-Ahwal AlSyakhshiyyah Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang Tahun 2001.Penelitian ini termasuk dalam kategori
penelitian kepustakaan (library research), dengan metode analisis deskriptif.
Penelitian ini mengkaji status anak dari perkawinan sirri yang tidak mendapat
jaminan dan perlindungan hukum dari negara.Sebagai upaya hukum yang dapat
17Handi Rohman, Status Kenasaban Anak Hasil Perkosaan Incest Perspektif Fiqh
Islam, Skripsi (Malang: UIN Malang, 2001) 18Luthfiatin, Pengaruh Hasil Test DNA
terhadap Kewarisan Anak Yang Dihasilkan dari Perbuatan Zina”, Skripsi (Malang:
UIN Malang, 2002) 19 dilakukan oleh orang tuanya adalah, melalui itsbat nikah
di Pengadilan Agama19 . Meskipun memiliki tema yang sama tentang kedudukan anak
di luar pernikahan, namun penelitian yang dilakukan oleh peneliti kali ini
adalah berfokus pada perbandingan antara putusan Mahkamah Konstitusi nomor:
46/PUU-VIII/2010 dan fatwa MUI nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 tentang kedudukan
anak di luar perkawinan. G. Penegasan Judul Sesuai dengan judul yang penulis
angkat yaitu “Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 46/PUU-VIII/2010 Dan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/MUNAS VIII/MUI/3/2012 Tentang Kedudukan Anak
di Luar Perkawinan (Analisis Komparatif)”, kiranya sangat penting bagi penulis
untuk memberikan penegasan judul untuk menghindari perbedaan interpretasi dan
kesalahpahaman yang mengakibatkan adanya kekaburan dalam memahami tentang
pembahasan yang sedang penulis bahas. Penegasan judul yang penulis masukkan
hanya meliputi bagianbagian yang rentan menimbulkan perbedaan pemahaman, yaitu:
Fokus Pembahasan Pengertiannya Putusan Mahkamah Konstitusi Suatu pernyataan
yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang diberikan
19Ririn Rahmawati, Pengabsahan Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan Sirri
Ditinjau dari UU No. 1 Tahun 1974, Skripsi (Malang:UIN Malang,2001) 20
kewenangan oleh Undang-Undang dan dibacakan di persidangan bertujuan untuk
menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antar para pihak.20 Fatwa MUI
Penjelasan (jawaban) dari Majelis Ulama Indonesia tentang hal yang berhubungan
dengan ajaran/ pelaksanaan hukum-hukum Islam yang terjadi kontroversi di
Masyarakat.21 Anak di Luar Perkawinan Anak di luar perkawinan adalah anak yang
dilahirkan akibat perkawinan yang tidak sah. Kebalikan dari pengertian anak sah
di dalam pasal 88 ayat (1) RUU hukum terapan peradilan agama bidang perkawinan
tahun 2005 yang menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau akibat perkawinan yang sah apabila diselenggarakan sesuai pasal 3, pasal 4
dan pasal 5 RUU-HT-PA-BPerkwn tahun 2005.22 Setelah penulis memperjelas bagian
kata-kata yang dianggap penting di dalam judul yang rentan menimbulkan
perbedaan pemahaman, maka obyek pembahasan dalam skripsi ini adalah mengarah
pada pembahasan analisis komparatif putusan Mahkamah Konstitusi nomor:
20Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty,
1993), 174. 21Pius A Partanto, Karya Ilmiyah Populer (Surabaya: Arkola, 1994),
173. 22Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Di Catat
Menurut Hukum Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), 287. 21 46/PUU-VIII/2010 dan fatwa MUI nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012
tentang kedudukan anak di luar perkawinan. H. Sistematika Pembahasan Dalam
rangka mempermudah dalam membaca, meneliti, menganalisa serta menarik
kesimpulan dalam skripsi ini, maka sistematika pembahasan dalam penelitian ini
di bagi menjadi empat bab sebagai berikut: Bab Pertama merupakan bab
pendahuluan yang didalamnya memuat beberapa keterangan yang menjelaskan
tentang; (1) latar belakang masalah sebagai penjelasan tentang ide yang
mendasari penulis dalam penelitian ini, (2) Rumusan masalah sebagai batasan
pembahasan agar pembahasan tidak melenceng dan tetap fokus pada tujuan,(3)
Tujuan penulisan berguna agar penulisan penelitian ini mempunyai tujuan yang
sesuai dengan rumusan masalah yang telah ada, (4) Manfaat penulisan, berguna
untuk mengetahui manfaat dari penelitian yang penulis teliti, (5) Metodologi
Penelitian, yang berupa metode-metode penelitian yang penulis ambil dengan
langkah-langkah yang sesuai dengan buku pedoman yang berlaku mulai jenis
penelitian sampai analisis bahan hukum yang sudah ada, (6) Penelitian terdahulu
digunakan untuk mengetahui penelitian-penelian yang sudah di teliti sebelumnya,
(7) Penegasan judul yang berfungsi sebagai penyatuan pemahaman antara penulis
dan pembaca agar tidak terjadi kesalahpahaman persepsi, (8) Sistematika Penulisan
22 berguna sebagai gambaran isi penelitian ini agar lebih cepat di mengerti
dengan mudah. Bab Kedua dalam bab ini berisi tentang kajian pustaka yang di
dalamnya memuat tentang sejarah, kedudukan dan wewenang tentang Mahkamah
Konstitusi (MK) dan Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) serta dasar-dasar hukum
dalam mengeluarkan sebuah putusan. Dan juga menjelaskan tentang kedudukan anak
luar nikah dalam hukum positif maupun dalam Hukum Islam. Bab Ketiga menjelaskan
dan memaparkan tentang dasar-dasar hukum yang digunakan oleh Mahkamah
Konstitusi dalam putusan nomor: 46/PUU-VIII/2010 serta dasar hukum yang
digunakan MUI dalam fatwa nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 serta menjelaskan
persamaan dan perbedaan antara keduanya. Bab Keempat merupakan bab yang
terakhir dan penutup dari semua pembahasan. Dalam bab terkhir ini memuat
tentang kesimpulan penelitian sebagai ringkasan dan gambaran terhadap apa yang
dihasilkan dalam penelitian ini dan juga sebagai jawaban dari rumusan masalah
yang ada serta dilengkapi dengan saran-saran penting dari penulis yang perlu
disampaikan kepada para pembaca secara umum.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" :Putusan Mahkamah Konstitusi nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor: 11/MUNAS-VIII/MUI/3/2012 tentang kedudukan anak di luar perkawinan: Analisis komparatif" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment