Abstract
INDONESIA
Keberadaan Keputusan Menteri Agama terkait dengan penetapan awal bulan Qamariyah seperti ketiadaannya. Keputusan Menteri yang merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum mengikat tidak sepenuhnya dipatuhi oleh masyarakat luas. Masyarakat yang berafiliasi dengan organisasi tertentu lebih taat kepada keputusan yang dikeluarkan oleh organisasi tersebut. Hal ini disebabkan karena metode yang digunakan dalam menetapkan awal bulan Qamariyah pada setiap organisasi keagamaan berbeda.
Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan Keputusan Menteri Agama terkait dengan penetapan awal bulan Qamariyah dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia serta implikasi yang ditimbulkan dari Keputusan Menteri tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keputusan tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat luas khususnya umat Islam di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Selain pendekatan kualitatif, penelitian ini juga menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute aproach), yang bertujuan mengetahui kedudukan Keputusan Menteri Agama dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hasil analisa terhadap bahan hukum yang ada, maka diperoleh kesimpulan bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 hingga Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangundangan, maka Keputusan Menteri diakui keabsahannya dan memiliki kekuatan
hukum mengikat,karena dibentuk berdasarkan kewenangan Menteri Agama. Lebih tepatnya Keputusan Menteri berada di bawah Peraturan Presiden dan di atas Peraturan Daerah. Hal tersebut berimplikasi bahwa setiap umat Islam di Indonesia wajib mentaati Keputusan Menteri Agama terkait dengan penetapan awal bulan Qamariyah, karena salah satu kewajiban warga negara yang baik yakni dengan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Keputusan Menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang legal dan sah.
ENGLISH
hukum mengikat,karena dibentuk berdasarkan kewenangan Menteri Agama. Lebih tepatnya Keputusan Menteri berada di bawah Peraturan Presiden dan di atas Peraturan Daerah. Hal tersebut berimplikasi bahwa setiap umat Islam di Indonesia wajib mentaati Keputusan Menteri Agama terkait dengan penetapan awal bulan Qamariyah, karena salah satu kewajiban warga negara yang baik yakni dengan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Keputusan Menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang legal dan sah.
ENGLISH
The existence of Ministry of Religion decree related to the determination of initial month of Qamariyah is such its absence. The decree, which is one type of acknowledged legislations and has binding law force, is not completely complied by society. Societies who are affiliated with a particular organization obey the decree issued by the organization more. It is because the methods that are used to determine the initial month of Qamariyah are different for each religious organization.
This study focuses on knowing the position of the Ministry of Religious related to the determination of initial month of Qamariyah in the constitutional system of Republic of Indonesia and the implications that are arose from the Ministry decree. It sets out to determine the extent to which the decree must be obeyed and implemented by society, especially for Muslim in Indonesia. The type of research used in this study is normative research, which uses qualitative approach. Besides, this study also uses the law approach (statue approach) to determine the position of the Ministry of Religious in the legislation hierarchy.
Based on the analysis of the existing legal materials, it is concluded that based on the law No.1 of 1950 and law No. 12 of 2011 concerning on the establishment of legislation, the Ministry decree is acknowledged and has binding law force, as it is established by authority of the Ministry of Religious. For more precisely the Ministry of Religious Affairs Decree is under the Presidential Decree and above the Regulation. It implies that every Muslim of Indonesia must obey the decree of the the Ministry of Religious related to the determination of initial month of Qamariyah, due to one of the obligations of good citizen is to obey the regulations and the decree of the Ministry which is one of the legal type of regulations.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perbedaan pendapat mengenai penetapan awal
bulan Qamariyah kerap terjadi antar organisasi keagamaan. Persoalan ini
merupakan persoalan yang sudah menjurus ke ranah ijtihâdi, karena masing-masing
organisasi memiliki metode penetapan awal bulan Qamariyah, seperti contohnya
organisasi Nahdlatul Ulama dalam menetapkan awal bulan Qamariyah dengan
menggunakan metode ru’yah al-hilâl bi al-fi’li atau istikmâl dan organisasi
Muhammadiyah dengan menggunakan metode hisab wujud al-hilal atau hisab milad
al-hilal. 1 Oleh karenanya madzhab ruk’yah selalu identik dengan NU dan madzhab
hisab selalu identik dengan Muhammadiyah. 1Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyah
Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan
Idul Adha (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), 110, 125. 2 Sejarah mencatat
bahwasanya Indonesia sudah mengalami beberapa kali perbedaan dalam melaksanakan
hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Seperti pada tahun 1992 (1412 H),
sebagian golongan berhari raya pada hari Jum’at (3 April) mengikuti Arab Saudi,
sebagian lagi pada hari Sabtu (4 April) sesuai dengan hasil ru’yah NU, dan
sebagian lainya berhari raya pada hari Minggu (5 April) berdasarkan hasil imkân
al-ru’yah. Perbedaan hari raya idul fitri kerap terjadi pada setiap tahunnya,
karena seperti yang telah dijelaskan terdahulu bahwasnya setiap organisasi
keagamaan memiliki metode dalam menetapkan awal bulan Qamariyah. 2 Sering kali
perbedaan pendapat mengenai penetapan awal bulan Qamariyah menjadi sebuah
kegelisahan bagi masyarakat awam yang kemudian berujung kepada perselisihan
antar umat Islam. Sesungguhnya perbedaan ini bukan merupakan hal yang tabu dan
jarang terjadi, tetapi ketika golongan tertentu telah melaksanakan shalat Idul
Fitri sedangkan golongan lain masih melaksanakan ibadah puasa maka akan timbul
kebinggungan pada masyarakat awam. Hal ini yang akan menghancurkan ukhuwah
islamiyah antar umat Islam. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama memiliki
otoritas penuh untuk menetapkan (itsbât) awal bulan Qamariyah. 3 Pemerintah
mencoba menjadi penengah terhadap perbedaan penetapan awal bulan Qamariyah yang
sering 2 Abu Yusuf Al Atsary, Pilih Hisab atau Ru’yah Sebuah Telaah Ilmiyah
Dalam Menjawab Polemik Seputar Penentuan Puasa dan Hari Raya (Solo: Pustaka
Darul Muslim), 118. 3 M. Nur Hidayat, Otoritas Pemerintah Dalam Penetapan Awal
Bulan Qamariyah Perspektif Yusuf Qardhawi, Skripsi Sarjana, (Malang:
Universitas Islam Negeri Malang, 2012). 3 terjadi di kalangan organisasi
keagamaan. Metode imkân al-ru’yah menjadi tawaran pemerintah terhadap perbedaan
yang terjadi. Metode ini merupakan hasil dari musyawarah Menteri-menteri Agama
Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang tergabung dalam
(MABIMS) yang resmi digunakan dalam penetapan awal bulan Qamariyah pada
Kalender Resmi Pemerintah dengan prinsip bahwa awal bulan Qamariyah terjadi
apabila saat matahari terbenam, ketinggian bulan di atas cakrawala minimum 2°
atau pada saat bulan terbenam usia bulan minimum 8 jam dihitung sejak ijtimâ’.4
Pemerintah melalui Keputusan Menteri Agama menetapkan awal bulan Qamariyah
dalam sidang itsbât pada setiap tanggal-tanggal sebelum pergantian awal bulan,
yakni pada tanggal 28 atau 29 pada setiap bulannya. Secara teknis pelaksanaan
rukyat al-hilal dilaksanakan oleh Kementerian Agama daerah yang bekerjasama
dengan BHR (Badan Hisab dan Ru’yah) dan Pengadilan Agama atas instruksi
Kementerian Agama pusat. Setelah dilaksanakan rukyat al-hilal disetiap daerah,
hasilnya disampaikan kepada Kementerian Agama pusat yang kemudian menjadi dasar
pertimbangan dalam menetapkan awal bulan Qamariyah. Tetapi keberadaan Keputusan
Menteri Agama seperti ketiadaannya. Sidang itsbât yang diselenggarakan setiap
menjelang awal bulan Qamariyah yang melibatkan organisasi keagamaan seperti
Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, serta BHR (Badan Hisab dan Ru’yah) tidak
sepenuhnya ditaati oleh 4 Abu Yusuf Al Atsary, Pilih Hisab, 119. 4 masyarakat
luas. Masyarakat yang mengikuti golongan tertentu, seperti NU maupun
Muhammadiyah lebih taat kepada keputusan yang dikeluarkan oleh ormas tersebut.
Padahal keputusan tersebut hanya merupakan ikhbâr (istilah dalam organisasi NU)
kepada masyarakat luas yang sifatnya tidak mengikat seperti halnya keputusan
yang dikeluarkan oleh Menteri Agama dalam menetapkan awal bulan Qamariyah. 5
Selanjutnya dalam pasal 8 ayat 2 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dijelaskan bahwasanya jenis Peraturan
Perundang-undangan selain yang termasuk dalam hierarki Peraturan
Perundang-undangan pasal 7 ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Adapun jenis peraturan tersebut seperti yang tertuang dalam pasal 8 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri
dan badan atau lembaga yang dibentuk oleh Undang-undang atau Pemerintah. 6
Sehingga apabila dicermati Keputusan Menteri Agama sesungguhnya diakui dan
memiliki kekuatan hukum mengikat, karena dibentuk berdasarkan kewenangan
Kementerian Agama. 5 Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyah, 9. 6 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
5 Keberadaan Menteri sangat penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Menteri sebagai salah satu tangan kanan Presiden bertugas menyelenggarakan
urusan di bidangnya masing-masing guna membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan Negara Republik Indonesia, seperti contohya Menteri Agama yang
menyelenggarakan urusan di bidang keagamaan. Dalam hal penyelenggaraan tugasnya
Menteri berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden, sehingga Presiden
mempunyai otoritas penuh untuk mengangkat dan memberhentikan Menteri. Meskipun
demikian, kedudukan Menteri Negara tergantung kepada Presiden, tetapi dalam
prakteknya Menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan Pemerintah
(pouvoir executief).7 Indonesia merupakan negara hukum yang mana sistem
kenegaraannya diatur berdasarkan hukum positif yang berkeadilan yang tersusun
dalam suatu konstitusi. Hal ini dapat dibuktikan dalam pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas
menyatakan bahwasanya: “Negara Indonesia adalah negara hukum”, sehingga hukum
harusnya dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan. Oleh karena
itu semua orang dalam sebuah negara hukum, baik yang diperintah maupun yang
memerintah harus tunduk kepada hukum yang sama.8 Maka akan timbul signifikansi
antara teori Negara Hukum dimana setiap orang harus 7 Kansil, Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1989), 190. 8 Munir
Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat) (Bandung: PT Refika Aditama,
2009), 3. 6 mematuhi peraturan yang ada dengan realita yang ada di lapangan
ketika sebagian orang atau oramas-ormas tertentu tidak mematuhi Keputusan
Menteri terkait dengan penetapan awal bulan Qamariyah. Berangkat dari
permasalah ini, penulis ingin meneliti terkait dengan kedudukan dan implikasi
hukum Keputusan Menteri Agama dalam menetapkan awal bulan Qamariyah yang
menjadi pedoman bagi umat Islam di Indonesia dalam menjalankan ibadah. Menurut
peneliti hal ini akan menarik karena keberadaan Keputusan Menteri Agama seperti
ketiadaannya, sehingga perlu dikaji lebih dalam tentang kedudukan keputusan
tersebut dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu,
penulis merumuskan tema ini dalam sebuah judul “Kedudukan dan Implikasi Hukum
Surat Keputusan Menteri Agama Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah ditinjau
dari Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.” B. Batasan Masalah Dalam
penelitian ini penulis membatasi permasalahan hanya pada kedudukan Keputusan
Menteri Agama di Indonesia terkait penetapan awal bulan Qamariyah khususnya
awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah serta implikasi hukum dari
keputusan tersebut. Dalam hal ini penulis akan menarik Keputusan Menteri Agama
kepada hierarki peraturan perundang-undangan dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. 7 C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka
dihasilkan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kedudukan surat
Keputusan Menteri Agama terkait penetapan awal bulan Qamariyah dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia? 2. Bagaimana implikasi hukum yang
ditimbulkan oleh surat Keputusan Menteri Agama dalam penetapan awal bulan
Qamariyah? D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui kedudukan surat Keputusan
Menteri Agama terkait penetapan awal bulan Qamariyah dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia. 2. Untuk mengetahui implikasi hukum yang
ditimbulkan oleh surat Keputusan Menteri Agama terkait penetapan awal bulan
Qamariyah. E. Manfaat Penelitian Dari tujuan dilakukan penelitian ini, maka
terdapat manfaat yang dapat diperoleh darinya, antara lain sebagai berikut: 1.
Manfaat Teoritis a. Menambah khazanah keilmuan dibidang Ilmu Falak maupun Ilmu
Hukum, khususnya terkait dengan kedudukan dan implikasi hukum Keputusan Menteri
Agama dalam menetapkan awal bulan Qamariyah yang selanjutnya menjadi pedoman
bagi seluruh umat Islam dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT. 8 2. Manfaat
Praktis a. Memberikan saran kepada pemerintah khususnya Kementerian Agama dalam
menetapkan awal bulan Qamariyah. b. Sebagai bahan rujukan peneliti-peneliti
yang akan datang dalam kajian Ilmu Falak. F. Definisi Operasional Agar lebih
mudah memahami pembahasan dalam penelitian ini dan untuk menghindari kesalahpaham
makna, maka akan dijelaskan beberapa kata pokok yang berkaitan dengan judul
penelitian ini, di antaranya sebagai berikut: 1. Implikasi, keterlibatan atau
keadaan terlibat, yang termasuk atau tersimpul yang disugestikan tetapi tidak
dinyatakan.9 2. Keputusan, adalah instrument pemerintahan yang bersifat konkret
dan individual (tidak ditunjukkan untuk umum).10 Keputusan yang lebih spesifik
dalam penelitian ini adalah keputusan yang berupa penetapan awal bulan
Qamariyah yang dibentuk berdasarkan kewenangan Menteri Agama. 3. Awal Bulan
Qamariyah, menurut para ahli hisab awal bulan Qamariyah adalah ketika hilal di
atas ufuq saat matahari terbenam dan dapat dirukyah menurut para ahli rukyat,
sedangkan menurut para pakar astronomi menyatakan bahwa awal bulan terjadi saat
konjungsi (ijtimâ’ al-hilal) yakni 9 Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia Terbaru (Surabaya: Amelia, 2003), 181. 10 Ridwan, Hukum Administrasi
Negara (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), 144-145 9 bulan segaris
dengan matahari dan bulan. 11 Awal bulan Qamariyah dalam penelitian ini
dispesifikkan pada awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. G. Metode
Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian normatif. Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum
normatif adalah penelitian hukum kepustakaan, atau library based, focusing on
reading and analysis of the primary and secondary materials. Adapun yang
diteliti adalah bahan hukum atau bahan pustaka, yang dalam hal ini merupakan
data dasar yang digolongkan sebagai data sekunder.12 Fokus permasalahan yang
akan diteliti adalah kedudukan Keputusan Menteri Agama dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia. Sedangkan obyek penelitiannya adalah
penetapan awal bulan Qamariyah, sehingga akan dapat dipahami kedudukan
Keputusan Menteri Agama dalam penetapan awal bulan Qamariyah yang menjadi
anutan umat Islam di Indonesia dalam menjalankan ibadahnya, seperti penetapan
awal bulan Ramadhan maupun penetapan hari-hari besar Islam. Mengawali penelitian
normatif kali ini yakni 11 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis (Malang:
UIN-Malang Press, 2008), 220. 12 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), 23-24.; Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitain Hukum Normatif
(Malang: Bayumedia Publishing,2006), 46. 10 dengan mengkaji bahan kepustakaan
serta peraturan perundang-undangan yang relevan dengan tema besar yang sedang
diteliti. 2. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini pendekatan penelitian
yang digunakan adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Menurut Bogdan dan
Taylor metodologi penelitian kualitatif adalah sebuah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan prilaku yang diamati atau obyek yang sedang dikaji.13 Sedangkan penelitian
deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaaan,
gejala atau kelompok tertentu, ataupun gejala lain dalam masyarakat. Sehingga
dalam menjawab persoalan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah, maka
diperlukan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis yang kemudian
dikembangkan dalam bentuk pemaparan data. Selain menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif, penelitian ini juga menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute aproach). Metode pendekatan perundang-undangan ini
sangat erat kaitannya dengan tema besar yang sedang diteliti, sehingga perlu
memahami hierarki dan asasasas yang terkandung dalam peraturan
perundang-undangan.14 Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui kedudukan
Keputusan Menteri Agama dalam menetapkan awal bulan Qamariyah yang menjadi
anutan umat Islam di 13 Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 4. 14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian
Hukum (Jakarta: Kencana, 2007), 96. 11 Indonesia dalam menjalankan ibadah.
Sehingga perlu dikaji lebih dalam tentang Keputusan Menteri Agama tersebut yang
ditinjau dari hierarki perundang-undangan di Indonesia yang tertuang dalam Undang-undang
Nomor 12 tahun 2011. 3. Bahan Hukum Sumber data adalah subyek dimana seorang
peneliti dapat memperoleh sebuah data. Inti dari sebuah penelitian adalah
menemukan data, oleh karena itu keberadaannya sangat penting dalam penelitian.
Dalam penelitian hukum normatif data yang dikenal adalah data sekunder, yakni
data yang tidak berasal langsung dari sumbernya, seperti dokumen-dokumen resmi,
bukubuku, dan hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan. Data sekunder ini
kemudian diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis data, yakni bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer
adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti norma, peraturan dasar,
yurisprudensi, undang-undang, dan traktat. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah
bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan
hukum, dan yang terakhir adalah bahan hukum tertier yakni bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
kamus, ensiklopedia, dan indeks.15 15 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada), 13. 12 Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini
mencakup Peraturan Perundang-undangan seperti Undang-undang Dasar 1945,
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12
tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Peraturan Menteri
Agama RI Nomor 10 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Agama, Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tentang Penetapan awal bulan
Qamariyah. Selain bahan hukum primer yang berupa norma, buku-buku terkait
penetapan awal bulan Qamariyah, ilmu hukum, dan ilmu perundang-undangan juga
menjadi referensi utama. Seperti Fiqih Hisab Rukyah karya Ahmad Izzuddin, Ilmu
Falak Praktis karya Moh. Murthado, Ilmu Perundang-undangan karya Maria Farida
Indrati, Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik karya
Yuliandri, serta beberapa buku penunjang lainnya. Bahan hukum sekunder dalam
penelitian kali ini sebagai penjelas terhadap bahan hukum primer yang meliputi
hasil penelitian, jurnal, naskahnaskah catatan, dokumen, artikel, internet,
bahan seminar, dan lain-lain yang berkaitan dengan tema besar penelitian ini.
Sedangkan bahan hukum tersier yang memberikan petunjuk ataupun penjelas
terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti ensiklopedia,
kamus lengkap Bahasa Indonesia, dan indeks majalah hukum. 13 4. Metode
Pengumpulan Data Pengumpulan data ialah proses yang sistematis dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan. Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dokumentasi. Data yang diteliti meliputi bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Setiap bahan hukum
yang disebutkan di atas harus diperiksa ulang, karena akan menentukan hasil
dari suatu penelitian. Kumpulan data verbal yang berbentuk tulisan ini disebut
dokumen dalam arti yang sempit. Sedangkan dokumen dalam arti yang luas meliputi
foto, rekaman dalam kaset, video, disk, artifact, dan monument.16 Dengan
menggunakan metode dokumentasi yang digunakan, maka peneliti akan mengumpulkan
data-data yang berkaitan dengan kedudukan dan implikasi hukum Keputusan Menteri
Agama dalam menetapkan awal bulan Qamariyah yang menjadi tema besar dalam
penelitian ini. 5. Metode Analisa Data Analisis data adalah sebuah proses
mencari dan menyusun data secara sistematis yang diperoleh dari berbagai hasil
dokumentasi. Melalui beberapa cara yakni mengorganisasikan data-data ke dalam
kategori, selanjutnya menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,
menyusun ke dalam sebuah pola, mengklasifikasikan hal-hal penting yang
selanjutnya akan 16 Moehnilabib, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian, (Malang:
1997), 94 14 dibahas, dan terakhir membuat kesimpulan.17 Sehingga melalui
proses analisis data ini akan memberi kemudahan kepada peneliti maupun pembaca
dalam proses pemahaman. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode deskriptif analitis, yaitu metode yang bertujuan untuk
memberi gambaran atau mendeskripsikan data yang terkumpul. Maka dengan metode
ini penulis mendeskripsikan tentang kedudukan Keputusan Menteri Agama dalam
menetapkan awal bulan Qamariyah serta implikasi hukumnya yang kemudian
dianalisis. H. Penelitian Terdahulu Penelitian dengan judul serupa belum
peneliti temukan di antara deretan hasil penelitian, baik di kampus UIN Maliki
Malang, maupun kampus-kampus lainnya. Adapun kesamaan hanya pada tema yang
diangkat, yaitu tema tentang penetapan awal bulan Qamariyah, maka penelitian
yang bertemakan serupa telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu.
Penelitian tersebut di antaranya adalah: 1. Muhammad Mudakir Mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga pada tahun 2011, yang
berjudul “Kedudukan Itsbat Pemerintah Dalam Penentuan Awal Bulan Qamariyah
Menurut Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah”, yang menjadi fokus penelitiannya
adalah itsbat pemerintah dalam penentuan awal bulan Qamariyah yang ditinjau
dari kacamata Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Pada bagian 17 Lexy J.Moleong,
Metodologi, 248. 15 akhir peneliti menyimpulkan bahwasanya baik NU maupun
Muhammadiyah tetap bersikukuh dengan metode yang digunakan dalam penetapan awal
bulan Qamariyah, yakni metode ru’yah dan hisâb. Maka menurut dua organisasi
tersebut tidak ada kewajiban untuk mengikuti keputusan pemerintah. Terdapat
pengecualian dalam mengikuti keputusan pemerintah, secara formal NU akan
mengikuti keputusan itsbât awal bulan Qamariyah apabila keputusan tersebut
berdasarkan hasil ru’yah al-hilal atau istikmâl. Sedangkan Muhammadiyah akan
mengikuti keputusan itsbât apabila keputusan tersebut berdasarkan data astronomi
yang valid atau berdasarkan hisab wujudul hilal. Nuansa politis juga menjadi
pertimbangan NU maupun Muhammadiyah untuk mengikuti keputusan sidang itsbât
tersebut. 2. M. Nur Hidayat Mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri
Malang pada tahun 2012, yang berjudul “Otoritas Pemerintah Dalam Penetapan Awal
Bulan Qamariyah Perspektif Fiqh Siyasah Yusuf Qardhawi”, yang menjadi fokus
penelitiannya adalah apakah pemerintah mempunyai otoritas dalam menetapkan awal
bulan Qamariyah serta status hukum menaati keputusan pemerintah dalam
menetapkan awal bulan Qamariyah perspektif fiqh siyasah Yusuf Qardhawi. Pada
bagian akhir peneliti menyimpulakan bahwasanya pemerintah dalam hal ini
Kementerian Agama RI memiliki otoritas dalam menetapkan awal bulan Qamariyah. Selanjutnya
untuk ormas keagamaan tidak memiliki otoritas menetapkan awal bulan Qamariyah,
hanya sekedar mengumumkan (ikhbâr). Menurut fiqh siyasah Yusuf Qardhawi 16
hukumnya wajib mengikuti keputusan yang ditetapkan pemerintah dalam hal
penetapan awal bulan Qamariyah, karena persoalan ini telah diadopsi dan menjadi
otoritas penuh pemerintah. Bedasarkan kajian terhadap beberapa penelitian
terdahulu yang memiliki tema serupa, belum terdapat penelitian yang membahas
tentang tema yang sedang dikaji oleh peneliti. Fokus penelitian kali ini adalah
Keputusan Menteri Agama dalam menetapkan awal bulan Qamariyah yang kemudian
ditarik ke dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia. Sehingga dapat
diketahui kedudukan Keputusan Menteri Agama serta implikasi hukum yang timbul
dari keputusan tersebut. I. Sistematika Pembahasan Agar penyusunan penelitian
ini menjadi terarah, sistematis, dan saling berkaitan satu bab dengan bab
lainya maka peneliti dapat menggambarkan susunannya secara umum sebagai
berikut: BAB I, merupakan bab pendahuluan yang mana dalam hal ini peneliti
memaparkan kegelisahan akademik di dalam latar belakang masalah yang menjadi
ide pokok dalam penelitian ini. Selanjutnya berangkat dari latar belakang
masalah, maka menghasilkan sebuah rumusan masalah sebagai sebuah pertanyaan
dalam penelitian ini. Agar penelitian tidak meluas, maka perlu adanya batasan
masalah. Selanjutnya peneliti memaparkan tujuan, manfaat serta metode
penelitian yang teruraikan dalam sub bab tersendiri. Metode penelitian
merupakan langkah-langkah yang dilakukan seorang peneliti dengan 17
mengumpulkan, mengelola, menganalisa hingga menyimpulkan dalam sebuah
kesimpulan, sehingga metode penelitian terdiri dari jenis penelitian,
pendekatan penelitian, metode pengumpulan data, sumber data, dan lain
sebagainya. Selanjutnya adalah penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai
parameter untuk mengetahui orisinalitas penelitian. Poin terakhir dalam bab
pendahuluan adalah sistematika pembahasan yang menggambarkan susunan penelitian
secara umum. BAB II merupakan pembahasan tentang landasan teoritik, yang
meliputi: struktur ketatanegaraan Republik Indonesia, tinjauan umum tentang
keputusan Tata Usaha Negara, tinjauan umum tentang fungsi, tugas serta
kewenangan Menteri Agama, tinjauan umum hierarki peraturan perundang-undangan
di Indonesia sejak Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 sampai Undang-undang Nomor
12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya
adalah tinjauan umum tentang awal bulan Qamariyah serta otoritas pemerintah dalam
menetapkan awal bulan Qamariyah. BAB III yakni paparan hasil penelitian dan
pembahasan tentang kedudukan surat Keputusan Menteri Agama terkait penetapan
awal bulan Qamariyah dalam sistem ketatanegaraan RI serta implikasi hukum yang
ditimbulkan oleh surat Keputusan Menteri Agama dalam menetapkan awal bulan
Qamariyah. BAB IV sebagai bagian akhir dari rangkaian penelitian maka peneliti
menyajikan kesimpulan sebagai intisari dari hasil penelitian, serta saran-saran
sebagai tindak lanjut dari penelitian ini
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Kedudukan dan implikasi hukum surat keputusan Menteri Agama dalam penetapan awal bulan Qamariyah ditinjau dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment