Abstract
INDONESIA:
Sahnya perkawinan dan fungsi pencatatan perkawinan sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan yaitu suatu akta yang dimuat dalam daftar pencatatan. Namun hal berbeda akan tampak pada permasalahan perubahan identitas akta nikah yang telah ditetapkan utamanya bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2013, bahwasanya dalam perkara diatas dapat diselesaikan di KUA tempat pemohon mendaftarkan perkawinannya setelah mendapatkan keputusan dari Pengadilan Negeri, berbeda dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Administrasi Kependudukan, dimana perkara sebagaimana diatas diselesaikan di KUA tempat pemohon mendaftarkan perkawinannya setelah mendapatkan keputusan dari Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah, sehingga terjadilah konflik of Norm.
Berawal dari latar belakang di atas, terdapat dua rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1). Bagaimanakah hukum pengaturan perubahan identitas akta nikah dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia? 2).Apakah implikasi hukum perubahan identitas akta nikah bagi yang beragama Islam? Penelitian ini tergolong ke dalam penelitian normatif. Penelitian ini, termasuk ke dalam penelitian normatif yang meneliti tentang asas-asas hukum. Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-undangan (Statute approach) yang dilengkapi dengan Pendekatan Konsep (Conceptual approach). Dalam penelitian ini metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis preskriptif-analisik.
Peneliti menyimpulkan bahwa dalam melakukan perubahan identitas yang terjadi akibat kesalahan penulisan ataupun pengetikan identitas dalam akta nikah bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam dilakukan di Pengadilan Agama tempat ia (pemohon) berdomisili, kemudian dari hasil keputusan Pengadilan Agama tersebut dibawah untuk tertib administrasi Kantor Urusan Agama (KUA) tempat ia (pemohon) dahulu mendaftarkan perkawinanannya. Dalam hal ini yang menjadi landasan hukumnya adalah Pasal 34 Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah sebagai wujud aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagaimana pengembangan teori jenjang norma oleh Hans Nawiasky, bahwa aturan pelaksana (Verodnung) memiliki fungsi yang sama dalam penyelenggaraannya.
ENGLISH:
Legal Marriage and function of Marriage registration as registration of important events in human’s life, for example birth, death and etc which are mentioned in explanation of certificate that contained in a registration. But, different in the problem of identity change of marriage certificate that has been regulated especially for muslim citizen in Indonesia. According to Law Number 23 Year 2006 about Citizen Administration which has reformed by Law number 24 Year 2013, that in case of identity change of Marriage Certicate can be done in KUA where bride and groom register their marriage after they get decision from State Court, different with the regulation of Religious Minister Number 11 year 2007 about Citizen Administration explain that case above can be done in KUA where bride and groom register their marriage after get decision from Religious Court and Mahkamah Syar’iyah, so it rise Konflik of Norm
Base on the background above, there are two problems as follows: 1) what is law of identity change of marriage certificate in Law regulation in Indonesia?, 2) what is law implication of marriage certificate identity change for Muslim?
This research is normatif research which is discuss about law principles. Approach used in this research is statue approach completed with conceptual approach. Data analyze methode used in this reserach is preskriptif-analisik method.
From this research can get the conclussion that in change the identity of marriage certificate because of writting or typing mistekes in marriage certificate for muslim citizen in Indonesia is done in Religious Court where bride and groom domiciled, then from Religious Court decision for administration order of Religious Affairs Office (KUA) where they have registered their marriage. Its done base on Article 34 Religious Minister regulation Number 11 Year 2007 about Marriage Registration as form of implementation rule of Law Number 1 Year 1974 about Marriage. As the development of the theory of hierarchy of norms by Hans Nawiasky, that implementation rules (Verodnung) have the same function in its organiser
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkawinan
adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah
pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga
yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan
dan persiapan fisik dan mental karena 2 menikah adalah sesuatu yang sakral dan
dapat menentukan jalan hidup seseorang.1 Pengertian pernikahan menurut
Undang-Undang Pasal 1 No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin anatara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2 Perkawinan bisa dikatakan sah
menurut hukum apabila sudah memenuhi syarat-syarat sah dan rukun pernikahan.
Salah satu syarat sah pernikahan adalah dengan adanya pemberian mahar atau
maskawin kepada calon mempelai wanita (calon isteri). Menurut kesepakatan para
ulama, mahar adalah pemberian wajib bagi calon suami kepada calon isteri yang
merupakan salah satu syarat sahnya pernikahan.3 Dalam Kompilasi Hukum Islam
mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita,
baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam. 4 Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita
dengan memberi hak kepadanya, di antaranya adalah hak untuk menerima mahar.
Mahar hanya diberikan oleh calon 1 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat
(Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 7. 2 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), h. 537-538. 3
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada1995),
h. 101. 4 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung; Fokus Media, 2007), h. 14. 3 suami
kepada calon isteri, bukan kepada wanita lainnya atau siapa pun, walaupun
sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya
meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan isteri.5 Dari
definisi mahar tersebur di atas jelaslah bahwa hukum taklifi dari mahar itu
adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib
menyerahkan mahar kepada isterinya itu, suami yang tidak menyerahkan mahar
kepada isterinya di anggap berdosa. Dalil dalam ayat AlQur’an adalah firman
Allah dalam surat An-Nisa: 4 uä!$|¡ÏiY9$# (#qè?#uäur bÎ*sù 4 \'s#øtÏU £`ÍkÉJ»s%ß|¹ çm÷ZÏiB &äóÓx« `tã öNä3s9 tû÷ùÏÛ $\«ÿÏZyd çnqè=ä3sù $T¡øÿtR ÇÍÈ$\«ÿÍ£D
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah
pemberian sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya)”.(QS. An-Nisa:4)6
Dari adanya perintah Allah dan perintah Nabi untuk memberikan mahar itu, maka
ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya memberi mahar kepada isteri. Tidak
ditemukan dalam literatur ulama yang menempatkannya sebagai 5 Abdul Rahman
Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), h. 11-12. 6 QS. An-Nisa (4):4
4 rukun. Mereka sepakat menempatkan sebagai syarat sah bagi suatu perkawinan,
dalam arti perkawinan yang tidak pakai mahar adalah tidak sah. Meskipun
demikian, bila setelah menerima mahar si isteri memberikan lagi sebagian dari
mahar tersebut kepada suaminya secara sukarela, suami boleh mengambilnya. Hal
ini dapat dipahami secara jelas dari ujung ayat (4) surat AnNisa tersebut di
atas. Mahar itu adalah suatu yang wajib diadakan meskipun tidak dijelaskan
bentuk dan harganya pada waktu akad. Dari segi dijelaskan atau tidaknya mahar
pada waktu akad, mahar digolongkan menjadi dua macam, yaitu: mahar yang
disebutkan bentuk, wujud atau nilainya secara jelas dalam akad, atau disebut
mahar musamma, dan mahar yang tidak disebutkan jenis dan jumlahnya pada waktu
akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang diterima oleh
perempuan lain dalam keluarganya. Mahar dalam bentuk ini disebut mahar mitsil.
7 Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak
ada batas tertinggi. Mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya.
Menurut Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan
tabi’in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala
sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain 7 Amir Syarifudin,
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undangundang
Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2009), h. 86-87. 5 dapat dijadikan mahar.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya.
Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar paling sedikit
seperempat dinar emas murni atau perak seberat tiga dirham atau bisa dengan
barang yang sebanding berat emas dan perak tersebut.8 Sebaliknya pemberian
maskawin secara berlebihan justru dilarang. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan
kesulitan bagi pemuda untuk melangsungkan perkawinannya. Mempersulit perkawinan
bisa melahirkan implikasi-implikasi yang buruk, atau bahkan merusak secara
personal maupun sosial. Ummar bin Khatab pernah menyampaikan bahwa ketika
seseorang lakilaki diharuskan memberi maskawin yang mahal kepada calon
istrinya, boleh jadi ia akan menyimpan kebencian kepada perempuan itu.9
Sehubungan dengan praktek kebiasaan masyarakat desa Bayur Kidul yang mana calon
mempelai pria memberikan sesuatu kepada calon mempelai wanita pada saat
pernikahannya, kebiasaan seperti ini disebut Tradisi Jalukan. Pada dasarnya
pemberian semacam ini sudah menjadi tradisi atau kebiasaan pada masyarakat desa
Bayur Kidul. Desa Bayur Kidul Kecamatan Cilamaya Kabupaten Karawang memiliki
tradisi jalukan pada saat pernikahan. Jalukan adalah suatu permintaan dari
pihak perempuan terhadap pihak laki-laki yang disepakati keduanya sebelum 8
Ghazali, Munakahat, h. 88-89. 9 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiyai
Atas Wacana Agama Dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 105. 6 melaksanakan
pernikahan. Jalukan ini di antaranya berbentuk barang atau uang. Contoh lain
jalukan adalah rumah, mobil, dan emas, tergantung apa yang disepakati oleh
kedua belah pihak calon mempelai.10 Jalukan ini diluar mahar (maskawin) yang
disebutkan secara terang-terangan saat akad nikah berlangsung di hadapan
penghulu dan para saksi dari kedua belah pihak. Tujuan jalukan adalah untuk
mengangkat derajat perempuan dan sebagai bukti keseriusan calon mempelai pria.11
Ketetapan jalukan ini menjadi tradisi dalam hampir setiap pernikahan masyarakat
Desa Bayur Kidul. Untuk sampai pada hari pernikahan dibutuhkan banyak
persiapan. Keluarga calon mempelai pria harus memiliki persiapan yang tidak
sedikit untuk melaksanakan pernikahannya. Jalukan memiliki tata cara yang khas
sebelum saat penyerahannya, memiliki beberapa tahap. Pertama adalah gedor
lawang. Tahap pertama ini sebagai bentuk silaturahmi pertama dari keluarga
calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai wanita. Selain itu
keluarga calon mempelai laki-laki juga menanyakan jalukan. Kedua, nekani. Pada
tahap kedua ini kedua keluarga musyawarah mengenai jalukan dan pada tahap ini
pula jalukan di tetapkan. Jalukan diberikan pada saat pernikahan sebelum akad nikah.
Jalukan dibawa oleh pihak mempelai pria dan diberikan kepada pihak mempelai
wanita. Dalam jalukan ini ada proses serah terima yakni dari pihak mempelai
pria memberikan 10 Syarifuddin, wawancara (Cilamaya, 17 November 2014) 11
Syarifudin, wawancaraa (Cilamaya. 17 November 2014) 7 sambutan sebagai
penyerahan barang jalukan dan dari pihak mempelai wanita juga ada sambutan
sebagai penerima barang jalukan yang diberikan.12 Tradisi jalukan dalam
pernikahan ini memang tidak asing lagi bagi masyarakat Karawang, khususnya di
Desa Bayur Kidul. Akan tetapi, hal yang menarik yang membuat penulis ingin
meneliti tradisi jalukan di Desa Bayur Kidul tersebut adalah karena tradisi
jalukan memiliki tata cara yang khas yang berbeda dengan adat lainnya. Dengan
penjelasan di atas mengenai tradisi jalukan penulis tertarik untuk meneliti
tradisi jalukan di Desa Bayur Kidul dalam perspektif „urf. Dalam penelilitian
ini penulis menggunakan metode „urf dalam istinbat hukumnya karena „urf
merupakan metode istinbat hukum dengan melihat perbuatan atau kebiasaan
masyarakat disuatu daerah yang tidak bertentangan dengan nash. ‟Urf juga sangat
relevan digunakan istinbat hukum dalam penelitian ini. B. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam ruang lingkup penelitian ini digunakan untuk menghindari
terjadinya persepsi lain mengenai yang akan dibahas oleh penulis. Penulis hanya
membatasi masalah pada bagaimana persepsi masyarakat desa Bayur Kidul dan hukum
tradisi jalukan dalam perspektif „urf. Penelitiaan ini dilakukan terhadap
masyarakat Desa Bayur Kidul Kecamatan Cilamaya 12 Khadijah, wawancara
(Cilamaya, 17 November 2014) 8 Kabupaten Karawang mengenai tradisi jalukan
sebelum melaksanakan perkawinan. C. Rumusan Masalah Dari apa yang telah
dikemukakan pada latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan
yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana Persepsi Masyarakat Desa Bayur Kidul,
Kecamatan Cilamaya, Kabupaten Karawang Terhadap Tradisi Jalukan? 2. Bagaimana
tradisi jalukan sebelum melaksanakan perkawinan dalam perspektif „Urf? D.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah: 1. Untuk mendeskripsikan pemahaman masyarakat Desa Bayur Kidul,
Kecamatan Cilamaya, Kabupaten Karawang Terhadap Tradisi jalukan. 2. Untuk
menguraikan hukum tradisi jalukan sebelum melaksanakan perkawinan dalam
perspektif „Urf. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis,
manfaat penelitian ini agar dapat menjadi bahan informasi terhadap kajian dunia
akademisi serta sebagai masukan penulis 9 yang lain dalam tema yang berkaitan
sehingga dapat dijadikan referensi tambahan bagi penulis berikutnya. 2. Manfaat
Praktis a. Untuk menambah wawasan lebih luas dalam bidang hukum Islam, adat dan
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. b. Sebagai bahan akademik dalam
pengembangan wawasan keilmuan dan informasi bagi mahasiswa Fakultas Syari’ah.
F. Definisi Operasional Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan ini, maka
penulis merasa perlu untuk menjelaskan beberapa definisi yang erat kaitannya
dalam judul skripsi ini. 1. Jalukan adalah dalam bahasa Desa Bayur Kidul yang
artinya permintaan, maksudnya adalah suatu permintaan dari pihak calon mempelai
perempuan terhadap pihak calon mempelai laki-laki. 2. ‘Urf adalah suatu
keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah
menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. 10 G. Sistematika
Pembahasan Untuk mengetahui dan melakukan sebuah rumusan untuk mendapatkan cara
yang mudah dalam memahami isi penelitian ini, peneliti menggunakan sitematika
pembahasan menjadi lima bagian, yaitu sebagai berikut: BAB I : Merupakan
pendahuluan, yang meliputi beberapa keterangan yang menjelaskan tentang latar
belakang masalah sebagai penjelasan tentang pentingnya pemilihan judul dan
penulisan ini, kemudian pokok-pokok yang terdapat dalam latar belakang akan
dirumuskan ke dalam rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Dari rumusan masalah yang ada diketahui tujuan dari penelitian ini. Batasan
masalah berfungsi untuk memaparkan batasanbatasan permasalahan dalam penelitian
yang dibahas agar lebih fokus. Setelah semua permasalahan telah dikemukakan
langkah selanjutnya ialah mengetahui manfaat penelitian yang diperoleh setelah
ini selesai. Berikutnya adalah sistematika pembahasan, yang menguraikan secara
garis besar dalam bentuk bab dan sub bab yang saling berhubungan dalam
pembahasan penelitian ini. BAB II : Mencakup kajian pustaka yeng berisi
tinjauan umum tentang pengertian khithbah, dan pengertian ‘urf, dalam hal ini
dapat mengetahui pengertian dan dasar-dasar hukum tentang khitbah, baik
Al-Qur’an dan Hadits, 11 mengetahui macam-macam ‘urf dan pendapat para ulama
mengenai syarat-syarat ‘urf shahîh. BAB III : Berisi tentang metode penelitian
yang bertujuan untuk membantu peneliti dalam menjalankan dan kodifikasi
analisis dan penyajian data pada bab empat yang di dalamnya menjelaskan
bagaimana penelitian tersebut dilaksanakan, metode-metode pengumpulan data yang
digunakan serta pengelolaannya. Adapun pembagian dari metode penelitian ini
antara lain: lokasi penelitian, jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber
data, teknik pengumpulan data, dan teknik pengolahan data, yang digunakan
sebagai rujukan bagi peneliti dalam menganalisis semua data yang sudah
diperoleh. BAB IV : Mencakup pada pembahasan tentang penyajian dari hasil
penelitian yang meliputi: latar belakang objek penelitian, penyajian dan
analisis data yang bersumber dari konsep teori yang ada. Dalam hal ini meliputi
tentang persepsi masyarakat Desa Bayur Kidul terkait tradisi jalukan sebelum melaksanakan
perkawinan dan tradisi jalukan di Desa Bayur Kidul dalam perspektif „urf,
sekaligus sebagai jawaban rumusan masalah sehingga dapat diambil hikmah dan
manfaatnya. BAB V : merupakan bab terakhir atau penutup yang berisi kesimpulan
yang menguraikan hasil dari seluruh pembahasan sekaligus menjawab pokok
permasalahan yang telah dikemukakan secara singkat terkait persepsi masyarakat
12 Desa Bayur Kidul dan perspektif „urf terhadap tradisi jalukan sebelum
melaksanakan perkawinan di Desa Bayur Kidul, Kecamatan Cilamaya, Kabupaten
Karawang atas manfaat yang diperoleh setelah penelitian ini.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment