Abstract
INDONESIA :
Aboge dapat dikatakan berasal dari khasanah kosakata Jawa yaitu merupakan akronim dariAlip Rebo Wage. Aboge adalah metode perhitungan/kalender Jawa untuk menentukan hari, tanggal, bulan, dan tahun Jawa.Desa Sidodadi Kecamatan Lawang ini, masyarakatnya mayoritas berasal beragama Islam dan berasal dari Suku Jawa. Sebagian besar masyarakatnya menganut sistem kepercayaan Aboge yang berasal dari ajaran kepercayaan lelur dan nenek moyang. Masyarakatnya Islam Aboge di desa ini bercampur dan menyatu dengan masyarakat Islam Nadhatul Ulama’ (NU). Meskipun begitu mereka masih mempertahankan serta menjalankan tradisi dan upacara Jawa.
Dalam penelitian ini, terdapat rumusan masalah yaitu: 1)Bagaimana pelaksanaan tradisi perkawinan di kalangan masyarakat Aboge di Desa Sidodadi, Kec. Lawang, Kab. Malang? 2)Bagaimanakah alasan masyarakat dalam mempertahankan larangan tertentu dalam perkawinan pada masyarakat Aboge di Desa Sidodadi, Kec. Lawang, Kab. Malang?. Penelitian ini tergolong ke dalam jenis penelitian sosiologis (empiris) dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif dan pendekatan induktif dalam rangka analisis data lapangan. Sebagian besar dari data primer di kumpulkan dari observasi lapangan dan berhubungan langsung dengan informan yang terkait dengan bidang kajian langsung atau pun tidak. Literatur dan dokumentasi yang terkait digunakan sebagai sumber data sekunder.
Hasil penelitian ini lebih menfokuskan dan mengkaji mendalam mengenai empat tradisi larangan perkawinan dan tradisi perkawinan masyarakat Aboge, empat larangan tersebut yaitu; wase tahun/ naga tahun, satu sura, sama weton, dan dino gotong. Tradisi perkawinan adat masyarakat Aboge adalah tata cara perkawinan dari masyarakat aboge dan perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Semua aturan perkawinan adat itu boleh dilakukan apabila tidak menyalahi dari aturan perundang-undangan. Dan alasan masyarakat aboge di desa Sidodadi dari empat larangan tersebut, hanyalah untuk mendapatkan keselamatan, rizki yang lancar, dan keberkahan dari Allah SWT, yang tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat bersifat kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga.
ENGLISH :
Aboge can be traced back from the Javanese vocabulary as the acronym for Alip Rebo Wage. Aboge is calculation method/Javanese calendar to determine Javanese day, date, month and year. Sidodadi village in Lawang sub district has majority of Moslem and coming from Javanese tribe. Most of its people has beliefs in Aboge which is a belief tenet of their ancestors. Aboge Moslem in this village is mixed with Nadhatul Ulama’ (NU) Moslem. Though they still maintain and implementing Javanese tradition and ceremony.
In this study, there are problemtic framework: 1) How does marriage tradition being implemented among Aboge people in Sidodadi village, Lawang sub district, Malang regency?2) What is the reason to maintain certain prohibition in marriage among Aboge people in Sidodadi village, Lawang sub district, Malang regency? This study is a sociological (empirical) study using qualitative descriptive method and inductive approach in its field data analysis. Most of primary data was collected from field observation and directly involved with informant who related in the reviewed matter either directly or indirectly. Literatures and documentation regarding this matter was used as secondary data sources.
Result of this study is focused and in depth reviewieng the four prohibition tradition within marriage and tradition of marriage among Aboge, these four prohibition are: wase of the year/naga tahun, one sura, equal weton, and dino gotong. Marriage tradition as custom among Aboge people is marriage processing from Aboge people and marriage that has legal impact toward the valid custom law in the community involved. All of these custom marriage rules can be done as long as it did not breach the law regulation. Reason why Aboge people in Sidodadi village avoid these prohibition were only to obtain safety, have good fortune, and blessing from Allah SWT, whereas objectives of marriage for the people according to custom law is kinship in nature, to maintain and continue the descent according to paternal or maternal or both, for the happiness of the household.
In this study, there are problemtic framework: 1) How does marriage tradition being implemented among Aboge people in Sidodadi village, Lawang sub district, Malang regency?2) What is the reason to maintain certain prohibition in marriage among Aboge people in Sidodadi village, Lawang sub district, Malang regency? This study is a sociological (empirical) study using qualitative descriptive method and inductive approach in its field data analysis. Most of primary data was collected from field observation and directly involved with informant who related in the reviewed matter either directly or indirectly. Literatures and documentation regarding this matter was used as secondary data sources.
Result of this study is focused and in depth reviewieng the four prohibition tradition within marriage and tradition of marriage among Aboge, these four prohibition are: wase of the year/naga tahun, one sura, equal weton, and dino gotong. Marriage tradition as custom among Aboge people is marriage processing from Aboge people and marriage that has legal impact toward the valid custom law in the community involved. All of these custom marriage rules can be done as long as it did not breach the law regulation. Reason why Aboge people in Sidodadi village avoid these prohibition were only to obtain safety, have good fortune, and blessing from Allah SWT, whereas objectives of marriage for the people according to custom law is kinship in nature, to maintain and continue the descent according to paternal or maternal or both, for the happiness of the household.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sudah merupakan sunnatullah, manusia
diciptakan oleh Tuhan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya serta bersama
makhluk dan lingkungan sekitarnya untuk bermasyarakat dan menjaga hak, serta
kewajiban atas diri dan sesama. Dalam hidup bermasyarakat ini, mereka saling
menjalin hubungan yang sifat dan jumlahnya tidak terhingga.1 Kehidupan manusia
di dalam pergaulan masyarakat juga diliputi oleh normma-norma, yaitu peraturan
hidup yang mempengaruhi tingkah 1 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara
Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014),h.1. 2 laku manusia di dalam
masyarakat. Pada permulaan yang dialami hanyalah peraturan-peraturan hidup yang
berlaku dalam lingkungan keluarga yang dikenalnya, kemudian juga berlaku diluarnya,
dalam masyarakat. Kemudian dalam masyarakat terdapat berbagai golongan dan
aliran itu beraneka ragam dan masing-masing mempunyai kepentingan
sendiri-sendiri, akan tetapi kepentingan bersama mengharuskan adanya ketertiban
dalam kehidupan masyarakat. Setiap kali agama datang pada suatu daerah, maka
mau tidak mau, agar ajaran agama tersebut dapat diterima oleh masyarakatnya
secara baik, penyampaian materi dan ajaran agama tersebut haruslah bersifat
“membumi”. Maksudnya adalah ajaran agama tersebut harus menyesuaikan diri
dengan beberapa aspek lokal, sekiranya tidak bertentangan secara diametris
dengan ajaran substantif agama tersebut. Demikianlah pula dengan kehadiran
Islam di Jawa. Sejak awalnya, Islam begitu mudah diterima, karena para
pendakwahnya menyampaikan Islam secara harmonis. Islam melalui al-Qur’an dan
sunnah, sangat memperhatikan proses penting yang berhubungan dengan siklus
kehidupan yang mencangkup kelahiran, pernikahan, dan kematian merupakan momen
yang sangat penting, baik bagi yang mengalami keluarga maupun bagi orang
sekeliling, sebagai fase-fase peralihan dalam segi peningkatan penyempurnaan
agama. Bagi kalangan Islam Jawa, siklus kehidupan manusia yang ditandai dengan
kelahiran, pernikahan, dan kematian adalah mercusuar perjalanan hidup manusia,baik
secara fisik 3 maupun rohani. Oleh karenanya kalangan muslim jawa mengakomodasi
antara dasar ajaran islam dengan luhur jawa dalam melaksanakan ritual yang
terkait dengan siklus kehidupan tersebut.2 Adanya berbagai ritual dan tradisi
yang dilaksanakan secara Islami oleh umat Islam di Jawa telah memperkokoh
eksistensi esensi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia dan Asia
Tenggara, karena berbagai tradisi Islam Jawa yang terkait dengan siklus
kehidupan, kemudian berkembang hampir keseluruh pelosok tanah air bahkan Asia
Tenggara, dimana komunitas orang-orang muslim berkembang. Dalam pandangan
masyarakat adat, perkawinan bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara
hubungan kekerabatan yang rukun dan damai. Hal ini dikarenakan nilai-nilai hidup
yang menyangkut tujuan perkawinan tersebut dan menyangkut pula kehormatan
keluarga dan kerabat bersangkutan dalam pergaulan masyarakat, maka proses
pelaksanaan perkwinan diatur dengan tata tertib adat, agar terhindar dari
penyimpangan dan pelanggaran yang memalukan yang akan menjatuhkan martabat
kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan.3 Dalam melaksanakan
perkawinan, masyarakat sangat terikat oleh aturan, baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis, bahkan ketergantungan pada adat atau tradisi tata cara
masyarakat didaerah tersebut yang berlaku sejak sejak nenek moyang secara
turun-temurun. 2 Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa
Ritual-ritual Dan Tradisi-Tradisi Tentang Kehamilan, Kelahiran, Pernikahan, Dan
Kematian Dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Islam Jawa, (Yogyakarta:
Narasi, 2010), h.13. 3 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut:
Perundangan, Hukum Adat Dan Agama, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2007),h. 22. 4
Jawa Islam memiliki varian yang unik. Hal ini tidak terlepas dari cara
penyebarannya dan proses akulturasinya dengan budaya Jawa yang saat itu telah
eksis. Salah satunya keyakinan komunitas Islam Aboge yang lebih banyak
berpatokan pada ilmu titen tentang perhitungan dan berbagai hal di dunia ini
memang tidak bisa lepas dari faktor kesejarahan perkembangan Islam di Jawa yang
kental dengan aroma sinkretisme, akulturasi, dan kompromisasi para penyebarnya.
Eksistensi Komunitas Islam Aboge ini tidak dapat dilepaskan dari adanya
kesamaan garis darah, kepercayaan, pekerjaan hingga wilayah yang mereka
tinggali selama ini. Kesamaan kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib atau
sakral inilah yang menjadi pemersatu mereka dalam kehidupan dan pengamalan
agama yang mereka yakini. Semakin banyak kesamaan ajaran agama dan leluhur yang
mereka yakini, maka akan semakin kuat tingkat kekerabatan dan ikatan sebuah
komunitas. Aboge terdiri dari A-(lif), (Re)-bo, (Wa)-ge. Aboge diambil sebagai
poin yang paling jelas dan digunakan sebagai dasar perhitungan untuk tujuan
tertentu. Aboge dapat dikatakan berasal dari khasanah kosakata Jawa yaitu
merupakan akronim dari Alip Rebo Wage. Aboge adalah metode perhitungan/kalender
Jawa untuk menentukan hari, tanggal, bulan, dan tahun Jawa. Kalender Jawa
sering disebut sebagai kalender Kurup (asal kata Arab: huruf, karena nama-nama
tahunnya berawalan huruf Arab, yakni Alip, Ehe, Jimawal, je, dal, Be, Wawu,
Jimakir. Alip adalah sebutan tahun pertama dari satu windu tahun dalam kalender
Jawa. Adapun Rebo Wage 5 adalah hari jatuhnya Tahun Baru Jawa atau Hijriah,
yaitu setiap tanggal 1 Muharam/Sura. Dalam perhitungan Aboge, satu bulan harus
berjumlah tiga puluh hari penuh sehingga bagi yang menganut kalender
perhitungan Aboge ini tidak mengenal adanya bulan ganjil yang berjumlah 29
hari. Perhitungan ini mengakibatkan perbedaan dalam menentukan hari dan tanggal
Jawa/hijriah termasuk bulan Ramadhan dan Idul Fitri.4 Islam Aboge masih sangat
kental dengan mistik Kejawen yaitu percampuran agama Hindu-Budha-Islam.
Meskipun berupa percampuran, namun ajaran Kejawen masih berpegang pada tradisi
Jawa asli sehingga dapat dikatakan mempunyai kemandirian sendiri. Agama bagi
Kejawen adalah Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan).
Konsep penyatuan hamba dengan Tuhan dalam pandangan Islam putihan (santri)
dianggap mengarah pada persekutuan Tuhan atau perbuatan syirik. Islam Kejawen
sebagai sebuah varian dalam Islam merupakan hasil dari proses dialog antara
tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa yang lebih berdimensi tasawuf
(ilmu yang mempelajari suatu cara agar seseorang dapat mudah berada di hadirat
Allah SWT) dan bercampur dengan budaya Hindu yang kurang menghargai aspek
syariat, dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum hakiki agama Islam.
Tradisi yang dimaksud adalah aneka tradisi umat Islam Indonesia, khususnya
Jawa, yang pada mulanya beredar luas di Jawa, dan kemudian berkembang 4
Falinda, “Sistem Keyakinan Dan Ajaran Islam Aboge,” Kebudayaan Islam, 2 (Juli -
Desember 2012), h. 154. 6 meluas ke berbagai daerah pelosok Indonesia, yang terkait
dengan ritual dan tradisi kelahiran, pernikahan, dan kematian.5 Seperti di Desa
Sidodadi Kecamatan Lawang ini, masyarakatnya mayoritas berasal beragama Islam
dan berasal dari Suku Jawa. Sebagian besar masyarakatnya menganut sistem
kepercayaan Aboge yang berasal dari ajaran kepercayaan lelur dan nenek moyang.
Masyarakatnya Islam Aboge di desa ini bercampur dan menyatu dengan masyarakat
Islam Nadhatul Ulama’ (NU). Meskipun begitu mereka masih mempertahankan serta
menjalankan tradisi dan upacara Jawa, seperti slametan desa masih di bawa ke
danyang, adanya sesaji, sedekah bumi, segala slametan dalam pernikahan dan
masih banyak lainnya. Sistem kepercayaan tersebut masih terjaga sampai saat ini
temasuk dalam prosesi pekawinan, Banyak aturanaturan dan selain itu juga
terdapat larangan-larangan pernikahan dalam masyarakat Aboge,6
larangan-larangan pernikahan tersebut antara lain mengenai:7 1. Tahun 2. Bulan
3. Hari 4. Hari kelahiran (weton) 5. kekerabatan Diantara larangan-larangan
tersebut penulis meneliti yang berkaitan dengan larangan perkawinan. Maka dari
itu berdasarkan latar 5 Falinda, Sistem Keyakinan, h.152. 6 Suherianto,
wawancara (Lawang, 1 Mei 2016) 7 Muntik, wawancara (Lawang, 13 Maret 2016) 7
belakang diatas, penulis tertarik mengkajinya dalam penelitian yang berjudul
“Larangan-Larangan Dalam Tradisi Perkawinan Masyarakat Penganut Aboge (Studi di
Desa Sidodadi, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang)”. B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimana pelaksanaan tradisi perkawinan di kalangan masyarakat Aboge di Desa
Sidodadi, Kec. Lawang, Kab. Malang? 2. Bagaimanakah alasan masyarakat dalam
mempertahankan larangan tertentu dalam perkawinan pada masyarakat Aboge di Desa
Sidodadi, Kec. Lawang, Kab. Malang? C. Tujuan Penelitian 1. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan perkawinan di kalangan Aboge di
Desa Sidodadi, Kec. Lawang, Kab. Malang. 2. Juga untuk mengetahui alasan
masyarakat mempertahankan laranganlarangan tertentu dalam perkawinan pada
masyarakat Aboge di Desa Sidodadi, Kec. Lawang, Kab. Malang. D. Manfaat
Penelitian 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu membangun
maindset serta moral yang lebih baik terhadap mayarakat umum, khususnya
mahasiswa agar mengetahui adat pernikahan dalam masyarakat Aboge. 2. Manfaat
praktis 8 Bagi peneliti, penelitian ini merupakan suatu pengalaman antara teori
yang telah di dapatkan di perkuliahan dengan praktek yang ada di lapangan. Dan
sebagai bahan evaluasi bagi tokoh masyarakat, selain itu, penelitian ini juga
memberikan informasi dan wacana baru mengenai larangan-larangan dalam
perkawinan masyarakat Aboge. E. Definisi Operasional 1. Tradisi : adat
kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih di jalankan dalam
masyarakat.8 2. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.9 3. Aboge ialah berasal
dari khasanah kosakata Jawa yaitu merupakan akronim dari Alip Rebo Wage. Aboge
adalah metode perhitungan/kalender Jawa untuk menentukan hari, tanggal, bulan,
dan tahun Jawa
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Larangan-larangan dalam tradisi perkawinan masyarakat penganut aboge: Studi di Desa Sidodadi, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment